Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142083 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Perceraian dari perkawinan campuran mempunyai akibat
lebih luas dibandingkan perceraian dari perkawinan pada
umumnya. Sebelum Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006, anak
dari hasil perkawinan campuran tidak mendapatkan
perlindungan hukum dari negara, apalagi bila perkawinan
dilakukan antara laki-laki warga negara asing dengan wanita warga negara Indonesia. Dengan dikeluarkannya Undang-undang kewarganegaraan maka bagaimanakah akibat terhadap anak dan harta bersama dari perkawinan campuran apabila terjadi perceraian. Penulisan pada kali ini berjudul tinjauan yuridis akibat perkawinan campuran terhadap status anak dan harta bersama dari perkawinan campuran dengan menggunakan metode kepusatakaan yang bersifat normatif dengan jenis penelitian menarik asas hukum untuk mendapatkan gambaran menyeluruh terhadap permasalahan yang diteliti. Juga menganalisa putusan Mahkamah Agung nomor 430 PK/PDT/2001 untuk lebih memudahkan dalam pembahasannya. Setelah dikeluarkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006, maka anak
dari perkawinan campuran berhak mendapatkan dwi
kewarganegaraan terbatas, yaitu kewarganegaraan dari ayah
dan ibu secara bersama-sama sampai usia 18 (delapan belas) tahun atau telah kawin. Pembagian harta bersama untuk benda tidak bergerak, yaitu berupa tanah hak milik tidak dapat dimiliki suami atau istri yang berkewarganegaraan asing kerana adanya asas kebangsaan yang dianut dalam Pasal 1 jo Pasal 21 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Berdasarkan hal tersebut, maka Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 lebih memberikan perlindungannya kepada warga negaranya khususnya
kepada wanita dan anak-anak dibandingkan dengan Undangundang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 dapat berjalan efektif apabila dilakukan menurut ketentuan yang berlaku dan tidak adanya penyalahgunaan baik oleh petugas maupun masyarakat."
[Universitas Indonesia, ], 2007
S21285
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risna Hartini
"Perkawinan campuran sejak awal telah menimbulkan banyak permasalahan hukum. Permasalahan hukum tersebut antara lain mengenai pilihan hukum untuk melangsungkan perkawinan, setelah terjadinya perkawinan dan perceraian, khususnya status hukum kewarganegaraan anak dari perkawinan campuran tersebut. Berdasarkan Pasal 30 ayat 12 dan 3) ROU- HPI dapat disimpulkan bahwa hukum yang berlaku bagi yang melaksanakan perkawinan campuran tersebut adalah hukum tempat kediaman sehari-hari dan atau hukus tempat perceraian diajukan. Berdasarkan ketentuan tersebut maka hukum yang berlaku untuk kewarganegaraan anak dari perkawinan campuran di Indonesia adalah hukun Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan. Sebagai contoh dari permasalahan tersebut adalah kasus status kewarganegaraan OLIVIA NATHANIA yang ayahnya warga Negara Brunei dan kawin dengan ibunya Marga Negara Indonesia di Indonesia, kemudian berceral di Indonesia. Dalam menganalisa status kewarganegaraan anak tersebut maka penulis menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif dan pendekatan kualitatif. Kemudian data yang dipergunakan adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian bahan-bahan kepustakaan. Data tersebut kemudian diseleksi, dikelompokkan dan disusun sintimatis kemudian dianalisis. Berdasarkan xatentuan Perundangan-undangan yang berlaku yaitu Undang- Undang Perkawinan dan Undang-Undang Kewarganegaraan serta NOU-HP1 dan RUU-Kewarganegaraan. maka kewarganegaraan OLIVIA HATHANIA adalah Harga Indonesia. status Negara Seandainya ROU-HP1 dan K-Kewarganegaraan disahkan menjadi Undang-undang maka akan lebih menjamin keadilan Car sepastan hukum terhadap status kewarganegaraan anak dari perkawinan campuran Olen sarena itu penulis menyarankan kedua KUU Itu sebaiknya disahkan menjadi undang-undangan diberlakukan di Indonesia"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T36185
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Amanati
"Pada umumnya masyarakat yang melakukan perkawinan campuran tidak memperhatikan dan mengetahui hal-hal yang harus dilakukan sebelum mereka melakukan perkawinan campuran terutama hal-hal yang menyangkut mengenai harta bersama yang diperoleh sepanjang perkawinan mereka. Pada dasarnya seseorang yang melakukan perkawinan campuran tidaklah dapat secara bebas untuk membeli hak-hak atas tanah di Indonesia dikarenakan pasangannya yang berkewarganegaraan asing tetap mempunyai hak tersebut karena adanya harta bersama. Hal ini karena adanya pembatasan hak kepemilikan tanah yang diatur dalam hukum pertanahan Indonesia pasal 1 jo pasal 21 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 yang berazaskan kebangsaan.
