Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 161772 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Flora Dianti
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S21978
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Munthe, Saut Erwin Hartono A.
"Penerapan Teleconference untuk penghadiran saksi dalam Persidangan Pidana menimbulkan perdebatan panjang. Disatu sisi perkembangan hukum ketinggalan jauh dengan perkembangan masyarakat, apalagi bila diperbandingkan dengan kemajuan teknologi sedangkan disisi lainnya, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana {KUHAP} sebagai basis acara Pemeriksaan Perkara Pidana tidak mengaturnya. Pasal 185 KUHAP ayat (1) yang isinya sebagai berikut "keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan". Kalimat yang saksi nyatakan di sidang pengadilan inilah yang menjadi titik tolak perdebatan. Disatu pihak mengatakan bila saksi tidak hadir langsung secara fisik kedepan persidangan kesaksiannya tidak sah, di pihak lain menyatakan bahwa dengan teleconference saksi sudah hadir dipersidangan, karena keterangan saksi tetap dapat di Cross-Check oleh kedua belah pihak dan fisik saksi dapat dilihat pada layar monitor yang ada. Berkaitan dengan permasalahan hukum pembuktian, tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk memecahkan permasalahan yang ada mengenai teleconference sebagai salah satu alat bukti dalam memeriksa keterangan saksi, khususnya kekuatan bukti keterangan saksi melalui teleconference dan legalitas prosedur pemeriksaan jarak jauh melalui teleconference. Permasalahan hukum pembuktian Teleconference terkait dengan kekuatan bukti dan kekuatan pembuktian tidak bertentangan dengan asas-asas hukum pidana dan peraturan perundang-undangan yang ada. Ada beberapa asas-asas umum yang berlaku dalam hukum acara pidana yaitu asas terbuka secara umum, asas pemeriksaan secara langsung,asas peradilan cepat, sederhara, dan biaya ringan,asas kelangsungan/oral debat. Penggunaan teleconference sudah memenuhi syarat materiil dan syarat formil KUHAP. Dalam syarat formil tidak terlihat adanya hambatan, kecuali pasal 185 ayat (1), Penerapan Teleconference justru menutupi kelemahan Pasal 162 KUHAP karena dengan teleconference maka tetap dilakukan dialog dan tanya jawab serta melihat emosi saksi selama memberikan keterangan. Padoaharuan hukum pembuktian terutama dikaitkan dengan legalitas prosedur pemeriksaan jarak jauh mutlak dilakukan karena beberapa Undang-undang sebenarnya telah memasukkan dokumen elektronik sebagai alat bukti seperti RUU Informasi dan Transaksi Elektronik, RUU Perlindungan Saksi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang, UU Pemberantasan Korupsi, UU Terorisme. Berkaitan dengan hal itu KUHAP sebagai "UU Payung" mestinya mengakomodasi Perkembangan Alat Bukti modern khususnya Teleconference sebagai data Elektronika."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T19806
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
cover
cover
cover
Ni Ketut Apriyanti R
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai kekuatan suatu akta notaris yang pada dasarnya
telah memiliki kekuatan hukum sebagai akta otentik. Akta otentik sebagai alat
bukti terkuat dan terpenuh didalam suatu perkara perdata. Melalui akta otentik
yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum,
dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun
sengketa tersebut tidak dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa, akta
otentik merupakan suatu bukti yang sempurna, yang berarti bahwa isi akta
tersebut akan dianggap sebagai suatu kebenaran yang mengikat, yang tidak
memerlukan suatu penambahan pembuktian. Namun dalam perkembangannya
muncul permasalahan yaitu semakin mudahnya notaris untuk dipanggil dan
dimintai keterangan sebagai saksi dalam proses perkara pengadilan.
Permasalahannya adalah apakah kehadiran Notaris sebagai saksi dalam proses
perkara pengadilan yang terkait dengan Akta yang dibuat di hadapannya telah
sesuai menurut hukum? dan bagaimanakah akibat hukum atas pemberian
keterangan yang diberikan Notaris di dalam proses perkara pengadilan terhadap
akta yang dibuat dihadapannya? Penelitian ini merupakan kajian yuridis normatif
yang bersifat teoritis dengan permasalahan pokok yaitu mengenai akibat hukum
pemberian keterangan oleh Notaris sebagai saksi dalam proses perkara pengadilan
terhadap kekuatan pembuktian akta notaris. Dari penelitian yang dilakukan
diperoleh hasil bahwa pemanggilan Notaris sebagai saksi dalam proses perkara
pengadilan menurut pasal 66 Undang-Undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris harus mendapat persetujuan dari Majelis Pengawas Notaris. Dan dengan
hadirnya Notaris di dalam proses perkara pengadilan tidak menimbulkan akibat
hukum atas kekuatan pembuktian akta otentik. Akan tetapi dapat berakibat hukum
menjadi akta dibawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum, apabila dapat
dibuktikan sebaliknya berdasarkan keputusan pengadilan.

