Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 111976 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Neneng Rahmadini
Depok: Universitas Indonesia, 2001
S22170
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Permata Sari
"Salah satu alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi. Dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa keterangan saksi tersebut baru bernilai sebagai alat bukti bila dinyatakan di depan sidang pengadilan. Saat ini terdapat teknologi teleconference yang digunakan sebagai sarana dalam memberikan keterangan saksi. Teleconference ini bukan hanya diterapkan di Indonesia namun juga telah diterapkan di negara common law sytem. Namun pada kenyataannya banyak pihak yang menggap kesaksian melalui teleconference tidak bernilai sebagai alat bukti keterangan saksi melainkan hanya bernilai sebagai keterangan biasa saja. Hal ini disebabkan karena tidak ada pengaturannya dalam KUHAP.
Oleh karena itu terdapat permasalahan, yaitu dapatkah media teleconference digunakan dalam melakukan pemeriksaan keterangan saksi di depan sidang pengadilan menurut hukum acara pidana Indonesia? Bagaimanakah kekuatan pembuktian dari keterangan saksi yang diberikan melalui teleconference baik menurut KUHAP maupun menurut sistem Civil Law dan Common law? Bagaimanakah upaya pembentuk undang-undang mengakomodir penggunaan teleconference di dalam beberapa peraturan perundang-undangan?
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dapat tidaknya teleconference digunakan dalam melakukan pemeriksaan keterangan saksi di sidang pengadilan menurut hukum acara pidana Indonesia, mengetahui nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi melalui teleconference baik menurut KUHAP maupun menurut sistem Civil Law dan Common law serta mengetahui upaya pembentuk undang-undang dalam mengakomodir penggunaan teleconference di dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Penelitian ini berdasarkan studi kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif. Tipologi penelitian bersifat deskriptif. Berdasarkan analisis yang dilakukan, teleconference dapat digunakan untuk melakukan pemeriksaan keterangan saksi di depan sidang pengadilan. Sementara itu kekuatan pembuktiannya sama-sama bernilai bebas baik menurut KUHAP maupun sistem common law dan pembentuk undang-undang telah berupaya mengakomodir penggunaan teleconference di dalam pembentukan beberapa peraturan perundang-undangan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S22032
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizal Prajna Fatawi
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis argumentasi pemikiran pergeseran perubahan sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang ke sistem dalam bentuk murni aslinya, dan substansi yang mempengaruhi pemberlakuan sistem pembuktian terbalik dalam bentuk murni aslinya, pada proses pemeriksaan di pengadilan. Permasalahannya ialah apakah yang menjadi faktor pendorong pemerintah agar segera melakukan perubahan sistem pembuktian terbalik ke arah bentuk murni aslinya, dan bagaimana pemikiran mengenai kemungkinan pemberlakuan sistem tersebut.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang berbasis pada analisis terhadap norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan untuk memandu penelitian digunakan teori beban pembuktian yang ditekankan pada terdakwa dalam hal ini terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan pelaku.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan KKN yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat serius, dan merupakan kejahatan yang luar biasa dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu dalam usaha memerangi dan memberantas korupsi di Indonesia, perlu adanya perubahan sistem pembuktian terbalik dari yang bersifat terbatas ke arah sistem murni aslinya. Namun demikian, dalam penerapannya juga harus tetap memperhatikan asas praduga tak bersalah dan hak asasi manusia, serta adanya ramburambu yang ketat untuk mencegah tindakan kesewenangwenangan oleh penguasa terutama aparat penegak hukum.
Hasil penelitian juga mendapati adanya prasyarat bahwa dalam penerapan sistem pembuktian terbalik itu diperlukan pembersihan terlebih dahulu dari atas ke bawah, baik penyelenggara negara maupun aparat penegak hukum. Sementara itu, kemauan dan komitmen politik sangat diperlukan, juga dukungan dan partisipasi masyarakat untuk selalu mendorong dan menjaga momentum pemberantasan korupsi secara terusmenerus, berkelanjutan dan berkesinambungan."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14554
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Verra Donna Rastyana Pritasari
"Korupsi telah mempengaruhi kehidupan ketatanegaraan serta merusak sistem perekonomian dan masyarakat dalam skala besar sehingga tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami hambatan. Sehingga untuk meningkatkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi pemerintah bersama lembaga legislatif berupaya menyempurnakan peraturan yang mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi serta membentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun upaya yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mustahil dapat berjalan efektif bila tidak didukung dengan pengadilan yang independent dan kompeten untuk mengadili perkara tindak pidana korupsi, sehingga dibentuklah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam keberadaaanya, ternyata adanya pengadilan tindak pidana korupsi menimbulkan dualisme diantara pengadilan yang mengadili pelaku korupsi, yaitu antara pengadilan umum dan pengadilan khusus Tindak Pidana Korupsi. Padahal kedua pengadilan ini mengadili perbuatan orang yang samasama di dakwa melakukan tindak pidana korupsi, yang diancaman pidana oleh undang-undang yang sama, namun dapat menghasilkan putusan yang berbeda. Penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan dilakukan untuk mengetahui bagaimana pandangan hakim terhadap tindak pidana korupsi dan faktor yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim dalam putusannya serta mencari upaya untuk mengurangi disparitas putusan hakim antara pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan hakim pada pengadilan Umum terhadap tindak pidana korupsi. Carl hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pada pandangan hakim terhadap tindak pidana korupsi. Sistem peradilan di Indonesia yang menganut asas pembuktian menurut undangundang secara negatif, tidak dianutnya "the binding of precedent", multi tafsir darn pengaruh non yuridis seringkali menjadi penyebab disparitas putusan. Sehingga upaya yang dapat dilakukan untuk meminimalkannya adalah dengan znenyatukan pandangan, versi dan misi pada setiap hakim untuk menjadikan korupsi sebagai musuh bersama.

