Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 194061 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Denny Mochtar Cilah
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S22252
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rihal Amel Aulia Haqi
"Tindak pidana Korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang telah memiskinkan bangsa Indonesia secara keseluruhan dan sistematik. Dalam rangka memberantas tindak pidana korupsi secara serius, maka pada tahun 1999 dibuatlah Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang menggantikan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun dalam perkembangannya, pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut tidak bisa dilaksanakan secara optimal akibat adanya penghentian penyidikan atau penuntutan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Atas penghentian penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi, masyarakat maupun Lembaga Swadaya Masyarat (LSM)/Organisasi Masyarakat (OrMas) melakukan protes dengan mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri untuk membatalkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) ataupun Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) yang diterbitkan oleh penyidik ataupun penuntut umum tersebut. Namun pada kenyataannya, masyarakat maupun LSM/OrMas yang menamakan dirinya sebagai "pihak ketiga yang berkepentingan", mengalami banyak hambatan dalam mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri. Hal ini karena kedudukan mereka sebagai "pihak ketiga yang berkepentingan" tidak secara jelas diatur dalam KUHAP maupun Undang-undang Tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi. Tidak adanya pengaturan secara jelas mengenai "pihak ketiga yang berkepentingan" menyebabkan banyak interpretasi yang saling bersebrangan dikalangan ahli hukum di seluruh Indonesia. Pada akhirnya, hal tersebut menimbulkan keanekaragaman putusan praperadilan pada Pengadilan Negeri, yaitu menerima ataupun menolak permohonan praperadilan yang diajukan oleh masyarakat maupun LSM/OrMas sebagai "pihak ketiga yang berkepentingan". Skripsi ini akan mengulas mengenai legal standing "pihak ketiga yang berkepentingan" dalam permohonan praperadilan tindak pidana korupsi, baik menurut teori maupun penerapannya dalam praktik peradilan di Indonesia, serta hendak menganalisis Putusan Praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara penghentian penyidikan kasus korupsi Texmaco, penghentian penuntutan H.M. Soeharto dan penghentian penyidikan Sjamsul Nursalim."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S22399
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alfonsius Gebhard Loe Mau
"Tesis ini membahas tentang siapa saja yang dimaksud dengan pihak ketiga yang dapat mengajukan praperadilan terhadap penghentian penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi dalam praktek praperadilan. Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dan kepustakaan hukum serta doktrin yang berkaitan dengan penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan perkara tindak pidana korupsi. Data-data yang diperoleh kemudian diolah secara kualitatif dengan metode deduktif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penafsiran yang berkembang menurut doktrin dan yurisprudensi mengenai pengertian pihak ketiga yang berkepentingan dalam praperadilan terhadap penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan perkara tindak pidana korupsi telah berkembang yaitu tidak terbatas pada saksi korban yang menderita kerugian secara langsung akibat dari suatu perbuatan pidana, tetapi telah mencakup juga pelapor dan kelompok individu atau masyarakat yang menderita kerugian secara tidak langsung sebagai akibat adanya tindak pidana korupsi yang menyebabkan hak-hak sosial dan ekonomi mereka dilanggar. Untuk menjamin adanya kepastian hukum dan memenuhi rasa keadilan masyarakat dalam mengawasi jalannya pemberantasan korupsi, maka sebaiknya hak masyarakat sebagai pihak ketiga yang berkepentingan yang dapat mengajukan praperadilan terhadap penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tindak pidana korupsi diatur dalam undang-undang tindak pidana korupsi.

The thesis discusses who is referred to as the third party that can appeal to the pretrial hearing towards the cessation of the investigation or the prosecution of the corruption criminal acts in pretrial hearing practice. The research method used in this writing is normative law research, which is research conducted towards the laws and regulations, law literature, and doctrines related to the cessation of the investigation and the cessation of the prosecution of the corruption criminal act cases. The data obtained later will be managed qualitatively with a deductive method.
