Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176818 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Muhammad Asrun
"Penegakan hukum lingkungan menjadi isu yang sangat penting belakangan ini, karena Iingkungan hidup telah menjadi suatu indikator keberhasilan pembangunan. Dan keberhasilan penegakan hukum Iingkungan, amtara lain, tergantung pada kemampuan penegak hukum dalam membuktikan tindak pidana pencemaran Iingkungan. Penulis artikel ini berpendapat perlu ditingkatkan kemampuan teknis penegak hukum dalam hal pembuktian tindak pencemaran lingkungan, yang antara lain, melalui pendidikan hukum lanjutan atau pelatihan singkat."
1996
HUPE-26-2-Apr1996-75
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rosa Vivien R.
"Penerapan Ganti Kerugian dan biaya pemulihan lingkungan merupakan salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan pasal 20 UU kasus sengketa lingkungan, dan di atur didalam No. 4 tahun 1982. Selain itu gugatan ganti kerugian akibat pencemaran lingkungan dapat juga di ajukan dengan menggunakan pasal 1365 KUH Perdata, tetapi kecil kemungkinannya untuk dapat berhasil, karena syarat-syarat dalam pasal 1365 KUHPerdata ini terasa berat bagi penggugat UU N0. 4 tahun 1982 menganut asas musyawarah, karena sebelum gugatan diajukan Ke pengadilan, diwajibkan untuk menempuh jalan musyawarah terlebih dahulu. Apabila tidak tercapai kata sepakat, barulah di ajukan ke pengadilan. Sampai saat ini peraturan pelaksanaan dari pasal 20 UU No. 4 tahun 1982 ini belum ada peraturan pelaksanaan nya, sehingga penyelesaian. masalah ganti kerugian dan biaya pemulihan lingkungan di luar pengadilan (seperti negosiasi dan mediasi) terasa lebih efektif dan perlu di kembangkan, selain itu hasilnya lebih memungkinkan untuk dapat memuaskan kedua belah pihak. Menyadari bahwa tidak mudah untuk menuntut industri-industri pencemar lingkungan agar mau memenuhi tanggung jawab mereka membayar ganti kerugian kepada masyarakat dan biaya pemulihan lingkungan kepada negara, maka perlu segera dibentuk peraturan pelaksana dari mekanisme penerapan ganti kerugian dan biaya pemulihan lingkungan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1994
S20673
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hengki Purwowidagdo
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
S21947
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Yuli Hanifah
"Pembangunan tidak akan mencapai kemajuan yang berarti tanpa disertai dengan kegiatan industrialisasi. Di sisi lain pembangunan industri juga membawa dampak negatif terhadap keseimbangan lingkungan hidup. Lingkungan hidup adalah segala sesuatu yang ada, baik makhluk hidup maupun benda mati termasuk daya dan kondisi yang terdapat dalam ruang dimana kita hidup dan dapat mempengaruhi kehidupan.
Suatu sistem ekologis terj adi secara alamiah, namun seringkali manusia berperan dalam menciptakan keseimbangan bahkan ketidak-seimbangan ekosistem. Kasus pencemaran dan perusakan lingkungan hidup pada umumnya terjadi karena adanya over exploitation terhadap sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampaknya dalam dimensi waktu yang lebih panjang, atau industriawan enggan mengeluarkan biaya untuk menanggulangi limbah pabrik yang berbahaya (hazadous waste)
Terhadap pencemaran dan perusakan lingungan hidup ini tindakan hukum harus diambil segera untuk menunjukan bahwa pelaku harus embayar mahal setiap perbuatan mereka yang merusak dan mengakibatkan kerugian pada orang lain. Undang-Undang No. 4 tahun 1982 pasal 23 menjadi dasar hukum acuan untuk dapat menuntut pihak pelaku dengan ketentuan hukum. pidana yang telah ada. Untuk mengaktualisasi pasal 20 dan 21 UULH, pihak masyarakat korban atau LSM lingkungan hidup dapat menggugat secara perdata dengan menggunakan ketentuan pasal 1365 KUH Perdata t entang perbuatan melanggar hukum (PMH) di forum pengadilan.
