Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 47303 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Louhenapessy, Grenata
"Skripsi ini membahas mengenai penerapan ketentuan izin pemeriksaan pejabat terhadap tersangka yang merupakan caleg incumbent dalam tindak pidana pemilu. Ketentuan izin pemeriksaan tersebut diperlukan dalam hal ingin dilakukannya tindakan kepolisian terhadap anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun 2003. Persoalannya tindak pidana pemilu merupakan tindak pidana khusus yang jangka waktu penyelesaiannya menurut UU No. 10 Tahun 2008 lebih singkat dibandingkan dengan tindak pidana lainnya.
Penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian normatif, dengan metode pengolahan data yang bersifat kualitatif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan disarankan agar sebaiknya ketentuan izin pemeriksaan tidak diterapkan dalam penyelesaian tindak pidana pemilu, sehingga pelanggaran pidana pemilu yang melibatkan caleg incumbent dapat segera diselesaikan.

This thesis discusses the implementation of the regulation concerning permission to investigate an incumbent legislative candidate who is accused of general election crime. A law regulating such examination permit is required in order to enable the police to take measures towards members of the People’s Consultative Assembly (MPR), the House of Representatives (DPR), Regional Representative Council (DPD), and the Regional House of Representatives (DPRD), as stipulated in Law No.22 Year 2003. The problem is that general election crime falls within the category of special crimes, which according to Law No.10 Year 2008 must be resolved faster than other crimes.
The study was carried out through normative research with qualitative data processing. Based on the result of this study, it is recommended that the regulation regarding the examination permit should not be implemented in resolving a general election crime so that the general election crimes involving incumbent legislative candidates can be resolved immediately.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, [2009;2009, 2009]
S22519
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tiyas Widiarto
"Ketentuan undang-undang mensyaratkan perlu adanya ijin dari pejabat yang berwenang sebelum melakukan pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat negara tertentu. Latar belakang dan pertimbangan ketentuan undang-undang yang mengatur tentang ijin pemeriksaan diantaranya adalah untuk menjaga kewibawaan, martabat dan kedudukan pejabat negara dalam menjalankan tugasnya. Ketentuan ini memberikan perlakuan yang berbeda (diskriminasi) antara pejabat negara tertentu dan warga negara biasa, sehingga tidak sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan didepan hukum (equality before the law) dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta ketentuan perundang-undangan lain. Prinsip ini mengharuskan negara tidak melakukan diskriminasi terhadap warga negaranya, baik dalam proses peradilan maupun pemerintahan. Ketika pejabat negara harus berhadapan dengan proses hukum, baik sebagai saksi ataupun sebagai tersangka, dia wajib diperlakukan sama, tanpa melihat status ekonomi, kedudukan maupun jabatannya. Ketentuan ini juga tidak sesuai dengan prinsip peradilan yang cepat dan sederhana. Seseorang yang diduga terlibat tindak pidana harus segera mendapat pemeriksaan guna memberikan kepastian hukum terhadap yang bersangkutan, dan penyidikan terhadap kasus tersebut berjalan dengan lancar. Sampai scat ini belum ada penolakan secara formal dari pejabat yang berwenang terhadap ijin yang diajukan oleh penyidik. Bentuk penolakan pemberian ijin dilakukan dengan tidak mengeluarkan ijin pemeriksaan dalam jangka waktu yang cukup lama tanpa alasan yang jelas. Lamanya tenggang waktu keluarnya ijin tanpa limitasi waktu yang pasti dan panjangnya alur birokrasi pengajuan ijin pemeriksaan berpengaruh terhadap jalannya penyidikan tindak pidana korupsi. Tertundanya pemberian ijin dari pejabat yang berwenang mengakibatkan tertundanya juga pemeriksaan terhadap yang bersangkutan, sehingga pada akhirnya penyelesaian terhadap kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat tersebut juga tertunda atau bahkan "mandek". Namun khusus pemeriksaan terhadap kepala daerah, dapat dilakukan tanpa menunggu ijin dari Presiden, karena menurut pasal 36 ayat (2) UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tetap dapat dilakukan, apabila ijin pemeriksaan tersebut tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan.