The research results conclude that the interpretation developing according to the doctrines and jurisprudence about the understanding of the third party concerned in the pretrial hearing towards the cessation of the investigation or the cessation of the prosecution of the corruption criminal act cases which have developed is not limited to the victim witness suffering from losses directly due to a criminal act but also includes the reporters and a group of individuals and society suffering from losses indirectly as a result of the corruption criminal acts causing their social and economic rights to be violated. To guarantee that there is a certainty of law and to fulfill the justice in the society in supervising the corruption combat process, the society's rights as the third party concerned who can appeal to the pretrial hearing towards the cessation of the investigation or the cessation of the prosecution of the corruption criminal acts are governed in the law about corruption criminal acts.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28886
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2007
S22117
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rachman Uddin
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farkhan Askari
"Hukum acara pidana ruengatur proses penyidikan dan penuntutan.Penyidik dan penuntut umum memiliki kewenangan untuk melakukan penghentian penyidikan atau penuntutan dengan syarat-syarat yang telah digariskan dalam KUHAP. Untuk menguji sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan tidak dilakukan secara sah maka terbuka kesempatan untuk melakukan pengawasan dan koreksi terhadapnya. KUHAP memberi hak kepada penyidik, penuntut umum serta pihak ketiga yang berkepentingan untuk melakukan pengawasan dan koreksi melalui lembaga praperadilan.Menjadi perdebatan adalah siapa pihak ketiga yang berkepentingan tersebut. Banyak pihak menafsirkannya sebagai saksi korban yang dirugikan atas terjadinya tindak pidana serta pelapor. Dalam tindak pidana korupsi maka masyarakat adalah korban. Korupsi telah melanggar hak sosial ekonomi masyarakat serta menghambat pembangunan yang hasilnya seharusnya dapat dirasakan dan memberikan kesejahteraan pada masyarakat. Sementara undang-undang tidak secara tegas dan jelas memberikan hak kepada masyarakat untuk mengambil langkah hukum apabila terusik rasa keadilannya dengan dilakukannya penghentian penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi. Penegak hukum, termasuk juga hakim yang mestinya dapat menemukan hukum yang lebih berpihak pada masyarakat dan lebih memenuhi rasa keadilan masyarakat justru sering bersikap tidak menerima apabila masyarakat hendak melibatkan diri dalam proses peradilan pidana sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Mereka lebih banyak berpikiran positivistik, legisme, yang hanya melihat pada undang-undang saja. Apabila tidak diatur dalam undang-undang bererti tidaka ada hak masyarakat melibatkan diri dalam proses peradilan pidana.Untuk itu tesis ini meneliti dan menganalisa tentang 1)siapa pihak ketiga yang berkepentingan yang dapat mengajukan praperadilan dalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tindak pidana korupsi, 2) apakah yang menjadi alas hak pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan praperadilan dalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tindak tindak pidana korupsi, dan 3) hambatan yang ditemui dalam praktek praperadilan oleh pihak ketiga yang berkepentingan dalam penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tindak pidana korupsi, bagaimana hukum acara pidana yang akan datang mengakomodirnya.

Code of criminal procedure regulates investigation and prosecution process. Investigator and prosecutor have authority to ceasing investigation or prosecution by requirement as provided in code of criminal procedure. Then, to test whether or not the ceasing of investigation or prosecution validly, it have opportunity to opened case to supervised and correct. Code of criminal procedure had entitled to investigator, prosecutor and third party concerned to supervised and correct with "pretrial" process. It had been debated on which third party concerned is? Mostly parties interpreted as victim who had been harmed from crime and the reporter. Actually, in corruption, the society is the victim. Corruption had broke social-economics right of community and blocked the development which the results should be enjoyed and contributed to society's welfare essentially. Meanwhile, the laws had not given right firmly and clearly to society to have law procedure when their sense of justice had been distract, by ceasing investigation or prosecution of corruption. In the other side, law enforcer including judge who ought to find law that more prone to society and comply with sense of justice of them indeed, they had not received society who will involve their selves in criminal justice process as such third party concerned. Most of them had more thought of positivistic legalism, solely, they laid case on legislation, so that, if it had not been provided with legislation, then, society having not right to involve their selves in criminal justice process. However, this thesis researches and analyze regarding . 1) which third party concerned that may apply "pre-trial" to terminate investigation or prosecution of corruption criminal act is?; 2) what kind of arguments of such third party concerned to apply "pre-trial" in terminating investigation or prosecution of corruption?; and 3) the obstacles founded in "pre-trial" practiced by such third party concerned in ceasing investigation or prosecution of corruption, finally, how code of criminal procedure may accommodate it in the future."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19634
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indriyanto Seno Adji
"Perbuatan melawan hukum yang semula diartikan secara formil ("wederwettelijk") telah mengalami pergeseran dan yang dianggap sebagai terobosan baru dalam hukum pidana, karena sifat dari perbuatan itu kini diartikan juga secara materiel yang meliputi setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat, sehingga terjadi perubahan arti menjadi "wederrechtelijk", khususnya perbuatan melawan hukum materil dalam hukum pidana ini (wederrechtelijk) mendapat pengaruh yang kuat sekali dari pengertian perbuatan melawan hukum secara Iuas dalam hukum perdata melalui arrest Cohen-Lindenbaum tanggal 31 Januari 1919.
Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 1 ayat 1 huruf (a) maupun Penjelasan Umumnya erat kaitannya antara penerapan ajaran perbuatan. melawan hukum materil dengan arrest Cohen-Lindenbaum. Dalam hukum pidana, ajaran perbuatan melawan hukum materil dibatasi penggunaannya melalui fungsi Negatifnya sebagai alasan peniadaan pidana, dengan maksud untuk menghindari pelanggaran asas legalitas sekaligus dapat menghindari penggunaan analogi dalam hukum pidana.
Permasalahannya adalah bagaimana terhadap perbuatan dengan tipologi kejahatan baru yang dianggap koruptif/tercela yang merugikan Masyarakat/ Negara dalam skala yang sangat besar, tetapi tidak terjangkau peraturan perundang-undangan tertulis? Apakah pelaku dapat berkeliaran secara bebas dengan berlindung dibalik assas Legalitas? Dengan disandarkan dari aspek/pendekatan sejarah pembentukan Undang-Undang, norma kemasyarakatan, yudikatif dan legislatif maka sepatutnyalah untuk mempertimbangkan penerapan fungsi positif dari perbuatan melawan hukum materil, dengan kriteria yang tegas dan ketat serta kasuistis, yaitu apabila perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi Masyarakat/Negara dibandingkan dengan keuntungan dan perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik itu."
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T368
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Elwi Danil
"Tingkat pertumbuhan dan perkembangan korupsi di Indonesia telah menjadi sebuah fenomena yang sulit dibantah dengan- argumentasi apapun. Perilaku menyimpang ini tidak saja taelah berlangsung secam sisbematis dan bersifat institusional, melainkan juga telah masuk ke dalam wilayah institusi peradilan pidana yang semestinya bediri sebagai tulang penyangga.
Sekalipun laporan resmi pemerintah mengindikaslkan adanya peningkatan intensitas penanganan kasus korupsi secara slginifikan; namun itu belum merefleksikan fakta yang sesungguhnya. Ungkapan "dark number of corruption! diperkirakan jauh Iebih besar daripada 'officially recorded corruplians" Oleh sebab itu, ketika Indonsia dinobatkan ke dalam kategori negara terkorup di dunia, tidak ada yang hefan, seolah-olah fenomena itu sudah "being taken for grantee", sehingga tidak periu diperdebatkan. Fenomena korupsi telah menimbulkan ketidakpercayaan publlk terhadap hukum dan sistem peradilan pidana, dan dikhawatirkan dapat mengakibatkan disfungsionalisasl hukum pidana. Penelitian ini mengungkapkan, sekalipun korupsi "merajalela" di Indonesia, namun hanya sedikit kasus korupsi yang diteruskan ke pengadilan. Kalaupun ada yang sampai di pengadilan, tidak jarang pula hakim menjatuhkan pidana yang terlalu ringan bila dibandingkan dengan tuntutan masyarakat agar kejahatan seperti itu dijatuhi pidana berat.
Perbedaan persepsi tentang penafsiran terhadap subyek dan rumusan tindak pidana korupsi temyata telah menimbulkan problem yuridis. Oleh karena itu, sudah sepatutnya dilakukan revisi dan reorientasi kebijakan pemberantasan korupsi dalam konteks pembaharuan hukum pidana. Seberapa jauh hal itu dapat dilakukan adalah titik berat permasalahan dalam disertasi ini. Pembaharuan hukum pidana dalam penanggulangan kompsi harus dilakukan secara komprehensif, yang meliputi legal substance legal structure dan legal culture? sebagai unsur utama sistem hukum sebagaimana di kemukakan Lawrence M. Friedman. Meskipun undang-undang merupakan aspek penting yang akan menentukan bekerjanya sistem peradilan pidana, namun keberadaan undang-undang saja tidak akan menjadi 'sufficient condition" Sekalipun ia merupakan suatu '"necessary condition" akan tetapi adanya 'political will' perilaku aparat penegak hukum, konsistensi penerapan hukum, dan budaya hukum adafah 'determining factors.?
