Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113795 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bambang Nursasongko
"ABSTRAK
Akhir-akhir ini telah dikembangkan bahan tumpatan
'high-copper" amalgam untuk meningkatkan mutu amalgam
konvensional. High-copper amalgam mempunyai nilai 'creep'
lebih rendah, kekuatan kompresif lebih tinggi, dan lebih
tahan terhadap korosi. Namun pola kebocoran mikro pada tepi
tumpatan 'high-copper' amalgam ini menurut beberapa peneliti
tidak berbeda dengan amalgam konvensional. Kebocoran mikro
pada tepi tumpatan amalgam terjadi akibat adanya perubahan
dimensi bahan tumpatan amalgam didalam kavitas gigi selama
mengeraS. Salah satu usaha untuk mencegah kebocoran mikro
ini adalah dengan pemberian pernis pada dinding kavitas.
Untuk mengetahui peran pernis dalam mencegah kebocoran mikro
pada tepi tumpatan 'high-copper' amalgam, dilakukan
penelitian terhadap 160 gigi tetap manusia yang ditumpat
dengan 'high-copper' amalgam dengan pernis dan tanpa pernis.
Kebocoran dinilai dengan menggunakan zat warna biru metilen
setelah 24 jam dan 7 hari. Dari hasil penelitian terlihat
bahwa kebocoran mikro pada tepi tumpatan 'high-copper'
amalgam tanpa lapisan pernis ternyata lebih besar
dibandingkan dengan tumpatan 'high-copper'. amalgam dengan
pernis, baik pada dinding kavitas maupun pada permukaan
tumpatannya. Karenanya, lapisan pernis pada tumpatan 'high-
copper' amalgam dapat dinilai cukup efektif dalam mencegah
kebocoran mikro pada tepi tumpatan.

"
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Preiskel, H. W.
Jakarta: Erlangga, 1981
617.6 PRE k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Haryanto A. G.
"Pada geligi tiruan lengkap rahang atas, retensi tergantung antara lain pada keutuhan 'seal' di sekelilingnya, dimana Posterior Palatal Seal merupakan salah satu bagiannya. Masalah biasanya timbul karena bagian ini terletak pada daerah batas jaringan mukosa yang bergerak dan tidak begerak.
Penentuan Posterior Palatal Seal sendiri sampai saat ini sering dilakukan secara visual saja, tanpa bantuan ciri anatomik. Pada hal dalam kepustakaan (antara lain Beresin & Schiesser (1973) dan Boucher (1975) dikemukakan bahwa Fovea Palatini adalah salah satu ciri anatomik yang dapat digunakan sebagai pedoman penentu letak Posterior Pala tal Seal.
Pada penelitian ini dilakukan pengukuran jarak-jarak antara Fovea Palatini ke Garis Getar pada ketiga bentuk lereng palatum lunak untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara jarak-jarak tersebut. Dengan demikian dapat pula diketahui apakah Fovea Palatini dapat digunakan sebagai pedoman. Pada penggolongan bentuk Lereng Palatum Lunak, digunakan Klasifikasi M.M.House.
Hasil yang didapat dari penelitian ini menunjukkan adanya berbagai ragam letak maupun jumlah Fovea Palatini.Sejumlah 72,32 % subyek mempunyai fovea yang letaknya posterior dari garis getar, sedangkan 17,85 % letaknya bervariasi. Ditinjau dari jumlahnya, dijumpai 13,39 % subyek dengan satu, tiga dan empat buah fovea palatini dengan letak yang bervariasi pula. Penelitian yang dilakukan Lye maupun oleh Chen ternyata menunjukkan hasil berupa ketiga seragam an yang serupa.
Mengingat beragamnya letak maupun jumlah fovea palatini, disimpulkan bahwa ciri antomik ini diragukan untuk dapat digunakan sebagai pedoman penentu letak bagian medial posterior palatal seal geligi tiruan lengkap rahang atas."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suzan Elias
"Salah satu terapi yang umum untuk kehilangan gigi 076I678 yang kita kenal sebagai kasus K1 I Kennedy,adalah gigi tiruan sebagian lepas ekstensi distal.Pada pem-
buatan gigi tiruan tersebut umumnya gigi penjangkaran yang digunakan adalah gigi gigi 54I45 yang merupakan gigi penjangkaran yang lemah.
Jaringan pendukung gigi tiruan tersebut terdiri atas jaringan keras yaitu gigi penjangkaran beserta periodonsiumnya dan jaringan lunak yaitu mukosa yang berada dibawah basis gigi tiruan tersebut.Kedua jaringan pendukung mempunyai kekenyalan yang berbeda.Pada pemakaian gigi tiruan sebagian lepas ekstensi distal perbedaan kekenyalan itu sering mengakibatkan goyangnya gigi penjangkaran.Salah
satu penyebab goyangnya gigi penjangkaran tersebut adalah gerak distal gigi penjangkaran tiap kali gigi tiruan mandapat beban kunyah.
