Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174694 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Universitas Indonesia, 2006
S21256
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Medyana Akhiar
"Paylater merupakan sebuah metode pembayaran baru yang berbentuk pinjam meminjam berbasis teknologi yang lebih sering dikenal dengan Peer to Peer Lending. Pada sistem paylater ini kesepakatan antara para pihak timbul sesaat konsumen melakukan pembayaran menggunakan fitur paylater serta kontrak baru dapat diunduh oleh konsumen pada saat barang diterima. Dengan kemudahan pembayaran ini, bukan berarti tidak adanya permasalahan yang timbul dan sistem dari fitur paylater tidak selalu berjalan dengan baik. Permasalahan yang kerap timbul pada fitur paylater adalah terkait tata cara penagihan serta hilangnya saldo paylater milik konsumen.Untuk itu diperlukannya perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna fitur paylater dan mengetahui bagaimana hubungan hukum serta penyelesaian sengketa pada penggunaan fitur paylater. Penelitian ini merupakan penelitian menggunakan metode yuridis-normatif yaitu dengan melakukan penelitian terhadap bahan-bahan pustaka yang ada dan mendukung untuk melakukan dan menyelesaikan penulisan hukum ini. Dengan menggunakan kerangka teori yaitu teori perlindungan hukum dan teori perlindungan konsumen sebagai landasan penulisan hukum ini.

Paylater is a new payment method in the form of technology-based lending and borrowing, which is more commonly known as peer to peer lending. In this paylater system an agreement between the parties arises when the consumer makes a payment using the paylater feature and a new contract can be downloaded by the consumer when the goods are received. With this ease of payment, it does not mean that there are no problems that arise and the system from the PayLater feature does not always work well. Problems that often arise from the paylater feature are related to billing procedures and loss of consumer paylater balances. For this reason, legal protection is needed for consumers who use paylater features and know how the legal relationship is and how to resolve disputes for paylater feature users. This research is using the normative juridical method, namely by conducting research on existing library materials and support for carrying out and completing this legal writing. With the theoretical framework, namely the theory of legal protection and consumer protection theory as the basis for writing this law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Winner
"Tulisan ini membahas mengenai perlunya berbagai bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen yang dapat mengikuti setiap perkembangan dunia usaha khususnya dengan hadirnya teknologi yang mempertemukan konsumen dengan pelaku usaha dalam ruang perdagangan elektronik atau dikenal juga dengan istilah e-commerce. Pelaku Usaha yang memiliki e-commerce sering menggunakan Syarat dan Ketentuan Penggunaan Aplikasi sebagai perjanjian baku yang mengatur hubungan hukumnya dengan konsumen karena belum ada regulasi yang spesifik mengatur hubungan hukum kontraktual antara keduanya. Disisi lain, perjanjian baku yang berisi klausula baku ternyata ditemukan adanya pencantuman klausula baku yang berpotensi melanggar ketentuan perundang-undangan, salah satunya klausula yang memberikan hak kepada Pelaku Usaha PMSE untuk membaharui Syarat dan Ketentuan secara sepihak. Lebih lanjut, Pelaku Usaha PMSE juga mengakui telah melakukan pembaharuan Syarat dan Ketentuan tersebut dari waktu ke waktu. Hal ini menyebabkan keinginan konsumen untuk mencapai posisi yang lebih setara dengan pelaku usaha semakin jauh dari kenyataan. Selain itu, tulisan ini juga menganalisis apakah aturan mengenai klausula baku sudah cukup komprehensif, baik mengenai rumusan ketentuan, unsur pasal, sanksi, penerapannya terhadap perilaku Pelaku Usaha PMSE serta perbandingan pengaturannya dibeberapa negara.  Tulisan ini menekankan bahwa hukum harus hadir untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, baik melalui langkah-langkah hukum yang tersedia di pengadilan, maupun lewat campur tangan negara melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.

