Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159497 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putri Dewina Santi Baramuli S.
"Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dengan tegas mengakui bahwa Advokat adalah salah satu unsur penegak hukum, yang mempunyai kedudukan setara dengan para penegak lainnya yaitu hakim, polisi dan jaksa. Selain itu Undang-Undang ini juga mengatur mengenai adanya hak dan kewajiban bagi profesi Advokat, termasuk didalamnya Hak Imunitas Advokat. Dalam prakteknya penerapan Hak Imunitas profesi Advokat, dalam hal ini hak imunitas yang timbul karena kewajiban menjaga rahasia pekerjaan (verschoningsrecht), yaitu pada kasus perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) Hotel Hilton, dimana Ali Mazi yang berprofesi sebagai Advokat (sebagai kuasa hukum dari Pontjo Sutowo untuk perpanjangan HGB Hotel Hilton), dihadapkan pada adanya kewajiban setiap warga negara untuk memberikan kesaksian di peradilan.
Yang menjadi permasalahan adalah dapatkah seorang Advokat dikecualikan memberikan kesaksian yang menyangkut rahasia kliennya dalam sidang pengadilan. Adapun dasar untuk memberikan kesaksian bagi profesi Advokat adalah karena adanya asas "menjaga rahasia jabatan/pekerjaan", yang tidak berlaku mutlak. Sedangkan dasar yang dapat digunakan sebagai permintaan pembebasan sebagai saksi adalah karena profesi advokat dianggap memenuhi persyaratan sebagai profesi yang karena Undang-Undang dapat dikecualikan/menolak memberikan kesaksian di peradilan. Namun pengecualian ini tidak berlaku dalam tindak pidana tertentu.
Dalam kasus perpanjangan HGB Hotel Hilton, HGB No. 26/GELORA dan No.27/GELORA, didasarkan pada Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, beserta peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor.40 Tahun 1996, tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Dalam kasus ini, atas dasar pertimbangan kepentingan negara telah dikeluarkan Keppres Nomor 4 Tahun 1984, dimana HGB Hotel Hilton dikembalikan kepada negara ketika masa berlaku HGB tersebut habis.
Terbitnya perpanjangan HGB menimbulkan permasalahan keabsahan Hak Pengelolaan (HPL) diatas HGB, dimana Hak Pengelolaan (HPL) terbit atas keputusan Kepala BPN Nomor 169/HPL/BPN/89 yang didasarkan pada Keppres Nomor 4 Tahun 1984. Kasus ini diajukan ke PN Jakarta Pusat dengan dakwaan Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengatur verschoningsrecht bagi profesi tidak dapat diberlakukan, sehingga Advokat wajib memberikan kesaksian di peradilan Pidana."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S22439
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Davina Nindita
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S22334
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yanesya Lastika Putri Muhadi
"Pada perkara advokat sebagai pelaku obstruction of justice dalam tindak pidana korupsi, terdapat polemik mengenai eksistensi hak imunitas advokat. Pasal 16 UU Advokat menyebutkan: advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan. Undang- Undang Advokat tidak memberikan penjelasan mengenai standar “iktikad baik”. Lebih lanjut lagi, terdapat perdebatan apakah dengan adanya hak imunitas, advokat harus diperiksa terlebih dahulu di Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sebelum diproses menurut hukum acara pidana. Dengan menggunakan metode penelitian deskriptif, penelitian ini menjawab dua pertanyaan penelitian: pertama, mengenai keberlakuan hak imunitas advokat pada perkara obstruction of justice dalam tindak pidana korupsi; dan kedua, mengenai peran DKOA pada perkara obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi. Penelitian ini menunjukkan bahwa seorang advokat dapat dilindungi oleh hak imunitas apabila ia tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan, kode etik, dan proporsionalitas. Meskipun advokat memiliki hak imunitas, tidaklah diperlukan proses pemeriksaan terlebih dahulu oleh DKOA. Peran DKOA pada perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan advokat masih minim, hal tersebut ditandai dengan tidak dipecatnya advokat yang telah dinyatakan bersalah tersebut. Atas permasalahan tersebut, undang-undang perlu mengatur secara rinci mengenai standar “iktikad baik”. Organisasi advokat melalui DKOA seharusnya lebih proaktif dalam mengawasi pelaksanaan kode etik advokat, khususnya mengenai tindak lanjut terhadap advokat yang telah dijatuhi pidana. Selain itu, untuk mencegah berpindah-pindahnya advokat yang telah diberhentikan, diperlukan standar profesi tunggal yang mencakup: pengangkatan advokat, pengawasan advokat, dan dewan kehormatan pusat dari seluruh organisasi advokat yang ada di Indonesia.

