Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 61429 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zhahwa Chadijah Ramadhani
"Perjanjian yang disepakati oleh Rusia dan Iran pada tahun 1995 yang berisi bahwa rusia menyanggupi untuk membantu Iran untuk membangun reaktor nuklir. Bantuan tersebut termasuk bantuan bahan baku, alat pendukung, dan juga akan melatih serta memberi pengetahuan kepada masyarakat Iran tentang nuklir. Hal ini tidak berjalan dengan lancer seiring dengan banyaknya kecaman dari luar tentang kebijakan yang dikeluarkan Rusia tersebut. AS, PBB, IAEA masih belum percaya sepenuhnya bahwa nuklir yang dikembangkan Iran bukan nuklir dalam skala senjata, barat pun berusaha untuk menghentikan bantuan yang diberikan Rusia dengan dalih mencegah timbulnya proliferasi nuklir. Namun hal tersebut tidak menghentikan Rusia. Disisi lain Rusia mengambil keuntungan dari posisinya tesebut yaitu posisi dimana Rusia menjadi "middle-man" antara iran dan negara-negara Barat. Hal ini berakibat reaktor pertama yang semestinya selesai pada tahun 2005 malah mundur 6 tahun dan baru diresmikan pada tahun 2011. Terlihat bahwa walaupun banyaknya tekanan dari luar dan tidak dipungkiri bahwa Rusia sempat terombang-ambing dalam mengambil sikap pada akhirnya Rusia menyelesaikan janjinya kepada Iran.

The treaty agreed by Russia and Iran in 1995 contains that Russia agreed to help Iran to build its first nuclear reactor such assistance including help materials, supporting tools, and will also be trained as well as giving knowledge to the community about a nuclear plan. This is not running smoothly as much pressure from outside of Russia issued policy. The US, the UN, IAEA has still not fully believe that nuclear Iran not developed nuclear weapons in scale West was trying to stop the assistance given Russia under the pretext of preventing the set of nuclear proliferation. However it does not stop Russia. On the other hand Russia took advantage of his position or the position where Russia become the middle-man between Iran and Western countries. This resulted in the first reactor should be completed in 2005 and even retired 6 years and recently inaugurated in 2011. Although the number of visible that pressure from the outside and not denied that Russia had swayed in the take a stand in the end Russia completed the agreement to Iran."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ratu Riode Eyenairo
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri China yang menolak rencana sanksi tambahan yang diusulkan oleh negara-negara Barat di tahun 2011-2012 terkait program nuklir Iran. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Kebijakan luar negeri China tersebut merupakan hasil dari pengaruh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal berasal dari tekanan struktur internasional, yang kemudian diterjemahkan lagi oleh peningkatan power China dan kepentingan China terhadap minyak Iran. Hal ini membuat China lebih mementingkan hubungan baiknya dengan Iran dan menjaga agar isu nuklir Iran tidak menimbulkan ketidakstabilan pada dunia internasional.

ABSTRACT
This thesis focus about China?s foreign policy which is rejected additional sanctions that proposed by Western powers in 2011-2012 related Iran's nuclear program. This research is a qualitative with case study method. That China's foreign policy is the result of the influence of external and internal factors. External factor comes from the pressure of the international structure, which is then translated also by power increase of China and Chinese interests against Iranian oil. This makes China more interested in good relations with Iran and keep the Iranian nuclear issue not to cause instability in the international world."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T39128
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erika Damayanti
"

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab bagaimana terjadinya perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap program nuklir Iran pada periode pemerintahan Obama. Amerika Serikat lebih terbuka untuk berdiplomasi dengan Iran, tetapi masih mempertahankan pendekatan koersifnya. Guna memahami perubahan tersebut, penelitian ini menggunakan konsep perubahan kebijakan luar negeri oleh Jakob Gustavsson. Metodologi yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat tujuh perubahan kebijakan luar negeri yang merupakan konsekuensi dari empat hal. Pertama, pelemahan power militer Amerika Serikat dan perubahan fokus wilayah Amerika Serikat ke Asia. Kedua, polarisasi politik domestik dan penguatan perekonomian Amerika Serikat. Ketiga, keinginan Obama untuk membatasi penggunaan militer di luar negeri dan menyelesaikan isu nuklir Iran melalui diplomasi. Keempat, dinamika pengambilan keputusan di Gedung Putih. Maka dari itu, penelitian ini menyimpulkan bahwa keempat faktor ini berkontribusi terhadap tujuh perubahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap program nuklir Iran pada periode pemerintahan Obama. 