Yang menjadi masalah adalah bagaimana menentukan disain cengkeram serta upaya,memperoleh gigi penjangkaran yang kuat agar kesehatan jaringan pendukung gigi tiruan tersebut dapat dipertahankan sebaik-baiknya dan untuk wak-
tu yang lama.
Sehubungan dengan itu telah diteliti adanya perbedaan gerak distal yang bermakna dari gigi penjangkaran yang displint dan yang tidak displint dengan disain cengkeram 3 jari (sirkumferensial) dan disain cengkeram 3 jari panjang (continous). Penelitian ini dilakukan secara laboratorik dan beban kunyah yang digunakan adalah komponen beban kunyah yang jatuh tegak lurus pada bidang kunyah.
Secara statistik dari penelitian ini dibuktikan bahwa pada gigi tiruan sebagian lepas ekstensi distal, gerak distal yang diterima gigi penjangkaran dengan splint lebih kecil bila dibandingkan dengan gerak distal gigi penjangkaran tanpa splint.Selain itu gigi tiruan dengan disain cengkeram 3 jari panjang,gigi penjangkarannya juga menerima gerak distal lebih kecil dibandingkan dengan yang diterima oleh gigi tiruan dengan di-
sain cengkeram 3 jari.Sedangkan gerak distal yang terkecil diterima oleh gigi penjangkaran dengan splint dan disain cengkeram 3 jari panjang."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ellyza Herda
"ABSTRAK
Amalgam merupakan bahan tambal gigi yang sampai saat ini masih cukup luas pemakaiannya. Paduan amalgam yang diproduksi di Indonesia adalah paduan amalgam konvensional atau Low Copper Amalgam Alloys. Pada penelitian ini akan dibuat paduan amalgam modern atau High Copper Amalgam Alloys dengan penambahan Palladium. Sebagal kontrol dipakai High Copper Amalgam Alloys komersil merk Solila Nova.
Teknik pembuatan atau proses pabrikasi dari High Copper Amalgam Alloys dilakukan sama seperti pembuatan Low Copper Amalgam Alloys. Komposisi dan struktur fasa dari paduan amalgam dan amalgam ditentukan dengan teknik diffraksi sinar-X. Sedangkan untuk melihat sifat muai panas dan efek penambahan Palladium pada amalgam digunakan teknik Dilatometri.
Dari hasil analisa diffraksi sinar-X didapat hasil bahwa High Copper Amalgam Alloys yang telah dibuat dan Solila Nova terdiri dari fasa y (Ag3Sn) dan fasa c (CusSn), dan kedua fasa tersebut mempunyai struktur ortorombik. Sedangkan fasa-fasa pada High Copper Amalgam dari paduan tersebut terdiri dari fasa yl (Ag2Hgs) yang mempunyai struktur kubus, fasa ii (Cu6Sn5) berstruktur heksagonal dan fasa y (AgsSn) sisa yang tidak bereaksi. Pada High Copper Amalgam tidak terdeteksi adanya fasa y2 (Sn7Hg) yaitu fasa yang terlemah pada struktur mikro amalgam.
Efek dari penambahan Palladium pada amalgam dapat dilihat dari hasil analisa muai panas dengan Dilatometer dan diffraksi sinar-X pada amalgam setelah pemanasan Penambahan Palladium sampai 1% berat membentuk amalgam yang stabil.

ABSTRACT
Amalgam restorations constitute the large majority of all permanent fillings used by Dentist to repair revages of dental caries. Amalgam Alloys that are produced in Indonesia are known as Conventional Amalgam Alloys or Low Copper Amalgam Alloys. The purpose of this investigation is to produce Modern Amalgam Alloys or High Copper Amalgam Alloys with Palladium Additives. The commercially available High Copper Amalgam Alloys, under the trade name Solila Nova was used as a reference.
The manufacturing process and procedure to obtain the Modern Amalgam Alloys were the same as the ones to produce Low Copper Amalgam Alloys. The High Copper Amalgam Alloys and their amalgams were analyzed to determine the phase compositions and structures by using X-Ray Diffraction techniques. The thermal behavior and the effect of Pd additives in High Copper Amalgam were determined by using Dilatometry techniques.