This article discusses the need for various of law protections for consumers so that any consumer protection systems or methods stay relevant with any developments in the business world, especially with the existence of technology that brings consumers and entrepreneurs into an electronic commerce space or also known as e-commerce. Entrepreneurs who own an e-commerce platform often use the Terms and Conditions as a standard contract that regulates their legal relationship with consumers because there are no specific regulations governing the contractual legal relationship between them. On the other hand, a standard contract containing standard clause, where that kind of clause have possibility to violate the statutory provisions, one of which was a clause that gave PMSE Entrepreneurs the right to unilaterally update or change the Terms and Conditions. Furthermore, PMSE Entrepreneurs in Indonesia also acknowledge that they have updated that kind of Terms and Conditions from time to time. This causes consumers' desire to achieve a more equal position with Entrepreneurs to be increasingly far from reality. On the other hand, this paper also analyzes whether the regulations regarding standard clauses are comprehensive enough, both regarding the formulation, elements of articles, sanctions, their application to PMSE Entrepreneurs and comparisons of regulations in regarding to Enterpreneur’s right to unilaterally change or update the contract in several countries. This article emphasizes that the law must be present to provide protection to consumers, through any available legal action existed in court, as well as the role of The State through Consumer Dispute Settlement Agencies and Ministry of Communication and Information."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Ilmam Perdhana
"Penghimpunan dana masyarakat oleh bank dilandaskan dengan prinsip kepercayaan antara kedua belah pihak baik dari bank maupun dari masyarakat yang menyimpan dananya pada bank. Oleh karena itu, hal yang harus dijaga berkenaan dengan eksistensi indusri perbankan adalah menciptakan landasan utama hubungan antara bank dengan masyarakat berdasarkan prinsip kepercayaan fiduciary relationship. Namun demikian, kondisi yang terjadi dewasa ini tidak sedikit terjadi kasus hilangnya dana nasabah dengan berbagai cara, dan yang paling memprihatinkan adalah penggelapan dana nasabah oleh pegawai bank. Ironismya, dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perbankan maupun bank, tidak diatur atau setidak-tidaknya dinyatakan secara tegas sejauh mana tanggung jawab bank yang meskipun telah menerapkan prinsip kehati-hatian dan prinsip-prinsip manajemen risiko pada kegiatan usaha dan kegiatan operasionalnya, atas hilangnya dana nasabah yang telah digelapkan oleh pegawai bank tersebut. Sehingga pertanggungjawaban bank dimaksud ditarik secara umum berdasarkan ketentuan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang hukum Perdata. Ketentuan tersebut mengacu pada hubungan antara bank dengan pegawai bank sebagai pemberi kerja dan pegawainya sebagai pekerja. Melalui penerapan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kasus, pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual, penelitian ini kemudian menyimpukan bahwa: (1) tetap diperlukan suatu kehati-hatian dalam menentukan pihak mana yang bertanggung jawab karena pada dasarnya bank telah mengatur dalam suatu SOP mengenai ketentuan pengelolaan dana simpanan nasabah karena tidak sedikit terdapat klaim nasabah atas dananya yang hilang pada bank, namun secara sistem perbankan beserta dokumentasinya, transaksi yang dilakukan dengan cara-cara yang semestinya; (2) dalam upaya hukum melalui gugatan perdata, nasabah harus dapat membuktikan dalilnya dan pada dasar pertimbangan Majelis Hakim mendasarkan bahwa dengan adanya putusan pidana dapat meyakinkan untuk membuktikan adanya sifat melawan hukum dalam perbuatan yang disangkakan.