Corruption influenced state life and destructed economic and society system in a large scale, hence, no longer it may be grouped as an ordinary crime but should be granted as an extraordinary crime. Presently, the conventional law enforcement to combat corruption had taken obstacles. So as to increase efforts for Combating of such corruption criminal act the government (executive) with legislative mutually, they had improved legislation to Combat corruption criminal act as well as to establish The Commission to Combat Corruption. Nevertheless, the efforts conducted by The' Commission to Combat Corruption, possibly, it may not be realized effectively, unless it will not be supported by competent and independent courts to try case of corruption criminal act, then it is established Corruption Courts had resulted in ambiguity among courts trying corruption actor(s), i.e, General and Special courts for trying corruption criminal Act. Indeed, those two institutions examining the same cases of corruption criminal act and threatened by imprisonment under legislation, but it had resulted in the different judgement. Both field and library researches had been conducted in order to know the opinion of judge is against corruption criminal Act and factor as basic considerations of judge regarding his/her judgement and seeking out the efforts for reducing disparity of judge's decision among court of corruption criminal act and general court in term of corruption criminal act. The result research indicated that there are disparities among judges' s opinion regarding corruption criminal act. Frequently, judiciary system of Indonesia based on the negativity evidentiary basic rule, not the binding of precedent, multi interpretations and non juridical impact had resulted in disparity of judgement. Hence, the efforts to be conducted for minimizing it is by unifying their opinion, vision and mission for each judge to put corruption as joint enemy."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19443
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cahyaning Nuratih Widowati
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T 02370
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Riesa Susanti
"ABSTRAK
Ketidakhadiran terdakwa dalam proses persidangan perkara tindak pidana korupsi
mengakibatkan kerugian negara tidak dapat dieksekusi dan terganggunya proses
penanganan perkara lain yang berkaitan dengan perkara tersebut. Untuk itu Pasal
38 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU TPK) mengatur tentang peluang dilakukannya pemeriksaan dalam
persidangan perkara korupsi tanpa kehadiran terdakwa (peradilan in absentia)
dengan maksud untuk menyelamatkan kekayaan negara. Namun dalam
penerapannya, peradilan in absentia masih belum menyentuh tujuan utama
tersebut. Di sisi lain, peradilan in absentia dihadapkan pada prinsip bahwa
kehadiran terdakwa adalah untuk memberikan ruang kepada hak-hak asasi sebagai
manusia. Permasalahan yang muncul adalah bagaimanakah penerapan peradilan
in absentia dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, yang
selanjutnya memunculkan pertanyaan bagaimanakah konsepsi peradilan in
absentia apabila dikaitkan dengan hak asasi manusia (HAM) dalam hal ini hak
asasi terdakwa tindak pidana korupsi, bagaimanakah penerapan hukum peradilan
in absentia dalam UU TPK dalam upaya pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi, dan bagaimanakah peranan peradilan in absentia dalam memaksimalkan
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang dilakukan terhadap
bahan pustaka atau data sekunder yang dilakukan melalui studi kepustakaan/studi
dokumen (documentary study) dan dianalisis dengan menggunakan metode
deskriptif kualitatif. Peradilan in absentia harus dilaksanakan berdasarkan
KUHAP terutama berkaitan dengan tata cara pemanggilan yang sah. Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan hak terdakwa
untuk menghadiri sidang guna melakukan pembelaan terhadap dirinya, namun
terdakwa secara sengaja tidak berkeinginan menggunakan hak tersebut. Dalam
konteks ini, hak membela diri terdakwa dapat ditunda pemenuhannya. Instrumen
yang dapat digunakan dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi adalah
penyitaan dan perampasan sebagaimana diatur dalam KUHAP dan UU TPK.