Adanya peluang hukum tersebut memberikan keberanian kepada WALHI untuk mengajukan gugatan PMH terhadap PT. IIU dan Pemerintah RI di forum pengadilan pada 20 Desember 1988. Kasus ini menjadi kasus lingkungan hidup paling menarik dan paling revolusioner ditahun 1989 dimana secara implisit lingkungan hidup diakui sebagai subyek hukum. Dengan demikian setiap pelaku dapat dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang merugikan orang lain."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S20377
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Loemau, Alfons
"Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga dampak negatif (misalnya terjadinya pencemaran). Produsen tidak memasukkan eksternalitas sebagai unsur biaya dalam kegiatannya, sehingga pihak lain yang dirugikan. Hal ini akan merupakan kendala pada era tinggal landas, karena kondisi ini berkaitan dengan perlindungan terhadap hak untuk menikmati lingkungan yang baik dan sehat. Masalah pencemaran ini jika tidak ditanggulangi akan mengancam kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Di sepanjang Kali Surabaya terdapat sekitar 70 industri yang punya andil membuang limbah ke badan sungai tersebut. Permasalahan ini menjadi semakin mendapat perhatian dengan dibangunnya instalasi Pengelolaan Air Minum (PAM) di wilayah Karang Pilang yang merupakan proyek peningkatan kapasitas pengelolaan air minum untuk mencukupi kebutuhan air minum di Surabaya atas bantuan Bank Dunia. Pada tahun1988, dua di antara 70 perusahaan/industri yang diduga memberikan kontribusi pencemaran terhadap Kali Surabaya diajukan ke pengadilan. Kedua perusahaan ini adalah PT Sidomakmur yang memproduksi Tahu dan PT Sidomulyo sebagai perusahaan peternakan babi. Limbah dari kedua perusahaan ini dialirkan ke kali Surabaya, dan diperkirakan telah menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan hidup.
Untuk dapat membuktikan bahwa suatu perbuatan telah menimbulkan pencemaran perlu penyidikan, penyidikan ini dilakukan oleh aparat POLRI. Untuk itu di samping diperlukan kemampuan dan keuletan setiap petugas, juga diperlukan suatu model yang dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu perbuatan telah memenuhi unsur pasal (Pasal 22 UU No. 4 Tahun 1982), seperti halnya dengan kasus Kali Surabaya.
Polisi (penyidik) dalam penyidikan berkesimpulan bahwa telah terjadi pencemaran karena kesengajaan, sehingga perkara ini diajukan ke Pengadilan Negeri Sidoardjo, tetapi hakim memutuskan bahwa tidak terjadi pencemaran. Sedangkan pada tingkat Mahkamah Agung menilai bahwa Hakim Pengadilan Negeri Sidoardjo salah menerapkan hukum, selanjutnya MA memutuskan bahwa perbuatan tersebut terbukti secara sah dan menyakinkan mencemari lingkungan hidup karena kelalaian. Perbedaan ini menunjukkan bahwa permasalahan lingkungan hidup merupakan permasalahan kompleks, rumit dalam segi pembuktian dan penerapan pasal, serta subyektivitas pengambil keputusan cukup tinggi, sehingga perlu suatu media untuk menyederhanakan, memudahkan dan meminimalisir unsur subyektivitas.
Tujuan penelitian ini adalah menetapkan model untuk menentukan prioritas teknik penyelidikan, menentukan terjadi tidaknya pencemaran, menentukan pencemaran disebabkan oleh kesengajaan atau kelalaian dan mengidentifikasikan kendala penyidikan.