ABSTRACT
This study discusses the strength of a deed which basically has legal strength as
an authentic deed. It serves as the strongest evidence in a civil case. It clearly
determines someone’s rights and obligations, provides him or her with legal
certainty, and at the same time, is expected to avoid any dispute. In case that the
dispute can not be avoided, in the process of its settlement, it serves as perfect
evidence, meaning that its has content is deemed a binding truth and that no
additional evidence is needed. However, recently a new problem has been
emerging that notaries are easily called and requested to give information as
witnesses in legal cases at the court. The question is that whether the existence of
a notary public as a witness in such legal cases related to the deed made before
him or her is legal? The next question is that what is the legal consequence of the
information provided by him or her as witness at the court related to the deed
made before him or her? This study is a normative juridical study which is
theoretical in nature with the main problem “Legal Consequence of the
Information Provided by a Notary Public as Witness at the Court to Strengthen
Authentication of a Deed”. The findings show that an approval is needed from
Majelis Pengawas Notaris when notary public is called and requested to be a
witness at the court. This refer to Article 66 of the Regulation Number 30 of 2004
concerning duty of a Notary Public. His or her existence at the court does not
legally affect the strength of authentication of an authentic deed. However, the
contrast may take place if legally proved that such a deed is illegal or legally
cancelled."
2009
T37369
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Flora Dianti
"Penelitian dilakukan dalam rangka melakukan: l.identifikasi permasalahan hukum pembuktian dalam proses penyelesaian perkara pidana terkait dengan keterangan saksi anak sebagaimana rumusan peraturan perundangan-undangan, UU Nomor 8 Tahun 1981 serta Revisi UU Nomor 8 Tahun 1981; 2. Melakukan analisis atas permasalahan hukum pembuktian secara khusus yang ditemukan dalam praktik peradilan di Indonesia mengenai saksi anak; 3.Memberikan suatu pemikiran akademis dalam rangka revisi UU Nomor 8 Tahun 1981 demi tercapainya suatu pembaruan hukum pembuktian mengenai kekuatan pembuktian keterangan saksi anak dalam proses penyelesaian perkara pidana. Pasal 171 huruf a UU Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP)menyatakan anak di bawah 15 tahun tidak berkompeten menjadi saksi, sehingga saksi yang kurang umurnya dari 15 tahun tidak boleh memberi keterangan di bawah sumpah. Penjelasan Pasal 171 tersebut menyatakan saksi anak dapat dijadikan petunjuk. Adapun petunjuk yang dimaksud bukanlah alat bukti petunjuk sebagaimana dimaksud pasal 188, karena sumber yang dapat dipergunakan mengkonstruksi alat bukti petunjuk terbatas dari alat-alat bukti yang sah yang secara limitatif ditentukan dalam Pasal 188 ayat (2), yaitu alat bukti Keterangan Saksi; Surat; dan Keterangan Terdakwa. Keterangan saksi anak sendiri tidak dilakukan di bawah sumpah, sehingga saksi anak tidak dianggap sebagai alat bukti keterangan saksi. Secara maksimal keterangan anak hanya dapat menambah keyakinan hakim, jika ditunjang oleh alat bukti yang sah lainnya. Di sisi lain, karakteristik tindak pidana yang menyangkut anak sendiri, sangat komplek. Salah satu permasalahan, pelaku pidana terhadap anak kebanyakan adalah orang dekat, atau bahkan keluarga atau lingkungan keluarga/ teman korban, sehingga tindak pidana terhadap anak jarang memiliki saksi lain yang berkompeten untuk memberikan keterangan yang dapat mendukung. Dengan kata lain tidak ada alat bukti saksi yang melihat, mengalami dan mendengar langsung peristiwa pidana, sehingga saksi yang paling berkompeten adalah anak itu sendiri. Akibatnya, putusan peradilan mengenai tindak pidana tersebut sangat bergantung pada kredibilitas dan kemampuan anak sebagai saksi utama untuk memberikan keterangan yang selengkap dan seakurat mungkin mengenai tindak pidana tersebut. Praktek pemeriksaan perkara pidana yang melibatkan anak, memperlihatkan kenyataan adanya keadaan saksi anak yang kurang kompeten dan distabil, karena traumatis akan pemeriksaan yang penuh tekanan serta intimidatif, sehingga akhirnya mengakibatkan saksi anak mengundurkan diri ketika pemeriksaan sampai di tahap persidangan. Dari identifikasi di atas jelas bahwa perlu diciptakan suatu prosedur penanganan perkara yang memberikan perhatian yang lebih difokuskan pada perlindungan saksi korban terutama saksi anak, demi meningkatkan kompetensi serta kekuatan pembuktian saksi anak."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T19207
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1984
S21799
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>