The regulation set out the requirements of permit from authorized governmental officer prior to inspect any certain state officer. Consideration background of rules regulating regarding inspection permit, among other thing to maintain authority, prestige and position of such state officer in running his/her duties. It had resulted in the discrimination treatment among his/her with other large public citizens, and it had contradicted with principle of equality before the law and with Constitution 1945 as well as other legislations. Those principles had not discriminated among any citizen with Others either in judicature or governmental process.. When any state officer should present before the court either as witness or prosecuted then, she/he should be treated equally, without considering his/her economic status, position and others. Also it had not been suitable with principle of fast and simple judicature. Any person who had become involved in criminal case presumably, immediately, he/she should be inspected or investigated in order to give legal certainty with his/her, and such case investigation may be proceed fluently. To date the formal refusal from authorized governmental officer filed by investigator had never been found. The refusal of giving permit no conducted by issuing inspection permit for long enough period and without the real arguments. The length both of period to issue permit by unlimited time and bureaucracy process it had influenced the process of corruption commitment investigation. The postponement of giving permit from authorized governmental officer, also it had resulted in the cancellation of such person case, subsequently, the case of supposed corruption commitment of such person is cancelled or even stagnant. Nevertheless, specially, for case of Local Governmental Head, it may be conducted without waiting permit from President, because, according to Article 36 paragraph (2) UU.No.32 year 2004 on Local Government, inspection and investigation process to Head/Vice of Local Government it may be realized provided that such inspection permit no given by President at least sixty (60) days calculated since the receipt of application."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19446
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liwi Biantoro
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T25019
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Devi Darmawan
"Penegakan hukum Pemilihan Umum didasarkan pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008, dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 yang merupakan lex specialis dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Akan tetapi, dalam peraturan tersebut terdapat ketentuan batas waktu pelaporan Tindak Pidana Pemilihan Umum yang sangat singkat. Hal tersebut mengakibatkan banyak Tindak Pidana Pemilihan Umum yang tidak diperiksa dan diadili karena dilaporkan lebih dari batas waktu pelaporan yang ditentukan. Keadaan itu menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat karena memungkinkan Pelaku Tindak Pidana Pemilihan Umum dapat bebas dari pertanggungjawaban pidana. Berkaitan dengan hal tersebut.
Penelitian ini ditujukan untuk meninjau penerapan Prinsip Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilihan Umum. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Data primer yang digunakan meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan putusan hakim serta didukung oleh berbagai literatur seperti buku, jurnal akademik, laporan penelitian, dan artikel ilmiah lainnya, termasuk pula wawancara dengan narasumber yang ahli dalam Pemilihan Umum. Data tersebut dianalisis dengan pendekatan kualitatif dan diuraikan secara deskriptif.
Kesimpulan dari penelitian ini menyatakan bahwa batas waktu pelaporan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, Undang- Undang Nomor 42 tahun 2008, dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, merupakan ketentuan daluwarsa penuntutan karena dengan terlampaunya batas waktu tersebut kewenangan penuntut umum untuk menuntut Pelaku Tindak Pidana Pemilihan Umum menjadi hapus. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, Penerapan prinsip Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam penegakan hukum pada Tindak Pidana Pemilihan Umum harus disampingkan untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat dengan mengimplementasikan rule breaking yang digagas oleh Teori Hukum Progresif.

Election's Law enforcement is based on Act Number 10 Year 2008, Act Number 42 Year 2008, and Government Regulation Number 6 of 2005 which are the lex specialis of the Book of Penal Code (KUHP). However, in that regulation, there is a provision about very short time bar in statute of limitation. This resulted lots of Electoral Crimes that are not investigated and prosecuted because its offences reported over the time bar. This circumstances lead the injustice in society because it allows the Electoral offences Perpetrators can be free from criminal liability.
