Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174052 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dipo Asto Prayoga
"Berlakunya otonomi daerah telah memberikan perubahan yang besar dalam pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah. Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintahan daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan menjadi lebih besar dan lebih mandiri sesuai prakarsa daerahnya masingmasing. Salah satu urusan pemerintahan yang dijalankan oleh pemerintahan daerah adalah urusan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan. Guna menjalankan urusan tersebut, pemerintahan daerah melakukannya dengan bentuk kebijakan melalui peraturan daerah. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, guna menegakkan peraturan daerah pemerintah daerah dapat menunjuk penyidik selain penyidik pada tindak pidana umumnya. Di DKI Jakarta, peraturan daerah yang mengatur urusan pemerintaha di bidang lalu lintas adalah Perda DKI Jakarta No.12 Tahun 2003. Dalam peraturan daeran tersebut ditunjuk Dinas Perhubungan DKI Jakarta sebagai penyidik yang disebut dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah (PPNS Daerah). Penunjukan Dinas Perhubungan sebagai PPNS Daerah atas peraturan daerah dalam prakteknya menimbulkan permasalahan sebab Dinas Perhubungan DKI Jakarta juga bertindak sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) berdasarkan UU No. 14 Tahun 1992 dimana kedudukan tersebut bersumber dari penyerahan kewenangan yang dilakukan pemerintahan pusat dalam hal ini Departemen Perhubungan. Oleh karenanya, dalam skripsi ini mencoba membahas bagaimana pelaksanaan kewenangan penyidikan pelanggaran lalu lintas di DKI Jakarta yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan DKI Jakarta dengan SK Gubernur DKI Jakarta No. 4104 Tahun 2003 sebagai contoh kasus."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S22143
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitinjak, Andean Bonar
"Penelitian yang membahas tentang penindakan pelanggaran lalu lintas oleh PPNS-PLLAJ di wilayah hukum Polres Metro Jakarta Barat ini dilatarbelakangi oleh fenomena pelanggaran oleh aparat dalam menjalankan tugas yang justru makin membuat terpuruknya upaya penegakan hukum di bidang lalu lintas.
Masalah penelitian adalah tindakan hukum terhadap pelanggar lalu lintas, dan fokus penelitiannya dititikberatkan pada pelanggaran kewenangan hukum oleh PPNS-PLLAJ. Untuk itu dibuat hipotesa penelitian yaitu jika penindakan pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh PPNS-PLLAJ di wilayah hukum Polrees Metro Jakarta Barat tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka tindakan tersebut merupakan pelanggaran kewenangan hukum.
Penelitian yang menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografi ini, Cara pengumpulan data dan informasinya dilakukan dengan teknik wawancara dan pengamatan secara langsung pada obyek yang diteliti. Adapun teori yang memayungi penelitian ini adalah teori penegakan hukum yang ditinjau dari teori kekuasaan, teori penyimpangan, serta teori koordinasi dan pengawasan.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat pelanggaran kewenangan hukum oleh PPNS-PLLAJ dalam penindakan pelanggaran lalu lintas, dan peraturan perundang-undangan yang diabaikan adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan, Nota Kesepakatan Bersama Kaplri dengan Para Direktur Jenderal selaku Pembina PPNS tanggal 24 Februari 1999 serta beberapa Keputusan Kapolri menyangkut koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis PPNS-PLLAJ.
Dilihat dari sanksi hukumnya, bahwa pelanggaran pada tahap persiapan dan pengiriman berkas perkara yang tidak melalui Polri merupakan pelanggaran non pidana yang bersifat administratif, sedang pelanggaran pada tahap pelaksanaan penindakan merupakan pelanggaran pidana yang bertentangan dengan pasal 52 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta pasal 3 dan pasal 12 ayat (e) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Fenomena pelanggaran kewenangan hukum tersebut antara lain dilatarbelakangi oleh faktor kekuasaan, egoisme sektoral yang cenderung melepaskan diri dari konteks koordinasi dan pengawasan, serta kurangnya respon pihak Polri selaku penyidik, yang kesemuanya bermuara pada timbulnya penyimpangan dalam bentuk pungutan liar (pungli) yang merugikan masyarakat pemakai jalan.
Bentuk-bentuk pelanggaran kewenangan hukum tersebut terutama dapat disimak dari penghentian kendaraan bermotor di jalan oleh PPNS-PLLAJ tanpa didampingi penyidik Polri, pelaksanaan penindakan yang tidak berada di bawah koordinasi Polri, pelaksanaan tilang yang menyimpang dari ketentuan penyidikan, penugasan personil yang tidak memenuhi syarat kualifikasi sebagai penyidik serta pengiriman berkas perkara tilang yang disampaikan langsung ke Pengadilan.
