Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 87450 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Hukum acara pidana bertujuan mencari kebenaran materiil atau kebenaran yang sejati. Dengan demikian pembuktian merupakan masalah yang sangat penting dalam proses pemeriksaan di depan sidang pengadilan, dan dari proses pembuktian itulah dapat ditemukan suatu kebenaran materiil sehingga dapat dibuktikan apakah si terdakwa bersalah atau tidak. Berkaitan dengan hal tersebut, penggunaan alat bukti sangatlah penting dalam proses pembuktian di depan sidang pengadilan untuk membuktikan suatu tindak pidana tidak terkecuali dalam hal pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik. KUHAP telah menyebutkan mengenai alat bukti yang sah, yang dapat diajukan dalam persidangan hukum acara pidana yaitu; keterangan saksi, keterangan ahli, alat bukti surat, alat bukti petunjuk, dan keterangan terdakwa. Namun dalam praktik seringkali ditemukan suatu bentuk alat bukti yang tidak dengan jelas diatur oleh KUHAP, misalnya adalah press release yang digunakan dalam tindak pidana pencemaran nama baik. Skripsi ini akan membahas mengenai kedudukan press release dalam pembuktian tindak pidana pencemaran nama baik, serta penerapannya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, yakni penelitian kepustakaan yang mengaitkan permasalahan dengan norma-norma hukum yang berlaku di Indonesia. Setelah dilakukan penelitian dapat diketahui bahwa press release yang digunakan dalam tindak pidana pencemaran nama baik dapat dijadikan sebagai alat bukti surat yang pengaturannya diatur oleh KUHAP."
[Universitas Indonesia, ], [2008, 2008]
S22561
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2007
S21692
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raditya Putra Nugraha
"Manusia merupakan mahluk hidup sosial yang saling membutuhkan antara satu sama lain, salah satu sarana untuk mendapatkan berita dan informasi adalah melalui pers. Masyarakat modern pada saat ini banyak mengetahui berbagai kabar yang terjadi di masyarakat di Indonesia melalui berbagai macam sumber berita. Salah satunya adalah melalui surat pembaca.Namun seringkali surat pembaca menjadi suatu perbuatan melawan hukum di karenakan mencemarkan nama baik Skripsi ini membahas mengenai Surat Pembaca yang dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum,serta bagaimana pengimplemaentasinya terhadap PutusanNo.178/Pdt/G/2007/PN.Jkt.Ut,PutusanNo47/PDT/2009/PT.DKI Putusan No. 483 K/Pdt/2010 tentang pencemaran nama baik melalui surat pembaca.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif (normative legal research) dengan studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menyarankan Majelis Hakim dalam memutus perkara atas pencemaran nama baik melalui surat pembaca seharusnya mempertimbangkan dari ketentuan pasal 1376 Kitab Undang- undang Perdata, permasalahan pencemaran nama baik melalui ranah media cetak, sebaiknya pihak yang merasa bahwa haknya telah di langgar maka lebih baik menerapkan hak jawab terlebih dahulu.

Humans are social creatures who need each other between each other, one of the means to obtain news and information is through the press. Modern society at this time knew of many news that take place in massyarakat in Indonesia through various news sources. One of them is through letters readers. But often the letters being an unlawful act in because libelous. This thesis discusses the Readers Letters that can be categorized as unlawful act and implemented Decree No 178/Pdt/g/2007.Pn Jkt. Ut.
