Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181090 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irvantri Aji Jaya
"Intervensi koroner perkutan primer (IKPP) merupakan tindakan Angioplast dengan atau tanpa stent untuk membuka lesi yang tersumbat pada manajemen akut STEMI. Keterlambatan waktu door to ballon lebih dari 90 menit akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien akut STEMI di rumah sakit. Faktor faktor yang berhubungan dengan lamanya waktu door to ballon memerlukan perhatian khusus bagi tenaga kesehatan khususnya perawat yang berkontribusi dalam layanan tindakan IKPP. Penelitian ini merupakan studi coss sectional dengan pengambilan data secara retrospektif yang berasal dari data sekunder 200 sampel rekam medis pasien akut STEMI yang menjalani tindakan IKPP.
Hasil analisa data teridentifikasi ada 4 faktor yang mempunyai hubungan signifikan terhadap lamanya waktu door to ballon lebih dari 90 menit yaitu: jaminan kesehatan pasien, kecepatan waktu pengaktifan kateterisasi, kecepatan waktu trsnfer pasien dan kecepatan inflate ballon. Pada akhir model multivariat menunjukan bahwa faktor yang paling dominan mempengaruhi lamanya waktu door to ballon lebih dari 90 menit adalah kecepatan waktu transfer pasien akut STEMI.

Primary Percutaneous Coronary Intervention (PCI) is a coronary angioplasty procedure to revascularize obstructive lession in acute ST-segment-elevation myocardial infraction (STEMI) management, with or without using stent. Prolonged foor to ballon time (> 90 minutes ) will incerase hospital mortality rate in patients with STEMI. Contributing factors in door to ballon time is important for health practitioner, especially nurses who are involved in Primary PCI procedure. This was cross sectional study with a retrospective data collection. Secondary data from 200 medical records of patients were collected underwent primary PCI samples.
Data analysis showed that there are 4 factors that have significant relationship with prolonged door to ballon duration time (>90 minutes), namely patient insurance, catheterization activation time, patient transfer time, and ballon inflated time. A multivariate model showed that the most dominant factor in prolonged door to ballon time (>90 minutes) is patient transfer time. This study suggests that hospital which have primary facilities could have efforts to decrease prolonged door to ballon time.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T31961
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irvantri Aji Jaya
"ABSTRAK
Intervensi koroner perkutan primer (IKPP) merupakan tindakan angioplasti koroner dengan atau tanpa stent untuk membuka lesi yang tersumbat pada manajemen akut STEMI. Keterlambatan waktu door to ballon lebih dari 90 menit akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien akut STEMI di rumah sakit. Faktor-faktor yang berhubungan dengan lamanya waktu door to ballon memerlukan perhatian khusus bagi tenaga kesehatan khususnya perawat yang berkontribusi dalam pelayanan tindakan IKPP. Penelitian ini merupakan studi cross sectional dengan pengambilan data secara retrospektif yang berasal dari data sekunder 200 sampel rekam medis pasien akut STEMI yang menjalani tindakan IKPP. Hasil analisa data teridentifikasi ada 4 faktor yang mempunyai hubungan signifikan terhadap lamanya waktu door to ballon lebih dari 90 menit yaitu: jaminan kesehatan pasien, kecepatan waktu pengaktifan kateterisasi, kecepatan waktu transfer pasien dan kecepatan inflate ballon. Pada akhir model multivariat menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan mempengaruhi lamanya waktu door to ballon lebih dari 90 menit adalah kecepatan waktu transfer pasien akut STEMI.

