Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 168424 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Proses pemeriksaan di pengadilan merupakan salah satu tahap yang harus dilalui untuk dapat memutuskan suatu perkara pidana. Seperti yang sudah diketahui bahwa setiap putusan Pengadilan Negeri akan mempengaruhi pihak terdakwa dan keluarga bahkan dapat menimbulkan suatu rasa ketidakadilan bagi pihak yang diadili. Ketidakadilan dapat berupa terlalu cepatnya putusan diambil oleh majelis hakim karena tidak adanya batasan waktu yang jelas dalam mengambil keputusan. Bahkan terdapat kemungkinan suatu putusan hanya dilandasi pada surat dakwaan penuntut umum. Keadaan demikian menimbulkan suatu pertanyaan mengenai penerapan due process of law dalam Criminal Justice System di Indonesia? Dan mengenai penerapan due process of law terhadap keseimbangan kedudukan penuntut umum dengan terdakwa dalam pemeriksaan di pengadilan dikaitkan dengan Criminal Justice System? Untuk mengetahui suatu proses hukum telah memenuhi due process of law, maka perlu dilakukan analisis proses tersebut terhadap unsur-unsur minimal due process of law. Analisis dapat dilakukan dengan meninjau ketentuan yang termuat dalam peraturan perundang-undangan. Seperti UUD 1945, UU Kekuasaan Kehakiman, UU HAM, KUHAP, Deklarasi Umum HAM, kovenan dan konvensi internasional. Sumber-sumber hukum tersebut telah menjamin adanya suatu peradilan sesuai dengan due process of law. Secara khusus hal tersebut diatur dalam hukum acara pidana Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP). Dengan meninjau ketentuan yang diatur dalam UU tersebut akan diketahui mengenai keseimbangan kedudukan penuntut umum dengan terdakwa dalam proses pemeriksaan di pengadilan. Keseimbangan tersebut merupakan implementasi dari pengakuan Negara terhadap harkat dan martabat manusia tanpa mempedulikan keadaan yang dimiliki oleh para pihak, terutama pihak terdakwa. Secara umum KUHAP memberikan kesempatan bagi para pihak untuk mendapatkan keadilan melalui konsep due process of law. Akan tetapi masih ada kekurangan dalam menerapkan konsep tersebut, seperti konsekuensi hukum terhadap perkara pidana jika terjadi suatu pelanggaran due process of law dan pengaturan waktu untuk menjatuhkan putusan pidana. Pengaturan masalah pelanggaran tersebut seharusnya tidak hanya diatur dalam KUHAP sebagai hukum formil, perlu pula diatur dalam UU yang berkaitan hukum acara pidana, seperti UU Kejaksaan, UU Kepolisian, UU Kekuasaan Kehakiman sebagai hukum materil"
Universitas Indonesia, 2007
S22035
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Intan Permata Sari
"Salah satu alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi. Dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa keterangan saksi tersebut baru bernilai sebagai alat bukti bila dinyatakan di depan sidang pengadilan. Saat ini terdapat teknologi teleconference yang digunakan sebagai sarana dalam memberikan keterangan saksi. Teleconference ini bukan hanya diterapkan di Indonesia namun juga telah diterapkan di negara common law sytem. Namun pada kenyataannya banyak pihak yang menggap kesaksian melalui teleconference tidak bernilai sebagai alat bukti keterangan saksi melainkan hanya bernilai sebagai keterangan biasa saja. Hal ini disebabkan karena tidak ada pengaturannya dalam KUHAP.
Oleh karena itu terdapat permasalahan, yaitu dapatkah media teleconference digunakan dalam melakukan pemeriksaan keterangan saksi di depan sidang pengadilan menurut hukum acara pidana Indonesia? Bagaimanakah kekuatan pembuktian dari keterangan saksi yang diberikan melalui teleconference baik menurut KUHAP maupun menurut sistem Civil Law dan Common law? Bagaimanakah upaya pembentuk undang-undang mengakomodir penggunaan teleconference di dalam beberapa peraturan perundang-undangan?