In this regard, this study aimed to review the application of Lex Specialis derogat Legi Generali principle's in Law Enforcement of Election Offences. This research is a normative juridical research. Primary data used include the Act, Regulation, and the judge's decision and supported by a variety of literature such as books, academic journals, research reports, and other scientific articles, including the interviews with sources who are experts in the General Election. Data were analyzed with a qualitative approach and described descriptively.
The conclusion of this study stated that the time bar for reporting election offences in Law Number 10 Year 2008, Law Number 42 of 2008, and Government Regulation Number 6 of 2005 are a statute of limitation because when time bar's over, the crime will not allowed to prosecute. To resolve this problem, application of the Lex Specialis derogat Legi Generali principles in law enforcement of election offences must be review and set aside to bring justice by implementing rule breaking that was initiated by the Progressive Legal Theory.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1317
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ulfa Anggia Pratami
"ABSTRAK
Tesis ini membahas analisis penerapan kebijakan restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana. Sebelumnya pelaksanaan restitusi sangat sulit dilakukan karena tidak ada mekanisme/prosedur yang jelas. Permasalahan dalam PP ini adalah syarat administratif yang cukup membebani korban dan keluarganya, tidak adanya ketegasan siapa yang berhak menghitung restitusi, tidak ada tolak ukur menentukan besaran jumlah restitusi dan tidak ada upaya paksa jika pelaku menolak membayar restitusi. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan mekanisme wawancara, dimana penulis menganalisa Peraturan Perundang-Undangan yang dikaitkan sejauh mana peraturan tersebut diterapkan dan berlaku di masyarakat. Hasil penelitian mengungkap Peraturan Perundang-Undangan tidak memiliki pedoman yang sama terkait mekanisme restitusi. KUHAP menggunakan mekanisme penggabungan perkara yang hanya terbatas pada kerugian materiil, PP No.3/2002 tidak memuat mekanisme permohonan restitusi yang diajukan korban, dalam UU LPSK ditemukan adanya ketentuan yang membatasi hak restitusi korban yang berpengaruh pada pelaksanaan PP No.44/2008, UU No.21/2007 memuat upaya paksa jika pelaku menolak membayar restitusi dan PP No.43/2017 memuat mekanisme permohonan dan pemberian restitusi, serta restitusi dapat diajukan mulai tahap penyidikan. Dari segi peraturannya, PP No.43/2017 kurang memberikan jaminan terkait restitusi bagi anak yang menjadi korban. Faktor yang menjadi kendala dalam penerapan restitusi bagi anak sebagai korban diantaranya adalah faktor perundang-undangan, faktor kapasitas dan koordinasi antar aparat penegak hukum, faktor ketidakaktifan korban, selama tidak ada permohonan maka restitusi tidak dapat diproses. Kemudian faktor ketidakaktifan lembaga yang mewakili dan melakukan pendampingan bagi korban.

ABSTRACT
The thesis discusses the analysis of the implementation of restitution policy for children who become victims of criminal acts that refers to Government Regulation Number 43 of 2017 about Implementation of Restitution for Child Victims of Crime. Previously the implementation of restitution is very difficult because there is no clear mechanism procedure. The problem in this regulation is the existence of administrative conditions that sufficiently burden the victim and his family, no firmness of who is entitled to calculate restitution, there is no benchmark determine the amount of restitution and no forced effort if the offender refused to pay restitution. This study is normative juridical, in which the authors analyze the legislation which is related to the extent to which the rules are applied and exist in the community. The results of this study reveal the Laws and Regulations do not have the same guidance related to the mechanism of restitution. The Criminal Procedure Code KUHAP uses mechanisms for the merger of cases that are limited to material losses, PP No.3 2002 does not contain the mechanism of the application for restitution submitted by victims. In the LPSK Law, there are provisions that restrict the right of victim restitution which affect the implementation of PP No.44 2008, UU No.21 2007 contains a forced effort if the perpetrator refuses to pay restitution and PP No.43 2017 contains the mechanism of application and restitution, and restitution can be submitted from the investigation stage. In terms of regulations, PP No.43 2017 provide less restitution related guarantees for children who become victims. Factors that become obstacles in the application of restitution for children as victims include the factors of legislation, factor capacity and coordination between law enforcement officers, the factor of inactivity of victims, as long as there is no request then restitution can not be processed. Then the factor of inactivity of the institution that represents and cares for the victim."
