Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 111483 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harjo Winoto
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S21792
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Scientia Afifah Taibah
"Fenomena cyberbullying merupakan fenomena yang sedang marak terjadi di beberapa negara di dunia, termasuk salah satunya adalah Indonesia. Dampak buruk yang ditimbulkannya terhadap anak-anak dan remaja menjadikan cyberbullying tidak bisa diremehkan keberadaannya. Dengan menggunakan metode penelitian dalam bentuk yuridis normatif dan bersifat eksploratoris, penelitian ini mencoba menggali bagaimana dampak buruk cyberbullying terhadap perkembangan anak-anak di Indonesia dan bagaimana hukum dapat menyikapinya. Adapun undang-undang yang relevan dengan topik ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa sampai saat ini cyberbullying belum memperlihatkan dampak buruk bagi anak di Indonesia, sehingga penanganannya sejauh mungkin dilakukan dengan upaya nonpenal yang melibatkan pemerintah, orang tua, guru, anak-anak dan masyarakat, namun tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan upaya penal sebagai bentuk preventif.

Cyberbullying phenomenon is now a common phenomenon in many countries including Indonesia. Its impacts on children and adolescents make the cyberbullying existence can not be underestimated. By using the methods of research in the form of juridicial normative - exploratory, this study attempts to explore how the devastating impact of cyberbullying influence children's development in Indonesia and how the law can react to it. Regulations that related to this topic are Book of Penal Code, Child Protection Act, Pornography Act, and Electronic Transaction and Information Act.
The results of this study concluded that until now the cyberbullying has not shown the bad impact for children in Indonesia, so that the handling as far as possible should be by the nonpenal efforts involving government, parents, teachers, children and communities, but it is still possible to use penal efforts as the preventive form.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45390
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Tongam Gilbert Leonardo
"ABSTRAK
Praktik makelar merupakan fenomena umum di Indonesia. Dampak negatifnya terhadap masyarakat juga dihadapi dengan masih adanya kebutuhan masyarakat akan praktik percaloan. Dengan menggunakan metode penelitian yang bersifat yuridis-normatif dan bersifat eksploratif, penelitian ini mencoba menggali dampak-dampak yang ditimbulkan oleh praktik percaloan terhadap masyarakat dan apakah dampak tersebut cukup urgen untuk menjadikan percaloan sebagai tindak pidana. Hukum yang relevan dengan topik ini adalah KUHP dan KUHP. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa praktik percaloan belum memiliki urgensi untuk dijadikan sebagai tindak pidana di Indonesia sehingga penanganannya sedapat mungkin dilakukan dengan upaya non penal yang melibatkan pemerintah dan masyarakat, namun dilakukan tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan upaya penal sebagai bentuk pencegahan.

ABSTRACT
The practice of brokering is a common phenomenon in Indonesia. The negative impact on the community is also faced by the community's need for brokering practices. By using research methods that are juridical-normative and exploratory, this study tries to explore the impacts of brokering practices on society and whether these impacts are urgent enough to make brokering a criminal act. The laws relevant to this topic are the Criminal Code and the Criminal Code. The results of this study conclude that the practice of brokering does not yet have urgency to be used as a criminal act in Indonesia so that its handling is carried out as far as possible with non-penal efforts involving the government and the community, but it is possible to use penal efforts as a form of prevention."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Irianti Ridwan
"Wacana sirkumsisi perempuan yang diakui sebagai pelanggaran hak asasi perempuan dipraktikkan pada perempuan di berbagai negara termasuk Indonesia Praktik ini diindikasikan tak memiliki manfaat dan justru menimbulkan dampak buruk pada perempuan yang disirkumsisi Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelayakan praktiknya untuk dikriminalisasi dan mengetahui kondisi serta kebijakannya di Indonesia Perbandingan terhadap negara Mesir Guinea Perancis dan Australia dilakukan untuk mengetahui penanganannya di masing masing negara Tiga parameter digunakan untuk menganalisis sirkumsisi perempuan teori kriminologi konstitutif teori dominan dan kriteria kriminalisasi berdasarkan pendapat para sarjana Penelitian mencakup sejarah alasan jenis jenis beserta analisis praktiknya dari sudut budaya agama kesehatan dan HAM Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif analitis Sirkumsisi perempuan tak diatur dalam ketentuan pidana Indonesia dan analisis menunjukkan bahwa praktiknya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana Keempat negara pembanding memiliki strategi penal dan non penal dalam menangani praktiknya Hasil penelitian menyarankan perlunya pengaturan hukum akan sirkumsisi perempuan khususnya hukum pidana kriminalisasi dan kerjasama antara seluruh lapisan masyarakat untuk menangani dan mencegahnya

Wacana sirkumsisi perempuan, yang diakui sebagai pelanggaran hak asasi
perempuan, dipraktikkan pada perempuan di berbagai negara termasuk Indonesia.