Penelitian kali ini berjudul "Tinjauan Yuridis Perjanjian Kawin Dalam Perkawinan Campuran Terhadap Harta Bersama" dengan menggunakan metode kepustakaan yang bersifat normatif dengan jenis penelitian menarik asas hukum untuk mendapatkan gambaran menyeluruh terhadap permasalahan yang diteliti serta wawancara kepada narasumber atau informan untuk menambah informasi atas penelitian. Juga menganalisa putusan Pengadilan Agama Bandung nomor 495/Pdt.G/2005/PA.Bdg sebagai salah satu contoh perkawinan campuran. Seseorang yang melakukan perkawinan campuran harus membuat perjanjian kawin diluar persekutuan harta dan benda sebelum melakukan perkawinan serta didaftarkan agar dapat mengikat pihak ketiga serta adanya kepastian hukum.
Hal ini agar tidak terdapat persatuan harta dan benda dalam bentuk apapun antara suami dan istri tersebut sesuai yang diatur dalam pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 139 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pada kenyataannya, masih banyak masyarakat yang melakukan perkawinan campuran dengan tidak membuat perjanjian kawin diluar persekutan harta dan benda karena unsur ketidaktahuan atau tidak adanya budaya membuat perjanjian kawin dalam perkawinan di Indonesia. Sehingga ketika terjadi perceraian dan pewarisan menimbulkan permasalahan dan dalam pelaksanaannya sering terjadi penyelundupan hukum. Ini dapat menyebabkan seseorang kehilangan atas hak atas tanah tersebut.

In General, Couples of mixed marriage do not care and know what they should do before they enter married life, especially about their marital property. Principally, a person who did this marriage has limitation to posses land, because based on Article 1 jo article 21 Law Number 5 Year 1960 every possession that is purchased by a mixed couple after they are married is considered a collective possession. The couple would lose the right to own land because one of the parties was an expatriate.
The research is entitled "Judicial Review Of Prenuptial Agreement In Mixed Marriage On Marital Property". The normative library method is used in this research for getting full description about the problem. Interview with the informant is used to add information for the research. I also analyze verdict of religious court of Bandung Number 495/Pdt.G/2005/PA.Bdg as an example of mixed marriage case. An Indonesian (man or woman) in a mixed marriage has to make prenuptial agreement for separation property before they married to protect their assets and limit parties? right. After that the prenuptial agreement has to be registered to bind third party and legal certainty.
The prenuptial agreement to avoid joint marital property which is in line with article 29 Law Number 1 Year 1974 jo article 139 The Burgerlijk Wetboek.However, many mixed married couples who do not make prenuptial agreement in Indonesian marriage, since they are not familiar with making prenuptial agreement. Consequently, they find many problems when they divorce or one of them dies. Sometimes there is smuggling law which prohibit in our country and they can lose the right to own land."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
T28655
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mariam Yasmin
"Skripsi ini membahas akibat Perkawinan Campuran Terhadap Status anak dan harta benda yang diperoleh sebelum dan sesudah Perkawinan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif yang mengacu kepada perbandingan hukum antara Indonesia dengan Malaysia mengenai perkawinan campuran. Perbandingan tersebut dikaji dari segi hukum perkawinan dan kewarganegaraan yang berlaku di kedua negara. Setiap negara mempunyai kebijakan mengenai perkawinan campuran dan kewarganegaraannya masing¬masing. Kebijakan mengenai perkawinan campuran di Indonesia, berbeda dengan Malaysia. Indonesia mempunyai kebijakan yang lebih fleksibel dibandingkan Malaysia. Hasil penelitian menyarankan bahwa pemahaman masyarakat mengenai perkawinan campuran perlu ditingkatkan. Kurangnya pemahaman mengenai perkawinan campuran tidak hanya akan berakibat fatal bagi status anak, namun juga bagi harta perkawinan serta harta indiviual milik para pelaku perkawinan tersebut.