This research is a juridical-normative (legal normative research) with a literature study. Results of this study suggest the Judges in deciding the case on defamation via letters readers should consider the provisions of article 1376 of the Code of Civil Law and defamation issues through the realm of print media, the parties should feel that their rights have been violated then it is better to implement the right of reply in advance.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46523
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Purba, Ester Helena
"Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memberi dampak pada perubahan sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lain dalam masyarakat. Hal ini juga mengakibatkan munculnya jenis kejahatan baru berupa cybercrime. Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dibentuk menjadi pengaturan terkait tindak pidana dalam bidang teknologi informasi. UU ITE ini pun turut mengatur mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik yang dirumuskan dalam Pasal 27 ayat (3). Pasal 310 dan 311 KUHP menjadi genus delict dari pasal penghinaan dalam UU ITE ini. Namun dalam perumusannya tidak disebutkan unsur penghinaan atau pencemaran nama baik yang dilakukan demi kepentingan umum atau membela diri. Selain itu, batasan terhadap alasan pembenar dalam kasus penghinaan atau pencemaran nama baik sesuai Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak jelas. Sebagai bentuk delik dikualifikasi, Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak perlu menyatakan secara eksplisit unsur dalam genus delict-nya, unsur tersebut berlaku dan dapat diterapkan dalam ketentuan di UU ITE. Alasan pembenar berupa kepentingan umum dimengerti bahwa pelaku memang secara jelas dan tegas menuduhkan sesuatu yang benar adanya supaya masyarakat umum dapat waspada terhadap oknum yang dicemarkan itu. Pembelaan diri berdasarkan Pasal 310 ayat (3) tersebut dapat dikategorikan sebagai noodweer dan juga noodtoestand, sehingga menurut Van Hamel lebih tepat digunakan istilah “noodzakelijke verdediging”.

Development of information and communication technology has an impact on changes in social, economic, cultural, and other aspect of society. This has also resulted in the emergence of a new type of crime in the form of cybercrime. Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions (UU ITE) which was later changed to Law Number 19 of 2016 concerning amendments to Law Number 11 of 2008 concerning Electronic Information and Transactions (UU ITE) was formed into related regulations criminal acts in the field of information technology. Information and Electronic Transaction Act also regulates insults or defamation which is formulated in Article 27 paragraph (3). Articles 310 and 311 of the Criminal Code are the delict genus of the insulting articles in this Information and Electronic Transaction Act. However, the formulation does not mention elements of insult or defamation carried out in the public interest or in self-defense. In addition, the limits on justification in cases of insult or defamation according to Article 27 paragraph (3) of the Information and Electronic Transaction Act are not clear. As a form of qualifying offense, Article 27 paragraph (3) of the Information and Electronic Transaction Act does not need to explicitly state the elements in the genus of the offense, these elements are valid and can be applied in the provisions of the Information and Electronic Transaction Act. The justification in the form of public interest is understood that the perpetrator has clearly and unequivocally accused something that is true so that the public can be wary of the libelous person. Self-defense based on Article 310 paragraph (3) can be categorized as noodweer and also noodtoestand, so according to Van Hamel it is more appropriate to use the term "noodzakelijke verdediging"."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Estheralda
