Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 60184 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siregar, Ruben Jeffry M.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
S22085
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, Jan Hider Osland
Depok: Universitas Indonesia, 2007
S22416
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Novel
"ABSTRAK
Dalam menjalankan tugasnya, aparatur penegak hukum tidak terlepas dari
kemungkinan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin
perlindungan terhadap hak asasi seorang tersangka atau terdakwa dalam proses
peradilan pidana adalah melalui lembaga hukum yang dibentuk sebagai
fungsionalisasi dan re-evaluasi terhadap sub-sistem peradilan pidana yang telah
ada yang bertujuan sebagai lembaga pengawasan terhadap upaya paksa dari
penegak hukum yang diberikan kewenangan oleh undang-undang dalam hal
penegakan hukum (law enforcement). Dengan arah kebijakan yang didasarkan
dalam rangka pembaharuan hukum pidana yang menuju pada proses hukum yang
adil (due process o f law), dibentuk lembaga Hakim Komisaris sebagai upaya
dalam pengawasan upaya paksa yang dilakukan penegak hukum dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya. Upaya paksa dalam penegakan hukum
pada sistem peradilan pidana {Criminal Justice System) terakumulasi pada subsistem
peradilan pidana dalam tahapan penyidikan dan penuntutan. Pada tahapan
penyidikan dan penuntutan ini, Penyidik dan Penuntut Umum memiliki
kewenangan untuk melakukan Penghentian Penyidikan dan atau Penghentian
Penuntutan dengan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan dalam KUHAP,
tentunya dibutuhkan tindakan pengawasan terhadap kewenangan aparatur penegak
hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak melakukan
penyelewengan ataupun penyalahgunaan wewenang. Penerapan lembaga Hakim
Komisaris merupakan mekanisme hukum yang diharapkan menjadi tahap
minimalisasi terjadinya pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam
sistem peradilan pidana terhadap upaya paksa yang tidak sesuai dengan prosedur
yang telah ditentukan berdasarkan sistem litigasi. Hakim Komisaris secara tidak
langsung melakukan pengawasan atas pelaksanaan upaya paksa yang dilakukan
oleh Penyidik dalam rangka penyidikan maupun Penuntut Umum dalam rangka
penuntutan, mengingat tindakan upaya paksa pada dasarnya melekat pada instansi
yang bersangkutan. Melalui lembaga ini juga dimungkinkan adanya pengawasan
antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam hal Penghentian Penyidikan dan
Penghentian Penuntutan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hakim Komisaris
adalah lembaga yang merupakan salah satu model pengawasan secara horizontal
yang diakomodir oleh Hukum Acara Pidana dalam rangka pembaharuan sistem
peradilan pidana.

ABSTRACT
In its running tasks, law enforcement apparatus is not apart from the
possibility to perform acts which are conflict with the legislation and regulations.
One effort to ensure the protection of human rights o f a suspect or defendant in
the criminal justice process through the institution o f law is establishing the
institution namely Judicial Commissioner as the function and re-evaluation
subsystem o f criminal justice system that are aimed as a control force to the
efforts o f law enforcement has been given by law. With the policy directions that
are based in the framework o f criminal law to the fair process (due process o f
lav/), Judicial Commissioner is established as a supervision to the force efforts
made in the law enforcement. At the stage o f investigation and prosecution, the
investigator and the general prosecutor have the authority to make termination o f
investigation and prosecution with the terms and conditions stipulated in the
criminal justice system. It is needed the supervision to them in order to carry
authority, not to misuse or abuse authority. With the Judicial Commissioner, it is
hopefully expected to minimize the occurrance o f violations o f human rights in
the criminal justice system toward the force efforts that does not comply with the
procedure who have been determined based on the litigation system. Judicial
Commissioner indirectly supervise the implementation o f the force action which
is done by the investigators in the investigation and by the general prosecutors in
the prosecution effort. Through this institution, it is also possible for the
supervision o f police and prosecutors in the case o f termination of investigation
and termination o f the prosecution. So that it can be said that the Judicial
Commissioner is a horizontally control model in the framework of criminal justice
system."