Abstract
This paper discusses about the law consequences of Mixed Marriage concerning status of children and property acquired before and after marriage. This study is a descriptive qualitative research design that refers to the comparative law between Indonesia and Malaysia regarding intermarriage. Comparisons are examined in terms of marriage and citizenship laws in force in both countries. Every country has its own policy regarding on marriage and citizenship. The policy about mixed marriage in Indonesia is different than Malaysia. Indonesian's law is more flexible than Malaysia. The results of this research suggest that the comprehension in society of mixed marriages should be increased. The lack of understanding of mixed marriages not only can be fatal to the child's status but also marital and individual property which own by the perpetrators of intermarriage. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S332
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siswati T.
"Perkawinan campuran, menurut UU No. 1/1974 , pasa 57 adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yan berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Suatu perkawinan campuran yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UU Perkawinan adalah sah secara hukum. Dengan demikian kedudukan anak yang lahir dalam perkawinan campuran yang sah menurut hukum adalah juga sah."
Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adina Nurhayatun
"Perkawinan antar warga negara Indonesia dengan warga negara asing banyak terjadi di Indonesia. Pada asasnya perkawinan haruslah berlangsung kekal dan bahagia, namun bagaimana jika terjadi perceraian dalam perkawinan campuran terutama pada saat anak masih di bawah umur, apakah peraturan perundang-undangan yang ada telah melindungi anak dan bagaimana kedudukan anak akibat perceraian dalam perkawinan campuran? Anak sebagai generasi penerus dan tunas harapan bangsa perlu mendapatkan jaminan perlindungan yang merupakan haknya tanpa ada perbedaan status sosial, politik dan agama. Agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan sewajarnya baik jasmani maupun rohani, maka diperlukan peraturan yg dapat melindungi mereka dari segala kemungkinan yang berakibat buruk. Perlindungan yang diberikan berlaku juga bagi anak dari perkawinan campuran. Adanya perbedaan kewarganegaraan dari orang tuanya (ibunya) menimbulkan persoalan tersendiri bagi kedudukan anak mengingat perbedaan hukum dari orang tuanya. Sebagai contoh kasus perkawinan campuran dalam skripsi ini dimana pengasuhan dan pemeliharan anak diberikan kepada ibunya. Walaupun anak dalam pemeliharaan ibunya tapi ayahnya tetap bertanggung jawab atas biaya pemeliharaan dan pendidikan anak. Untuk kewarganegaraannya Undang-Undang Perlindungan Anak juga sudah mengatur yaitu demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya maka kewarganegaraan Indonesia bisa diperoleh anak, dengan demikian perlindungan terhadap anak dan kedudukan anak tetap terjamin."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S21173
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yennita Dewi
"Perkawinan Campuran menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 merupakan perkawinan yang terjadi antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan antara kedua orang yang menikah tentunya akan menimbulkan suatu permasalahan antara lain mengenai status kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran. Menurut hukurn kewarganegaraan positif Indonesia yaitu UU No_62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI menganut asas kewarganegaraan berdasarkan keturunan (ius sanguinis). Namun ius sanguinis yang dianut di Indonesia lebih dominan keturunan dari garis ayah laki-laki. Sehingga hal ini berdampak pada tidak adanya hak bagi seorang perempuan WNI yang menikah dengan laki-laki WNA untuk memberikan kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya. Maka itu per1u diketahui pengaturan mengenai : (1) status kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran menurut UU No.62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan R1; (2) menurut RUU Kewarganegaraan RI sedang diuahas oleh DPR RI dan Pemerintah cq, Departemen Hukum dan HAM RI (3) format status kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran yang diharapkan dapat memenuhi prinsip pencerminan HAM, Persamaan Hak warganegara didepan hukum dan kesetaraan serta keadilan gender. Ketiga permasalahan tersebut diteliti dalam penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian studi kepustakaan yang bersifat deskriptif evaluatif dengan studi dokumen menggunakan data sekunder yang akan dianalisa secara kualitatif. Perbandingan hukum juga dilakukan dalam penelitian ini untuk melihat persamaan maupun perbedaan yang terdapat di dalam aneka macam sistem hukum