This research aims to answer how United States foreign policy towards Irans Nuclear Program change during the Obamas administration. United States is more open to diplomacy with Iran yet still maintain its coercive postures. In order to understand this problem, this research uses the concept of foreign policy change by Jakob Gustavsson. The methodology used on this research is a qualitative approach with descriptive analysis. This research shows there are seven foreign policy changes that are the results of four factors. First, United States declining military power and the shift of United States regional focus to Asia. Second, the polarized domestic politic situation and United States strengthening economic power. Third, Obamas personal preference in limiting the use of United States military power abroad and solve the Iran nuclear issue through diplomacy. Fourth, the decision-making process at the White House. Therefore, this research concludes that these four factors contribute to the seven changes of United States foreign policy towards Irans nuclear program. 

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Jaelani
"Sepanjang tahun 2006 hingga 2010 Iran didera dengan lima sanksi dari Dewan Keamanan PBB yang disponsori oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Hal ini diakibatkan dari sikap Iran yang terus mengembangkan program nuklirnya tanpa mematuhi resolusi DK PBB dan mengabaikan arahan badan atom internasional (IAEA). Dengan kebijakan luar negerinya, Iran berusaha menjelaskan bahwa program nuklirnya adalah untuk tujuan damai dan sesuai dengan ketentuan Traktak Non-Proliferasi Nuklir (NPT).
Menariknya, di tengah deraan sanksi tersebut, dukungan dunia internasional semakin meningkat. Salah satunya terlihat dari penurunan dukungan negara-negara anggota DK-PBB terhadap sanksi Iran. Dengan demikian muncul permasalahan bagaimana kebijakan luar negeri Iran terhadap AS dan pengaruhnya terhadap resolusi DK PBB.
Dengan pendekatan kualitatif dan mengadopsi penelitian model studi kasus, penulis menemukan bahwa kebijakan luar negeri Iran secara umum terhadap AS bersifat konfrontatif dan responsif. Iran selalu menentang kebijakan luar negeri AS yang dominatif terhadap kestabilan dalam negeri dan kawasan. Sedangkan secara khusus, Iran memfokuskan diri untuk mengedepankan negoisasi dan diplomasi dalam rangka kerjasama mengembangkan program nuklir ke berbagai negara anggota DK PBB maupun ke negara-negara kawasan.
Kebijakan luar negeri Iran ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu kepentingan pengembangan energi listrik sebagai antisipasi keterbatasan sumber daya alam lainnya (minyak dan gas), posisi geopolitik dan geostrategis Iran di jantung dunia, ideologi revolusi Islam para penguasanya yang selalu dijaga dan dilestarikan, dominasi ulama dan kelompok konservatif di dalam struktur pemerintahan, dan dukungan mayoritas masyarakat Iran terhadap kebijakan pemerintahan Ahmadinejad yang pro rakyat miskin.
Dikarenakan kebijakan luar negeri ini, Iran mendapatkan sanksi secara berturut. Sanksi melalui resolusi DK PBB yang semakin berat. Tercatat dari resolusi dengan sanksi yang hanya sebatas penundaan (no. 1696), pembekuan aset (no. 1737), larangan bantuan keuangan dari negara lain (no. 1747), pembatasan hubungan negara lain terhadap Iran (no. 1803) dan embargo ekonomi dan senjata (no. 1929). Akan tetapi hingga saat ini Iran tetap bertahan untuk terus melakukan pengembangan program nuklirnya.