Sehubungan dengan fenomena pelanggaran kewenangan hukum tersebut, penulis memberikan rekomendasi agar Nota Kesepakatan Kapolri dengan Para Direktur Jenderal selaku Pembina PPNS tahun 1999 yang lalu diperbarui, kemudian dilengkapi dengan petunjuk pelaksanaan untuk masing-masing bidang PPNS. Atas dasar Nota Kesepakatan yang baru ini, Mabes Polri menginstruksikan kepada para Kapolda dengan berkoordinasi dengan Direktur Lalu Lintas Pala membuat petunjuk teknis yang melibatkan para Kapolres.
Selain itu, Mabes Polri diimbau untuk melakukan pemantauan secara berkala atas implementasi ketentuan yang baru tersebut dan mengambil langkah-langkah untuk memaksimalkan pelaksanaannya di lapangan. Di sisi lain, pertemuan berkala antara Kapolda dengan Dinas Perhubungan diperlukan untuk membahas hal-hal yang bersifat teknis administratif, serta ditindaklanjuti dengan pertemuan berkala para Kapolres dengan Suku Dinas Perhubungan untuk membahas hal-hal yang sifatnya teknis operasional.
Dalam upaya mencapai tegaknya hukum di bidang lalu lintas, perlu direvisi Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 dengan cara menambah penjelasan pasal 7 secara jelas, yang kemudian ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan oleh Menteri Kehakiman dan HAM atau keputusan Bersama Kapolri dengan Direktur Jenderal Perhubungan Darat.
Demikian pula dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993, khususnya pasal 8 hendaknya dipertegas bahwa PLLAJ juga berwenang menghentikan kendaraan bermotor di jalan dalam rangka pemeriksaan. Sebagai upaya untuk mengurangi pelanggaran kewenangan hukum tersebut, diimbau kepada Pemerintah Propinsi DKI Jakarta untuk meningkatkan kesejahteraan PPNS-PLLAJ dan petugas PLLAJ yang bertugas melakukan pemeriksaan kendaraan bermotor."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11019
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Rachmawati
"Masalah illegal logging adalah masalah yang yang harus dicermati dan diberi perhatian khusus. Selain dampaknya yang luar biasa terhadap lingkungan dan kehidupan manusia dalam jangka panjang, juga keterlibatan pelaku yang sangat banyak. Dampak kerusakan hutan yang terjadi akan menimbulkan kurang tertahannya resapan air tanah oleh pohon-pohon di kawasan hutan sehingga dapat menyebabkan tanah longsor. Dampak lain juga terhadap habitat hutan yang apabila tidak sesuai dengan penggunaannya dapat penghilangkan spesies yang dilindungi. Jika ditinjau dari keterlibatan pelaku, maka yang berkontribusi dalam tindak pidana illegal logging sangatlah banyak, dari penduduk lokal yang menyediakan jasa pemotongan dan pembukaan lahan, penyedia jasa angkutan berupa truk dan kapal sampai indikasi keterlibatan aparat dalam mengeluarkan ijin. Hal itu membuat sulitnya memberantas tindak pidana illegal logging sampai keakar-akarnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana dan sejauh mana hubungan antara penyidik Polri dan penyidik pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam tindak pidana illegal logging menurut peraturan perundang-undangan. Hal ini berkaitan dengan fungsi penyidik yang sangat penting dalam penanggulangan tindak pidana illegal logging. Adanya 2 (dua) aparat yang memiliki kewenangan yang sama dalam melakukan penyidikan membuat adanya kerancuan dalam hal tugas dan kewajiban siapakah untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana illegal logging. Kewenangan khusus yang telah diberikan undang-undang Kehutanan kepada penyidik PPNS ternyata tidak menjadikan penyidik PPNS berperan lebih daripada penyidik Polri. Dalam penanganan proses penyidikan illegal logging, penyidik Polri tetap mendapat porsi besar untuk melakukan penyidikan."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2007
S22419
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heidi Melissa
"Kenaikan harga obat-obatan akibat melemahnya Rupiah terhadap dolar mengundang para sindikat pemalsu obat bergerilya untuk membuat produk palsu. Masalah obat palsu di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-undang Kesehatan, Peraturan Pemerintah tentang Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dan beberapa peraturan lain. Untuk menangani peredaran obat palsu di Indonesia, diperlukan keterlibatan pihak pemerintah seperti Departemen Kesehatan, Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan, Kepolisian, dan pihak-pihak lain yang bersangkutan. Dalam Undang-undang Kesehatan, guna melindungi masyarakat dan menegakkan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan obat, maka ditunjuk penyidik selain penyidik pada tindak pidana umumnya. Penyidik yang dimaksud adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil Departemen Kesehatan. Akan tetapi dengan timbulnya Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2000 yang diganti dengan Keputusan Presiden No. 105 Tahun 2001, maka Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan berubah menjadi Badan Pengawas Obat Dan Makanan, yaitu