ABSTRACT
Primary Percutaneous Coronary Intervention (PCI) is a coronary angioplasty procedure to revascularize obstructive lesion in acute ST-segment-elevation myocardial infarction (STEMI) management, with or without using stent. Prolonged door to ballon time (> 90 minutes) will increase hospital mortality rate in patients with STEMI. Contributing factors in door to ballon time is important for health practitioner, especially nurses who are involved in Primary PCI procedure. This was a cross sectional study with a retrospective data collection. Secondary data from 200 medical records of patients were collected underwent primary PCI samples. Data analysis showed that there are 4 factors that have significant relationship with prolonged door to ballon duration time (> 90 minutes), namely patient insurance, catheterization activation time, patient transfer time, and ballon inflated time. A multivariate model showed that the most dominant factor in prolonged door to ballon time (> 90 minutes) is patient transfer time.This study suggests that Hospital which have primary facilities could have efforts to decrease prolonged door to ballon time."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Dafa Izzatul Islam
"Latar Belakang
Intervensi koroner perkuten primer (IKPP) merupakan sebuah skema tatalaksana yang bertujuan untuk mengembalikan suplai darah ke jantung pada pasien infark miokard dengan onset gejala di bawah 12 jam dan syok kardiogenik berat serta pasien dengan kontraindikasi terapi fibrinolitik.1 Saat ini, drug-eluting stent (DES) merupakan jenis stent yang direkomendasikan karena memiliki benefit lebih besar dalam menurunkan risiko infark miokard berulang dibandingkan pendahulunya yaitu bare-metal stent (BMS) dan salah satu aspek yang dikembangkan adalah material rangka. Penelitian menunjukkan bahwa antara logam stainless steel dan non-stainless steel memiliki pengaruh yang berbeda terhadap luaran klinis pasien yaitu kejadian KKM (kejadian kardiovaskular mayor) dan trombosis stent. Akan tetapi, sebagian besar penelitian dilakukan dengan follow up 1-3 tahun sementara kejadian very late stent thrombosis (VLST) yang terjadi pada DES dapat timbul sampai lima tahun. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan luaran klinis dalam kurun waktu lima tahun pada pasien yang menjalani IKPP dengan platform DES stainless steel dan non stainless steel.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis logam yang digunakan pada stent, yaitu stainless steel dan ¬non-stainless steel, dengan angka kejadian KKM dan trombosis stent pada pasien yang menjalani IKPP dengan follow-up lima tahun setelah prosedur dilaksanakan. Hasil dari data tersebut akan dilakukan analisis bivariat antara variabel bebas dan variabel terikat serta akan dilakukan analisis multivariat dengan faktor-faktor determinan lain. Hasil
Pada pengamatan 5 tahun, Angka kejadian luaran klinis primer dan sekunder menunjukkan tren lebih tinggi pada kelompok stainless steel dibandingkan non-stainless steel walaupun nilai p menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok (KKM: 47,1% vs 41,2%, p 0,511; Trombosis Stent: 11,8% vs 11,1%, p 0,780). Kesimpulan
Pada pengamatan 5 tahun, tidak terdapat perbedaan bermakna pada luaran klinis primer dan sekunder pasien yang menjalani IKPP menggunakan stainless steel dibandingkan non-stainless steel.

Introduction
Primary coronary percutaneous intervention (CCI) is a management scheme that aims to restore blood supply to the heart in myocardial infarction patients with symptom onset under 12 hours and severe cardiogenic shock and patients with contraindications to fibrinolytic therapy.1 Currently, drug-eluting stents (DES) are the recommended stent type because they have greater benefits in reducing the risk of recurrent myocardial infarction compared to their predecessor, bare-metal stents (BMS) and one aspect that has been developed is the frame material. Studies have shown that stainless steel and non- stainless steel have different effects on patient clinical outcomes such as MACE (major adverse cardiovascular event) and stent thrombosis. However, most studies were conducted with a follow-up of 1-3 years while the incidence of very late stent thrombosis (VLST) that occurs in DES can occur up to five years. Therefore, this study was conducted to determine the difference in clinical outcomes within five years in patients undergoing IKPP with stainless steel and non-stainless steel DES platforms.
Method
This study is an analytic study with a quantitative approach that aims to determine the effect of the type of metal used in stents, namely stainless steel and non-stainless steel, with the incidence of MACE and stent thrombosis in patients undergoing IKPP with a five-year follow-up after the procedure. The results of the data will be subjected to bivariate analysis between the independent variable and the dependent variable and multivariate analysis will be conducted with other determinant factors.
Results
At 5-year follow-up, the incidence of primary and secondary clinical outcomes showed a higher trend in the stainless steel group compared to the non-stainless steel group although the p value showed no significant difference between the two groups (MACE: 47.1% vs 41.2%, p 0.511; Stent Thrombosis: 11.8% vs 11.1%, p 0.780).
