Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134576 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mia Sari
"Penerapan syariat Islam di Aceh, bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Aceh. Syariat Islam sudah lama melekat di masyarakat Aceh bahkan sebelum Belanda menjajah Indonesia, sehingga syariat Islam merupakan identitas bagi masyarakat Aceh. Hal inilah yang menyebabkan syariat Islam diterapkan secara legal-formal dalam bentuk “otonomi khusus”. Otonomi khusus diatur dalam UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Propinsi daerah Istimewa Aceh menjadi Nanggroe Aceh Darussalam. Sebelum diaturnya UU No.18 Tahun 2001, terdapat peraturan lain yang mengatur mengenai pemberlakuan syariat Islam secara legal-formal yaitu UU No.44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Penyelenggaraan syariat Islam di NAD, dituangkan dalam bentuk Qanun atau PERDA yang merupakan peraturan pelaksana dari dua peraturan di atas. Salah satu bidang yang dijelaskan lebih lanjut dalam Qanun sehubungan penerapan syariat Islam di NAD adalah bidang Jinayah (hukum pidana), diantaranya mengatur hukuman bagi pelaku kejahatan minum minuman keras, perjudian dan berdua-duaan/mesum. Hukuman yang diterapkan bagi pelaku kejahatan tersebut adalah “hukuman cambuk”. Hukuman cambuk merupakan salah satu bentuk hukuman yang dikenal dalam hukum Islam dan tidak dikenal dalam hukum pidana nasional. Oleh karena itu, penerapannya di NAD merupakan bentuk dari lex Specialis derogat lex Generalis dari KUHP. Dikarenakan berbeda dalam penerapan bentuk hukuman untuk kejahatan yang sama seperti kejahatan perjudian, maka berbeda pula dalam menegakkan hukum acaranya. Dalam hukum pidana nasional untuk kejahatan perjudian menggunakan hukum acara pidana yang diatur dalam UU No.8 Tahun 1981, sedangkan kejahatan perjudian dalam penerapan syariat Islam menggunakan aturan hukum acara khusus yang diatur dalam PERGUB No.10 Tahun 2005 tentang Petunjuk Pelaksana Teknis Hukuman Cambuk. Hal inilah yang menjadi alasan penulisan, bagaimana kedudukan hukuman cambuk di dalam hukum pidana nasional serta peran KUHAP sebagai aturan umum hukum acara sehubungan penerapan hukuman cambuk sebagai bagian penerapan syariat Islam di NAD dan mengetahui hukuman cambuk di dalam hukum pidana Islam serta tata caranya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S22177
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Feroza
"Pelaksanaan hukuman cambuk merupakan implementasi disahkannya sistem pemerintahan syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Hukuman cambuk dipandang sebagai hukuman yang sebanding untuk menjalankan roda pemerintahan syariat Islam, karena bernuansa islami dan sesuai dengan aturan agama Islam. Hukuman cambuk dijatuhkan bagi tindak pidana tertentu yang diatur dalam Qanun Nomor 12 tentang Minuman Khamar (minuman keras) dan sejenisnya, Qanun Nomor 13 tentang Maisir (perjudian) dan Qanun Nomor 14 tentang Khalwat (mesum). Tesis ini dilatarbelakangi oleh adanya pendapat pro dan kontra terhadap pelaksanaan hukuman cambuk. Hukuman cambuk dianggap melanggar Hak Asasi Manusia serta merupakan hukuman yang kejam.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang menggambarkan suatu keadaan di dalam masyarakat dan didukung oleh data-data di lapangan serta studi kepustakaan.
Penelitian ini berpegang pada 2 teori inti, yaitu teori detterence (teori yang menekankan pada tujuan untuk mempengaruhi atau mencegah orang lain agar tidak melakukan kejahatan) dan teori stimulus and respond (teori yang mengembangkan proses pengekalan untuk membentuk perilaku).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukuman cambuk telah membawa perubahan pada sistem peradilan pidana. Hal ini ditunjukkan dengan adanya lembaga baru yaitu Dinas Syariah yang bertugas sebagai lembaga pengawas dan eksekutor hukuman cambuk. Hukuman cambuk menjadi hukuman alternatif prioritas dengan tetap mempertahankan hukuman penjara bagi kejahatan yang telah diatur di dalam KUHP. Hukuman cambuk hanya diberikan bagi masyarakat yang beragama Islam, sedangkan masyarakat di luar Islam tetap berpegang pada ketentuan KUHP.