Since 2006 until 2010 Iran has been the subject of five UN sanctions sponsored by the United States and its allies. These sanctions resulted from the Iranian policy to continue their nuclear program despite of UN Security Council?s resolution and international atom agency (IAEA)?s advice. Iran continues to state that their nuclear program is for peace keeping purposes and is in accordance with Nuclear Non-Proliferation Treaty.
Interestingly, in this unfortunate blow of sanctions, international support increases. One of them is the decreasing support of member countries of UN Security Council toward the sanctions; this lead to the question on US foreign policy against Iran and their implications on the Security Council resolutions.
By using qualitative approach and by adopting case study model of research, the writer assumes that Iranian foreign policy is generally confrontative and responsive. Iran is always against US foreign policy which is dominative to domestic and regional stability. On the other hand, Iran focuses on negotiation and diplomacy to promote cooperation to develop nuclear program with the members of UN Security Council and with neighboring countries in the region.
There are several key elements that give shape to Iranian foreign policy; development of electricity alternative energy, in an anticipation of the depletion of other natural resources (oil and gas), Iranian geopolitics and geocenties in the world, preserved Iranian Islamic Revolution ideology, ulama and conservative domination in the administration, and Iranian people?s support of Ahmadinejad administration policy which is in favor of the poor.
Iranian foreign policy has led to multiple sanctions. UN Security council releases tougher resolutions day to day. The sanctions range from suspension (no. 1696), freezing of the assets (no. 1737), prohibition on foreign aid (no. 1803), to economic and weaponry embargo (no. 1929). However, Iran survives them and continues to develop its nuclear program."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: LIPI Press, 2005
341.755 IND
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Florencia Irena
"Artikel ini membahas dinamika pandangan masyarakat Prancis terhadap penggunaan nuklir sebagai sumber energi yang kemudian memengaruhi kebijakan pemerintah Prancis terhadap pemanfaatan tenaga nuklir sebagai sumber energi. Pemerintah Prancis mulai memanfaatkan tenaga nuklir sebagai sumber energi semenjak mengalami embargo minyak dari negara-negara Arab yang tergabung dalam OPEP pada 1974, sebagai akibat dari perang Arab-Israel. Prancis yang saat itu dipimpin oleh Presiden Georges Pompidou, memutuskan untuk memanfaatkan energi nuklir guna mengatasi krisis energi tersebut, sehingga pada 1977 Prancis sudah berhasil mengganti energi minyak bumi dengan energi nuklir untuk menopang sebagian besar industrinya. Namun, terjadi beberapa peristiwa besar yang mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai penggunaan tenaga nuklir. Kecelakaan reaktor tenaga nuklir di Ukraina dan Jepang menyadarkan rakyat Prancis akan bahaya yang ditimbulkan apabila terjadi ledakan reaktor nuklir. Desakan untuk mengganti energi nuklir dengan energi yang lebih aman mulai muncul, yang mengakibatkan pemerintah menyusun program untuk mulai mengurangi ketergantungannya pada energi nuklir ini. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah dan teori Dekonstruksi Jacques Derrida yang digunakan untuk menjelaskan perubahan kebijakan pemanfaatan nuklir di Prancis. Perubahan kebijakan ini, terjadi karena terutama karena kekhawatiran masyarakat Prancis akan bahaya penggunaan nuklir sehingga mendorong pemerintah Prancis untuk menyelenggarakan debat nasional mengenai pemanfaatan tenaga nuklir. Setelah penyelenggaraan Le Débat National sur la Transition Énergetique pada 2014- 2015, pemerintah Prancis di bawah Presiden François Hollande yang kemudian dilanjutkan oleh Presiden Emmanuel Macron, sepakat untuk mengurangi penggunaan energi nuklir sebagai penopang energi industrinya dari 75% menjadi 50% pada 2023. Upaya untuk menggantikannya dengan energi yang terbarukan menjadi tantangan tersendiri bagi kepala negara Prancis guna merealisasikan tuntutan warganya agar dapat hidup tanpa adanya ketakutan terhadap kemungkinan meledaknya reaktor nuklir di negaranya.