Oleh karena itu, pembentukan UU No. 31 Tahun 1999 sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971 dapat dijadikan sebagai titik pangkal untuk melakukan pembenahan terhadap sistem hukum. Undang-undang korupsi tidak saja memenuhi karakteristik sebagai undang-undang pidana khusus; melainkan juga sebagai hukum pidana khusus karena korupsi merupakan perbuatan yang bersifat khusus (bijzonderlijk feiten). Tindak pidana korupsi tergolong sebagai "extraordinary crime" sehingga untuk memberantasnya dibutuhkan "extraordinary instrumen".
Dalam hubungan ini, penerapan konsep "materiele wederrechtelijkheid, reversal of the burden of proof? (omkering van de bewijslast), dan pembentukan institusi khusus sebagai 'anti corruption agency? yang independen menjadi penting dan relevan dalam kerangka pembaharuan hukum pidana. Hal yang terakhir ini merupakan solusi untuk mengakhiri konflik antara penegak hukum dalam bidang penyidikan. Namun demikian, pembaharuan hukum yang hanya tertuju pada substansi dan struktur hukum saja tidak akan berhasil tanpa adanya upaya untuk mengubah budaya hukum dalam pemberantasan korupsi. Hanya saja, periu diperhatikan agar instrumen-instmmen khusus itu tidak digunakan secafa sewenang-wenang, sehingga tidak menjadi "monster" yang menakutkan yang merupakan ?dun? dalam hukum pidana, karena dapat melahirkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.

The growth and rate of corruption in Indonesia have become a phenomena that is very difficult to rebuff with any argument whatsoever. This deviant behavior has not only taken place systematically and institutionally, but also has created problems in the area of criminal justice institution which actually should stand as "the guarofan pillion" Although formal government report has indicated a significant increase of corruption case processes, however, it has not yet similar increase in the judicial decision as expected.
The level of "dark number of com/prions" is estimated to be much larger than the 'officially recorded carruptionsf Therefore, when Indonesia is identified as the most corrupt country in the world, nobody is surprised, it is as if the phenomena is being taken for granted, that does not need further argument. The corruption phenomena is one of the main factors inflicting public distrust against the law and criminal justice system, that resulted in the possible disfunction of the criminal law. This research revealed that eventhough corruption is rampant in Indonesia, only a small number of corruption cases reached the court. Moreover, the lnfliction of punishment, if any, is considered as lenient in comparison with the public clamour for severe punishment for such crimes. Apparently there is a problem of different perception as to the interpretation of 'legal subject? and "legal formulalion?in corruption law.
Based on the above, it is deemed appropriate to have revision and reorientation of eradication policy of cormption within the context of criminal law reform. Thus, how far it can be carried out becomes the focus in this dissertation. Criminal law reform for solving corruption problems shall be conducted comprehensively, to include ?legal substance legal smicture and legal culture" as there are the main elements of legal system, as proposed by Lawrence M. Friedman. Although laws are important aspects to determine the mechanism of criminal justice system, their existence alone will not be sufficient, since the presence of ?poHtical will good behavior of /aw enforcement officers, consistency of /aw implementation, and legal cu/ture are equally slgnihcant.
Nevertheless, the formulation of Law No. 31 of 1999 to replace Law No. 3 of 1971 may serve as a starting point to conduct correction of the legal system. Anti corruption act not only meets the characteristics as special criminal act, but also at the same time functions as special criminal law, because corruption has specific nature (byzonderlijk feiten). Corruption is classified as 'extra ordinary crime' so that to eradicate it needs ?extra ordinary instrument? In this relationship, the application of ?materiele wederrrechtelijkheid" reversal of the burden of proof" (omkering van de bewijslast), and formulation of special institution as ?and corruption agency? which is independent become very important and relevant in the frame of criminal law reform. The latter is a proposed solution for the ecisting institution conflict on investigative authority of corruption.
Last but not least, all refomrs conducted in conjunction with laws and structures would not be succesful, unless the present legal culture is simultaneously improved to combat corruption. However, it is necessary to observe that those special instruments should not be ?tnonsbe/? that becomes ?an obstacle? in criminal law. If such instruments are used arbitrarily, lt may, instead create the issues of legal uncertainty and injustices.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
D1017
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>