Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 179999 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Intan Permata Sari
"Salah satu alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi. Dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa keterangan saksi tersebut baru bernilai sebagai alat bukti bila dinyatakan di depan sidang pengadilan. Saat ini terdapat teknologi teleconference yang digunakan sebagai sarana dalam memberikan keterangan saksi. Teleconference ini bukan hanya diterapkan di Indonesia namun juga telah diterapkan di negara common law sytem. Namun pada kenyataannya banyak pihak yang menggap kesaksian melalui teleconference tidak bernilai sebagai alat bukti keterangan saksi melainkan hanya bernilai sebagai keterangan biasa saja. Hal ini disebabkan karena tidak ada pengaturannya dalam KUHAP.
Oleh karena itu terdapat permasalahan, yaitu dapatkah media teleconference digunakan dalam melakukan pemeriksaan keterangan saksi di depan sidang pengadilan menurut hukum acara pidana Indonesia? Bagaimanakah kekuatan pembuktian dari keterangan saksi yang diberikan melalui teleconference baik menurut KUHAP maupun menurut sistem Civil Law dan Common law? Bagaimanakah upaya pembentuk undang-undang mengakomodir penggunaan teleconference di dalam beberapa peraturan perundang-undangan?
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dapat tidaknya teleconference digunakan dalam melakukan pemeriksaan keterangan saksi di sidang pengadilan menurut hukum acara pidana Indonesia, mengetahui nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi melalui teleconference baik menurut KUHAP maupun menurut sistem Civil Law dan Common law serta mengetahui upaya pembentuk undang-undang dalam mengakomodir penggunaan teleconference di dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Penelitian ini berdasarkan studi kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif. Tipologi penelitian bersifat deskriptif. Berdasarkan analisis yang dilakukan, teleconference dapat digunakan untuk melakukan pemeriksaan keterangan saksi di depan sidang pengadilan. Sementara itu kekuatan pembuktiannya sama-sama bernilai bebas baik menurut KUHAP maupun sistem common law dan pembentuk undang-undang telah berupaya mengakomodir penggunaan teleconference di dalam pembentukan beberapa peraturan perundang-undangan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S22032
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Andri Purwanto
Depok: Universitas Indonesia, 2001
S22308
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Neneng Rahmadini
Depok: Universitas Indonesia, 2001
S22170
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oktavia Sastray Anggriani
"Skripsi ini membahas tentang perbandingan pengaturan konsep Contempt of Court dalam perundang-undangan di kedua negara. Hal ini dikaitkan dengan perilaku profesi hukum dalam menjalankan profesinya yang dibatasi oleh suatu kode etik profesi. Secara tidak langsung, kode etik profesi ini bertujuan untuk melindungi martabat peradilan dari adanya gangguan dari pihak dalam perkara di pengadilan maupun pihak luar. Dalam praktek, advokat merupakan profesi hukum yang sering melakukan tindakan melanggar tata tertib pengadilan, seperti meninggalkan ruang sidang atau menginterupsi keputusan hakim. Perilaku tersebut dapat dikategorikan sebagai Contempt of Court. Konsep Contempt of Court dalam KUHP Indonesia tidak diatur secara khusus melainkan tersebar dalam beberapa pasal. Sedangkan di Inggris, konsep Contempt of Court diatur dalam undang-undang tersendiri, yakni Contempt of Court Act 1981. Penulisan skripsi ini menitikberatkan pada data sekunder dengan metode pendekatan komparatif, dan data primer berupa wawancara dengan penegak hukum yang terlibat dalam studi kasus sebagai data penunjang dan pelengkap.

This research explains about comparison of regulation contempt of court concept in legislation of both countries. That issue is connected with conduct of law profession which is limited by a code of ethics of the profession. Indirectly, an existence of this code of ethics aimed at protecting dignity of the court from any obstruction of a party in proceeding therein or even outside party. In practically, advocate is a law profession who often break the rule of court, such as walk out from court room or interrupt judge decision. That conduct could be categorized as a contempt of court. Contempt of court concept in Indonesian Book of Penal Code isn‟t regulated in a special chapter, but it dispersed in few articles. On the contrary, contempt of court concept in England is regulated in special act, Contempt of Court Act 1981. This research is more focus in secondary sources with comparative approach methods, and primary sources in form of interview with law‟s instrument who involved in study case for supporting and complement sources of this research. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1564
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Syafvan Rizki
"Teleconference sebagai cara yang digunakan untuk melindungi saksi pada saat memberikan keterangan di persidangan telah diatur dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Teleconference juga bisa dikategorikan sebagai manifestasi bentuk perlindungan yang dapat diberikan kepada saksi pada kasus-kasus tertentu sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Akan tetapi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) bahwa semua bentuk perlindungan yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) baru dapat diberikan setelah adanya persetujuan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sementara dalam Pasal 9 ayat (3) jo. Pasal 9 ayat (1), bahwa pemeriksaan saksi melalui teleconference baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari hakim. Skripsi ini menganalisis siapa sesungguhnya yang berwenang dalam menentukan apakah seorang saksi diperiksa melalui teleconference atau tidak, khususnya pada Persidangan Tindak Pidana Terorisme Atas Nama Terdakwa Abu Bakar bin Abud Ba?asyir Alias Abu Bakar Ba?asyir Nomor Register Perkara 148/Pid.B/2011/PN.JKT.Sel. Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode kepustakaan dengan metode pendekatan perudang-undangan dan pendekatan kasus.