Sedangkan untuk aset yang berada di luar negeri, Indonesia mengacu pada
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam United Convention Againts Corruption
2003 (UNCAC/Konvensi Anti Korupsi/KAK) yang telah diratifikasi Indonesia.
Peradilan in absentia dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi
berhadapan dengan berbagai permasalahan terutama berkaitan dengan
ketidaksamaan persepsi dalam menyikapi ketentuan-ketentuan yang berlaku
terutama dalam peradilan in absentia dan pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi, kesulitan-kesulitan teknis dalam tahap penyidikan sampai eksekusi, dan
perbedaan sistem hukum Indonesia dengan negara lain yang sangat
mempengaruhi proses pengembalian aset.

Abstract
The absence of the defendant in a trial, specifically corruption, not only can
hamper the attempt to recover the stolen assets but also vex the case handling
process on relate matter. In order to fill the gap between the inability bring the
defendant into the court and the compulsory need to present the defendant has
became the essence of Article 38 Act No. 20 of 2001 on Eradication of the
Criminal Act of Corruption (UU TPK) that regulates in absentia trial by means to
enable the recovering of the stolen assets. However, in its implementation the in
absentia trial process has not yet brought any sufficient results. Whereas, the
process is resulted the debate from the human rights' point of view on whether the
system must ensure that every person has the right to defend him/herself in front
of the fair trial and cannot be self adjudicated by the evidence solely deliberate
from the prosecutor (government). Thus, this thesis will discuss three main issues
in regard to the in absentia trial for corruption case. First, it will discuss on the
conceptual view on how the in absentia trial in colliding with the human right
view. It will discuss the necessity to have the in absentia trial whilst the necessity
for the government to ensure the establishment on fair trial before the court for
every person. The second issue, will discuss on the implementation of the in
absentia trial in regards to the attempt to repatriate the stolen asset. Third, the
discussion will also elaborate on the optimum utilization of the in absentia trial as
an alternate choice in conducting stolen asset recovery. The thesis is using the
normative research method based on library literatures or usually called as
secondary data based on literature study/documentary study and being analyzed
using qualitative descriptive methods. The implementation the in absentia trial is
based on KUHAP, specifically on the chapter that relates to the summoning
procedures. KUHAP regulates that any defendant has the right to defend
him/herself before the court and despite the fact that this has not been effectively
exercise due to the the defendants' own desire. And under special circumstance
the exercise of that right also can be adjourned. The instruments that applies in the
repatriation of stolen assets recovery are the seize and confiscate as mentioned
under the KUHAP. Whereas for the assets that locate in a foreign jurisdictions,
Indonesia is referring to the regulations under the UNCAC that had been ratified
under Indonesia law. In absentia trial in recovering the proceeds of corruption is
dealing with the various problems mainly related to the perception of inequality in
concerning the regulations of in absentia trial and the repatriate stolen assets,
technical difficulties in the process from investigation phase until execution, and
Indonesia?s legal system difference with other countries will influence the
attempt to recover the assets."
2011
T28985
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Endro Riski Erlazuardi
"ABSTRAK
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah sangatlah diperlukan. Hanya saja
Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi yang mengamanahkan sementara ini di ibu kota propinsi serta keberadaan
hakim ad hoc dalam sistem peradilan pidana di dalam Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi yang kemudian menurut penulis menimbulkan beberapa permasalahan.
Metode Penelitian yang digunakan adalah normatif-empiris yang bersifat
deskriptif. Penelitian ini didasarkan pada telaah terhadap data sekunder yang akan
dipadu dengan hasil penelitian empirik yang berupa data primer. Hasil dari
penelitian ini didapatkan beberapa permasalahan yang muncul sehubungan
dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yaitu : 1) besarnya biaya yang dikeluarkan dan
sulitnya proses penanganan perkara tindak pidana korupsi; 2) sulitnya merekrut
hakim ad hoc yang memiliki pengetahuan dan kemampuan di bidang hukum
khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi serta kurang terbukanya sistem
rekrutmen hakim karier yang tidak melibatkan peran serta masyarakat dalam
proses rekrutmen.

Abstract
The Court of Corruption is very needed. Act number 46 of 2009 ordered
establishment of The Court of Corruption, which meanwhile in the capital of the
province, as well as the presence of a judge ad hoc in the criminal justice system
which according to the author raises some problems. The research method used is
the normative-empirical. This research is based on a study of secondary data will
be combined with the empirical research results in the form of primary data. The
result of this research acquired some of the issues that appears with the enactment
of Act number 46 of 2009 which are : 1) the magnitude of the cost and difficulty
of the case handling process of the criminal acts of corruption; 2 ) the difficulty to
recruiting judge ad hoc who has knowledge and ability in the law of especially
corruption eradication, and less fair system recruitment careers judge not
involving public participation in the process of recruitment"
2012
T30271
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Soeharno
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1977
S6010
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>