This article discusses the dynamics of the French public's view of the use of nuclear as an energy source which influences the French government's policy towards the use of nuclear as an energy source. The French government began to use nuclear as an energy source since oil embargo by the Arab countries that joined OPEP in 1974, as a result of the Arab-Israeli war. France, which was led by President Georges Pompidou, decided to use nuclear energy to overcome the energy crisis, so that in 1977 France had succeeded replacing petroleum energy with nuclear energy to sustain most of its industries. However, there were several major events that affected the public's view about the use of nuclear power. Nuclear power reactor accidents in Ukraine and Japan made the French people aware of the dangers posed by a nuclear reactor explosion. The urge to replace nuclear energy with safer energy began to emerge, which resulted in the government setting up a program to start reducing its dependence on nuclear energy. This study uses historical research methods and Jacques Derrida's deconstruction theory which is used to explain changes in nuclear utilization policies in France. This policy change occurred mainly because of the French public's concern about the dangers of nuclear use, which prompted the French government to hold a national debate on the use of nuclear. After Le Débat National sur la Transition Energetique in 2014-2015, the French government with President François Hollande, which was then followed by President Emmanuel Macron, agreed to reduce the use of nuclear energy as a support for industrial energy from 75% to 50% in 2023. replacing it with renewable energy is a challenge for the head of state of France to realize the demands of its citizens to live without fear of the possibility of a nuclear reactor exploding in his country."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Florencia Irena
"Artikel ini membahas dinamika pandangan masyarakat Prancis terhadap penggunaan nuklir sebagai sumber energi yang kemudian memengaruhi kebijakan pemerintah Prancis terhadap pemanfaatan tenaga nuklir sebagai sumber energi. Pemerintah Prancis mulai memanfaatkan tenaga nuklir sebagai sumber energi semenjak mengalami embargo minyak dari negara-negara Arab yang tergabung dalam OPEP pada 1974, sebagai akibat dari perang Arab-Israel. Prancis yang saat itu dipimpin oleh Presiden Georges Pompidou, memutuskan untuk memanfaatkan energi nuklir guna mengatasi krisis energi tersebut, sehingga pada 1977 Prancis sudah berhasil mengganti energi minyak bumi dengan energi nuklir untuk menopang sebagian besar industrinya. Namun, terjadi beberapa peristiwa besar yang mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai penggunaan tenaga nuklir. Kecelakaan reaktor tenaga nuklir di Ukraina dan Jepang menyadarkan rakyat Prancis akan bahaya yang ditimbulkan apabila terjadi ledakan reaktor nuklir. Desakan untuk mengganti energi nuklir dengan energi yang lebih aman mulai muncul, yang mengakibatkan pemerintah menyusun program untuk mulai mengurangi ketergantungannya pada energi nuklir ini. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah dan teori Dekonstruksi Jacques Derrida yang digunakan untuk menjelaskan perubahan kebijakan pemanfaatan nuklir di Prancis. Perubahan kebijakan ini, terjadi karena terutama karena kekhawatiran masyarakat Prancis akan bahaya penggunaan nuklir sehingga mendorong pemerintah Prancis untuk menyelenggarakan debat nasional mengenai pemanfaatan tenaga nuklir. Setelah penyelenggaraan Le Débat National sur la Transition Énergetique pada 2014-2015, pemerintah Prancis di bawah Presiden François Hollande yang kemudian dilanjutkan oleh Presiden Emmanuel Macron, sepakat untuk mengurangi penggunaan energi nuklir sebagai penopang energi industrinya dari 75% menjadi 50% pada 2023. Upaya untuk menggantikannya dengan energi yang terbarukan menjadi tantangan tersendiri bagi kepala negara Prancis guna merealisasikan tuntutan warganya agar dapat hidup tanpa adanya ketakutan terhadap kemungkinan meledaknya reaktor nuklir di negaranya.