Praktik ini diindikasikan tak memiliki manfaat dan justru menimbulkan dampak
buruk pada perempuan yang disirkumsisi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
kelayakan praktiknya untuk dikriminalisasi dan mengetahui kondisi serta
kebijakannya di Indonesia. Perbandingan terhadap negara Mesir, Guinea, Perancis
dan Australia dilakukan untuk mengetahui penanganannya di masing-masing negara.
Tiga parameter digunakan untuk menganalisis sirkumsisi perempuan: teori
kriminologi konstitutif, teori dominan, dan kriteria kriminalisasi berdasarkan
pendapat para sarjana. Penelitian mencakup sejarah, alasan, jenis-jenis, beserta
analisis praktiknya dari sudut budaya, agama, kesehatan, dan HAM. Penelitian ini
adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif analitis. Sirkumsisi perempuan
tak diatur dalam ketentuan pidana Indonesia, dan analisis menunjukkan bahwa
praktiknya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Keempat negara pembanding
memiliki strategi penal dan non-penal dalam menangani praktiknya. Hasil penelitian
menyarankan perlunya pengaturan hukum akan sirkumsisi perempuan khususnya
hukum pidana (kriminalisasi), dan kerjasama antara seluruh lapisan masyarakat untuk
menangani dan mencegahnya."
Universitas Indonesia, 2014
S56684
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sutejo
"ABSTRAK
Program komputer merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi dalam Undang-
Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pelanggaran Hak Cipta pada
program komputer bisa bermacam-macam, salah satunya adalah penggunaan
perbanyakan program komputer tanpa izin yang dilakukan oleh Pengguna Akhir
(end user). Berdasarkan Pasal 72 ayat (3) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta, Pelanggaran atas tindakan tersebut dapat diancam dengan
sanksi pidana. TRIP?s mengamanatkan dalam Pasal 61, negara anggota wajib
menerapkan sanksi pidana dalam Undang-Undang Hak Cipta dalam hal Copyright
piracy pada skala komersial (commercial scale) tertentu. Pada Undang-Undang
Hak Cipta Indonesia tidak memberikan ambang batas skala komersial dalam
pemberian sanksi pidana. Permasalahan dalam penelitian ini adalah:
Bagaimanakah kesesuaian kriminalisasi pelanggaran Hak Cipta di Indonesia
khusus terhadap perbanyakan penggunaan program komputer tanpa izin, dengan
tujuan perlindungan Hak Cipta di Indonesia, dan Bagaimanakah ketentuan
pemidanaan yang diamanatkan oleh konvensi internasional terkait hak cipta yang
berkaitan dengan program komputer berikut penerimaannya dalam hukum Hak
Cipta nasional. Tujuan dari penelitian ini adalah: Mengetahui kesesuaian
kriminalisasi pelanggaran Hak Cipta di Indonesia khusus terhadap perbanyakan
penggunaan program komputer, dengan tujuan perlindungan Hak Cipta di
Indonesia, dan Mengetahui tentang ketentuan pemidanaan yang diamanatkan oleh
konvensi internasional terkait hak cipta yang berkaitan dengan program komputer
berikut penerimaannya dalam hukum Hak Cipta nasional. Peneliti menggunakan
metode penelitian pendekatan konseptual (conceptual approach). Penelitian ini
menyimpulkan bahwa kriminalisasi terhadap perbanyakan penggunaan program
komputer tanpa izin tidak sesuai dengan perlindungan Hak Cipta, dan Konvensi
Internasional tidak mengamanatkan untuk melakukan kriminalisasi terhadap
seluruh pelanggaran Hak Cipta. Selain itu konvensi internasional yang berkaitan
dengan Hak Cipta memberikan batasan harus ada commercial scale dalam hal
terjadi copyright piracy.

