Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174134 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Hibnu Nugroho
"ABSTRAK
Indonesia sebagai negara yang sedang giat membangun
membutuhkan biaya yang sangat besar, tetapi di sisi lain terjadi
kebocoran dana yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi. Tindak
pidana korupsi menimbulkan kerugian yang sangat besar sehingga sejak
lama Pemerintah berupaya memeranginya. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk mencegah
terjadinya korupsi yang makin merajalela. Undang-undang itu memberikan
ancaman yang berat bagi si pelaku.
Di samping pidana pokok dan denda yang berat, undang-undang
itu juga mengancam pelaku dengan pidana tambahan berupa
pembayaran uang pengganti yang diatur pasal 34 sub c. Dari hal-hal
tersebut di atas, pengkajian permasalahan yang timbul karenanya
menjadi penting yaitu sebagai berikut.
Pertama, dalam hal bagaimanakah pelaku tindak pidana korupsi
dijatuhi pidana tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti.
Kedua, bagaimanakah fungsi dan kedudukan pidana
tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi. Ketiga, faktor-faktor apakah yang menyebabkan pidana
pembayaran uang pengganti ini tidak dapat dilaksanakan.
Keempat, bagaimanakah prospek penerapan pidana pembayaran
uang pengganti dalam tindak pidana korupsi.
Dari penelitian yang dilakukan, terhadap permasalahan tersebut di
atas ternyata diketemukan fakta-fakta sebagai berikut.
a. Pidana tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti dijatuhkan
hakim pada terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi,
besarnya uang pengganti ditentukan berdasarkan kerugian negara
yang timbul oleh karenanya. Namun, apabila selama proses
penyidikan, penuntutan dan peradilan terdakwa berhasil mengembalikannya,
hakim tidak akan menjatuhkannya. Selama tahun 1988 s.d.
1996 di Pengadilan Negeri Purwokerto hanya delapan perkara yang
dijatuhi pidana ini.
b. Pidana tambahan pembayaran uang pengganti berfungsi melindungi
dan menyelamatkan dana pembangunan nasional dari kebocoran
akibat tindak pidana korupsi. Adapun kedudukannya adalah
sebagai pidana tambahan yang bersifat fakultatif, sehingga hakim
bebas memilih untuk menjatuhkan atau tidak. c. Faktor-faktor penyebab tidak dapat dilaksanakan pidana ini adalah
adanya keragu-raguan penegak hukum untuk menerapkan dalam
kasus yang dihadapi karena kesulitan eksekusinya; belum adanya
ketentuan pelaksanaan setingkat undang-undang; adanya birokrasi
yang bertele-tele untuk dapat langsung menjerat pelaku.
d. Pembayaran uang pengganti mempunyai prospek yang sangat baik,
tetapi permasalahan essensiil yang menghadang harus dipecahkan
terlebih dahulu.
Sehifigga disarankan agar secara yuridis pembuat undang-undang
mengubah ketentuan yang ada dalam penjelasan Pasal 34 sub C undangundang
Nomor 3 Tahun 1971 serta adanya.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusia khususnya
bagi para jaksa (eksekutor) agar dapat mengantisipasi sedini mungkin
teijadinya pengalihan aset-aset pelaku tindak pidana korupsi sebelum
dilakukan penyitaan oleh negara."
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Efi Laila Kholis
Depok: Solusi, 2010
345.023 EFI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dedyng Wibiyanto Atabay
"Hukum di suatu negara adalah diperuntukkan untuk melindungi warga negaranya dari segala ketidaknyamanan dan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi warga negaranya. Pembangunan nasional yang dilaksanakan bangsa Indonesia dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh tumpah darah Indonesia dan membentuk manusia seutuhnya baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pelaksanaan pembangunan nasional menjadi terganggu dengan semakin merajalelanya korupsi yang terjadi di seluruh lapisan masyarakat dalam segala bidang yang lambat laun telah menggerogoti hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai karena korupsi telah banyak menyebabkan kerugian keuangan dan perkonomian negara.
Untuk memberikan kejeraan terhadap pelaku korupsi telah ditetapkan pidana penjara yang sangat berat meskipun kurang mempunyai dampak yang menggembirakan. Di samping pidana penjara yang berat pelaku korupsi juga dikenakan pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Namun demikian pidana tambahan pembayaran uang pengganti dalam pelaksanaannya masih jauh dari yang diharapkan untuk pengembalian kerugian kerugian keuangan dan perekonomian negara akibat tindak pidana korupsi. Hal tersebut membuat penulis tertarik untuk mengambil peramasalahan pokok dalam penelitian ini yaitu: "Bagaimana pidana tambahan pembayaran uang pengganti dapat mengembalikan kerugian keuangan dan perekonomian negara akibat tindak pidana korupsi."