sebuah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berkedudukan langsung di bawah Presiden dan tidak lagi menjadi bagian dari Departemen Kesehatan. Peranan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pemalsuan obat masih banyak mengalami kesulitan, antara lain kedudukannya yang dianggap tidak memiliki dasar hukum. Masih banyaknya para pelaku pemalsuan obat yang tidak dihukum atau dipidana dengan hukuman yang sangat ringan, juga menjadi penyebab maraknya tindak pidana pemalsuan obat di Indonesia. Oleh karenanya, dalam skripsi ini mencoba membahas bagaimana tugas dan kewenangan pejabat Badan Pengawas Obat Dan Makanan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam melakukan penyidikan tindak pidana pemalsuan obat, dengan contoh kasus tindak pidana pemalsuan obat yang dilakukan oleh terdakwa Doris Leman."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penyidikan merupakan salah satu proses penting dalam penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan. Berdasarkan ketentuan Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No 28 tahun 2007, yang berwenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana perpajakan adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil lingkungan Direktorat Jendral Pajak. Namun, ada pihak-pihak lain yang terkait dengan penyidikan tindak pidana perpajakan seperti kepolisian, kejaksaan, serta instansi-instansi lainnya. Oleh karena itu membutuhkan kejelasan kewenangan dalam proses penyidikan, terutama dalam praktek dimana terdapat beberapa aspek tindak pidana, seperti kasus AAG yang memiliki aspek tindak pidana perpajakan, tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana korupsi. Batasan kewenangan, serta proses penyidikan tindak pidana perpajakan itu diatur melalui KUHAP, Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Keputusan Direktur Jendral Nomor KEP-272/PJ/2002, serta dalam praktek penyidikan dibuat Memorandum of Understanding (MoU) antara Direktorat Jendral Pajak dengan berbagai instansi lainnya. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, skripsi ini mencoba menjawab permasalahan kedudukan dan kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jendral Pajak dalam penyidikan tindak pidana perpajakan, serta proses penyidikan tindak pidana perpajakan tersebut. Dengan adanya kejelasan kewenangan dalam proses penyidikan diharapkan penyidikan tindak pidana perpajakan menjadi lebih efektif dan efisien sehingga mampu meningkatkan ketaatan Wajib Pajak dan meningkatkan penerimaan kas negara dari pajak."
[Fakultas Hukum Universitas Indonesia;, ], 2007
S22251
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Universitas Indonesia, 2001
S22055
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Krisna Dwi Astuti
"Tindak Pidana Kepabeanan merupakan tindak pidana yang mempunyai karakter tersendiri yang mempunyai akibat sama bahayanya dengan tindak pidana korupsi, karena mempunyai dampak yang sangat besar baik dapat merugikan keuangan negara maupun perekonomian negara yaitu dapat mematikan industri dalam negeri. Oleh karena itu tindak pidana penyelundupan memerlukan penanganan yang khusus untuk menindak para pelakunya. Kewenangan untuk menyidik terhadap tindak pidana kepabeanan tersebut sebelumnya berada di tangan Kejaksaan RI. Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan kewenangan tersebut beralih ke tangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bea dan Cukai diberikan kewenangan khusus untuk menyidik baik tindak pidana maupun pelanggaran kepabeanan termasuk tindak pidana penyelundupan. Pemberian kewenangan dalam UU No. 10 Tahun 1995 tersebut merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pasal 6 ayat (1). Kemudian kewenangan tersebut dipertegas dengan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai. Sehingga dengan ini kedudukan PPNS Bea dan Cukai berada pada lini terdepan untuk menangkap Serta menindak setiap tindak pidana kepabeanan yang terjadi. Dalam perjalanannya pelaksanaan kewenangan penyidikan tersebut mendapat permasalahan baik dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran pasal-pasal dalam IH] Kepabeanan maupun dalam hal melakukan koordinasi dengan penyidik dari instansi lainnya. Hal ini terjadi karena terjadi tumpang tindih pada pasal-pasal dalam UU Kepabeanan maupun tumpang tindih pada peraturan yang mengatur mengenai kewenangan menyidik tersebut, juga dalam hal koordinasi antar lembaga baik dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai maupun dengan instansi lain di luar DJBC. Sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam penerapannya dan berdampak pada penegakan hukumnya. Rancangan Undang-Undang Kepabeanan pada saat ini telah disusun untuk mengatasi Salah satu masalah tersebut, diantaranya dengan memperluas pengertian/cakupan penyelundupan dengan tujuan untuk lebih dapat menjerat setiap tindak pidana kepabeanan yang terjadi. Hal ini akan berakibat pada makin besarnya tugas Serta tanggungjawab dari PPNS Bea dan Cukai. Oleh karena itu diperlukan juga pembaharuan pejabat yang berwenang untuk. menyidik tindak pidana kepabeanan tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16418