Conclusion
At 5-year follow-up, there was no significant difference in the primary and secondary clinical outcomes of patients who underwent IKPP using stainless steel versus non- stainless steel.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Santoso
"Sindroma Koroner Akut SKA merupakan kondisi kegawatan kardiovaskuler yang memerlukan penanganan segera. Tatalaksana reperfusi koroner harus segera dilaksanakan untuk mengatasi gangguan sirkulasi koroner yang terjadi. Keputusan yang cepat dan tepat dari keluarga dan pasien akan meningkatkan kualitas hidup, menurunkan angka kesakitan dan kematian pada pasien dengan SKA. Penelitian ini merupakan studi Crossectional, metode pengambilan sampel dengan non probability sampling dan menggunakan teknik consecutive sampling. Jumlah sampel 85 responden. Hasil uji chi-square didapatkan ada kontribusi usia, penanggung biaya, tingkat pengetahuan, nyeri dada, dukungan keluarga dan pemahaman persetujuan tindakan p.

Acut Coronary Syndrome is cardiovasuler emergency conditions that requires immediate reliefs. Management of coronary reperfusion should be implemented immediately to overcome the coronary circulation disorder. Rapid and precise decisions from families dan patient will improve the quality of life, reduce morbidity and mortality in patients with ACS. This study was cross sectional study, sampling method with non probability sampling and used consecutive sampling technique with 85 respondens. The Chi squre test result obtained there is contribution of age, the cost bearer, level of knowledge, chest pain, family support and understanding of actions approval p value."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
T50975
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Rumenta
"Klopidogrel merupakan salah satu terapi standar pada pasien SKA dan/atau pasien post IKP. Penggunaan klopidogrel di Indonesia sangat tinggi, namun diduga berbagai faktor dapat menyebabkan variasi hambatan agregasi trombosit yang mengakibatkan resistensi klopidogrel. Sebanyak 100 pasien SKA dan/atau post IKP diperiksa agregasi trombosit dengan metode LTA menggunakan ADP 20. dan diambil data demografi, klinis, terapi, serta data polimorfisme genetik CYP2C19. dan 3. Resisten klopidogrel ditetapkan sebagai persen agregasi trombosit >59. Proporsi resistensi klopidogrel sebanyak 36 36. Faktor yang berperan terhadap resistensi klopidogrel adalah tidak merokok, DM, CYP2C19. dan. dengan prediktor paling dominan adalah polimorfisme CYP2C19 2.

Clopidogrel has become the standard therapy in patients with ACS and or post PCI. The use of clopidogrel in Indonesia is very high, but expected many factors can cause variability inhibition of platelet aggregation resulting clopidogrel resistance. Total of 100 patients with ACS and or post PCI were measured with platelet aggregation by LTA method using 20. ADP and retrieved data of demographic, clinical, therapeutic, and the data on genetic polymorphism CYP2C19. and 3. Clopidogrel resistance was defined as percent platelet aggregation 59. The proportion of clopidogrel resistant were 36 36. Factors that contribute to clopidogrel resistance are non smoking status, diabetes, CYP2C19. and. with the most dominant predictor is polymorphism CYP2C19 2.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Sulastri C.
"Terdapat hubungan antara kejadian PJK dan stroke iskemik,keduanya memiliki faktor risiko yang sama yang berhubungan dengan aterosklerosis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persentase PJK berdasarkan pemeriksaan angiografi koroner pada pasien dengan stroke iskemik yang dikonfirmasi dengan CT scan kepala juga memberikan kontribusi berupa sebaran faktor risiko apa yang berperan pada kejadian PJK yang disertai dengan stroke iskemik. Seluruh subyek penelitian dengan stroke iskemik (64 orang) yang dilakukan pemeriksaan angiografi koroner memiliki PJK (100%). Seluruh subyek penelitian memiliki faktor risiko stroke dan PJK bahkan sebagian besar memiliki 3 atau lebih faktor risiko.