Penelitian ini diharapkan memberikan masukan dalam upaya penegakan hukum sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. Criminal Justice System (CJS) dan lebih memberikan kepastian hukum (jaminan perlindungan hak) pihak yang terlanggar (korban pencemaran) maupun pihak yang melanggar. Sifat dari penelitian ini adalah Studi Kasus, yakni kasus pencemaran kali Surabaya oleh PT Sidomulyo dan PT Sidomakmur. Penentuan kasus ini didasarkan pada pertimbangan bahwa adanya dua putusan yang berbeda, pada tingkat Pengadilan Negeri Sidoarjo dan pada tingkat Kasasi. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, Data primer diperlukan berkaitan dengan aplikasi Proses Hirarki Analitik(AHP)dan kendala penyidikan, sedangkan data sekunder diperlukan untuk mempertajam pembahasan hasil penelitian data primer.
Pengumpulan data dalam aplikasi AHP dilakukan terhadap populasi, yakni sebanyak 6 anggota POLRI (sebagai aparat penyidik pada kasus tersebut) dan 14 orang responden dari 9 instansi yang terlibat. Sedangkan untuk mengidentifikasi kendala penyidikan, di samping dilakukan pada 6 anggota POLRl (sebagai aparat penyidik) juga dilakukan pada 5 orang pemerhati di bidang hukum dan lingkungan.. Pengambilan data terhadap pemerhati di bidang Hukum dan Lingkungan dilakukan dengan metode non random sampling.
Metode analisis data yang dipakai adalah menggunakan Model AHP, proses ini dimulai dengan mendefinisikan situasi dengan seksama, memasukkan atau melengkapi dengan sebanyak mungkin detail yang relevan yang akan digunakan sebagai faktor yang memberikan kontribusi. Sesuai dengan tujuan penelitian, maka Model AHP dirumuskan dalam 3 kelompok hirarkis, hirarkis pertama adalah menentukan prioritas teknik penyelidikan, hirarkis kedua adalah menentukan terjadi tidaknya pencemaran dan hirarkis ketiga adalah menentukan pencemaran tersebut karena lalai atau sengaja. Sedangkan untuk mengidentifikasikan kendala penyidikan digunakan metode deskriptif analitis.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa prioritas pertama (sesuai dengan derajat pentingnya) penggunaan teknik penyelidikan dalam mendapatkan data/informasi awal dalam upaya menentukan tindak pidana pencemaran lingkungan kali Surabaya adalah "teknik Surveillance" dengan nilai 0,344, disusul oleh teknik pemeriksaan dokumen (0,329). Berdasarkan proses AHP menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh PT Sidomulyo dan PT Sidomakmur telah nyata mencemari lingkungan dengan nilai 0,763, dan pencemaran tersebut telah nyata memenuhi unsur sengaja denga nilai 0,815. Kendala utama dalam pelaksanaan penyidikan kasus tersebut adalah pasifnya petugas penyidik lapangan, peran BKKLH dan Advokasi LSM belum efektif, ruang gerak penegak hukum yang terbatas, ketidaksederhanaan perangkat hukum yang ada, kemampuan penguasaan hukum aparat yang belum memadai.

Development activities carried out by Indonesia has not produced positive impact only, but negative impact as well (pollution for instance). The producer has not included externalities as cost element in its activities, so that another party has to bear the burden. This is a constraint in the "take off era", because it is related with the protection towards the right to enjoy a good and healthy environment. This pollution problem, if it is not overcome instantly, it will threaten the everlasting living environmental function.
There are about 70 industries that have their respective shares in disposing waste into the river body along the Surabaya river. This issue has received ever increasing attention with the establishment of the Drinking Water Management Installation (PAM) in the Karang Pilang area, The project is to increase the drinking water management capacity to satisfy the need for drinking water in Surabaya with the aid of the World Bank. In 1988, two out of the 70 enterprises/industries that were suspected of polluting the Surabaya river, were sent to court. They were PT Sidomakmur, which produced tofu and PT Sidomulyo, a pig raising enterprise. The wastes Of the two enterprises were disposed of into the Surabaya river and suspected to have polluted the living environment.
To prove that an act has caused pollution, an investigation need to be carried out. This investigation was undertaken by the police (POLRI). For that purpose, besides the ability and tenacity of each and every officer, a model is also needed that can be used to determine whether or not an act has complied with the provision of an article of law (article 22 Act No 4 year 1982) as was the case of the Surabaya river.