The collection of public funds by banks is based on the principle of trust between the two parties both from the bank and from the public who save their funds in the bank. Therefore, the thing that must be maintained with regard to the existence of the banking industry is to create the main foundation of the relationship between the bank and the public based on the principle of fiduciary relationship trust. However, the conditions that occur today are not the least cases of loss of customer funds in various ways, and the most concerning is the embezzlement of customer funds by bank employees. Ironically, in the provisions of the laws and regulations concerning banks and banks, it is not regulated or at least explicitly stated the extent of the responsibility of banks which, despite applying prudential principles and risk management principles to their business and operational activities, for the loss of customer funds that have been embezzled by the bank employee. So that the banks responsibility is generally withdrawn based on the provisions of Article 1367 of the Civil Code. The provisions refer to the relationship between the bank and bank employees as employers and their employees as workers. Through the application of normative juridical research methods with a case approach, legislation approach and conceptual approach, this research then concludes that: (1) caution is still needed in determining which party is responsible because basically the bank has arranged in an SOP concerning the provisions for managing customer deposits because there are not a few claims from customers for lost funds at the bank, but in the banking system and its documentation, transactions are carried out in the proper manner; (2) in a legal remedy through a civil lawsuit, the customer must be able to prove his argument and based on the consideration of the Panel of Judges based on the existence of a criminal decision that can be convincing to prove the existence of an unlawful nature in the alleged action."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jason Chandra
"Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah melakukan penghentian sementara transaksi 92 rekening Front Pembela Islam (FPI) dan afiliasinya. Walaupun telah habis jangka waktu berakhirnya penghentian sementara transaksi, dalam sejumlah kasus ditemukan rekening yang tidak dapat digunakan sebagaimana semestinya. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan dengan tipe yuridis-normatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa PPATK dalam melaksanaan penghentian sementara transaksi telah sesuai dengan ketentuan yang ada, serta memiliki alasan dan dasar kewenangan yang kuat untuk melakukan upaya demikian. Sebagai nasabah beritikad baik yang merasa hak dan kepentingannya dirugikan, dapat mengajukan keberatan secara langsung terhadap PPATK. Nasabah dapat menggunakan layanan pengaduan terhadap bank yang belum mencabut penghentian sementara transaksi meski sudah habis jangka waktunya, maka dapat menggunakan layanan pengaduan yang dimiliki oleh masing-masing bank. Jika nasabah tidak puas, maka dapat mengupayakan penyelesaian lewat LAPS SJK dan pengadilan negeri maupun pengadilan agama bagi bank syariah.

On January 20th, 2021, Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Center (PPATK) had temporarily postponed the transactions of 92 accounts of Islamic Defender Army (FPI) and its affiliates. Even though the time period for the postponement held by PPATK had expired, several accounts were found that could not be used properly. The research method used in this thesis is juridical-normative type and qualitative data management. PPATK in carrying out the postponement of transactions on 92 FPI’s accounts and their affiliates  has complied with existing provisions, and has a strong reason for authority to make such efforts. As a good faith customer, they can appeals with the objection to PPATK in firsthand and use the complaint service owned by each bank for accounts whose transaction status has not been revoked by the bank concerned even when the time limit of postponement was over. If the customer is not satisfied, then they can seek a settlement through the LAPS SJK and the district court as well as the religious court for Islamic banks."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Winda Br.
"Semakin meningkatnya usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh suatu bank dapat membuka lebar kesempatan dalam terjadinya tindak pidana di bidang perbankan baik yang dilakukan oleh pihak bank itu sendiri maupun pihak lain. Skripsi ini membahas mengenai pengaturan tindak pidana di bidang perbankan serta bagaimana perlindungan hukum terhadap nasabah dalam Undang-Undang Perbankan dan peraturan lainnya. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, Penulis mengacu pada aturan -aturan hukum yang ada untuk kemudian dapat menjawab permasalahan dalam penulisan ini.
Salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap nasabah adalah bentuk pertanggungjawaban dari bank itu sendiri apabila terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pegawai bank atau pihak bank sendiri yang ditinjau dari berbagai ketentuan terkait perlindungan nasabah. Dengan adanya pengaturan mengenai perlindungan hukum terhadap nasabah sebagai konsumen dalam industri keuangan diharapkan dapat memberikan batas yang jelas mengenai kedudukan antara nasabah sebagai konsumen dan bank sebagai pelaku usaha dalam menjalankan kegiatannya sehingga kepentingan dan kehendak.

The increasing business and activities done by a bank could open a wide chance of criminal act in banking sector either done by the bank itself or other parties. This research examines about legal protection given to customer particularly customer saving fund relating to criminal act done by the bank or its employee. Based on this issue, banking sector rsquo s criminal act regulation stated in Undang Undang Perbankan and other regulations will also be discussed.