There is a relationship between the incidence of CHD and ischemic stroke , both have the same risk factors associated with atherosclerosis . This study aims to determine the percentage of CHD by coronary angiography examination in patients with ischemic stroke confirmed by head CT scan also contribute to the spread of what the risk factors that play a role in CHD events were accompanied by ischemic stroke. All subjects with ischemic stroke ( 64 men ) who had a coronary angiography examination CHD ( 100 % ) . All recipients have risk factors for stroke and CHD in fact most have 3 or more risk factors ."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58580
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gobel, Fatmah Afrianty
"Menurut estimasi para ahli WHO, 12 juta penduduk dunia meninggal setiap tahunnya, sekitar 50% meninggal akjbat penyakit jantung dan pembuluh darah. Faktor-faktor prognosis pasien PJK banyak yang dapat diubah dan dikendalikan, sehingga memungkinkan untuk mencegah kematian akibat penyakit jantung koroner.
Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor prognosis yang berhubungan dengan terjadinya kematian pasien penyakit jantung koroner di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita tahun 2004, menggunakan data sekunder (data rekam medik pasien). Variabel-variabel yang diteliti yaitu variabel independen (jaminan pembayaran, asal daerah/ kawasan, penyakit penyerta hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia dan riwayat PJK sebelumnya) dan variabel kovariat (umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan).
Penelitian epidemiologi observasional analitik kasus kontrol, jumlah kasus 130 dan kontrol 260 (1 : 2). Kasus adalah pasien PJK yang meninggal dibuktikan dengan ringkasan pasien meninggal, kontrol adalah pasien yang keluar hidup. Data di analisis menggunakan komputer secara univariat, bivariat dan multivariat.
Hasil penelitian didapatkan bahwa jaminan pembayaran dan asal daerah/ kawasan berhubungan dengan terjadinya kematian pasien penyakit jantung koroner. Pasien dengan jaminan pembayaran pribadi Iebih berisiko untuk meninggal dibandingkan pasien dengan jaminan pembayaran Askes. Pasien yang berasal dari Jawa lebih berisiko untuk meninggal dibandingkan pasien yang berasal dari Iuar Jawa. Variabel kovariat yang berpengaruh terhadap hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen adalah umur. Pasien yang berumur > 65 tahun lebih berisiko untuk meninggal dibandingkan pasien yang berumur kurang lebih 65 tahun.
Masyarakat disarankan menjadi peserta asuransi kesehatan atau jaminan pemeliharaan kesehatan lain. Penderita PJK yang berasal dari Jawa maupun Iuar Jawa disarankan senantiasa berkonsultasi dengan dokter ahli jantung untuk mengetahui perkembangan penyakitnya sedini mungkin. Pengambil kebijakan perlu melakukan surveilans terpadu penyakit jantung sehingga dapat ditindaklanjuti dengan penangggulangan, penurunan morbiditas dan mortalitas penyakit jantung di masyarakat. Peneliti selanjutnya perlu melakukan penelitian yang melihat kematian pasien PJK dengan memperhatikan tingkat keparahan penyakit sehingga hubungan antara faktor prognosis dengan outcome lebih jelas untuk setiap tingkat keparahan penyakit."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21161
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deka Hardiyan
"ABSTRAK
Kecemasan merupakan masalah yang sering dialami pasien sebelum angiografi
koroner. Intervensi yang dapat digunakan untuk menurunkan tingkat kecemasan
sebelum angiografi koroner yaitu pemberian terapi komplementer dan alternatif.
Tujuan penelitian ini yaitu mengidentifikasi pengaruh aromaterapi lavender
terhadap tingkat kecemasan, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik,
frekuensi nadi, dan frekuensi napas pada pasien angiografi koroner. Desain
penelitian quasi eksperimen pretest posttest with control group. Metode pemilihan
sampel menggunakan consecutive sampling dengan jumlah 36 responden, dibagi
menjadi kelompok intervensi dan kontrol. Kelompok intervensi diberikan
aromaterapi lavender, sedangkan kelompok kontrol diberikan intervensi standar
rumah sakit. Hasil penelitian menunjukkan pada kedua kelompok terjadi
penurunan yang bermakna (p < 0,05; α 0.05) pada skor kecemasan, frekuensi
nadi, dan frekuensi napas. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara
kelompok intervensi dan kontrol setelah diberikan intervensi, namun kelompok
intervensi menunjukkan selisih rerata lebih besar dibanding kelompok kontrol.