Konsep pidana tambahan pembayaran uang pengganti adalah untuk membalas terpidana agar tidak menikmati hasil kejahatannya dan negara dapat memperoleh kembali kerugian yang diderita. Dalam perkembanganya kemudian uang pengganti juga muncul sebagai upaya perlindungan bagi korban kejahatan. Dalam pemidanaan agar dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang telah ditetapkan maka dalam pelaksanaannya perlu mengacu pada konsep/ide pidana tersebut (pembayaran uang pengganti).
Pengaturan pidana tambahan pembayaran uang pengganti sering terjadi kontradiktif sehingga perlu dilakukan sinkronisasi agar tidak saling overlapping. Dan untuk menjamin keberadaan asset terpidana sejak ditetapkan sebagai tersangka agar tidak dipindahtangankan kepada pihak lain serta untuk membayaran uang pengganti maka perlu dibuat payung hukum yang menjaminnya.
Sikap seorang penyidik, penuntut umum dan hakim dalam menangani perkara korupsi masih jauh dari harapan di mama masing-masing aparat penegak hukum dalam bekerja hanya terfokus pada tugas dan wewenangnya sendiri tanpa melihat tujuan pemidanaan secara keseluruhan. Akibat hal ini, pada akhirnya menyebabkan tidak dapat dieksekusinya harta benda pelaku tindak pidana korupsi. Untuk mengatasi perlu dilakukan dengan mengoptimalkan upaya penyitaan, meningkatkan profesionalisme aparat penegak hukum, dan melakukan kerja sama yang baik apakah antar aparat penegak hukum, institusi, maupun dengan negara lain.
Dan untuk mengoptimalkan pemberantasan tindak pidana korupsi dan khususnya untuk mengembalikan kerugian keuangan negara perlu dipikirkan untuk membentuk lembaga khusus untuk memburu dan mengurus aset negara dalam perkara korupsi serta segera mempersiapkan format kerja sama internasional dalam pemberantasan korupsi dan pencarian asset terpidana khususnya."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15546
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1997
S21866
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Widiyaningrum
"ABSTRAK
Penulisan tesis ini merupakan penelitian hukum normatif (yuridis-normatif) dengan metode
kualitatif yang didasarkan pada sistem library research dan field research dalam pengumpulan
data. Selanjutnya data yang terkumpul diolah dan dituangkan dalam data deskriptif analisis.
Kebijakan kriminal merupakan upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan yang dapat
ditempuh dengan cara penal dan non penal. Kebijakan kriminal juga berlaku dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi. Terkait dengan kerugian negara akibat tindak pidana
korupsi diterapkan ketentuan tentang pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang
awalnya diatur dalam ketentuan lama Pasal 34 huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
dan kemudian diubah dengan Pasal 18 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,
diharapkan mampu untuk mencegah atau menanggulangi kejahatan tindak pidana korupsi. Akan
tetapi, karena ketentuan pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang terlalu singkat
sehingga sulit dilaksanakan. Hal tersebut tergambar dalam perkara Ahmad Dadang, Kamaludin,
Endang Suhendar dan Kunkun Kurniadi yang menjadi studi kasus dalam penulisan tesis ini.
Penggunaan sistem pembebanan pembayaran uang pengganti secara tanggung renteng
merupakan persoalan pertama. Istilah tanggung renteng tidak dikenal dalam ranah pidana dan
sebenarnya masuk dalam privatrecht. Disisi lain, efek penerapan pidana yang salah dan tidak
dipergunakannya yurisprudensi sebagai bahan pertimbangan untuk memutus perkara
korupsi dengan penyertaan mengakibatkan terjadinya disparitas dalam putusan pidana tambahan
uang pengganti. Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap menjadi sulit untuk dilaksanakan dimana upaya pengembalian kerugian negara tidak
dilaksanakan dengan benar dan maksimal karena hanya mampu membayar sebagian pidana
tambahan uang pengganti yang dijatuhkan. Upaya terakhir yang dilakukan adalah melakukan
penagihan uang pengganti dengan mengoptimalkan kinerja dari Jaksa Pengacara Negara.