2009
T37376
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nilma Suryani
Depok: Rajawali Press, 2022
345 NIL p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Agustina Pandia
"ABSTRAK
Sebagai seorang individu yang belum matang, anak mempunyai
kecenderungan untuk meniru apa yang mereka terima dari luar tanpa disaring
lebih dahulu. Anak yang kurang/tidak memperoleh kasih
sayang,asuhan,bimbingan dalam pengembangan sikap perilaku serta pengawasan
dari orang tua mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat yang kurang
sehat, melakukan perbuatan menyimpang bahkan perbuatan melanggar hukum
dan adakalanya terpaksa diajukan ke muka pengadilan karena telah melakukan
tindak pidana. Salah satu kejahatan yang Hilalmigiti oleh anak adalah kekerasan seksual,
di mana yang menjadi korban dari kekerasan seksual ini adalah anak juga. Menyikapi
hal tersebut penulis tertarik untuk mengambil permasalahan mengenai
“Pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan atas tindak pidana kekerasan
seksual yang dilakukan oleh anak terhadap anak”. Lingkup permasalahan yang
penulis teliti adalah : 1)faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam
penjatuhan putusan, 2)hambatan-hambatan yang dialami dan upaya mengatasinya,
3)serta bagaimana bentuk sanksi dan apakah hakim telah memberikan
perlindungan terhadap anak.Di Indonesia telah berlaku UU No.3/1997 tentang
Pengadilan Anak dan UU No.23/2002 tentang Perlindungan AnakMelalui dua
ketentuan inilah hakim antara lain mendasarkan penjatuhan putusan dalam perkara
anak,selain tentunya dengan ketentuan lainnya. Hakim harus mempertimbangkan
kepentingan terbaik bagi anak, dimana kekerasan seksual telah mengakibatkan
trauma dan rusaknya masa depan korban,namun dari sisi pelaku masa depan dan
hak-haknya juga harus diperhatikan.Disinilah ungkapan “pengadilan sebagai
benteng terakhir keadilan” harus diwujudkan oleh hakim sebagai harapan dari
masyarakat untuk memberikan keadilan. Penulis melakukan penelitian yuridis
normatif yang disajikan secara kualitatif, ternyata didapati kesimpulan bahwa
hakim dalam menyikapi ketentuan pidana minimum khusus dalam UU
Perlindungan Anak adalah kembali menggunakan aturan umum yakni KUHP,oleh
karena hakim menganggap sanksi pidana minimum 3 tahun dalam UU
Perlindungan Anak tidak mewakili kepentingan terbaik bagi anak, pedoman
pemidanaan perlu segera diatur secara tegas dan jelas dalam KUHP yang akan
datang, dan bentuk sanksi yang dijatuhkan adalah dapat berupa pidana penjara
atau tindakan (kasus per kasus).

ABSTRACT
As an individual who has not been mature,children have a tendency to
imitate what they receive from outside without filtered previously. Children who
are less / not get affection, care, guidancein the development of behavior and
attitude control of the parentseasy trail in the flow of the association community
the less healthy, to act deviate even act against the law and sometimes forced to
face a court asked to do because it was a crime. One of the crimes committed by
children is sexual violence, in which victims of sexual violence is also a child.
That the authors are interested to take the problems on "The judges decision is
throwing up in the crime o f sexual violence committed by children against
children". The scope of the problems that the author is thorough: 1) factors into
consideration in the judge dropping decision, 2) barriers experienced and
overcome the effort, 3) and how the form of sanctions and whether the judge has
given the protection of children. Indonesia has been in effect on the Law
No.3/1997 on Children's Court and Law No.23/2002 on Child Protection.
Through the provision of two judges, among others, this is the base throwing
decision in the matter of children, in addition of course to the other provisions.