"Komunikasi dan informasi merupakan kebutuhan yang fundamental sifatnya bagi manusia dalam kehidupan modern dewasa ini. Melalui informasi manusia memperoleh pengetahuan, pendidikan maupun hiburan yang bermanfaat bagi dirinya. Oleh karena itu kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari informasi yang merupakan produk dari dunia pers. Dalam penyajian suatu informasi bagi dunia pers seringkali terjadi suatu penulisan atau pemuatan berita yang dirasakan merugikan pihak lain, yang menjurus kepada suatu perbuatan melawan huKum khususnya penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Adanya penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sering sulit untuk dibuktikan bahwa telah terjadi penghinaan tersebut. Hal. ini disebabkan dalam KUH Perdata "sendiri tidak terdapat definisi yang jelas dari penghinaan tersebut. Sehingga para sarjana seperti Wirjono Prodjodikoro misalnya mengatakan bahwa · titik berat dari soal penghinaan berada dalam lapangan dunia perasaan yang bersifat sekonyong-konyong dan biasanya tidak memberikan kesempatan berpikir secara tenang dan tenteram apakah sebetulnya isi dari perkataan orang yang dikatakan menghina itu. Tetapi hal yang nyata ialah bahwa pada waktu kata-kata itu diucapkan, sudah ada kesan dari ucapan itu dan mungkin perasaan seseorang sudah tertusuk waktu itu, padahal ia belum sempat berpikir tentang apakah maksud sebenarnya dari ucapan itu. Pada akhirnya hakimlah yang akan menentukan batasan-batasan tertentu dalam praktek di pengadilan. Dalam dunia pers sendiri telah ditentukan batasan-batasan bagi wartawan dalam menyajikan suatu berita yaitu Kode Etik Jurnalistik dan UU Pokok Pers, untuk menghindari penulisan yang bersifat menghina dan/atau mencemarkan nama baik. Dalam praktek di pengadilan, pemberitaan mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan umum tidak dapat dikualifikasikan sebagai penghinaan menurut pasal 1376 KUH Perdata. Contohnya adalah berita-berita mengenai KKN yang perlu diketahui masyarakat seperti informasi mengenai dugaan KKN yang dilakukan pejabat negara, kolusi dengan pihak swasta dan konglomerat dan nepotisme dengan keluarga pejabat negara adalah berita yang masuk dalam pengertian kepentingan umum. Dalam pemberitaan mengenai kepentingan umum tidak ternyata adanya maksud untuk menghina sehingga bukan merupakan suatu perbuatan melawan hukum dalam hal penghinaan dan/atau pencernaran nama baik."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S21115
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ali Aranoval
"Pasal-pasal penghinaan banyak tersebar dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Objek atau sasaran Penghinaan terdiri atas terhadap pribadi perseorangan, terhadap kelompok atau golongan, terhadap institusi atau lembaga, terhadap suatu agama, terhadap para pejabat yang meliputi; pegawai negeri, kepala negara atau wakilnya dan pejabat perwakilan asing dan terakhir terhadap orang yang sudah meninggal dunia. Yang menarik adalah penggunaan pasal penghinaan yang ditujukan kepada orang yang melakukan penghinaan terhadap Kepala Negara atau Presiden, hal tersebut diatur dalam titel II Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Kejahatan Melanggar Martabat Presiden dan Martabat Wakil Presiden. Title II ini dimulai dari pasal 134, pasal 136 bis, dan pasal 137 hingga pasal 139. Orang yang melakukan penghinaan terhadap Kepala Negara sering dihukum dengan pasal 134. Pemahaman terhadap pasal ini pertama adalah penghinaan itu harus dilakukan dengan sengaja (opzettelijk) dimana pelaku harus menghendaki perbuatan itu terjadi. Kedua, penghinaan dilakukan dengan segala macam cara termasuk pula cara penghinaan seperti yang diatur dalam title XVI Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana mulai pasal 310 sampai pasal 321. Ketiga, harus diketahui bahwa Presiden atau Wakil Presiden hadir atau tidak dengan kata lain yang dihina hadir atau tidak ditempat itu. Ketiga hal ini penting pada saat pembuktian terhadap unsur-unsur pasal dalam sidang pengadilan. Tidak kalah pentingnya adalah pembedaan antara pasal 134 KUHP dengan pasal 136 bis KUHP. Pemahaman pasal 136 bis KUHP yang terpenting adalah bahwa unsur ini sangat berkaitan erat dengan pasal 134 KUHP, dalam hal kesempurnaan pembuktian. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan register nomor 1380/Pid.B/2002, telah menjatuhkan hukuman selama 5 bulan penjara kepada terdakwa Kiastomo. Jaksa Penuntut Umum mendakwa dengan dakwaan primer pasal 134 KUHP subsider pasal 137 KUHP. Majelis Hakim dalam amarnya menyatakan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan telah memenuhi unsur pasal 134 KUHP. Putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim sama dengan dakwaan primer dari Jaksa Penuntut Umum, namun jika diperhatikan ada kekurangan selama proses pembuktiannya, ini menunjukan kurangnya pemahaman Majelis Hakim terhadap unsur pasal tersebut. Hal yang sama terjadi dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor register 484/Pid.B/2003, dimana