ABSTRACT
The computer program is one of the creations are protected under Law No. 19 of
2002 on Copyright. Copyright Infringement on the computer program can vary,
one of which is the use of a computer program without permission multiplication
by End Users. Pursuant to Article 72 paragraph (3) of Law No. 19 of 2002 on
Copyright, Violations of the act was punishable by criminal sanctions. TRIP's
mandate under Article 61, Member States must apply criminal sanctions in the
Copyright Act in terms Copyright piracy on a commercial scale. In the Indonesia
Copyright law does not provide a threshold on a commercial scale in the
provision of criminal sanctions. Problems in this research is: How is the
suitability of the criminalization of infringement of copyright in Indonesia against
the use of computer program reproduction without permission, with the aim of
Copyright protection in Indonesia, and How is mandated by the sentencing
provisions of relevant international conventions relating to copyright a computer
program following receipt Copyright law in the national. The purpose of this
research is: Knowing the suitability of the criminalization of infringement of
copyright in Indonesia against the use of computer program reproduction without
permission, with the aim of Copyright protection in Indonesia, and Knowing of
the sentencing provisions mandated by the relevant international conventions
relating to copyright a computer program following its acceptance in national
Copyright laws. Researcher use a conceptual approach to research methods. This
research concluded that the criminalization of the reproduction of the use of a
computer program without a license incompatible with the protection of
Copyright, and did not mandate the International Convention for the
criminalization of the entire infringement of copyright. Besides international
conventions relating to Copyrights provide limits should exist in the event
commercial scale of copyright piracy."
2012
T30676
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ananta Aji Wiguna
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang metode pembuktian yang digunakan KPPU dalam melakukan pembuktian terhadap praktik kartel yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaing dalam suatu pasar yang sama. Metode pembuktian yang digunakan KPPU terdiri dari metode pembuktian secara langsung (direct evidence) dan pembuktian berdasarkan keadaan (circumstansial evidence). Kedua metode pembuktian tersebut merupakan metode pembuktian yang telah diterapkan dinegara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa. Pembuktian secara langsung (direct evidence) dan pembuktian berdasarkan keadaan (circumstansial evidence) tidak hanya digunakan dalam praktek tetapi juga diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999. Metode pembuktian langsung (direct evidence) dan metode pembuktian berdasarkan keadaan (circumstansial evidence) digunakan KPPU dalam proses pembuktian praktik kartel secara berbeda-beda berdasarkan kebutuhan pembuktian tiap-tiap kasus. Metodologi yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif yang bersifat kualitatif, melalui studi kepustakaan. Analisis data yang dilakukan dalam penulisan ini menggunakan metode deskriptif dan bersifat kualitatif.

ABSTRACT
This thesis discusses about the method of proof used in making evidentiary KPPU against cartel practices undertaken by entrepreneurs with business competitors in a market the same. KPPU used method of proof consists of direct method of proof (direct evidence) and evidence based on the circumstances (circumstansial evidence). The second method of proof is a proof method that has been adopted country-developed countries like the United States and the European Union. Prove directly (direct evidence) and evidence based on the circumstances (circumstansial evidence) is not only used in practice but also stipulated in Law No. 5 Year 1999. Direct proof method (direct evidence) and the method of proof based on the circumstances (circumstansial evidence) used in the process of proving KPPU cartel practices in different ways based on the evidentiary requirements of each case. The methodology used in this paper is normative juridical qualitatively, through literature study. Data analysis within this study uses descriptive and qualitative methods."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia;, ], 2010
S24882
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Maruli C.C.
"Pada tahun 2009-2012, rangkaian kekerasan kolektif bernuansa agama, sekte, keyakinan, etnis, golongan dan orientasi seksual terjadi di Indonesia. Berbagai peristiwa tersebut menunjukkan, kekerasan yang dilandasi perasaan kebencian sering terjadi di sekitar kita. Peristiwa tersebut, jatuh korban manusia dan kerugian harta yang tidak sedikit, serta menimbulkan luka yang mendalam dan permusuhan yang berkepanjangan. Fenomena inilah yang disebut dengan "kejahatan kebencian (hate crimes)."
Penelitian ini bertujuan menjelaskan pentingnya pemahaman yang komprehensif mengenai kebijakan-kebijakan penanganan hate crimes oleh lembaga otoritas negara terkait. Selain itu, penelitian ini juga berupaya memberikan pemahaman baru mengenai urgensi kriminalisasi terhadap hate crimes di Indonesia dilihat dari faktor pendukung dan penghambatnya.