Judges must consider the best interests of the children, where sexual violence has
resulted in trauma and damage to the future victims, but from the side of the
future and their rights also must be considered. Is the expression "the court as the
last fortress of justice" must be transformed by the judge as expectations of the
people to give justice. Author juridical non-native research presented in
qualitative, conclusion was found that the judge in the criminal provisions in the
minimum special Child Protection Act is again using the general rule that the
Penal Code, because the judge considered criminal sanctions minimum 3 years in
the Child Protection Law does not represent the best interests of the children,
sentencing guidelines need to be set explicitly and clearly in the Penal Code
which will come, and form of sanctions that can be a form of imprisonment or
criminal action (cases per case)."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26088
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mochamad Novel
"Dalam menjalankan tugasnya, aparatur penegak hukum tidak terlepas dari kemungkinan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi seorang tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana adalah melalui lembaga hukum yang dibentuk sebagai fungsionalisasi dan re-evaluasi terhadap sub-sistem peradilan pidana yang telah ada yang bertujuan sebagai lembaga pengawasan terhadap upaya paksa dari penegak hukum yang diberikan kewenangan oleh undang-undang dalam hal penegakan hukum (law enforcement). Dengan arah kebijakan yang didasarkan dalam rangka pembaharuan hukum pidana yang menuju pada proses hukum yang adil (due process of law), dibentuk lembaga Hakim Komisaris sebagai upaya dalam pengawasan upaya paksa yang dilakukan penegak hukum dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Upaya paksa dalam penegakan hukum pada sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) terakumulasi pada sub-sistem peradilan pidana dalam tahapan penyidikan dan penuntutan. Pada tahapan penyidikan dan penuntutan ini, Penyidik dan Penuntut Umum memiliki kewenangan untuk melakukan Penghentian Penyidikan dan atau Penghentian Penuntutan dengan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan dalam KUHAP, tentunya dibutuhkan tindakan pengawasan terhadap kewenangan aparatur penegak hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak melakukan penyelewengan ataupun penyalahgunaan wewenang. Penerapan lembaga Hakim Komisaris merupakan mekanisme hukum yang diharapkan menjadi tahap minimalisasi terjadinya pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam sistem peradilan pidana terhadap upaya paksa yang tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan berdasarkan sistem litigasi. Hakim Komisaris secara tidak langsung melakukan pengawasan atas pelaksanaan upaya paksa yang dilakukan oleh Penyidik dalam rangka penyidikan maupun Penuntut Umum dalam rangka penuntutan, mengingat tindakan upaya paksa pada dasarnya melekat pada instansi yang bersangkutan. Melalui lembaga ini juga dimungkinkan adanya pengawasan antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam hal Penghentian Penyidikan dan Penghentian Penuntutan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hakim Komisaris adalah lembaga yang merupakan salah satu model pengawasan secara horizontal yang diakomodir oleh Hukum Acara Pidana dalam rangka pembaharuan sistem peradilan pidana.

In its running tasks, law enforcement apparatus is not apart from the possibility to perform acts which are conflict with the legislation and regulations. One effort to ensure the protection of human rights of a suspect or defendant in the criminal justice process through the institution of law is establishing the institution namely Judicial Commissioner as the function and re-evaluation subsystem of criminal justice System that are aimed as a control force to the efforts of law enforcement has been given by law. With the policy directions that are based i n the framework of criminal law to the fair process (due process of law), Judicial Commissioner is established as a supervision to the force efforts made in the law enforcement. At the stage of investigation and prosecution, the investigator and the general prosecutor have the authority to make termination of investigation and prosecution with the terms and conditions stipulated in the criminal justice system. It is needed the supervision to them in order to carry authority, not to misuse or abuse authority. With the Judicial Commissioner, it is hopefully expected to minim ize the occurrance of violations of human rights in the criminal justice system toward the force efforts that does not comply with the procedure who have been determined based on the litigation system. Judicial Commissioner indirectly supervise the implementation of the force action which is done by the investigators in the investigation and by the general prosecutors in the prosecution effort. Through this institution, it is also possible for the supervision of police and prosecutors in the case of termination of investigation and termination of the prosecution. So that it can be said that the Judicial Commissioner is a horizontally control model in the framework of criminal justice system."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25929
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ali Aranoval