In terms of several conditions related to customer protection, one of law protection form against customer is the responsibility from the bank if there appears act done by the bank or its employee which is against the law. Law protection regulation against customer as the consumer in financial industry is expected to give clear lines between customer as consumer and bank as the party who runs the business. Therefore, whole parties interests and purposes would be perfectly done and protected. keywords Law protection, bank customer, criminal act in banking sector
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samino
"Era globalisasi menuntut penyedia pelayanan kesehatan meningkatkan mutu pelayanannya. Pelayanan paripurna merupakan hak setiap individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Upaya peningkatan kesehatan diarahkan agar memberi manfaat sebesar-besamya bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat, serta dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Salah satu indikator pelayanan bermutu terpenuhinya pelaksanaan informed consent sesuai dengan hukum. Perjan RS CM merupakan RS rujukan nasional, pelaksanaan informed consent harus lebih balk dibandingkan dengan RS setingkat lainnya, namun sampai saat ini belum diketahui sejauh mana pelaksanaannya.
Penelitian dilakukan di IRNA A (lantai I kid, III kanan-kiri, dan IV kanan) Perjan RSCM, Jakarta pada Juni - Agustus 2003. Desain penelitian, kualitatif deskriptif yang bersifat eksploratif dengan pendekatan sistem. Informannya : pasien (7), perawat (8), dokter (4), dan pengkajian dokumen informed consent (60). Pengumpulan data melalui wawancara mendalam, focus group discussion, observasi, kuesioner (pertanyaan terbuka - khusus dokter), dan pengkajian dokumen. Tujuannya untuk mengetahui pelaksanaan informed consent yang memenuhi aspek hukum.
Penelitian menemukan bahwa (a). pengetahuan pasien/keluarganya mengenai hak dan kewajiban cukup bagus, walaupun saat masuk di RS tidak pemah diberi penjelasan, (b). pengetahuan perawat dan dokter mengenai peraturan per-uu-an yang mengatur informed consent masih rendah, (c). pemahaman pasien/ keluarganya mengenai informed consent dan dokumennya cukup bagus, (d). pemahaman perawat mengenai informed consent dan dokumennya cukup bagus, (e). peranan perawat dalam pelaksanaan informed consent sebagai saksi dan advokasi, (f). pemahaman dokter mengenai informed consent dan dokumennya cukup bagus, (g). informasi medis yang diberikan oleh dokter ke pasien/keluarganya pada umumnya mencakup : penyakit yang diderita pasien, rencana tindakan, dan efek samping, (h). pelaksanaan informed consent di Perjan RSCM belum sesuai dengan peratum per-uu-an yang berlaku (hukum), dan (i). enam puluh (60) dokumen yang dilakukan pengkajian tidak ada satu pun yang kolomnya terisi dengan lengkap, sehingga tidak ada yang memenuhi aspek hukum.
Ada beberapa kelemahan dalam formulir informed consent, yaitu informasinya tidak tertulis sehingga mengakibatkan ketidak-jelasan informasi medis dan lemah sebagai alat bukti, pasien kurang memahami, untuk itu perlu dilakukan perbaikan, sehingga informasinya dapat diuraikan dalam formulir tersebut dan dijelaskan secara lisan. Hambatan pelaksanaan informed consent, tidak ada SOP, pemahaman pelaksana informed consent belum maksimal, rendah pengetahuan pelaksana tentang hukum informed consent, dan informasi disampaikan secara lisan.
Implikasi dari temuan ini pentingnya pembuatan SOP informed consent dan pelaksanaannya selalu dievaluasi secara berkala untuk mengetahui keberhasilan dan kelemahannya, sehingga pelaksanaan informed consent yang memenuhi aspek hukum dapat diwujudkan.
Daftar pustaka : 66 (1982 -2003)

The Implementation of Informed Consent a Legal Aspect Point of View in IRNA A Perjan RS dr. Cipto Mangunkusumo, 2003In the globalization era, the expectation of health care service from the caregiver is high. The comprehensive care is a right for every human being, family and for the community. The effort in improving health care service is aimed of the highest advantage for community welfare on enhancing people health status. One of the indicators of the good health care is the accomplishment of informed consent on every patient. The national top referral Cipto Mangunkusumo hospital, suppose has already implemented the informed consent comparing to the other hospital in Indonesia, but still, it has not been discover what has been implemented.
This study is going to explore the implementation of informed consent on certain installation IRNA A (l' floor, 3`11 floor, & 4t' floor) during June - August 2003. The methodology of this study is descriptive explorative using qualitative approach. The data resource are 7 patients, 8 nurses, 4 doctors and 60 informed consent documentation. Data collection using in depth interview, focus group discussion, observation, questioner and assessing the document. The aim of this study is to look at the implementation of informed consent as legal aspect.