ABSTRACT
This thesis is a study of normative legal (juridical-normative) with a qualitative method which is
based on the system of library research and field research in data collection. Furthermore, the
data collected is processed and reflected in the descriptive data analysis. Criminal policy is to
prevent and control crime can be reached by way of penal and non-penal. Criminal policy also
applies in the eradication of corruption. Associated with the loss of the country due to corruption
of the criminal provisions apply additional compensation payment which was originally set in
the old provisions of Article 34 letter c of Law No. 3 of 1971 and subsequently amended by
Article 18 letter b of Law No. 31 of 1999, is expected able to prevent or solve crimes of
corruption. However, due to additional penal provisions for compensation is too short so
difficult to implement. This is illustrated in the case of Ahmad Dadang, Kamaludin, Endang
Suhendar and Kunkun Kurniadi that became a case study in this thesis. The use of loading
system for compensation jointly and severally a first issue. The term joint liability is not
recognized in the criminal realm and actually go inside privatrecht. On the other hand, the effect
of the application of criminal wrong and failed to use jurisprudence as consideration for deciding
cases of corruption by inclusion resulted in a disparity in the criminal verdict additional
compensation. Execution of court decisions that have permanent legal force be difficult to
enforce the return loss of the state where the effort is not implemented properly and as only
afford to pay some extra money penalty imposed replacement. The last attempt to do is perform
billing reimbursed by optimizing the performance of the State Attorney."
2013
T35594
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penjatuhan pidana dapat dilakukan karena adanya suatu
tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau lebih
yang sudah diputus oleh putusan pengadilan yang sudah
berkekuatan hukum tetap. Salah satu dari tindak pidana
tersebut yaitu tindak pidana korupsi yang diatur di dalam
Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana
korupsi merupakan tindak pidana khusus yang mempunyai
dampak yang besar pada keuangan negara. Keuangan negara
dapat dirugikan dengan adanya suatu tindak pidana korupsi.
Dengan begitu tindak pidana korupsi dapat dianggap sebagai
kejahatan yang serius. Untuk itulah maka penghukuman yang
berat dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi.
Salah satu jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku
tindak pidana korupsi yaitu hukuman pembayaran uang
pengganti. Dengan adanya hukuman pembayaran uang pengganti,
maka diharapkan jumlah kerugian negara yang terjadi akibat
adanya suatu tindak pidana korupsi dapat dikembalikan lagi
oleh pelaku tindak pidana korupsi. Dengan begitu, maka
posisi keuangan negara akan kembali lagi ke keadaan semula
seperti sebelum terjadinya tindak pidana korupsi tersebut.
Seperti kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
1344K/PID/2005, Abdullah Puteh dijatuhkan pidana yang salah
satunya yaitu berupa hukuman pembayaran uang pengganti.
Abdullah Puteh dijatuhkan pidana karena telah dianggap
bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam pembelian
helicopter model MI-2 sehingga merugikan keuangan negara.
Dengan adanya penjatuhan pidana berupa hukuman pembayaran
uang pengganti terhadap Abdullah Puteh, maka kerugian
negara akibat perbuatan Abdullah Puteh tersebut dapat
dikembalikan sepenuhnya. Tata cara eksekusi hukuman
pembayaran uang pengganti pun harus diberi perhatian yang
lebih, sebab dengan adanya proses dan tata cara yang jelas,
maka akan mengurangi kebingungan aparat penegak hukum dalam
melaksanakan eksekusi hukuman pembayaran uang pengganti."
Universitas Indonesia, 2007
S22289
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rafi
"Pidana Uang Pengganti merupakan pidana tambahan yang terdapat dalam tindak pidana korupsi dimana mensyaratkan adanya pidana alternatif berupa pidana badan yakni pidana penjara pengganti. Dalam praktek yang terjadi di lapangan uang pengganti di bayarkan tidak diperhitungkan sebagai pengurang dari pidana penjara pengganti yang jelas jelas merupakan alternatif dari pidana uang pengganti. Ditinjau dari sudut keadilan hal ini sangat memberikan ketidakadilan bagi terpidana yang membayar uang pengganti sehingga akan menimbulkan respon bagi terpidana untuk enggan membayar uang pengganti. Hal ini tentu berseberangan dengan orientasi dari penindakan korupsi yakni untuk pengembalian aset yang hilang.
Penelitian merupakan penelitian yuridis normatif, dimana metode yang dilakukan oleh penulis adalah oleh kepustakaan dipadukan dengan peraturan terkait pelaksanaan putusan pengadilan. Selain itu penulis juga melakukan wawancara kepada prkatisi hukum terkait untuk melihat bagaimana penerapannya di lapangan.
Sehingga disini penulis mendapatkan sebuah kesimpulan dimana pengurangan penjara pengganti adalah sebuah keniscayaan agar membuat keadilan dalam pelaksanaan pidana uang pengganti menjadi lebih adil dan mengakomodir kepentingan terpidana, selain itu demi tujuan yang lebih luas agar menjadi stimulan bagi terpidana agar mengembalikan aset negara yang sudah diambilnya. Namun tata cara penghitungan mengenai pengurangan penjara pengganti tersebut belum diatur oleh aturan manapun sehingga hal tersebutlah yang menjadi output dari penulisan skripsi ini.