Abstract
Teleconferencing as an option for protecting the witness when he or she gives his or her testimony on a trial has been regulated in article 9 paragraph (3) of Law No. 13/2006 about The Protection of Witness and Victim. Teleconferencing as a form of protection that may provided for witness in certain cases refers to article 5, paragraph (1) of Law No.13/2006. However, as article 5 paragraph (2) has determined that all forms of protection refers to article 5 paragraph (1) allowed only after the approval of Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) (The Body of Witness and Victim Protection). Although article 9 paragraph (3) jo. Article 9 paragraph (1) that the interrogation of witness via teleconference may be done only after receiving permission from the judge. This thesis mainly discussed about the authority to determine whether a witness examined via teleconference or not, especially on the trial of a terrorism crime in the name of offender Abu Bakar bin Abud Ba'asyir alias Abu Bakar Ba'asyir Case Number 148/Pid.B /2011/PN. JKT.Sel. This thesis is using the normative method research in statue approach and case approach."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S266
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Flora Dianti
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S21978
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Proses pemeriksaan di pengadilan merupakan salah satu tahap yang harus dilalui untuk dapat memutuskan suatu perkara pidana. Seperti yang sudah diketahui bahwa setiap putusan Pengadilan Negeri akan mempengaruhi pihak terdakwa dan keluarga bahkan dapat menimbulkan suatu rasa ketidakadilan bagi pihak yang diadili. Ketidakadilan dapat berupa terlalu cepatnya putusan diambil oleh majelis hakim karena tidak adanya batasan waktu yang jelas dalam mengambil keputusan. Bahkan terdapat kemungkinan suatu putusan hanya dilandasi pada surat dakwaan penuntut umum. Keadaan demikian menimbulkan suatu pertanyaan mengenai penerapan due process of law dalam Criminal Justice System di Indonesia? Dan mengenai penerapan due process of law terhadap keseimbangan kedudukan penuntut umum dengan terdakwa dalam pemeriksaan di pengadilan dikaitkan dengan Criminal Justice System? Untuk mengetahui suatu proses hukum telah memenuhi due process of law, maka perlu dilakukan analisis proses tersebut terhadap unsur-unsur minimal due process of law. Analisis dapat dilakukan dengan meninjau ketentuan yang termuat dalam peraturan perundang-undangan. Seperti UUD 1945, UU Kekuasaan Kehakiman, UU HAM, KUHAP, Deklarasi Umum HAM, kovenan dan konvensi internasional. Sumber-sumber hukum tersebut telah menjamin adanya suatu peradilan sesuai dengan due process of law. Secara khusus hal tersebut diatur dalam hukum acara pidana Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP). Dengan meninjau ketentuan yang diatur dalam UU tersebut akan diketahui mengenai keseimbangan kedudukan penuntut umum dengan terdakwa dalam proses pemeriksaan di pengadilan. Keseimbangan tersebut merupakan implementasi dari pengakuan Negara terhadap harkat dan martabat manusia tanpa mempedulikan keadaan yang dimiliki oleh para pihak, terutama pihak terdakwa. Secara umum KUHAP memberikan kesempatan bagi para pihak untuk mendapatkan keadilan melalui konsep due process of law. Akan tetapi masih ada kekurangan dalam menerapkan konsep tersebut, seperti konsekuensi hukum terhadap perkara pidana jika terjadi suatu pelanggaran due process of law dan pengaturan waktu untuk menjatuhkan putusan pidana. Pengaturan masalah pelanggaran tersebut seharusnya tidak hanya diatur dalam KUHAP sebagai hukum formil, perlu pula diatur dalam UU yang berkaitan hukum acara pidana, seperti UU Kejaksaan, UU Kepolisian, UU Kekuasaan Kehakiman sebagai hukum materil"
Universitas Indonesia, 2007
S22035
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>