2018
T51441
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Romelto
"ABSTRAK
Dikeluarkannya Undang-undang No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI telah menimbulkan suatu aturan yang baru terhadap sistem peradilan pidana, secara yuridis dalam tatanan kewenangan mengatur masalah kekuasaan kehakiman adalah sesuai yang diatur dalam pasal 24 UUD 1945. Hal ini telah tersisipkan dalam Undang Undang tentang TNI yang merujuk pada pasal 30 UUD 1945 tentang pertahanan negara. Hal ini membawa dampak yang sangat besar terhadap masyarakat yang terkena aturan tersebut, sebab harus memulai dari mana sedangkan aturan hukum yang mengatur hanya mengenai penundukan militer terhadap peradilan umum dalam hal melakukan tindak pidana umum dan penundukan militer kepada peradilan militer yang melakukan tindak pidana militer. Hal ini ada dua yurisdiksi yang mengadili anggota militer. Penelitian ini mencoba menyikapi persoalan yang terjadi dengan menginventarisir peraturan-perundangan yang dianggap perlu serta menganalisa kelemahan-kelemahannya dan memberikan saran dalam efektifitas pemberlakuannya. Dalam melaksanakan perintah Undang¬undang No. 34 Tahun 2004 ini perlu diperhatikan selain aspek yuridis juga aspek sosiologis dan psikologis, karena hukum akan menjadi kaidah yang mati apabila kaidah tersebut hanya berlaku secara yuridis, artinya harus juga mempertimbangkan faktor¬faktor lain yang akan mempengaruhi pemberlakuan hukum tersebut seperti budaya hukum dari anggota masyarakat atau kelompok masyarakat yang terkena aturan tersebut. Apabila melihat pads kedudukan kepolisian sebagai penyidik terhadap semua tindak pidana sesuai yang di atur dalam Undang-undang No, 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan dalam Undang¬undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang mengatakan bahwa Polisi sebagai pejabat negara yang melakukan penyidikan, maka apabila hal ini dihadapkan dengan Undang-undang No. 31 Tahun 1997 yang mengatakan bahwa penyidik di lingkungan peradilan militer adalah Ankum, PaM dan Oditur, sama halnya yang berlaku dalam hukum militer Amerika Serikat bahwa penyidikan dilakukan oleh anggota militer yang ditunjuk oleh Undang-undangnya. Maka oleh karena itu, kedudukan Kepolisian umum sebagai penyidik terhadap semua tindak pidana tidak dapat diberlakukan juga kepada militer karena tidak ada landasan hukumya yang mengatur demikian. Untuk efektifitas pelaksanaan pemberlakuan Undang¬undang ini maka perlu menyiapkan aturan hukum terkait sebagai pendukung seperti pembenahan terhadap hukum materiilnya, atau memberlakukan sistem peradilan pidana campuran, atau merevisi Undang-undangnya. Dalam penelitian ini dilakukan usaha-usaha dalam menemukan sinkronisasi analisa normatif dan sosiologis yang akan menghasilkan jawaban-jawaban atas permasalahan¬permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

ABSTRACT
The promulgation of Law no. 34/2004 on Indonesian National Armed Forces marks the emergence of a new regulation in the criminal court system which juridically governs-at the level of authority-the judicial power pursuant to Article 24 of the 1945 Constitution. This issue has been incorporated in the Armed Forces Law referring to the Article 30 of the 1945 Constitution on state defense. This has brought tremendous impact to the people affected by the Law: it is unclear from where the prosecution should begin because the existing regulations only govern the military's submission to the general court in relation to general criminal cases as well as military's submission to the military court in the case of military criminal acts. Hence, there are two jurisdictions that are able to try military personnel. This research attempts to face this problem by listing the necessary legislations and analyzing their weaknesses as well as providing suggestions for their effective implementation. In the implementation of Law no. 34 Year 2004, the social and psychological aspects also need to be