Penelitian menghasilkan berbagai temuan, antara lain bahwa terjadi hate crimes secara bias terhadap agama dan orientasi seksual di Indonesia. Terdapat dua kategori hate crimes berbasis agama, yaitu antara agama yang berbeda, dan antara sekte di dalam satu agama yang sama.
Hasil analisis, ada dua syarat agar kriminalisasi hate crimes dapat dilaksanakan. Pertama, prespektif yang digunakan konsensus liberal, konflik, dan labeling. Prespektif tersebut berhubungan timbal balik dengan konstruksi sosial tentang hate crimes. Konstruksi sosial ini signifikan sebagai faktor pendukung dan penghambat kriminalisasi. Jika konstruksi sosial terhadap hate crimes adalah sebagai perilaku jahat, ketidaksetaraan dan penindasan kelompok minoritas, maka persepsi mendukung kriminalisasi. Jika hate crimes bukan kejahatan, maka dapat menghambat kriminalisasi. Kedua, terpenuhinya tujuh parameter Schuyt berhubungan timbal balik dengan legalitas sosial bagi kriminalisasi hate crimes. Kriminalisasi hate crimes tidak selalu berbentuk undang-undang baru, melainkan bisa saja pemberdayaan undang-undang yang ada dan supremasi hukum, serta profesionalisme penegakan hukum.
Kesimpulannya, kriminalisasi hate crimes akan terwujud bila terdapat signifikansi konstruksi dan legalitas sosial sebagai faktor pendukung. Kesimpulan ini menggambarkan teori baru bersifat meso-mikro, karena berkategori teori Posmo. Teori ini dapat menjelaskan kriminalisasi dalam interplay dengan filosofi sosial, kebijakan hukum (meso), namun juga dapat menjelaskan interplay dengan individu dan kelompok.

In 2009-2012, a series of collective violent incidents triggered by religions, sects, beliefs, ethnicity, class and sexual orientation, broke out in various places in Indonesia. Such incidents show that violence based on hatred often occurs around us, causing a long death toll and damaged properties. Such incidents have also inflicted deep social wounds and protracted hostilities. This phenomenon is called "hate crimes." The research aims at describing the importance of a comprehensive understanding on policies employed by related authorities or government agencies in controling hate crimes. In addition, this research is also trying to provide a new understanding on the urgency of the criminalization of hate crimes in Indonesia, viewed from the enabling and constraining factors.
Findings of the research include, among others, biased hate crimes have taken place against religious affiliations and sexual orientation in Indonesia. Two categories are set up for religious-based hate crimes: between different religions and among different sects of the same religion.
Analysis on research findings arrives at a conclusion, that there should at least be present two prerequisites to criminalize hate crimes. First, the use of liberal consensus, conflict, and labeling perspectives as a tool of analysis. All perspectives reciprocally connect with the existing social construction of hate crimes. Social constructions are indeed significant as enabling and constraining factors for criminalization. When the existing social construction perceives hate crimes as an evil act, an inequality and an oppression of minority groups, then the perception encourages criminalization. But when social construction perceives hate crimes as a good behaviour, then the perception discourages criminalization.
Second, Schuyt?s seven parameters are met, which reciprocally relate to the social legality for criminalizing hate crimes. Criminalization of hate crimes is not necessarily present in the form of a new law or act. It could also be manifested by empowering the existing laws, assuring the principle of law supremacy and increasing professionalism among law enforcement agencies.