This article discusses the dynamics of the French public's view of the use of nuclear as an energy source which influences the French government's policy towards the use of nuclear as an energy source. The French government began to use nuclear as an energy source since oil embargo by the Arab countries that joined OPEP in 1974, as a result of the Arab-Israeli war. France, which was led by President Georges Pompidou, decided to use nuclear energy to overcome the energy crisis, so that in 1977 France had succeeded replacing petroleum energy with nuclear energy to sustain most of its industries. However, there were several major events that affected the public's view about the use of nuclear power. Nuclear power reactor accidents in Ukraine and Japan made the French people aware of the dangers posed by a nuclear reactor explosion. The urge to replace nuclear energy with safer energy began to emerge, which resulted in the government setting up a program to start reducing its dependence on nuclear energy. This study uses historical research methods and Jacques Derrida's deconstruction theory which is used to explain changes in nuclear utilization policies in France. This policy change occurred mainly because of the French public's concern about the dangers of nuclear use, which prompted the French government to hold a national debate on the use of nuclear. After Le Débat National sur la Transition Energetique in 2014-2015, the French government with President François Hollande, which was then followed by President Emmanuel Macron, agreed to reduce the use of nuclear energy as a support for industrial energy from 75% to 50% in 2023. replacing it with renewable energy is a challenge for the head of state of France to realize the demands of its citizens to live without fear of the possibility of a nuclear reactor exploding in his country."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Yayak Heriyanto
"ABSTRAK
Iran sebagai negara yang berpenduduk kurang lebih 70 juta jiwa (2006) telah mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan terutama dalam bidang industri, ilmu pengetahuan dan teknologi. Kondisi ini sudah barang tentu membutuhkan sumber energi yang besar pula mengingat hampir 90% masyarakat Iran menggunakan energi listrik dalam menjalankan aktifitas, dan memenuhi kebutuhan mereka. Teknologi nuklir yang dirniliki Iran merupakan satu-satunya solusi alternatif untuk memenuhi kebutuhan energi pcngganti minyak. Teknologi nuklir ini sudah menjadi kebutuhan masyarakat Iran, sehingga pemerintali Iran harta menjaga, mengembangkan, bahkan kalau perlu mempertahankannya dari hambatan dan tekanan baik yang datang dari dalam ataupun dari luar negerinya, mengingat teknologi nuklir Iran sudah menjadi kebutuhan dan kepentingan nasional mereka.
Namun dalam perjalanannya, pelaksanaan kepentingan nasional ini tentyata mendapat hambatan, tekanan, bahkan ancaman dari negara luar terutama Amerika Serikat dan Israel. Kecurigaan akan penyalahgunaan tehnologi nuklir untuk energi menjadi tehnologi senjata nuklir merupakan akar pennasalahan berubahnya kasus nuklir Iran sebagai kasus domestik menjadi kasus internasional. Pemerintah Iran terpaksa hares mengeluarkan kebijakan luar negerinya untuk mernbenarkan, membela, dan meyakinkan dunia intemasional bahwa program nuklir Iran adalah untuk tujuan damai. Terjadinya perbedaan pandangan tentang kasus nuklir Iran yang terjadi antara pernerintah Iran dengan AS, Israel, serta beberapa negara lainnya, telah memaksa kedua belah pihak melakukan berbagai macam cara demi tercapainya tujuan mereka. AS, Israel dan beberapa negara lainnya selalu menekan Iran dengan ancaman akan membawa kasus nuklir Iran ke DK PBB dan akan menjatuhkan sanksi kepada Iran apabila Iran tetap dengan pendiriannya melanjutkan program nuklirnya. Sementara pemerintah Iran seolah oleh tidak memperdulikan ancaman itu dengan keyakinan bahwa program nuklirnya tidak menyalahi aturan yang ditetapkan oleh IAEA, juga keanggotaan negara-negara NPT.