The police (investigator) concluded that pollution did occur intentionally so that the case was brought to the Sidoardjo Court of law. However, the Judge decided that no pollution took place. Whereas the Supreme Court considered that the Sidoardjo Court of Law has mis-applied the Law. Hence, the Supreme Court decided that the act was proven beyond the reasonable doubt that the living environment was polluted due to negligence. This difference showed that living environment is a complex issue, intricate in providing proofs as well as application of the articles of Law. In addition, the subjectivity of the decision maker is reasonably high, so that a medium needs to be invented to simplify, facilitate and minimize the element of subjectivity.
The objective of this study is to formulate a model to determine investigation technique priority, to determine the occurrence or non-occurrence of pollution to determine the pollution was caused intentionally or due to negligence and to identify the constraints of investigation. This study is hoped to provide input towards endeavours of Law Enforcement as part of the Criminal Justice System. What is more, it is hoped to provide a more definite legal certainty (guaranteeing rights protection) to both the affected party (pollution victim) as well as the offender.
The nature of this study is a case study, namely the Surabaya river pollution by PT Sidomulyo and PT Sidomakmur. The determination of this case was based on the consideration that there were two different decisions made, namely at the Sidoardjo Court of Law and at the level of the Supreme Court. The data needed in this study were both, primary data and secondary data. The primary data needed were related to the application of Analytical Hierarchy Process (AHP) and investigation constraints. Whereas, the secondary data needed was to focus the discussion on the results of the primary data. Data collection in the AHP application was carried out towards the population, namely 6 Police Officers (as investigators of the case in question) and 14 respondents of 9 related institutions. Whereas, to identify the investigation constraints, besides the 6 Police Officers, 5 observers in the legal and environmental fields were also included. Data collection of the latter were carried out by using the non-random sampling method.
The method of data analysis used was the Analysis Hierarchy Process (AHP) model. In this process, strict situational definition was the initial step, thence additions or supplementing with as many relevant details as possible to be used as factors that provide contributions. In accordance to the objective of the study, the Alf? model was formulated into 3 hierarchical groups. The first hierarchy is to decide the investigation technique priority, the second hierarchy is to decide the occurrence or non-occurrence of pollution and the third hierarchy is to decide whether the pollution was caused by negligence or intentionally_ Whereas, to identify the investigation constraints, the descriptive analysis method was used.
This study concluded that the first priority (according to the degree of data/information in efforts to determine environmental pollution criminal act of Surabaya river was the "Surveillance Technique" with a value of 0.34-4, followed by documents investigation technique (0.329). Based on the AHP process, it was disclosed that the activities conducted by PT Sidomulyo and PT Sidomakmur were obviously polluting the environment with a value of 0.763. The pollution in question was in fact complying with the intentionally element with a value of 0.815. The main obstacle in the implementation of the case investigation was the passivity of the field investigating officer, the role of BKKLH and NGO advocacy that were not yet effective, the limited law enforcement space to move, the presence of non-simplified legal system, the inadequate and inability of the legal apparatus in the mastery of the trade.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tampubolon, Jones Guntur
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1984
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Aswin
"ABSTRAK
Kegiatan manusia dan pembangunan yang selalu didambakan, sering mengakibatkan berubahnya tatanan lingkungan sehingga lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya, yang disebut telah terjadi pencemaran lingkungan. Pencemaran sebagai hasil suatu perbuatan yang merugikan orang/pihak lain, secara hukum (perdata) harus dipertanggung jawabkan dengan sejumlah ganti kerugian (pasal 1365 KUH Perdata). Pembahasan mengenai masalah tanggung jawab ganti kerugian pencemaran lingkungan hidup ini meliputi baik segi sistemnya, segi pembuktiannya, segi tujuan ganti kerugian dan biaya pemulihan lingkungan, segi proses penentuan besarnya ganti kerugian dan besarnya yang mungkin diberikan kepada penderita pada masing-masing system tanggung jawab ganti kerugian tersebut.

"
1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>