This research concludes that criminalization of hate crimes could be established only if significant social construction and legality are built as enabling and constraining factors. This conclusion reflects the new theory as meso-micro in character, since it is placed under postmodernism. The theory can explain the relations and interplays between not only criminalization and social philosophies but also interplays of criminalization and individuals and groups."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galang Adhyaksa Pratama
"Dalam tulisan ini penulis akan menganalisis dan mengkritisi mengenai perdagangan pengaruh dan urgensi kriminalisasinya. Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah Salah satu norma yang diatur di dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) adalah perdagangan pengaruh atau trading in influence. Indonesia telah meratifikasi konvensi antikorupsi ini, tetapi masih belum diundangkan ke dalam hukum positif. Memperdagangkan pengaruh memiliki korelasi kuat dengan tindak pidana korupsi yang harus melibatkan tiga pihak (trilateral relationships), yakni pihak yang memiliki kepentingan, orang yang memiliki pengaruh atau akses terhadap kekuasaan, dan pejabat atau otoritas publik. Namun, dalam rumusan pasal UNCAC dan konvensi antikorupsi lain masih mengakomodasi bentuk bilateral relationship yang merupakan bentuk dalam tindak pidana suap. Dalam perdagangan pengaruh pejabat tidak perlu memperdagangkan pengaruhnya, cukup dilihat bahwa pejabat tersebut menyalahgunakan kewenangannya. Perdagangan pengaruh sulit untuk dilihat bentuknya dan sudah mengakar dalam masyarakat Indonesia karena menganggap menggunakan pengaruh seseorang adalah hal yang wajar. Hal ini dapat terlihat dari praktik perdagangan pengaruh yang semakin marak terjadi dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan. Dalam praktiknya penuntut umum sering kali menggunakan Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) juncto Pasal 64 ayat (1) untuk menjerat pelaku perdagangan pengaruh, tetapi dalam pembuktiannya tidak semua unsur dalam pasal tersebut terpenuhi secara sah dan meyakinkan. Berbanding terbalik dengan unsur-unsur dalam Pasal 18 UNCAC yang mengakomodasi perbuatan perdagangan pengaruh. Agar pemberantasan tindak pidana korupsi berjalan lebih baik dan maksimal pengaturan norma untuk menjerat pelaku perdagangan pengaruh harus menjadi prioritas utama agar segera dibentuk undang-undang atau peraturan mengenai perbuatan memperdagangkan pengaruh dalam hukum positif di Indonesia.

In this paper, the author will analyze and criticize the trading of influence and the urgency of criminalization. One of the norms regulated in the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) is trading in influence. Indonesia has ratified this anti-corruption convention, but it has not yet been enacted into positive law. Trading in influence has a strong correlation with corruption which must involve three parties (trilateral relationships), namely parties with interests, people with influence or access to power, and officials or public authorities. However, the formulation of the UNCAC article and other anti-corruption conventions still accommodates the form of a bilateral relationship which is a form of bribery. In trading the influence of an official, it is not necessary to trade his influence, it is sufficient to see that the official is abusing his authority. Trading in influence is difficult to see in its form and is deeply rooted in Indonesian society because it is considered normal to use someone's influence. This can be seen from the practice of trading in influence which is increasingly prevalent and is carried out by people who have power. In practice, public prosecutors often use Article 11 of Law no. 20 of 2001 concerning the Eradication of Corruption in conjunction with Article 55 paragraph (1) in conjunction with Article 64 paragraph (1) to ensnare the perpetrators of influence trading, but in proving not all elements in the article are legally and convincingly fulfilled. In contrast to the elements in Article 18 UNCAC which accommodates acts of trading in influence. For the eradication of criminal acts of corruption to run better and optimally, regulation of norms to ensnare influence trading actors must be a top priority so that laws or regulations are immediately formed regarding acts of trading in influence in positive law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peranginangin, Hizkia
"Skripsi ini membahas tentang dugaan praktik kartel kedelai impor yang dilakukan oleh beberapa perusahaan importir di Indonesia. Dugaan ini timbul setelah adanya tata niaga impor kedelai oleh Kementerian Perdagangan dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perdagangan No. 45/M-DAG/PER/8/2013. Berdasarkan Surat Persetujuan Impor (SPI) yang diterbitkan, terlihat adanya pembagian kuota impor yang tidak proposional dimana terdapat tiga importir yang memiliki jatah impor melebihi 66 persen dari total kuota impor yang memberikan peluang sangat besar untuk dapat dilakukannya kartel yang melanggar ketentuan Pasal 11 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Terlebih lagi dugaan ini diperkuat dengan adanya kelangkaan komoditas kedelai di pasar yang mengakibatkan melambungnya harga kedelai di Indonesia sekaligus tercatat sebagai harga kedelai termahal yang pernah ada. Namun pembuktian terjadinya praktik kartel bukanlah perkara yang mudah. Dituntut peran KPPU yang optimal dalam menjalankan fungsinya untuk membuktikan apakah benar terjadi kartel atau tidak.