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tindak Pidana Kepabeanan merupakan suatu tindak pidana
khusus yang diatur di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), yaitu dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995
tentang Kepabeanan juga telah mengatur kewenangan
penyidikan suatu tindak pidana kepabeanan yang secara
khusus diberikan kepada penyidik pegawai negeri sipil
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Undang-Undang Kepabeanan
pun mengatur kewenangan penyidikan suatu tindak pidana
kepabeanan dimungkinkan untuk beralih kepada penyidik POLRI
apabila terpenuhi syarat keadaan tertentu yang disebutkan
dalam peraturan kepabeanan terkait. Pada dasarnya sebagai
penyidik pegawai negeri sipil, keberadaan penyidik pegawai
negeri sipil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak
terlepas dari pengawasan dan koordinasi dengan penyidik
POLRI. Namun mengingat penyidik pegawai negeri sipil
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah dilengkapi
kewenangan untuk dapat melakukan upaya paksa penangkapan,
penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, maka penyidik
POLRI tidak banyak terlibat langsung dalam proses
penyidikan di lapangan, terkecuali apabila kewenangan
penyidikan telah beralih kepada penyidik POLRI. Penyidik
POLRI akan lebih banyak berperan memberikan petunjuk dan
melakukan pengawasan terhadap penyidikan tindak pidana
kepabeanan. Pada kenyataannya, di lapangan masih saja
terjadi penerapan hubungan dan kedudukan yang tidak tepat
antara penyidik pegawai negeri sipil Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai serta penyidik POLRI, dalam penyidikan tindak
pidana kepabeanan. Demikianlah yang terjadi pada penyidikan kasus tindak pidana kepabeanan atas tersangka Abdul Waris Halid."
Universitas Indonesia, 2006
S22291
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudi Kurniawan
"Mekanisme hubungan kerja antara penyidik pegawai negeri sipil dengan penyidik Poiri dalam proses penyidikan tindak pidana telah diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-Undang RI Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait. Hubungan kerja tersebut meliputi pemberitahuan dimulainya penyidikan, pemberian petunjuk, bantuan penyidikan (berupa bantuan teknis, bantuan taktis atau bantuan upaya paksa), penyerahan berkas perkara, penyerahan tersangka dan barang bukti, penghentian penyidikan, serta pelimpahan proses penyidikan tindak pidana. Dalam praktek di lapangan, hubungan kerja tersebut seringkali tidak berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga menjadi penghambat dalam proses penyidikan tindak pidana.
Tesis ini bertujuan untuk menunjukkan aplikasi hubungan kerja penyidik pegawai negeri sipil dengan penyidik Polri dalam proses penyidikan tindak pidana yang terjadi selama ini. Fokus tesis ini adalah hubungan kerja dalam bentuk koordinasi dan pengawasan terhadap penyidik pegawai negeri sipil yang dilakukan oleh penyidik Polri pada Seksi Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan menerapkan beberapa teknik pengumpulan data berupa pengamatan, wawancara dengan pedoman, dan kajian dokumen. Metode tersebut dipilih karena sifat dari masalah penelitian ini memerlukan pendalaman di mana peneliti harus memusatkan perhatiannya pada konteks yang dapat membentuk pemahaman mengenai fenomena yang diteliti.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan kerja dalam bentuk koordinasi dan pengawasan terhadap penyidik pegawai negeri sipil yang dilakukan oleh penyidik Polri dalam proses penyidikan tindak pidana belum seluruhnya berjalan dan bahkan ada yang tidak berjalan sama sekali, sebagaimana yang telah diatur dalam perundang-undangan. Dengan kata lain bahwa aplikasi hubungan kerja tersebut telah menyimpang dari ketentuan perundang-undangan yang ada. Hal ini disebabkan adanya perbedaan batas-batas kewenangan yurisdiksi dari masing-masing aparat penegak hukum, tidak efisiennya koordinasi dan pengawasan yang dilakukan penyidik Poiri terhadap penyidik pegawai negeri sipil, adanya perbedaan persepsi-dari instansi lain terhadap penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik Polri, dan tidak adanya ketentuan mengenai penjatuhan sanksi terhadap penyimpangan hubungan kerja yang telah diatur dalam perundang-undangan tersebut.
Implikasi dari tesis ini adalah perlunya perubahan terhadap ketentuanketentuan yang mengatur tentang mekanisme hubungan kerja antara penyidik pegawai negeri sipil dengan penyidik Polri agar tidak menghambat proses penyidikan tindak pidana dan tidak menyimpang dari ketentuan perundangundangan.
Daftar Kepustakaan : 22 buku + 18 perundang-undangan + 3 bacaan dari internet + lampiran-lampiran."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15162
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>