khususnya dalam penentuan status kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran di beberapa negara di luar Indonesia, Terobosan RUU Kewarganegaraan R1 baru memungkinkan anak hasil perkawinan campuran memiliki kewarganegaraan ibunya dengan memasukkan prinsip kewarganegaraan ganda terbatas pada anak hasil perkawinan campuran. Kewarganegaraan ganda ini dibatasi hanya pada usia 18 tahun atau sudah kawin dan maksimal 3 tahun setelah anak berusia 18 tahun yaitu usia 21 tahun setelah itu anak harus memilih salah satu kewarganegaraan yang dimilikinya, Selain itu Kewarganegaraan ganda terbatas juga diberikan pada anak hasil perkawinan dari orangtua WNI yang terlahir di negara yang menganut asas ius soli. Namun batas usia untuk memilih salah satu kewarganegaraan hendaknya dipertimbangkan kembali untuk diperpanjang menjadi 5 (lima) tahun dari usia 18 (deiapanbelas) tahun, yaitu usia 23 (duapuluh tiga) tahun. Karena dari sudut kejiwaan dan ekonomi; anak telah menyelesaikan pendidikan tinggi sehingga dipandang telah cukup matang lahir dan batin untuk menentukan masa depan terbaik bagi hidupnya dengan memilih kewarganegaraan terbaik pula. Hak memilih dan menentukan kewarganegaraan merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal 28 D dan Pasal 28 E ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16494
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Zulfa Djoko Basuki
"Dalam rangka pencapaian visi dan misi yang diemban dalam PROPENAS tahun 2000-2004 di bidang hukum, penulis melakukan penelitian di bidang hukum khususnya dalam bidang pemeliharaan anak sebagai dampak putusnya perkawinan kedua orang tua yang melakukan perkawinan campuran. Karena masalah pemeliharaan anak dalam disertasi ini termasuk dalam bidang Hukum Perdata Internasional, nmka dianggap perlu untuk mengadakan penelitian yang berkaitan pula dengan masalah-masalah Hukum Perdata Internasional. Terbatasnya ketentuan perundang-undangan Serta literatur yang tersedia di Indonesia mengenai masalah pemeliharaan anak sebagai dampak putusnya perkawanan campuran kedua orang tua, termasuk masalah ?child abduction", penulis mencoba melengkapinya dengan cara menelusuri ketentuan-ketentuan perundang-undangan baik nasional maupun internasional termasuk Konvensi Internasional terkait Serta putusan-putusan pengadilan di negara-negara tertentu seperti Amerika Serikat, Australia, Belanda, Inggris, Malaysia dan Indonesia beberapa tahun terakhir, baik melalui penelusuran literatur maupun dengan Cara mangakses pada internet.
Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian dan pengaturan pemeliharaan anak (child custody), kekuasaan orang tua dan batas seseorang dianggap sebagai anak (batas kedewasaan) yang terdapat dalam ketentuan perundang-undangan luar negeri (Belanda, Inggris dan Malaysia) termasuk ketentuan- ketentuan yang tercantum di dalam Konvensi-Konvensi Internasional terkait, dan membandingkannya dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan tentang pemeliharaan anak yang berlaku di Indonesia.
2. Untuk mengetahui seberapa jauh hak-hak anak di Indonesia, Belanda, Inggris dan Malaysia telah dilindungi sebagai akibat putusnya perkawinan antara kedua orang tua yang berbeda kewarganegaraan dalam hal status kewarganegaraannya serta adanya diskriminasi dan ketidak adilan gender terhadap perempuan.
3. Meneliti dan menganalisa ketentuan-ketentuan tentang hukum yang berlaku terhadap pemeliharaan anak sebagai dampak putusnya perkawinan campuran kedua orang tua, berdasarkan Konvensi-Konvensi Den Haag terkait (1902,1961,l980 dan 1996) baik di Indonesia maupun di luar negeri.
4. Meneliti, menganalisa dan membandingkan pertimbangan-pertimbangan hukum Hakim dalam keputusan-keputusannya di bidang pemeliharaan anak sebagai dampak putusnya perkawinan kedua orang tua yang berbeda kewarganegaraan, termasuk di bidang "international child abduction" yang diputus oleh pengadilan-pengadilan di Inggris, Amerika Serikat, Belanda, Australia, Serta beberapa negara Islam tertentu seperti Arab Saudi, United Emirat Arab (khusus mengenai masalah "international child abduction" dan Indonesia.
Hasil penelitian dan analisa tersebut akan dijadikan masukan untuk mengisi kekosongan hukum dengan membentuk perundang-undangan Indonesia di bidang pemeliharaan anak pada umumnya dan pemeliharaan anak sebagai akibat putusnya perkawinan campuran kedua orang tua pada khususnya, Serta untuk mengetahui sudah waktunyakah Indonesia turut serta di dalam Konvensi 1980 tentang ?International Child Abduction".
Disertasi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, interdisipliner dalam lingkup Hukum Perdata Internasional, dan yuridis empiris, yang bersifat kualitatif dan komparatif."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
D1105
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>