This thesis analyzes the alleged of cartel practices of imported soybeans by some importer companies in Indonesia. These allegations arose after the Trade Ministry made a new trade system of imported soybeans by promulgating the regulation of the Minister of Trade No. 45/M-DAG/PER/8/2013. Based on a letter of approval to import, the division of the import quota to each importers is not propotional, where there were three importers who have more than 66 percent quota of the total import quota. That gives enormous opportunities to be able to do the cartels that violate the provisions of article 11 of Regulation Number 5 Year 1999. Moreover, these allegations were reinforced by the scarcity of soybeans commodity in the market that led to soaring price of soybean in Indonesia and also listed as the most expensive ever. But proving the cartel practices is not an easy matter. Optimal KPPU's role demands in carrying out its functions to prove whether or not the cartel does occur."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54549
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ingrid Gratsya Zega
"Dalam pengaturan kartel di Indonesia, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Rule of Reason, dengan kata lain harus ada proses pembuktian yang menunjukkan bahwa memang telah terjadi praktek kartel diantara para pelaku usaha. Diseluruh negara di dunia yang memberlakukan Hukum Persaingan Usaha, praktek kartel merupakan pelanggaran yang sangat sulit untuk dibuktikan. Hal ini dikarenakan kasus kartel jarang atau tidak memiliki bukti langsung (direct evidence/hard evidence), mengingat pada umumya perjanjian kartel tidak dibuat berdasarkan perjanjian tertulis. Dikarenakan kesulitan tersebut, munculnya praktek penggunaan indirect evidence sebagai alat bukti pun banyak dilakukan di berbagai negara, didasari pertimbangan bahwa memang sulit memperoleh bukti langsung dari praktek kartel. Pada praktiknya, yang kerap digunakan KPPU sebagai indirect evidence adalah hasil analisis terhadap hasil pengolahan data yang mencerminkan terjadinya supernormal profit yang terjadi bukan karena peningkatan efisiensi dan produktivitas perusahaan. Jika melihat putusan KPPU atas kasus dugaan kartel fuel surcharge (komponen tarif baru yang ditujukan untuk menutup biaya yang diakibatkan oleh kenaikan harga avtur sebagai imbas dari kenaikan harga minyak dunia) oleh sembilan maskapai penerbangan di Indonesia, maka kasus ini diputus didasarkan pada bukti tidak langsung (indirect evidence). Dalam putusannya Majelis KPPU menggunakan uji korelasi dan homogeneity variance test, yang sampai pada kesimpulan bahwa pergerakan fuel surcharge menunjukkan adanya trend yang sama diantara para terlapor (maskapai penerbangan). KPPU menilai sejak diberlakukan komponen tarif baru ini, fuel surcharge penerbangan mengalami kenaikan yang signifikan, dan tetap diberlakukan meskipun harga minyak dunia (avtur) mengalami penurunan yang signifikan. Dari apa yang terdapat dalam Peraturan KPPU, maka indirect evidence termasuk dalam kategori bukti petunjuk. Namun dalam Peraturan KPPU tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut apa saja yang termasuk dalam alat bukti petunjuk, hanya saja disebutkan bahwa petunjuk merupakan pengetahuan Majelis Komisi yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.

In analyzing the cartel, there are two kinds of business competition law approach is used, i.e. Per Se Illegal and Rule of Reason. In the cartel arrangements in Indonesia, the approach used is Rule of Reason, in other words there should be a process of evidence showing that indeed there has been a cartel practices among business actors. Around country in the world imposing a Business Competition Law, the cartel practice is a violation that is very difficult to prove. It because of cartel cases rarely or do not have direct evidence which is not generally made under a written agreement. Due to these difficulties, the emergence of using practice of indirect evidence as a proof was mostly done in many countries, based on the consideration it was difficult to obtain direct evidence. In practice, that is often used by the Business Competition Supervisory Commission as indirect evidence is the result of an analysis of data processing reflecting the occurrence of supernormal profits which is not due to the increased efficiency and productivity of the company. In its decision in case of alleged cartel fuel surcharge (new tariff component intended to cover expenses as the impact of the increased aviation fuel price affected by the rising world oil prices) by nine airlines in Indonesia, commission decided it based on indirect evidence (indirect evidence). In its decision the Commission used correlation and variance homogeneity test, which brought to the conclusion that the movement of fuel surcharge showed the same trend among the reported (airlines). The Commission considered since enacted the new tariff components, the fuel surcharge flights experienced a significant increase, and remain in place despite world oil prices (aviation fuel) has decreased significantly. From what is contained in the Commission's Regulations, indirect evidence is categorized as clue proof. In the Regulation itself is not explained further what is included in the clue proof, it's just mentioned that the clue is the knowledge by which the Commission is known and believed the truth."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29451
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>