This study found that (a) the patient & family knowledge about informed consent are fairly good, although they do not get the information when they admitted to the hospital, (b) the knowledge of the nurses & the doctors on informed consent as an legal aspect are fairly poor, (c) patient & family perception on informed consent are fairly good, (d) nurses perception on informed consent are fairly good, (e) Nurse role on informed consent is as witness & advocate (t) doctors perception on informed consent are fairly good, (g) the information that usually inform to the patient are the medical diagnosis, the medical therapy and the side effect of the treatment (h) The informed consent on the Cipto Hospital are not well implemented and (i) sixty document of informed consent that had assessed are not well completed.
There are some weaknesses on the informed consent form in this hospital, which are most of the information are not clearly written, that cause uncertain information and it is not powerful as a legal aspect, the patients are not well informed and need improvement. The constrain of implementing the informed consent are there is no standard, the perception of the caregiver are not sufficient and most of the information are verbally informed.
The implication of this research suggest that hospital need to have standard to implement informed consent, it should be evaluated periodically that could improve the implement of informed consent,
References ; 66 (1982-2003)"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T 7754
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mervat Lutfia
"Hubungan dokter dan apoteker adalah berkaitan dengan pembuatan resep dan pemproduksian resep untuk pasien berkaitan dengan kosmetika. Obat-obatan beretiket biru digunakan untuk perawatan kulit menjadi obat khusus yang mana pemberian serta pemberlakuannya harus disesuaikan dengan kebutuhan setiap pasien. Namun praktiknya penjualan kosmetika beretiket biru diperdagangkan secara bebas dengan tetap adanya pencantuman dokter dan apoteker yang melakukan praktik kefarmasian. Permasalahan hukum ini yang cenderung merugikan konsumen akibat penggunaan kosmetika beretiket biru yang diperdagangkan bebas dan dibuat tidak sesuai dengan kebutuhan setiap orang. Rumusan masalah yang digunakan oleh penulis adalah: Bagaimana tanggung jawab hukum dokter dan apoteker atas beredarnya kosmetik etiket biru di pasar bebas?, Bagaimana tanggung jawab profesi berdasarkan kode etik terhadap dokter dan apoteker yang diduga melakukan perdagangan dan penjualan bebas kosmetik beretiket biru?, dan Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen terkait  kosmetik etiket biru illegal? Penulis menggunakan penelitian hukum doktrinal yang sifatnya adalah preskriptif dengan menggunakan bahan hukum sekunder dengan sumber hukum primer, sekunder, tersier. Hasil penelitian menjelaskan bahwa tanggung jawab dokter dan apoteker atas beredarnya obat atau kosmetika etiket biru harus dilandasi dengan teori pertanggungjawaban hukum dan pembuktian bahwa telah terjadi kerugian yang dirasakan oleh konsumen sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1365 KUHPer. Adapun pedoman yang digunakan untuk menilai atau menentukan adanya kesalahan tersebut adalah standar profesi apoteker yang menyangkut pekerjaan keprofesian apoteker di apotek khususnya dalam pelayanan obat berdasarkan resep dokter. Kode etik profesi apoteker diatur dalam Keputusan Kongres Nasional XVIII/2019 yang dikeluarkan oleh Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia Nomor 006/KONGRES XVIII/ISFI/2009 Tentang Kode Etik Apoteker Indonesia. Sedangkan kode etik dokter diatur di dalam pengaturan mengenai kode etik kedokteran dalam hal ini diatur dan dijelaskan di dalam Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dikeluarkan oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia Ikatan Dokter Indonesia. Dalam menyelesaikan permasalahan jual beli etiket biru atas obat atau kosmetika yang menimbulkan kerugian bagi konsumen, maka konsumen yang dirugikan dalam hal ini dapat memilih penyelesaian sengketa secara litigasi dan non litigasi. Pilihan antara litigasi dan non litigasi sangat penting, tergantung pada keinginan dan kebutuhan para pihak yang bersengketa. 