ABSTRAK
Iran as a country which has population approximately 70 million (2006) has experienced significant economic growth, especially in industry field, science and technology. This economic growth need a laver number or energy especially considering 90% or Iranian need electricity to do their activities and to iul.111 their need. Iran's nuclear teclinology is an altennualive solution to fulfill their national energy need. Nuclear program has become Iran's national interest so that Iran concluded several contracts for construction of nuclear plants and the supply of nuclear fuel. By the time of the Islamic Revolution in January 1979. Iran's nuclear program has considered on the most advanced in the Middle East.
'Concurrently, United Stated (US), Israel, and Europeans Unior Trio (EU riot accused that Iran's nuclear program as their national interest has continued to maintain that Iran is pursing an underground nuclear weapons program. And while this claim has not yet been substantiated by I AEA inspections, proponents argue tht-t hvan has violated the NP T and that the country's nuclear file should, in turn, be referred to the United Nation Security Council (UNSC) for its review. For its part, Iran's foreign policy try to convince international community dun Iran's nuclear prngrarn is a contituues to assert that pursues a nuclear progr:an with only peaceful application. While Iran's government believes that the situation may he resolved diplomatically.
"
2007
T 17718
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Purnomo Adi
"Tesis ini menganalisis keberpihakan Uni Eropa terhadap Iran menyusul mundurnya Amerika Serikat dari Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada tahun 2018. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan mengenai alasan yang berkontribusi terhadap keputusan Uni Eropa untuk berpihak pada Iran. Menggunakan Teori Ekspektasi Perdagangan yang dikembangkan oleh Dale C. Copeland, penelitian ini memetakan interaksi antara Uni Eropa, Iran, Amerika Serikat serta negara-negara kawasan Timur Tengah lainnya menjadi faktor endogen dan eksogen yang berkontribusi terhadap keputusan Uni Eropa untuk berpihak pada Iran. Menggunakan metode kualitatif, dengan fokus analisis data sekunder yang dikumpulkan dari publikasi pemerintah termasuk penelitian-penelitian terdahulu mengenai JCPOA, tesis ini menemukan bahwa terdapat kepentingan politis dan komersial yang berusaha dicapai oleh Uni Eropa melalui kedekatannya dengan Iran. Hal ini kemudian mempengaruhi keberpihakan Uni Eropa terhadap Iran dalam JCPOA. Berdasarkan dari temuan tersebut, untuk mencapai kepentingannya dengan Iran, Uni Eropa harus mampu menunjukkan komitmennya dalam JCPOA dan memperluas cakupan instrumen perdagangannya dengan Iran, INSTEX, untuk menunjukkan efektivitasnya sebagai sebuah instrumen keuangan yang berkelanjutan.

The present work analyses European Union’s alignment with Iran following the withdrawal of the United States from the Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) in 2008. This study was conducted to answer questions regarding the reasons that contributed to European Union’s decision to side with Iran. Using the Trade Expectation Theory developed by Dale C. Copeland, this study maps the interaction between the European Union, Iran, the United States, and other Middle Eastern countries into endogenous and exogenous factors that contribute to the European Union’s decision to side with Iran. This study adopts qualitative methods and focusing its analysis on secondary data collected from government publications, including previous studies on the JCPOA. Based on the analysis conducted, this study finds that there are political and commercial interest that the European Union is trying to achieve through its alignment with Iran. This then affects the European Union’s alignment with Iran in the JCPOA. Departed from these findings, to achieve its strategic interest with Iran, the EU must be able to demonstrate its commitment to the JCPOA and expand the scope of its trading instrument with Iran, INSTEX, to demonstrate its effectiveness as a sustainable financial instrument."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evelyn Adisa
"Tesis ini membahas mengenai fenomena lemahnya rezim non-proliferasi nuklir internasional dalam menghadapi perilaku nuklir Iran. Negara tersebut dapat tetap membangun program nuklirnya meskipun telah menandatangani Traktat Non- Proliferasi Nuklir (NPT). Teori signifikansi rezim Stephen D. Krasner menyatakan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan rezim internasional. Faktor-faktor tersebut yaitu egoistic self-interest, political power, dan norms and principles digunakan untuk membantu menjelaskan fenomena ini. Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa lemahnya rezim nonproliferasi nuklir internasional dalam kasus Iran dipengaruhi oleh (1) egoistic selfinterest Iran, (2) political power Iran, dan (3) norms and principles NPT dan IAEA yang tidak sejalan dengan Iran.

This thesis focuses on the phenomenon of an international nuclear nonproliferation regime's weaknesses vis a vis Iran's nuclear ambitions. Iran still continues its nuclear program although it has already signed the Nuclear Non- Proliferation Treaty (NPT). Stephen D. Krasner's regime significance theory stated that there are factors which have influenced and continue to mold the development of the international regime's policies. Those factors such as egotistic self-interest, political power, and norms and principles are used to explain this phenomenon. It can be concluded that the weaknesses of the international nuclear non-proliferation regime related to Iran's nuclear development are being influenced by (1) Iran's egotistic self-interests, (2) Iran's regional and international political power, and (3) NPT and IAEA's norms and principles that are not in line with Iran's behavior."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
T30453
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>