Criminal Money Substitute an additional penalty contained in the corruption which requires the existence of an alternative form of criminal punishment of that is imprisonment replacement In practice that occurred in the field of money substitutes in pay is not counted as a reduction of imprisonment obvious successor is definitely an alternative of criminal restitution. Viewed from this angle give justice to convict injustice that pay compensation that would cause a response to convict for reluctant to pay compensation. This is certainly contrary to the orientation of the corruption prosecution for returns lost assets.
This research is normative juridical approach, wherein the method performed by the authors is the combined library with relevant regulations execution of court decisions. Moreover, I also conducted interviews to prkatisi relevant law to see how it is applied in the field.
So here I get a conclusion that a reduction in replacement prison is a necessity in order to make criminal justice in the implementation of restitution to be more fair and accommodate the interests of the convicted person, other than that for the sake of the broader objectives in order to be a stimulant for the convict in order to restore the state assets that have been taken. But the method of calculating the reduction of the prison is not regulated by the replacement of any rule so that's what's being output from the writing of this thesis."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S58116
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Cakra Alam Pratama Razzad
"ABSTRAK
Meluasnya praktik korupsi telah mengakibatkan kerugian yang sangat besar
terhadap pembangunan dan perekonomian suatu negara. Sedemikian besarnya
uang Negara yang dinikmati oleh pelaku tindak pidana korupsi telah
mengakibatkan dirampasnya hak-hak ekonomi dan masa depan rakyat Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 bertujuan untuk
menghukum pelaku dengan hukuman penjara yang berat dan mengembalikan
kerugian negara yang terjadi akibat tindak pidana korupsi. Pasal 18 undangundang pemberantasan tindak pidana korupsi mengatur pengembalian kerugian negara melalui penjatuhan sanksi pidana tambahan uang pengganti. Banyak terpidana tidak membayar uang pengganti sehingga menjadi piutang Kejaksaan Agung sebesar Rp13,146 triliun. Tulisan dengan judul ?Mengoptimalkan Pengembalian Kerugian Negara melalui Penjatuhan Sanksi Pidana Tambahan Uang Pengganti dalam Tindak Pidana Korupsi? menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Tulisan tersebut menjelaskan penegak hukum mempunyai andil dalam mengoptimalkan pengembalian kerugian negara. Mekanisme pidana tambahan dilakukan dengan membayar uang pengganti dalam waktu 1 (satu) bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap ke kas
negara, jika terpidana tidak membayar maka harta bendanya dapat disita oleh
jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Apabila harta
bendanya tidak mencukupi, maka dijatuhi pidana penjara yang telah dinyatakan
dalam putusan pengadilan. Penerapan pidana tambahan uang pengganti masih
memiliki banyak kendala. Dalam praktik, terpidana lebih memilih pidana penjara
pengganti yang rendah dibandingkan besarnya uang pengganti yang dijatuhkan, maka untuk mengoptimalkan pengembalian kerugian negara penegak hukum dapat memperberat pidana penjara pengganti atau dengan hanya menjatuhkan uang pengganti tanpa pidana kurungan pengganti sebagai cara untuk memaksa terdakwa mengembalikan uang negara

ABSTRACT
Widespread corruption has resulted in huge losses to the development and
economy of a country. The amount of money the State enjoyed by perpetrators of corruption have resulted take away from economic rights and the future of the people of Indonesia. Law No. 31 of 1999 which was then revised and amended by Law No. 20 of 2001 aims to punish with heavy prison and restore the losses that occur as a result of corruption. Article 18 legislation combating corruption arrange the return loss to the state through the imposition of criminal sanctions additional money substitutes. Many of the convict to pay compensation becomes receivable Attorney General of Rp13,146 trillion. Article entitled "Optimizing Returns Losses State through the imposition of criminal sanctions Extra Money Substitutes in Corruption" normative juridical research methods are qualitative. The article explained the law enforcers have a contribution to optimizing return on state losses. Additional criminal mechanism is done by paying replacement within one (1) month after the verdict had permanent legal power to the state treasury, if the convicted person does not pay, his property may be seized by the prosecutor and auctioned to cover the compensation. If possessions are not sufficient, then
sentenced to prison in the court judgment. Application of additional criminal
restitution money still has many obstacles. In practice, the convict would prefer
imprisonment substitute lower than the amount of compensation is imposed, it is to optimize the return loss of state law enforcement can aggravate imprisonment for a replacement or by simply dropping money substitutes without imprisonment for a replacement as a way to force the defendants reimburse the state"
2016
T47090
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>