In the case wherein advocate named as a defendant of obstruction of justice in corruption crime cases, there is a polemic about the existence of advocate’s immunity. Article 16 of Advocate’s Act stated that advocates shall not be prosecuted either civil or criminal in carrying out their professional duties in good faith for the benefit of the client’s defense inside or outside court proceedings. Advocate’s act does not provide further explanation about the standard of “good faith”. Furthermore, there is a debate whether with the existence of advocate’s immunity, advocate should be examined by The Disciplinary Committee, before being processed according to criminal procedural law. By using the descriptive method, this study aims to answer two questions: first, regarding the enforcement of advocate’s immunity in obstruction of justice in corruption crime cases; second, regarding the role of The Disciplinary Committee in obstruction of justice in corruption crime cases. This thesis shows that an advocate shall be protected by adcovate’s immunity if he/she take an action in accordance with law and regulations, and Code of Ethics, and proportionality. Despite of the existence of advocate’s immunity, there is no need to carry out preliminary examination process by The Disciplinary Committee. The role of The Disciplinary Committee is not good enough towards advocate who has been convicted for committing obstruction of justice in corruption crime cases. This is indicated by the fact that the advocate is not permanently disbarred from the Bar Association. For this issues, the law and regulation shall regulate clearly the standard of “good faith”. Bar Association should be more proactive in supervising the enforcement of the Code of Ethic, especially when taking action regarding to an advocate who is convicted for committing a crime. Beside that, to prevent the advocate that has been disbarred to join another Bar Association, an integrated professional standard is needed, which is including: registration and qualification of advocates, supervision of advocates, and integrated disciplinary committee for the whole Bar Association."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lusi Indriani
"ABSTRAK
Notaris adalah pejabat umum dengan tugas utama
membuat akta otentik. Dalam menjalani jabatannya notaris
mempunyai kewajiban untuk merahasiakan serapat-rapatnya
isi akta sesuai dengan salah satu pasal dalam Peraturan
Jabatan Notaris (P.J.N.). Di sisi lain notaris juga
mempunyai kewajiban untuk hadir apabila dipanggil menjadi
seorang saksi di muka pengadilan. Seorang notaris yang
dipanggil menjadi saksi dapat menggunakan hak ingkar atau
hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi. Hak ingkar
(notaris) yang telah diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan ini menemui banyak kendala dalam
pelaksanaan ketika notaris diminta menjadi saksi terutama
pada perkara pidana. Dalam perkara perdata , notaris
lebih leluasa menggunakan hak ingkar yang diberikan oleh
undang-undang kepadanya. Dalam perkara pidana , notaris
hampir tidak bisa menggunakan hak ingkar yang
dimilikinya/ karena dalam perkara pidana ada kewajiban
untuk mencari kebenaran materil oleh penegak hukum
sehingga notaris dituntut untuk ikut membantu upaya
penegakan hukum tersebut. Sampai saat ini ketentuanketentuan
yang mengatur tentang hak ingkar masih tersebar di berbagai peraturan yang ada, sehingga menyulitkan
bagi pihak-pihak yang terkait untuk memahami dan
menerapkankannya sementara dalam Peraturan Jabatan
Notaris kita harus menafsirkan adanya hak ingkar secara
analogis. Tugas seorang notaris tidak hanya sekedar
memberikan kesaksian mengenai apa yang dilihat dan
didengar tetapi juga ikut mencari kebenaran sejati, oleh
karena itu jika ada kepentingan yang lebih tinggi untuk
proses penegakan hukum/ maka seorang notaris dapat
memilih untuk tidak menggunakan hak ingkar yang
dimilikinya."