Pelaksanaan hukuman cambuk menunjukkan bahwa hukuman ini dapat meminimalisasi pelanggaran HAM dan jauh dari kesan kejam dibandingkan pidana lainnya. Hukuman cambuk bertujuan memberikan penjeraan melalui efek malu karena pelaksanaannya dilakukan di depan umum. Selain menunjukkan transparansi dalam penegakan hukum, hukuman ini juga bersifat tunai dan langsung. Pembuat peraturan harus dapat memberikan kepastian hukum untuk mendukung pelaksanaan qanun sehingga tidak menimbulkan dualisme hukum di Nanggroe Aceh Darussalam.

The implementation of caning punishment was establishing the system of Islamic Law in the Government system of Nanggroe Aceh Darussalam. Caning punishment is declare as a worthy punishment due to the Islamic flair and accordance to the Islamic laws it self. It was sentenced to some certain crime which is order to Qanun Number 12 about Khamar (alcoholic), Qanun Number 13 about Maisir (Gambling) and Qanun Number 14 about Khalwat (immoral acts). The background of this research comes from community's pro and contra statement's about implementation of caning punishment, which is indulged as human rights violations and as a cruel punishment.
The research is using qualitative method with descriptive analytical approach which is describe a society condition and supported by field data and library research.
The research complied with two main theories, the theory of deterrence (a theory that stresses the purpose to influence or deter someone from committing crime) and the stimulus and respond theory (a theory that develop the process of deterrent in forming behavior).
The result of this research shows that caning punishment had given a change to the criminal justice system. It was established by the new institution named "Dinas Syariah", who acted both as a watch institution and the executor for caning punishment. Furthermore this punishment becomes a priority alternative within stick to prison as priority punishment in KUHP. The caning punishment was confected to Islamic criminals only.
By the caning punishment, the human right violation could be minimize and categorize as an un-cruel punishment. The caning punishment is aimed to teach offenders a lesson by embarrassing them in public as the punishment carried out by displaying to the public. Hence to show transparency in upholding law, this punishment also deemed instant and immediately. Therefore the lawmaker should give an assurance to the law of the Qanun implementation, so it won't make any law dualism.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20774
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Marina Mary
"Aceh, yang terletak di ujung utara Sumatera, dulunya dikenal sebagai Serambi Mekkah dan merupakan provinsi yang sangat unik dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Saat ini, Aceh masih merupakan salah satu provinsi yang paling konservatif dan religius di Indonesia. Peraturan perundang-undangan nasional, melalui Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, memungkinkan Aceh, sebagai daerah otonom khusus, untuk menegakkan hukum syariah, yang berasal dari ajaran agama Islam, khususnya Al-Quran dan Hadis. Pasal 125 Undang-Undang Pemerintahan Aceh menetapkan bahwa  pelaksanaan hukum syariah di Aceh harus dilakukan melalui pemberlakuan Qanun. Qanun adalah peraturan Islam, setara dengan Peraturan Daerah (Perda) namun isi Qanun harus didasarkan pada Islam dan tidak bertentangan dengan hukum syariah. Qanun terakhir, yang merupakan konsolidasi dari Qanun-qanun sebelumnya adalah Hukum Pidana Islam, yang diperkenalkan melalui Qanun Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat (Qanun Jinayat). Peraturan tersebut secara resmi disahkan pada bulan Oktober dan mulai berlaku pada 23 Oktober 2015 dan sejak diperkenalkan di Aceh, implementasinya telah melahirkan kontroversi di masyarakat, baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional, terutama karena adanya legitimasi hukuman badan yaitu hukuman cambuk. Di sisi lain, sebagai anggota PBB, Indonesia  telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Atau Hukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, Konvensi Hak Sipil dan Politik, dan Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan, serta Konvensi Hak-hak Anak. Lebih lanjut lagi, dalam sistem hukum positif di Indonesia, KUHP tidak mengenal jenis hukuman cambuk.