The relationship between doctors and pharmacists is related to making prescriptions and producing prescriptions for patients related to cosmetics. Medicines with the blue label used for skin care are special medicines whose administration and application must be adjusted to the needs of each patient. However, in practice, the sale of cosmetics with the blue label is traded freely, with the inclusion of doctors and pharmacists who practice pharmacy. This legal problem tends to be detrimental to consumers due to the use of cosmetics with blue labels which are traded freely and are not made to suit each person's needs. The problem formulation used by the author is: What are the legal responsibilities of doctors and pharmacists for the circulation of blue label cosmetics on the free market? form of legal protection for consumers regarding illegal blue label cosmetics? The author uses doctrinal legal research which is prescriptive in nature using secondary legal materials with primary, secondary and tertiary legal sources. The research results explain that the responsibility of doctors and pharmacists for the distribution of blue label medicines or cosmetics must be based on the theory of legal responsibility and proof that there has been harm felt by consumers as explained in Article 1365 of the Civil Code. The guidelines used to assess or determine the existence of these errors are the pharmacist professional standards which concern the professional work of pharmacists in pharmacies, especially in providing medicines based on doctor's prescriptions. The professional code of ethics for pharmacists is regulated in the Decree of the XVIII/2019 National Congress issued by the Indonesian Pharmacy Graduate Association Number 006/KONGRES XVIII/ISFI/2009 concerning the Code of Ethics for Indonesian Pharmacists. Meanwhile, the doctor's code of ethics is regulated in the regulations regarding the medical code of ethics, in this case it is regulated and explained in the Guidelines for Implementing the Indonesian Medical Code of Ethics issued by the Indonesian Medical Ethics Honorary Council of the Indonesian Doctors Association. In resolving the problem of buying and selling blue labels for medicines or cosmetics which causes losses to consumers, consumers who are disadvantaged in this case can choose litigation and non-litigation dispute resolution. The choice between litigation and non-litigation is very important, depending on the desires and needs of the parties to the dispute."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilda Herlita
"Di Indonesia, banyak sekali terjadi penyuluhan hukum oleh Notaris melalui media internet. Hal tersebut menyebabkan dilanggarnya ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf e Undang-Undang Jabatan Notaris UUJN mengenai kewenangan Notaris yang memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta. Salah satu Notaris yang menggunakan media internet untuk memberikan penyuluhan hukum kepada Pengguna Jasa atau Klien Notaris adalah Notaris (SHW). Notaris (SHW) menggunakan media internet seperti website, telekonferensi, video konferensi, dan media internet lain yang memungkinkan bagi Notaris (SHW) dan Pengguna Jasa atau Klien Notaris dapat berkomunikasi. Penyuluhan hukum yang diberikan oleh Notaris kepada Pengguna Jasa atau Klien Notaris dengan menggunakan media internet, khususnya website seharusnya hanya memberikan informasi yang bersifat pengumuman atau yang tidak mengandung promosi. Oleh sebab itu, Bagaimanakah kewenangan Notaris dalam memberikan penyuluhan hukum melalui media internet ditinjau dari Undang-Undang Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris, Undang-Undang Telekomunikasi, serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bagaimanakah batasan-batasan kewenangan Notaris dalam memberikan penyuluhan hukum melalui media internet. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tipologi penelitian deskriptif, dengan jenis data sekunder, berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, serta alat pengumpulan data menggunakan studi dokumen, dengan metode analisa data kualitatif dan hasil penelitian desriptif analitis. Hasil penelitian, yaitu Notaris (SHW) telah melanggar ketentuan UUJN dan Kode Etik Notaris mengenai rahasia jabatan dan larangan-larangan bagi Notaris. Oleh karena itu, Notaris (SHW) dapat dikenai sanksi-sanksi yang terdapat dalam UUJN dan Kode Etik Notaris. Notaris memiliki batasan dalam memberikan penyuluhan hukum melalui media internet, seperti penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham yang diberikan kewenangan secara langsung oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas.