"Pasal-pasal penghinaan banyak tersebar dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Objek atau sasaran Penghinaan terdiri atas terhadap pribadi perseorangan, terhadap kelompok atau golongan, terhadap institusi atau lembaga, terhadap suatu agama, terhadap para pejabat yang meliputi; pegawai negeri, kepala negara atau wakilnya dan pejabat perwakilan asing dan terakhir terhadap orang yang sudah meninggal dunia. Yang menarik adalah penggunaan pasal penghinaan yang ditujukan kepada orang yang melakukan penghinaan terhadap Kepala Negara atau Presiden, hal tersebut diatur dalam titel II Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Kejahatan Melanggar Martabat Presiden dan Martabat Wakil Presiden. Title II ini dimulai dari pasal 134, pasal 136 bis, dan pasal 137 hingga pasal 139. Orang yang melakukan penghinaan terhadap Kepala Negara sering dihukum dengan pasal 134. Pemahaman terhadap pasal ini pertama adalah penghinaan itu harus dilakukan dengan sengaja (opzettelijk) dimana pelaku harus menghendaki perbuatan itu terjadi. Kedua, penghinaan dilakukan dengan segala macam cara termasuk pula cara penghinaan seperti yang diatur dalam title XVI Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana mulai pasal 310 sampai pasal 321. Ketiga, harus diketahui bahwa Presiden atau Wakil Presiden hadir atau tidak dengan kata lain yang dihina hadir atau tidak ditempat itu. Ketiga hal ini penting pada saat pembuktian terhadap unsur-unsur pasal dalam sidang pengadilan. Tidak kalah pentingnya adalah pembedaan antara pasal 134 KUHP dengan pasal 136 bis KUHP. Pemahaman pasal 136 bis KUHP yang terpenting adalah bahwa unsur ini sangat berkaitan erat dengan pasal 134 KUHP, dalam hal kesempurnaan pembuktian. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan register nomor 1380/Pid.B/2002, telah menjatuhkan hukuman selama 5 bulan penjara kepada terdakwa Kiastomo. Jaksa Penuntut Umum mendakwa dengan dakwaan primer pasal 134 KUHP subsider pasal 137 KUHP. Majelis Hakim dalam amarnya menyatakan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan telah memenuhi unsur pasal 134 KUHP. Putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim sama dengan dakwaan primer dari Jaksa Penuntut Umum, namun jika diperhatikan ada kekurangan selama proses pembuktiannya, ini menunjukan kurangnya pemahaman Majelis Hakim terhadap unsur pasal tersebut. Hal yang sama terjadi dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor register 484/Pid.B/2003, dimana terdakwa M. Iqbal Siregar juga dinyatakan bersalah melanggar pasal 134 KUHP, Terdakwa Iqbal Siregar dihukum 5 bulan penjara. Berdasarkan hal tersebut diatas Penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukum dengan Judul “Pembuktian Tindak Pidana Penghinaan Terhadap Kepala Negara (Studi Kasus Perkara Nomor Register 1380/Pid.B/2002/PN Jakarta Selatan)”. Akibat kurangnya pemahaman terhadap unsur-unsur pasal tersebut maka dalam prose pembuktiannya majelis hakim bisa dikatakan telah menghukum orang yang belum tentu bersalah, hal ini dapat menyebabkan turunnya citra serta wibawa lembaga peradilan dalam rangka penegakan hukum di Indonesia. Untuk itu aparatur penegak hukum harus memperbaiki kekeliruan serta kekhilafan yang terjadi selama ini dengan meningkatkan pemahaman terhadap pasal-pasal Kejahatan Melanggar Martabat Presiden Dan Martabat Wakil Presiden sehingga kemungkinan salah melakukan penerapan hukum dalam proses peradilan tidak terjadi lagi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S22460
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ade Rizky Fachreza
"Tindak pidana penghinaan seringkali diartikan sebagai tindakan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Namun dalam perkembangannya sudah banyak tindak pidana penghinaan yang ditujukan kepada korporasi bahkan hingga suatu provinsi ataupun kotamadya. Dari hal tersebut, penulis melakukan penelitian untuk melihat apakah memang suatu korporasi dapat dijadikan korban dalam tindak pidana penghinaan. Dimana apabila melihat kepada yurisprudensi, doktrin, praktisi dan penjelasan mengenai tindak pidana penghinaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2015 dapatlah dinyatakan bahwa berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia saat ini belumlah mengakomodir korporasi sebagai korban dalam tindak pidana penghinaan. Kemudian untuk penghinaan terhadap korporasi terdapat perbedaan dimana dalam beberapa kasus penghinaan terhadap korporasi, perbedaannya yaitu penghinaan tersebut mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan kerugian terhadap korporasi tersebut.

The crime of insult is often defined as the Act of attacking the honour or good name of the person. However, in the process already of many criminal acts of contempt directed at the Corporation even to a province or municipality. From this, the authors conducted a study to see if it is indeed a corporation can be a victim in the crime of insult. Which when look at the jurisprudence, doctrine, practitioner and a description of the criminal acts of humiliation in the design of the book of the law of criminal law it can be stated that by 2015 the rules prevailing in Indonesia is currently not yet accommodate the Corporation as the victim in the criminal acts of humiliation. Then for the insult to the Corporation where there may be differences in some cases contempt against corporations, the difference that is the humiliation resulted in or could potentially result in loss against the Corporation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S59716
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>