Aceh distincts itself as a very unique province compared to other provinces in Indonesia. Today, Aceh is still among Indonesia’s most religiously conservative and observant provinces.  The national legislation, through Law Number 11 of 2006 concerning The Government of Aceh, allows Aceh, as a special autonomous region to enforce the syariah (Islamic) law, which derives from the religious precept of Islam, particularly the Quran and the Hadith.  Article 125 of the Law of the Government of Aceh stipulates that the implementation of the syariah law in Aceh must be done through the enactment of a Qanun. Qanun is an Islamic bylaw, equivalent to the  Regional Regulation (Perda) however the content of the Qanun must be based on Islam and shall not contradict with the syariah law. The latest Qanun, which is the consolidation of the three previous Qanun was the Islamic Criminal Law, introduced through Qanun Number 6 of 2014 concerning The Jinayat Law (Qanun Jinayat). The bylaw was formally enacted in October and entered into effect in 23 October 2015 and since its introduction in Aceh, its implementation has spawned controversy in the community, both at the local (Aceh) and national level including capturing global attention, particularly due to the legitimation of corporal punishment in Indonesia, namely caning. In addition to such, as a UN Member, Indonesia has ratified the Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman and Degrading Treatment or Punishment, the Covenant on Civil and Political Rights, the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women and the Convention on the Rights of the Child. On the other hand, Indonesia's criminal system (KUHP) does not recognize corporal punishment.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T55002
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dede Hendra MR
"Pemerintah Aceh sesuai dengan amanat UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, membuat qanun-qanun di provinsi NAD dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus. Dengan diperbaharui oleh Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengamanatkan pemberlakuan syariat Islam di seluruh wilayah provinsi Aceh. Pemberlakukan syariat Islam secara konstitusional bidang jinayah di provinsi Aceh secara resmi diberlakukan pada tahun 2002 dengan menerbitkan Qanun No. 12 tahun 2002 tentang Minuman Khamar dan sejenisnya, Qanun No. 13 tahun 2002 tentang maisir, Qanun No. 14 tahun 2002 tentang khalwat. Qanun Jinayat mulai memberlakukan ancaman hukuman dalam bentuk hukuman cambuk dan denda.
Petunjuk teknis pelaksanaan hukum cambuk bagi pelanggar syariat Islam diatur dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 10 Tahun 2005. Hukuman cambuk yang dijatuhkan terhadap pelanggar qanun, hanya berlaku terhadap pelanggar qanun yang beragama Islam. Tesis ini membahas tentang Eksistensi Penerapan Pidana Cambuk Terhadap Pelanggar Qanun Syariat Islam di Provinsi Aceh. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui Eksistensi Penerapan Pidana Cambuk terhadap Pelanggar Qanun Syariat Islam di Provinsi Aceh. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif.
Hasil penelitian berupa pengaturan tindak pidana syariat Islam di Provinsi Aceh yaitu di Bidang Maisir, Bidang Khamar, Bidang Khalwat, Bidang Pelaksanaan Syari?at Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi?ar Islam, dan Bidang Pengelolaan Zakat. Selanjutnya dibahas tentang eksistensi penerapan qanun syariat Islam terhadap pelanggar tindak pidana qanun syari?at Islam di Provinsi Aceh mulai dari lembaga pembuat qanun jinayah yaitu eksekutif dan legislatif selanjutnya lembaga pelaksana qanun yaitu Dinas Syariat Islam, WH, Kepolisian, Kejaksaan serta Mahkamah Syar?iyah serta lembaga pendukung pelaksana syariat Islam lainnya yaitu MPU, MAA serta Lembaga Keagamaan dan Pendidikan. Kemudian juga dibahas tentang kendala dan hambatan dalam pelaksanaan hukuman cambuk serta kebijakan pemerintah Aceh dalam menyelesaikan persoalan tersebut yaitu masih dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara (KUHAP) dalam menjalankan qanun jinayah.
Disarankan agar segera dapat menerapkan hukum acara jinayah agar tidak terjadinya kekosongan pelaksanaan hukum jinayah. Di samping itu juga agar dapat diterapkan qanun jinayah terhadap perbuatan-perbuatan yang berdampak lebih besar terhadap masyarakat dan Negara seperti korupsi, penyuapan dan lainsebagainya serta dengan Pengembangan sumber-sumber hukum khususnya agama Islam di provinsi Aceh dengan membentuk lembaga pengkajian hukum Islam.