2003
T37694
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutasoit, Samuel
"ABSTRAK
Sistem peradilan pidana sejatinya adalah proses yang dikonstruksikan untuk menanggulangi kejahatan melalui proses peradilan yang dilakukan terhadap pelaku tindak pidana. Proses yang dilakukan tersebut memperhadapkan pelaku tindak pidana dengan negara yang diwakili oleh penuntut umum. Dalam proses demikian pelaku tindak pidana didampingi dan dibela oleh advokat. Advokat melalui Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri, yang menjalankan profesinya di dalam maupun di luar pengadilan. Advokat adalah bagian dari sistem peradilan pidana yang integratif dalam rangka menanggulangi kejahatan. Pada saat ini sistem peradilan pidana di Indonesia menganut sistem non-adversarial yang memberikan posisi sentral kepada hakim untuk bertindak aktif dalam menilai fakta (kesalahan), hukum, dan hukuman. Bahkan hakim cenderung bertindak sebagai semi-prosecutor. Tentu saja keadaan demikian tidak memberikan keleluasaan kepada advokat untuk melakukan pembelaan kepada kliennya berdasarkan dalil-dalil yang dibenarkan oleh hukum. Dalam perkembangannya, karakter adversarial yang merupakan ciri sistem peradilan di negara-negara common law diadopsi ke dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Namun demikian karakter adversarial tersebut tidak diadopsi secara utuh, setidaknya demikian terlihat dalam Rancangan KUHAP. Karakter adversarial yang dianut dalam Rancangan KUHAP masih menganut prinsip hakim aktif dalam persidangan. Dalam sistem adversarial, advokat sebagai penasihat hukum terdakwa di sidang pengadilan memiliki peran yang lebih baik untuk membela kepentingan hukum terdakwa. Peran tersebut ditandai dengan kedudukan yang sama antara penuntut umum maupun advokat di persidangan. Penuntut umum dan advokat akan berperan aktif untuk menemukan kebenaran berdasarkan pembuktian melalui proses adu atau counter balance. Posisi penuntut umum dan advokat sebagai demikian menjadikan posisi hakim bersifat pasif atau hakim hanya sebagai wasit dalam proses adu tersebut. Letak pembenaran sistem adversarial atau sistem perlawanan adalah pada kenyataan bahwa sistem ini merupakan suatu sarana, di mana kemampuan individu dapat ditingkatkan sampai titik di mana ia memperoleh kekuatan untuk melihat realitas dengan mata yang bukan matanya sendiri, di mana ia mampu untuk menjadi bebas dari keberpihakan dan bebas dari prasangka sebagaimana “dapat dimungkinkan oleh keadaan manusia”. Dengan kata lain, sistem adversarial menyakini bahwa kebenaran akan muncul melalui proses adu yang dilakukan secara seimbang dan fair antara penuntut umum dan advokat.

ABSTRACT
The criminal justice system is actually a constructed process to overcome crime through judicial proceedings against defendant. The process undertaken is by confronting the defendant with the state represented by the public prosecutor. In the process, the defendant is represented and defended by advocates. Advocate based on Law Number 18 of 2003 regarding advocate is a law enforcerment officer who is free and independent, performing his profession in or outside the court. Advocate is a part of an integrated criminal justice system to overcome crime. Nowadays, the criminal justice system in Indonesia adopts non-adversarial system that gives the judge a central position to act actively in assessing the facts (guilty), law, and punishment. Moreover, the judges tend to act as a semi-prosecutor. Indeed, such conditions do not give adequate freedom to the advocates in defending their clients based on justified arguments. In the development, adversarial characteristic as the characterictic of criminal justice system of common law’s country is being adopted in criminal justice system in Indonesia. However, the adversarial characteristic is not fully adopted as a seen in the draft of The Code of Criminal Procedure which is still adhered to the principle of active judges in the trial. In the adversarial system, advocates as the defendant’s legal counsel in the trial have a better role in defending the legal interests of the accused. That role is characterized by an equal position of both the public prosecutor and the advocate in the court. Prosecutor and advocate will play an active role to find the truth through evidence-based process or counter balance. The position of the public prosecutor and advocate will give a passive position to the judge or the judge only play as a referee in that trial. The justification of adversarial system is a reality that the system is a place, where any individual’s ability could be improved up to the point where he gains the power to see the reality through his own eyes, where he was able to be free from prejudice as “human condition possibility”. In other words, the adversarial system believes that the truth will appear through counter balance process which is equally and fairly between prosecutor and advocate."