In Indonesia, there is a lot of legal counseling by Notary Public through internet media. It causes the violation of the provisions of Article 15 paragraph 2 letter e The Notary Law regarding the authority of Notary Public giving legal counseling in connection with the making of Deed. One of Notary who uses the internet media to provide legal counseling to the Service Users or Notary Clients is Notary SHW . Notary SHW uses internet media such as websites, teleconferencing, videoconferences, and other internet media that make it possible for Notary SHW and Service Users or Notary Clients to communicate. Legal counseling given by Notary to Service Users or Notary Clientsby using internet media, especially website should only give information that is announcement or not containing promotion. Therefore, how is the authority of Notary in providing legal counseling through internet media viewed from The Notary Law, Ethics Code of Notary, Telecommunication Law, and Electronic Information and Transaction Law. How is the limitations of Notary 39 s authority in providing legal counseling through internet media. This research use a normative juridical research method, descriptive research type, with secondary data type, in the form of primary, secondary, and tertiary legal material. Also, data collection tool using document study, with qualitative data analysis method and descriptive analytical research result. The result of the research, that Notary SHW has violated the provisions of The Notary Law, and Ethics Code of Notary concerning the secret of function and the prohibitions for the Notary. Therefore, Notary SHW may be imposed to sanctions contained in The Notary Law and Ethics Code of Notary. The Notary has limitations in providing legal counseling through internet media, such as the implementation of General Meeting of Shareholders which is given authority directly by Limited Liability Companies Act."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T50154
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifqy Hidayat
"Globalisasi ekonomi menjadi kenyataan yang tidak terhindarkan pada kehidupan nyata sekarang ini. Dengan banyaknya investor asing yang masuk dan menanamkan modal dalam dunia usaha Indonesia menjadikan profesi notaris sebagai pembuat akta otentik harus lebih berhati-hati dalam membuat akta dikarenakan ada kemungkinan bagi akta yang dibuat tidak dalam bahasa Indonesia berakibat batal demi hukum. Dari latar belakang tersebut, penulis mengambil rumusan masalah bagaimanakah kedudukan hukum dan akibat hukum dari akta yang tidak berbahasa Indonesia. Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian analitis deskriptif. Data yang dipergunakan adalah data sekunder, yaitu data yang berupa studi kepustakaan dan studi terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 451/PDT.G/2012/PN.JKT.BAR. Penelitian ini dilakukan untuk dengan menganalisis peritimbangan hukum majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan dikaitkan dengan ketentuan dan doktrin hukum yang ada sekarang ini.
Dari hasil penelitian ini penulis mengambil kesimpulan setelah melakukan perbandingan antara Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, bahwa walaupun diwajibkan di peraturan perundangundangan tersebut, tidak ada satu ketentuanpun yang mengatur secara jelas akibat hukum yang akan diterima jika ketentuan tersebut dilanggar. Hal ini menimbulkan masih adanya ketidakjelasan kedudukan akta yang tidak berbahasa Indonesia. Adapun sanksi yang dapat diterima oleh perbuatan tersebut adalah sanksi non existent atau tidak pernah lahir karena tidak memenuhi formalitas causa yang ditetapkan undang-undang, namun pada kenyataannya tetap harus diputuskan melalui putusan hakim, yang setelah berkekuatan hukum tetap, dapat dijadikan acuan bagi hakim untuk memutus perkara serupa walaupun kedudukannya tidak mengikat hakim.

Globalization in economy world is one of the undisputed things that this country must face, with numerous foreign investor who invest their money in Indonesia, made Notary as Public Officer specialized in make authentic deed should be more careful and selective in doing their job. Based on above background, I formulate the research question as in how is the legal position and legal implication on deed not made in Indonesian language. In this research, Juridis Normative method is taken, with descriptive analysis type with secondary data which collected by doing library research. Data used in this research is no other than West Jakarta District Court Verdict Nomor 451/PDT.G/2012/PN.JKT.BAR. The aim of this research is to identify and analyze the legal position and implication of deed not made in Indonesian Language by analyzing the judge ratio when they made the verdict and combined with legal and law doctrine analysis.
The findings showed that after comparatively analyze the law in Act No 2 Year 2014 and Act No 24 Year 2009, there is not a single law which governs legal implication for deed not made in Indonesian language, in detail manner. This could be interpreted as legal vacuum. From law doctrine, the implication which should be received by this action is no other than to be declared as nonexistent because it never satisfies formality causa which stipulated in the Act No 24 Year 2009. However in reality, court verdict is still deemed necessary, which after legally binding after the enforcement from the Supreme Court, could become one of the ratio for the next judge who rule the case, although it will not bind them."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T48342
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>