Aceh Government, in accordance with the mandate of Law No. 18 of 2001 about Special Autonomy for the Province of Daerah Istimewa Aceh as the province of Nanggroe Aceh Darussalam, contrived Qanuns in NAD province area in order to implement the special autonomy. Renewed by Act No. 11 of 2006 about government in Aceh, Aceh Government mandates the imposition of Islamic law across the province. The enforcement of Islamic Law constitutionally in jinayah sector in the province was officially introduced in 2002 by publishing Qanun. 12 of 2002 on Drinks Khamar and the like, the Qanun. 13 of 2002 on gambling, Qanun. 14 year 2002 about seclusion. Jinayat Qanun began imposing sentences in the form of lashing and fines.
Technical guidelines for the implementation of flashing for violators of Islamic law is regulated in Aceh Governor Regulation No. 10 of 2005. Lashing that subjected to the violators of Qanun is only applied to offenders who are Muslims. This thesis discusses the existence of application of Lashing Sentence to the Violators of Qanun Islamic Sharia in Aceh Province. The purpose of this paper is to figure out the existence of the application of lashing sentence to the offenders of Qanun Islamic Sharia in Aceh Province. The research is conducted using normative juridical methods.
The research consists of criminal Sharia Islamic law in the Aceh Province in Maisir, Khamar, Seclusion, implementation of Sharia Islamic of Islamic teaching, faith,and worship, and the management of Zakat. Furthermore, in this research is also discussed about the existence of the implementation of Qanun Islamic Sharia against violators of criminal Islamic Shari'a law in the province of Aceh including the institutions that conceive Jinayah Qanun which are the executive and legislative, the institutions that implement Jinayah Qanun, namely Department of Islamic law qanun, WH, Police, Prosecution and the Court Syar'iyah and other supporting institutions that implement Islamic Shari'a that are the MPU, MAA and Religious and Education Institutions. In this study is also figured out the constraints and obstacles in implementing the lashing sentence and the Aceh Government policy in solving the problem which is by using the National Criminal Proceedings in running qanun jinayah.
It is advised to immediately be able to apply the jinayah law to prevent the vacuum of jinayah law enforcement. It is also should be implemented the qanun jinayah against actions that have greater impact on society and the country such as corruption, bribery and so forth as well as the development of resources Islamic religious law, especially in the province by establishing an assessment institution of Islamic law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30237
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Galura Pase, 2007
297.47 PEN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Sorta Marthalena
"Peristiwa tsunami 26 Desember 2004 memang sangat memilukan, tidak hanya bagi korban, tetapi juga mereka yang menyaksikannya secara tidak langsung. Namun di sisi lain, peristiwa ini juga dapat menjadi bahan pembelajaran dan refleksi yang baik untuk dipelajari bersama. Salah satunya adalah mengenai aksesibilitas. Sebagai wilayah yang paling banyak memakan korban jiwa, NAD mengalami peningkatan dalam jumlah penyandang cacat sehingga mereka perlu diberikan bantuan yang dapat menunjang kehidupannya di masa yang akan datang. Salah satu caranya adalah dengan membenkan lingkungan fisik atau binaan yang sesuai. Kondisi tersebut tercapainya pnnsip aksesibilitas diterapkan di dalamnya. Aksesibilitas bukan berarti memberikan fasilitas, tetapi menghilangkan semua hambatan agar sebuah lingkungan fisik ataupun bangunan dapat dipakai oleh sstiap orang, tanpa membedakan kekurangan dan kelebihan vany ada pada dirinya. Pihak yang membantu NAD. terutama Non-Government Organization (NGO). memiliki desain masing-masing dalam menerapkan aksesibilitas. Prinsipnva, mereka ?membuat desain tersebut berdasarkan regulasi yang berlaku di Indonesia dan building code Propinsi Nonggroe Aceh Darussalam. Hal tersebut bertujuan supaya tidak lerjadi pelanggaran norma-norma ataupun ketentuan yang berlaku di negara ini. Padahal, aksesibilitas dapat diterapkan melalui pendekatan kebutuhan dan keadaan diri pengguna bangunan. Cara terakhir ini tentu saja suiit diterapkan di NAD karena akan memunculkan ketidakadilan antar korban yang selamat dan memakan waktu lebih lama lagi. Pada akhirnya, setiap desain yang ada di NAD saat ini, terutama rumah tinggal, memiliki kemiripan satu dengan yang lain, meskipun berusal dari NGO yang berbeda. Namun demikian, prinsip aksesibilitas yang ada pada setiap desain tersebut letap dapat menjadi bahan pembelaiaran yang berguna untuk diterapkan di masa yang akan datang. terutama di daerah-daerah vang rawan bencan alam di Indonesia.