Aromaterapi lavender direkomendasikan sebagai terapi untuk menurunkan tingkat
kecemasan pasien angiografi koroner dengan memperhatikan faktor eksternal
ketika aromaterapi lavender diberikan.

ABSTRACT
Anxiety is frequent problem in patients undergoing coronary angiography.
Intervention that can be used to reduce anxiety levels before coronary
angiography is complementary and alternative therapy. The purpose of this study
was to identified the effect of lavender aromatherapy towards anxiety level,
systolic blood pressure, diastolic blood pressure, heart rate, and respiratory rate
of coronary angiography patient. Study design was quasi experiment with pretest
posttest control group. The sample selection used consecutive sampling method
with 36 respondents, divided into intervention and control group. The intervention
group was given lavender aromatherapy, while the control group with standard
hospital intervention. The results suggest that in both group there was a
significant effect (p < 0,05; α 0.05) towards anxiety level, heart rate, and
respiratory rate. There was no significant difference between intervention and
control group after intervention, but the intervention group showed higher mean
difference than control group. Lavender aromatherapy is recommended as one of
therapy to reduce anxiety levels of coronary angiography patient by considering
the external factors when lavender aromatherapy has given."
2017
T47762
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Gunardi
"Penyakit Jantung Bawaaan (PJB) Tetralogy of Fallot (TOF) merupakan PJB sianotik (biru) terbanyak. Tatalaksana definitif operasi sedini mungkin. Hampir semua pembiayaan menggunakan BPJS Kesehatan berdasarkan tarif INA-CBG. Adanya selisih negatif tarif INA-CBG tahun 2016 dengan tagihan perawatan operasi TOF menyebabkan banyak rumah sakit tidak mengoperasi dan merujuk ke RSJPD Harapan Kita. Dengan adanya tarif INA-CBG terbaru tahun 2023 yang mengalami kenaikan, diperlukan penelitian apakah terdapat selisih negatif. Perlu dianalisa faktor yang berhubungan dengan tagihan perawatan serta kepatuhan Clinical Pathway (CP) TOF. Penelitian observasional deskriptif cross sectional mengambil sampel pasien perawatan operasi total koreksi TOF tahun 2022 sejumlah 82 pasien. Hasil penelitian didapatkan sebagian besar usia ≥1 tahun, perempuan, status gizi normal, ada diagnosa sekunder, severitas PPK I (ringan) dan INA-CBG II (sedang), tidak ada komplikasi, kelas III, median lama CPB 103,5 menit dan AoX 55 menit, lama rawat post operasi 6 hari dan total 8 hari. Faktor yang berhubungan dengan tagihan perawatan adalah komplikasi, kelas rawat dan lama rawat CP. Hal yang belum sesuai dengan CP TOF yaitu lama rawat, pemeriksaan laboratorium, radiologi, pemakaian obat, alkes dan BMHP. Masih terdapat selisih negatif antara total tagihan perawatan pasien operasi total koreksi TOF tahun 2022 dengan total tarif INA-CBG terbaru tahun 2023.

Tetralogy of Fallot (TOF) is the most common cyanotic Congenital Heart Disease (CHD). Definitive management is surgery earliest as possible. Almost all financing uses BPJS Kesehatan based on INA-CBG rate. Negative difference between the 2016 INA-CBG rates and TOF surgery treatment bill make many hospitals not operating and refering to Harapan Kita Hospital. With increasing in the latest 2023 INA-CBG rates, research for negative difference is needed. Analyzing factors related to care bills and adherence to TOF Clinical Pathway (CP) is studied too. This cross-sectional descriptive observational study took a sample of 82 patients undergoing TOF total  correction in 2022. Results showed that most were aged ≥1 year, female, normal nutritional status, had secondary diagnoses, severity of PPK I (mild) and INA-CBG II (moderate), no complications, class III, median duration of CPB 103.5 minutes and AoX 55 minutes, length of postoperative care 6 days and total of 8 days. Factors related to treatment bills are complications, class of care and CP length of care. Things not in accordance with the TOF CP are length of stay, laboratory, radiology, drug, medical equipment and BMHP use. There is still negative difference between the 2022 TOF total correction treatment patient bills and the latest 2023 INA-CBG rate."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedi Wihanda
"Latar Belakang. Angka kejadian In-Stent Restenosis (ISR) pasca Intervensi Koroner Perkutan (IKP) baik pada penggunaan Bare-Metal Stent (BMS) maupun Drug-Eluting Stent (DES) masih tinggi.