terdakwa M. Iqbal Siregar juga dinyatakan bersalah melanggar pasal 134 KUHP, Terdakwa Iqbal Siregar dihukum 5 bulan penjara. Berdasarkan hal tersebut diatas Penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukum dengan Judul “Pembuktian Tindak Pidana Penghinaan Terhadap Kepala Negara (Studi Kasus Perkara Nomor Register 1380/Pid.B/2002/PN Jakarta Selatan)”. Akibat kurangnya pemahaman terhadap unsur-unsur pasal tersebut maka dalam prose pembuktiannya majelis hakim bisa dikatakan telah menghukum orang yang belum tentu bersalah, hal ini dapat menyebabkan turunnya citra serta wibawa lembaga peradilan dalam rangka penegakan hukum di Indonesia. Untuk itu aparatur penegak hukum harus memperbaiki kekeliruan serta kekhilafan yang terjadi selama ini dengan meningkatkan pemahaman terhadap pasal-pasal Kejahatan Melanggar Martabat Presiden Dan Martabat Wakil Presiden sehingga kemungkinan salah melakukan penerapan hukum dalam proses peradilan tidak terjadi lagi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S22460
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Alika Putri Fachira
"Tulisan ini menganalisis bagaimana konsep pencemaran nama baik dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum, dengan melakukan perbandingan antara peraturan perundang-undangan di negara Indonesia dan Australia. Definisi pencemaran nama baik tidak secara spesifik dijelaskan dalam KUHPerdata Indonesia. KUHPerdata hanya mengatur tentang upaya hukum pencemaran nama baik yang dicantumkan dalam Pasal 1372-1380. Istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbuatan melawan hukum ini juga tidak seragam, ada yang menyebutnya sebagai pencemaran nama baik, sementara dalam beberapa sumber yang lain, termasuk KUHPerdata, menyebutnya sebagai penghinaan. Sebagai konsekuensi dari perbuatan tersebut, korban memiliki hak untuk menggugat pelaku dan menuntut pertanggungjawaban untuk memperoleh ganti rugi sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata karena dianggap sebagai suatu perbuatan melawan hukum dan pemulihan nama baik serta kehormatannya. Sementara di Australia, pencemaran nama baik diatur secara spesifik dalam undang-undang yang dikenal sebagai Defamation Act 2005 dan Model Defamation Amendment Provisions 2020. Pencemaran nama baik merupakan salah satu bentuk tindakan hukum yang dikenal sebagai tort yang umumnya digolongkan dalam ranah hukum perdata. Walaupun Australia merupakan negara federal, tetapi undang-undang tersebut berlaku nasional karena mengikat seluruh negara bagian serta wilayah teritorinya. Oleh karena itu, sebagai fungsi inspiratif, dilakukan suatu perbandingan hukum terkait konsep pencemaran nama baik sebagai suatu perbuatan melawan hukum antara Indonesia dan Australia dengan menggunakan metode pendekatan perbandingan berbentuk doktrinal. Melalui penelitian ini, dapat diidentifikasi baik persamaan maupun perbedaan pengaturan terkait konsep pencemaran nama baik di kedua negara tersebut.

This paper analyzes how the concept of defamation is considered as a tort, by comparing the laws and regulations in Indonesia and Australia. The definition of defamation is not specifically explained in the Indonesian Civil Code. The Civil Code only regulates the remedy of defamation which is included in Articles 1372-1380. The term used to describe this unlawful act is also inconsistent, some refer to it as defamation, while some other sources, including the Civil Code, refer to it as an insult. Because of these actions, the victim has the right to claim the actor and prosecute for liability to obtain compensation according to the provisions in Article 1365 of the Civil Code because it is considered an unlawful act and to restore his good reputation and honor. Meanwhile in Australia, defamation is specifically regulated in a law known as the Defamation Act 2005 and the Model Defamation Amendment Provisions 2020. Defamation is a legal act known as a tort which is generally classified as a civil law. Although Australia is a federal state, the law applies nationally because it applies to all states and territories. Therefore, as an inspirational function, this research conducts a legal comparison related to the concept of defamation as an unlawful act between Indonesia and Australia by employing a doctrinal comparative approach. Through this research, both similarities and differences in the regulation of the concept of defamation in both countries can be identified."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>