The tsunami tragedy in December 26, 2004 was very devastating, not only for tlie victims, butt also the people who watched it. In the other side, this tragedy also can be good lesson and reflection for all of us. One thing, can be sure is about the accessibility. As the most effected area caused by the tsunami, NAD cauht in the increasing of disabled people therefore they need help to support their live in the near future. One way to do that is by giving them suffice physical environment. That condition can be achieved by enforcing the accessibility inside it. Accessibility is not about giving facility, by erasing the barrier so that the physical environment can be used by all of the people, without making differentiatee between their strength and weakness. The helpers in NAD, especially Non-Government Organization (NGO), have their own design to enforce the accessibility. Principally, they make the design based on the regulations that prevail in Indonesia and buildig code of Nanggroe Aceh Darussalam Province. This matter happen head for to avoid violation against the norms or regulation in this country. Whereas, accessibility can be approach through needs and conditions of the users in the building. It's obvious that this last method is difficult to implement because it can bring out injustice among the victims and take more time. At the end, right now a lot of designs in NAD, especially houses, have a similarity, although it was made by different NGO. However, the principle of accessibility in these design still can be a useful substance of lesson to implement in the near future, especially in the area that potentially dangerous to nature disaster in Indonesia."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2006
S48630
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Rachmad
"[ABSTRAK
Hal yang menjadi permasalahan dalam tesis ini adalah bolehkah hukuman cambuk di berlakukan di Nanggroe Aceh Darussalam karena hukuman cambuk tidak ditetapkan atau dirumuskan di dalam pasal 10 KUHP Indonesia. Tujuan penulisan tesis ini adalah menjelaskan kedudukan hukuman pidana cambuk di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam apakah hal ini bertentangan dengan sistem hukum pidana nasional atau tidak. Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dengan data skunder sebagai sumber datanya. Hasil penelitian menunjukan bahwa hukuman pidana cambuk tidak bertentangan dengan sistem hukum pidana nasional karena adanya undang-undang khusus yang mengatur keistimewaan Aceh serta berlakunya asas lex specialis derogat legi generali.

ABSTRACT
Rachmad, Andi. ?The Authority to Establish Types of Criminal Sanctions Which Straying From Article 10 of Indonesia Penal Code Act (A Review of Caning Punishment Which Regulated in Acehnese Qanun).? Thesis, Magister, Faculty of Law University of Indonesia, 2011, 85 pages. Bibliography 84 (1983-2010).
The main problem of this thesis is if caning punishment at Nanggroe Aceh Darussalam legitimated because caning punishment is not regulated in Article 10 of Indonesia Penal Code Act. The purpose of this thesis is to explain the position of caning punishment at Nanggroe Aceh Darussalam whether its contradicted to national penal law system or not. The research of this thesis is using bibliography research methods with secondary data as its data source.
The result of this research shows that caning punishment is not contradicted to national penal law system because the privilege of Aceh governed by special law and the enactment of the principle lex specialis derogat legi generali for that legislation.
, Rachmad, Andi. “The Authority to Establish Types of Criminal Sanctions Which Straying From Article 10 of Indonesia Penal Code Act (A Review of Caning Punishment Which Regulated in Acehnese Qanun).” Thesis, Magister, Faculty of Law University of Indonesia, 2011, 85 pages. Bibliography 84 (1983-2010).
The main problem of this thesis is if caning punishment at Nanggroe Aceh Darussalam legitimated because caning punishment is not regulated in Article 10 of Indonesia Penal Code Act. The purpose of this thesis is to explain the position of caning punishment at Nanggroe Aceh Darussalam whether its contradicted to national penal law system or not. The research of this thesis is using bibliography research methods with secondary data as its data source.
The result of this research shows that caning punishment is not contradicted to national penal law system because the privilege of Aceh governed by special law and the enactment of the principle lex specialis derogat legi generali for that legislation.
]"
2011
T43917
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abnan Pancasilawati
Depok: Rajawali Pers, 2023
340.59 ABN i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Subur Wahono
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T24968
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>