considered besides juridical aspect since a law will become an inapplicable norm if it is mere juridical. It signifies that other factors which influence the implementation, such as the legal culture hold by the members of society affected by the law should be taken into account. In view of the position of the police as criminal investigator, pursuant to Law no. 2/2002 on Police Force of the Republic of Indonesia and Law no. 8/1981 on Criminal Procedural Laws, the police is the state official who conducts investigation. However, if contrasted to Law no. 31/1997, the investigator within the military tribunal environment is the Ankum (Atasan yang berhak merrghukum) 'judging supervisor', the POM 'military police' and the military prosecutor. The same is also applicable in the US martial law where investigation is conducted by a personnel assigned by the law. Therefore, the position of police as investigator to any criminal cases is not applicable to the military situation due to the absence of appropriate legal basis. For an effective implementation of this Law, it is necessary to have supporting relevant regulations to refine the material law, impose mixed criminal tribunal, or revise the Law itself. In this study, several attempts have been performed to identify the harmonization between normative and sociological analyses which will find solutions to the problem.
"
2008
T 22903
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Nian Syafuddin
"Penelitian mengenai Pemeriksaan Tersangka Pelaku Tindak Pidana oleh Penyidik Polri di Polres Metro Jakarta Selatan bertujuan untuk menunjukkan pelaksanaan pemeriksaan tersangka pelaku tindak pidana oleh penyidik/penyidik pembantu Polri selaku aparat penegak hukum. Adapun permasalahan yang diteliti adalah prosedur dan tatacara pemeriksaan terhadap tersangka pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu Polri yang ditunjuk selaku pemeriksa. Disamping itu diteliti juga faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap pelaksanaan pemeriksaan tersangka, bentuk-bentuk penyimpangan yang terjadi serta mengapa hal itu terjadi, mekanisme pengawasan dan kontrol yang dilakukan serta pola-pola perilaku yang terbentuk dalam proses pemeriksaan.
Pemeriksaan tersangka adalah salah satu kegiatan dari penyidikan suatu tindak pidana yang sangat bersentuhan dengan hak azasi manusia oleh karenanya pemeriksaan tersangka harus dilakukan sesuai ketentuanketentuan hukum yang berlaku yaitu hukum acara pidana (KUHAP) yang menjadi dasar atau pedoman bagi aparat penegak hukum mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan di Pengadilan, pelaksana putusan hakim dan penasehat hukum. Sebagai penjabaran lebih lanjut, guna memberi pedoman bagi para penyidik/penyidik pembantu di lingkungan Polri, Kapolri telah mengeluarkan Petunjuk Teknis tentang Pemeriksaan Tersangka dan Saksi yang berisi prosedur dan tatacara dalam melakukan pemeriksaan tersangka dan saksi oleh penyidik/penyidik pembantu. Walaupun telah ada undang-undang yang mengaturnya bahkan telah ada pedoman yang secara teknis mengatur masalah ini, temyata masih saja terjadi berbagai penyimpangan terhadap pelaksanaannya yang sering dilansir oleh berbagai mass media baik media cetak maupun elektronik sebagai kekurangan mampun Polri dalam melaksanakan profesinya.
Dalam pemeriksaan tersangka terjadi interaksi antara pemeriksa dan tersangka serta lingkungannya yang akan mempengaruhi terhadap proses pemeriksaan yang dilakukan. Dalam proses interaksi tersebut terjadi tindakan-tindakan, perilaku-perilaku, sikap-sikap yang cenderung sexing dilakukan karena dianggap dibolehkan dan dibenarkan sehingga cenderung membentuk pola-pola perilaku tertentu yang secara langsung atau tidak langsung atau secara diam-diam disepakati sebagai pola perilaku dan tindakan yang diterima dan dianggap biasa walaupun pada kenyataannya menyimpang dari ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dan pelanggaran terhadap hak azasi manusia.
Pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh penyidik/penyidik pembantu memberikan keyakinan kepada mereka bahwa tersangka terdiri dari berbagai macam lapisan masyarakat dengan motif, modus operandi, jenis kejahatan yang dilakukan, status sosial, latar belakang ekonomi dan budaya yang berbeda yang dapat dikategorisasikan atau digolong-golongkan menurut aspek-aspek tersebut. Pengkategorisasian atau penggolong-golongan yang berisikan sangkaan-sangkaan yang buruk tentang tersangka, merupakan prasangka yang seringkali menimbulkan diskriminasi dan juga digunakan sebagai acuan bertindak dalam memeriksa tersangka tersebut, walaupun tidak harus selalu demikian perwujudan tindakan-tindakannya.
Dalam tesis ini telah ditunjukkan bahwa tindakan penyidik/penyidik pembantu yang ditunjuk selaku pemeriksa tersangka di Palres Metro Jakarta Selatan mengikuti acuan pedoman formal yaitu KUHAP dan Petunjuk Teknis Pemeriksaan Tersangka dan Saksi, aturan-aturan tidak tertulis yang ditetapkan Kapoires dan Kasat Serse serta mengikuti pengetahuan, pengalaman dan keyakinan mereka mengenai pengkategorisasian atau penggolongan tersangka. Telah dapat diidentifisir pula beberapa pola perilaku penyidik yang terbentuk dan cenderung menyimpang dari ketentuanketentuan hukum yang berlaku khususnya hukum acara pidana dan berakibat terjadinya pelanggaran terhadap hak azasi manusia. Untuk dapat melaksanakan penegakan hukum secara benar dan adil serta memberikan perlindungan terhadap hak azasi manusia sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat, maka Polri hares dapat merubah dan menghilangkan pola-pola perilaku yang negatif tersebut. "
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Tania Rahayu
"Tesis ini membahas mengenai penerapan sanksi pidana yang dikenakan kepada seorang Notaris sebagai pejabat umum yang memiliki kewenangan membuat akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Notaris yang ruang lingkup kewenangannya dibidang hukum perdata tidaklah terlepas dari sanksi pidana, selain sanksi administrasi yang telah diatur sebelumnya dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan sanksi perdata. Notaris dapat dikenakan sanksi dalam hukum pidana dengan dakwaan pemalsuan terhadap akta otentik yang dibuatnya. Tetapi sampai saat ini banyaknya Notaris yang tidak mengetahui atau memahami sanksi-sanksi yang akan mereka hadapi dalam kewenangannya membuat akta otentik, khususnya sanksi pidana karena peraturan perundang-undangan yang mengaturnya kurang jelas, sehingga penulis membahas mengenai penerapan sanksi pidana terhadap Notaris secara jelas.
Metode penulisan yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, dimana data-data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Contoh kasus dalam penulisan ini hanya sebagai gambaran bagaimana sanksi pidana dapat dikenakan bagi seorang Notaris. Berdasarkan penelitian dan teori-teori yang berkaitan dengan penulisan ini, penulis mengambil kesimpulan bahwa Notaris dapat dikenakan sanksi pidana apabila terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana yang menyangkut kewenangannya membuat akta otentik. Apabila penyidik, penuntut umum atau hakim ingin melakukan pemeriksaan terhadap Notaris beserta aktanya, maka harus dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD). Oleh karena itu, perlu adanya kecermatan dan ketelitian Notaris dalam membuat akta otentik agar dikemudian hari tidak ada masalah hukum yang timbul. Selain itu, pengaturan sanksi dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, juga perlu diperjelas."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T27463
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>