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dapat tidaknya teleconference digunakan dalam melakukan pemeriksaan keterangan saksi di sidang pengadilan menurut hukum acara pidana Indonesia, mengetahui nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi melalui teleconference baik menurut KUHAP maupun menurut sistem Civil Law dan Common law serta mengetahui upaya pembentuk undang-undang dalam mengakomodir penggunaan teleconference di dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Penelitian ini berdasarkan studi kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif. Tipologi penelitian bersifat deskriptif. Berdasarkan analisis yang dilakukan, teleconference dapat digunakan untuk melakukan pemeriksaan keterangan saksi di depan sidang pengadilan. Sementara itu kekuatan pembuktiannya sama-sama bernilai bebas baik menurut KUHAP maupun sistem common law dan pembentuk undang-undang telah berupaya mengakomodir penggunaan teleconference di dalam pembentukan beberapa peraturan perundang-undangan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S22032
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Swasti Kartikaningtyas
"Sumpah palsu adalah delik yang terjadi apabila seorang saksi yang berada di bawah sumpah menyatakan keadaan lain daripada keadaan yang sebenarnya dengan dikehendaki dengan sengaja. Pengaturan mengenai delik sumpah palsu terdapat dalam KUHP pasal 242 ayat (2). Dalam peraturan perundang-undangan mengenai peradilan pidana di Indonesia, proses penyelesaian perkara pidana sumpah palsu belum diatur secara jelas dan terperinci. Prosedur penyelesaiannya sebagaimana yang diatur dalam pasal 174 KUHAP, hanya menyebutkan untuk diserahkan kepada penuntut umum untuk selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan dalm undang-undang ini. Hingga pada akhirnya dalam praktek pelaksanaannya diserahkan kepada pengertian oleh aparat penegak hukum di setiap lembaga peradilan. Hal ini menyebabkan timbulnya ketidakjelasan dalam proses penyelesaian perkara pidana sumpah palsu, diantaranya mengenai tahapan-tahapan yang harus ditempuh, serta wewenang dan tanggung jawab masing-masing lembaga peradilan dalam proses penyelesaian perkara pidana sumpah palsu tersebut. Ketidakjelasan dalam penyelesaian perkara sumpah palsu terutama terletak pada harus atau tidaknya penyelesaian tersebut melalui penyidikan biasa oleh Polisi Republik Indonesia selaku penyidik tindak pidana umum. Sedangkan apabila tidak melalui penyidikan biasa, dipertanyakan apakah Jaksa Penuntut Umum juga memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam melengkapi berkas perkara. Seyogyanya Penuntut Umum setelah menerima salinan Berita Acara Sidang dari Panitera dapat langsung melaporkan saksi yang telah diduga melakukan delik sumpah palsu tersebut kepada penyidik Polri, untuk kemudian dilakukan penyidikan dan dilanjutkan dengan penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Dengan demikian aparat penegak hukum dalam setiap lembaga peradilan memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam proses penyelesaian perkara sumpah palsu. Selain itu, implikasi dari wewenang dan tanggung jawab aparat penegak hukum di setiap lembaga peradilan tersebut terkait dengan keberadaan lembaga praperadilan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martiman Prodjohamidjojo
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984
345.05 MAR k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yennie Krishnawati Milono
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1994
T36457
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"A public prosecutor acting on behalf of state has a monopolistic right to prosecute and wide discretion to make prosecution policy. A public Prosecutor may drop accusation or stop prosecution for the sake of public interest and transaction. the role of a public prosecutor is not only to investigate, but also to be a liaison officer between investigation process and court sessions."
343 JPIH 21 (1999)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Roberto Bosta
"Skripsi ini membahas dua permasalahan. Pertama, pengaturan sistem koordinasi antara Penyidik POLRI dengan Jaksa Penuntut umum dalam KUHAP. Kedua, mengenai penerapan sistem koordinasi check and balance dalam kasus korban salah tangkap. Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang dipadu dengan wawancara narasumber, penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui sistem koordinasi perseimbangan dan berimbang antara penyidik POLRI dengan Jaksa Penuntut Umum, baik secara peraturan perundang-undangan maupun dalam prakteknya. Permasalahan mengenai adanya sistem koordinasi yang dimulai oleh penyidik pada saat dimulainya penyidikan terkait dengan pemberitahuan oleh penyidik dengan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan kepada Jaksa Peneliti. Seperti yang telah ditetapkan oleh KUHAP bahwa penyidik wajib menyampaikan kepada jaksa sejak dimulainya penyidikan agar Jaksa mengikuti perkembangan kasus sejak dimulainya penyidkan, yang mana menjadi dasar penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum.

This thesis addresses two issues. First, regarding the rules and regulation concerning coordination system between National Police Investigator and Public Prosecutor in accordance with Criminal Law Procedure. Second, regarding the implementation of such coordination system in respect of check and balance system against the victim of wrongful arrest. By using the method of literature research combined with sources interviews, this thesis aims to determine the coordination system as check and balance system between National Police Investigator and Public Prosecutor, both in rule and regulation and in practice. The issue regarding coordination system must be addressed when Investigator starting the investigation in relation with the notification to Prosecutor that the investigation is formally commencing. As stipulated in Criminal Law Procedure (KUHAP) that Investigator obliged to convey the case progress to the Prosecutor as from the investigation is commencing, considering such investigation result would be determine as the basis of prosecution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57392
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>