Tujuan. Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan ISR pada pasien pasca IKP.
Metode. Desain penelitian potong lintang retrospektif ini dilakukan dengan menggunakan rekam medik pasien pasca IKP yang menjalani follow-up angiografi di Pelayanan Jantung Terpadu/Rumah Sakit Umum Pusat Negeri Dr. Cipto Mangunkusumo dalam kurun waktu bulan Januari 2009 sd. Maret 2014. Gambaran angiografi ISR bila diameter stenosis pada follow-up angiografi lebih dan sama dengan 50 persen baik di dalam stent maupun menjulur keluar lima mm baik dari ujung proksimal maupun distal stent. Analisis multivariat pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan regresi logistik ganda.
Hasil. 289 subyek penelitian terdiri dari 133 pasien dengan ISR dan 156 pasien tanpa ISR. Angka kejadian ISR pada penggunaan BMS dan DES masing-masing sebesar 61,3% dan 40,7%. Jenis stent (OR=4,83; 95% IK 2,51-9,30; p=0,001), panjang stent (OR=3,71; 95% IK 1,99- 6,90; p=0,001), lesi di bifurkasi (OR=2,43; 95% IK 1,16-5,10; p=0,019), merokok (OR=2,30; 95% IK 1,33-3,99; p=0,003), diameter pembuluh darah (OR=2,18; 95% IK 1,2-3,73; p=0,005), hipertensi (OR=2,16; 95% IK 1,16-4,04; p=0,016) dan Diabetes Melitus/DM (OR=2,14; 95% IK; p=0,007) sebagai faktor prediksi ISR.
Kesimpulan. Jenis stent, panjang stent, lesi di bifurkasi, merokok, diameter pembuluh darah, hipertensi dan DM merupakan faktor-faktor yang berhubungan dengan ISR pada pasien pasca IKP.

Background. The incidence of In-Stent Restenosis (ISR) after Percutaneous Coronary Intervention (PCI) both in the use of Bare-Metal Stent (BMS) and Drug-Eluting Stents (DES) are still high.
Purpose. To determine factors related to ISR in patients after PCI.
Method. A retrospektif cross-sectional study was conducted using medical records of patients after PCI who underwent follow-up of angiography in in the period between January 2009 to March 2014 in The Integrated Cardiac Service/Public Hospital Center Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Angiographic ISR was defined as diameter stenosis ≥ 50% at follow-up angiography in the within of the stent, and within its five mm proximal and distal edges. Multivariate analysis performed in this study using regression multiple logistic.
Results. 289 study subjects consisted of 133 patients with and 156 patients without ISR. The incidence of ISR in the use of BMS and DES, respectively 61,3% and 40,7%. Using multivariate analysis, type of stent (OR=4,83; 95% CI 2,51-9,30; p=0,001), stent length (OR=3,71; 95% CI 1,99- 6,90; p=0,001), bifurcation lesions (OR=2,43; 95% CI 1,16-5,10; p=0,019), smoking (OR=2,30; 95% CI 1,33-3,99; p=0,003), blood vessel diameter (OR=2,18; 95% CI 1,2-3,73; p=0,005), hypertension (OR=2,16; 95% CI 1,16-4,04; p=0,016) and Diabetes Mellitus/DM (OR=2,14; 95% CI; p=0,007) were identified as predictors of ISR.
Conclusion. Type of stent, stent length, bifurcation lesions, smoking, blood vessel diameter, hypertension and DM were factors related to ISR in patients after PCI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>