Universitas Indonesia, 2013
T33133
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmat Hakim Mantova
Depok: Universitas Indonesia, 2004
S22133
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Dian Sari
"ABSTRAK Pemberantasan korupsi di Indonesia masih menghadapi banyak kendala, salah satu diantaranya adalah perlawanan dari berbagai pihak dalam bentuk obstruction of justice yang dilakukan oleh advokat. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya mempunyai hak imunitas, yakni hak untuk tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana. Namun dalam praktiknya hak imunitas tersebut seperti tidak ada gunanya selama perbuatan advokat memenuhi unsur-unsur pasal dalam suatu ketentuan pidana seperti obstruction of justice, sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi advokat dalam menjalankan tugas profesinya. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami bentuk-bentuk obstruction of justice dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, pengaturan dan penerapan hak imunitas advokat sebagai pelaku obstruction of justice, serta praktik penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku tindak pidana obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi. Dalam penelitian ini, jenis Penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif dengan menggunakan pendekatan sejarah, undang-undang dan konseptual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa bentuk obstruction of justice dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah segala perbuatan yang dimaksudkan dengan mencegah, mengganggu, menghalangi, atau menggagalkan proses peradilan. Hak imunitas advokat diatur dalam Pasal 14 hingga Pasal 16 Undang-Undang Advokat, akan tetapi dalam praktiknya advokat sebagai pelaku obstruction of justice tetap dapat dimintai pertanggungjawabannya terlepas dari hak imunitas yang dimilikinya. Serta penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi telah dilakukan di Indonesia, dapat dilihat dari kasus Manatap Ambarita, M. Hasan bin Khusi Mohammad, R. Azmi bin Moh. Yusof dan Fredrich Yunadi. 

ABSTRACT
Eradication of corruption in Indonesia still faces many obstacles, one of them is resistance from various parties in the form of obstruction of justice carried out by advocates. Advocates in carrying out their professional duties have the right to immunity, namely the right not to be prosecuted both in civil or criminal terms. However, in practice the right of immunity is useless as long as an advocate's actions fulfill the elements of the article in a criminal provision such as obstruction of justice, so that it creates legal uncertainty for advocates in carrying out their professional duties. This research is aimed at knowing and understanding forms of obstruction of justice in Indonesian laws and regulations, especially in eradicating criminal acts of corruption, regulation and the application of the rights of immunity of advocates as subject of obstruction of justice, as well as law enforcement practices against lawyers as subject of criminal acts of obstruction of justice in cases of corruption. In this study, the type of research used was normative juridical using a historical, legal and conceptual approach. The results of the study concluded that the form of obstruction of justice in the laws and regulations in Indonesia is all actions intended to prevent, interfere, obstruct, or frustrate the judicial process. The rights of the advocate's immunity are regulated in Article 14 to Article 16 of the Law on Advocates, but in practice advocates as subject of obstruction of justice can still be held accountable regardless of the right of immunity they have. And law enforcement for lawyers as obstruction of justice subject in cases of corruption has been committed in Indonesia, can be seen from the case of Manatap Ambarita, M. Hasan bin Khusi Mohammad, R. Azmi bin Moh. Yusof and Fredrich Yunadi.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52136
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Sihotang, Theodora
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S22432
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>