Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 110944 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Saat ini kebebasan pers menjadi sebuah alasan
pemenuhan kebutuhan dahaga informasi masyarakat yang
seringkali dilakukan dengan cara melanggar norma yang telah
ada. Hal ini juga merambah dunia peradilan Indonesia dimana
demi kebebasan pers dan rasa ingin tahu masyarakat,
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyediakan televisi di
luar ruang persidangan untuk menyiarkan proses yang sedang
terjadi di dalam ruang sidang ke luar ruang persidangan.
Hal demikian (baik disadari atau tidak disadari) telah
mengakibatkan terlanggarnya asas peradilan yang akhirnya
dapat menghalangi terungkapnya kebenaran materiil. Tujuan
dari pasal 159 ayat (1) KUHAP adalah untuk mencegah para
saksi saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain.
Hal ini untuk menjaga agar keterangan saksi tetap obyektif.
Pelaksanaan dari pasal ini di pengadilan adalah
memerintahkan saksi yang belum mendapat giliran memberi
keterangan untuk ke luar ruang persidangan guna menghindari
saksi tersebut untuk mendengar keterangan saksi yang sedang
diberikan di depan persidangan demi menjaga obyektifitas
kesaksian. Adanya penayangan proses persidangan ke luar
ruang persidangan telah melanggar prinsip peradilan yang
melarang saksi untuk saling berhubungan demi menjaga
obyektifitas menjadi terancam. Pada kasus tindak pidana
korupsi Akbar Tandjung, merupakan salah satu contoh kasus
yang proses persidangannya disiarkan ke luar ruang
persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat serta
diliput seluruh proses persidangannya oleh salah satu
stasiun. Hal ini semata-mata tidak lain karena kasus tindak
pidana korupsi dengan terdakwa Akbar Tandjung pada saat itu
memang sangat menarik perhatian masyarakat Indonesia.
Dengan disiarkan proses persidangan kasus Akbar Tandjung,
maka saksi-saksi dalam kasus tersebut dapat saling
mengetahui keterangan saksi melalui siaran langsung ke luar
sidang pengadilan dan bahkan siaran langsung melalui
stasiun televisi. Keberadaan siaran langsung proses
persidangan melalui televisi berseberangan dengan aturan
hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam pasal 159 ayat
(1) KUHAP. Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan yuridis-normatif dan
pendekatan yuridis empiris, tipologi penelitiannya
deskriptif."
Universitas Indonesia, 2007
S22464
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Subagyo A. S.
1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adami Chazawi
Bandung: Bayumedia Publishing, 2013
345.023 ADA h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Adami Chazawi
Bandung: Bayumedia Publishing, 2013
345.023 ADA h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Andreas Wibisono
"Korupsi tergolong ke dalam kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Korupsi yang terjadi Indonesia saat ini sudah dalam posisi yang sangat akut dan begitu mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangan praktek korupsi dari tahun ke tahun semakin meningkat, baik dari kuantitas atau jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas yang semakin sistematis, canggih serta lingkupnya sudah meluas ke dalam seluruh aspek masyarakat. Setiap kali ada putusan bebas bagi terdakwa kasus korupsi apalagi yang nilainya mencapai ratusan miliar rupiah masyarakat langsung bereaksi. Hati nurani mereka seperti terusik mendengar ada terdakwa kasus tindak pidana korupsi ratusan miliar bebas melenggang. Terhadap putusan bebas ini, Jaksa/Penuntut Umum mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung karena Jaksa/Penuntut Umum berpendapat bahwa Judex Facti telah salah dalam menerapkan hukum karena putusan bebas tersebut adalah bukan pembebasan yang murni. Hal ini bertentangan dengan Pasal 244 KUHAP yang menentukan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas. Namun demikian sesuai yurisprudensi yang sudah ada apabila ternyata putusan pengadilan yang membebaskan Terdakwa itu merupakan pembebasan yang murni sifatnya, maka sesuai ketentuan Pasal 244 KUHAP permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. Sebaliknya apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur perbuatan yang didakwakan, atau apabila pembebasan itu sebenarnya adalah merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas kewenangannya, Mahkamah Agung selaku Judex Jurist atas dasar pendapatnya bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan yang murni harus menerima permohonan kasasi tersebut. Untuk menentukan apakah putusan Judex Facti itu merupakan putusan bebas murni atau bebas tidak murni, Judex Jurist memberikan batasan penilaian sepanjang hal-hal sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 30 ayat (1) huruf a dan b Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Penilaian Judex Jurist terhadap putusan Judex Facti yang membebaskan terdakwa didasarkan pada alasan-alasan yang diuraikan Pemohon Kasasi dalam memori kasasinya yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Tingkat Pertama/Judex Facti tersebut adalah bukan putusan bebas murni dan Pemohon Kasasi juga harus dapat memperlihatkan dan membuktikan dimana letak tidak murninya putusan pembebasan tersebut. "
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia;Universitas Indonesia;Universitas Indonesia, Universitas Indonesia], 2009
S22488
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurachmat
"Instrumen peraturan perundang-undangan merupakan salah satu faktor dalam mempengaruhi penegakan hukum, di samping faktor lainnya seperti aparat penegak hukum, sarana dan prasarana yang mendukung penegakan hukum serta kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. Peraturan perundang-undangan kaitannya yang mengatur tindak pidana korupsi telah mengalami perubahan beberapa kali, baik itu mengenai ketentuan formil maupun materilnya. Perubahan itu tentu saja bertujuan meningkatkan efektivitas guna tercapainya penegakan hukum dalam menangani kejahatan korupsi sesuai dengan apa yang diharapkan melalui saluran hukum positif yang ada. Salah satu perubahan yang ada yaitu pengaturan stelsel ancaman pidana pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Seperti diketahui bahwa dalam UU No. 3 Tahun 1971 memberlakukan stelsel ancaman pidana maksimum umum, sedangkan dalam UU No. 31 Tahun 1999 memberlakukan stelsel ancaman pidana minimum dan maksimum khusus. Dampak dari perubahan tersebut dapat dilihat dari disparitas tuntutan oleh jaksa penuntut umum maupun disparitas pemidanaan oleh hakim. Disparitas tersebut diukur dari pidana penjara dan denda baik yang dituntut oleh jaksa penuntut umum maupun yang dijatuhkan oleh hakim dengan memperbandingkan nilai kerugian antara perkara korupsi yang satu dengan perkara korupsi lainnya (pada studi kasus di Daerah Istimmewa Yogyakarta). Dengan memperbandingkan tingkat disparitas antara perkara yang didakwa dengan UU No. 3 tahun 1971 dengan perkara yang didakwa dengan UU No. 31 Tahun 1999, maka dapat dinilai apakah perubahan stelsel ancaman pidana pada Undang-undang Tindak Pidana Korupsi efektif dalam mengurangi disparitas yang ada. Yang kemudian hal ini tentu saja akan menimbulkan dampak terhadap rasa keadilan dan efektivitas terhadap pencegahan korupsi secara umum."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S22152
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>