The results of this investigation indicate that the High Copper Amalgam Alloys consist of y (Ag3Sn) and c (Cu3Sn) phases, which are similar as the reference Solila Nova Alloys. The structures of these phases are orthorhombic. The phases of the amalgams of these alloys consist of yl (Ag2 Hgs) and 17 (Cu8Sn$) phases, and the un-reacted particles of y (Ag3Sn), with no detectable y2 (SngHg), since y2 phase in dental amalgam is the weakest phase. The yl crystallizes as a cubic while the phase has hexagonal structure. By Dilatometry techniques the effect of Palladium additives indicate that an increase of Pd in amalgam up to 1 wt % stabilizes the set amalgam.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahardhika
"ABSTRAK
Kavitas kelas I sering ditemui pada permukaan gigi molar karena mempunyai bentuk anatomi pit dan fisur yang dalam sehingga sering menyebabkan sisa makanan tertinggal yang nantinya dapat menyebabkan karies gigi. Bahan restorasi yang sesuai untuk penumpatan kavitas kelas I adalah resin komposit. Namun resin komposit memiliki kelemahan yaitu mengalami penyusutan polimerisasi yang menyebabkan kebocoran tepi. Kavitas kelas I juga memiliki c-factor terbesar dibandingkan kavitas lainnya yang dapat menyebabkan kebocoran, sehingga untuk mengatasinya dapat menggunakan liner SIKMR serta teknik Bulk-fill dan inkremental oblik. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kebocoran tepi restorasi resin komposit teknik Bulk-fill dengan liner dan teknik inkremental dengan liner. Sebanyak 70 sampel dipreparasi dibagian bukal dengan ukuran 3 mm x 3 mm, terdiri dari 10 sampel kelompok Bulk-fill, 30 sampel kelompok Bulk-fill dengan liner SIKMR dan 30 sampel kelompok inkremental oblik. dengan liner SIKMR direndam dalam air destilasi selama 24 jam. Kemudian dilakukan Thermocycling 250x, suhu 5-550C dilanjutkan dengan aplikasi cat kuku dan rendam dalam metilen biru selama 24 jam. Sampel dibelah dalam arah buko-palatal dan dilakukan pengamatan menggunakan mikroskop stereo kemudian hasilnya diuji statistik menggunakan uji Chi-Square. Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna diantara semua kelompok dengan nilai signifikansi p≤0,05. Inkremental oblik dengan liner menunjukkan tingkat kebocoran lebih rendah dibandingkan Bulk-fill dengan liner.

ABSTRACT
Cavity class I often found on the surface of the molars because they have the anatomical shape of pits and fissures are deep that often cause food scraps left behind which can later lead to dental caries. Restorative material suitable for cavities penumpatan class I is the composite resin. However, a drawback of composite resin namely polymerization shrinkage which causes microleakage. Cavity class I also have a c-factor compared to most other cavity which can cause leaks, so to overcome SIKMR can use the liner as well as bulk-fill technique and incremental oblique. The purpose of this study was to analyze the microleakage of composite resin restorations Bulk-fill technique and oblique incremental techniques with liner. A total of 70 samples were prepared on the buccal with the size of 3 mm x 3 mm, consisting of 10 groups of Bulk-fill samples, 30 samples of Bulk-fill groups with liner SIKMR and oblique incremental groups of 30 samples. with liner SIKMR soaked in distilled water for 24 hours. Then do the Thermocycling 250X, 5-550 C temperature followed by application of nail polish and soak in methylene blue for 24 h. Samples were cleaved in buko-palatal direction and made observations using a stereo microscope and the result was tested statistically using Chi-Square. Statistical analysis showed significant differences among all groups with significant value p≤0,05. Incremental oblique with liner show a lower leakage rate than the Bulk-fill with liner."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Warsono Soemadi
"ABSTRAK
Pembangunan suatu negara tidak hanya melakukan pembangunan fisik saja, tetapi harus juga diperhatikan pembangunan kesehatan, dan salah satunya adalah kesehatan gigi. Departemen Kesehatan melalui Direktorat Kesehatan Gigi mencanangkan program pembangunan jangka panjang tahap ke dua dengan meningkatkan pelayanan kesehatan gigi masyarakat menuju tahun 2000.
Pelayanan kesehatan gigi masyarakat yang sering dilakukan pada orang dewasa maupun anak-anak adalah melakukan perawatan yaitu penambalan gigi, dengan menggunakan bahan tambal amalgam gigi yang mengandung Merkuri = Hg.
Merkuri mempunyai sifat sangat beracun bagi tubuh manusia dan mudah menguap. Merkuri dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui pencernaan, pernafasan dan peresapan melalui kulit, serta dapat merusak susunan saraf pusat, ginjal, hati dan organ tubuh lainnya.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah belum diketahuinya gambaran kadar Hg dalam urine pada anak yang gigi susunya ditambal dengan bahan tambal amalgam gigi yang mengandung Hg.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kadar Hg dalam urine dan rnegetahui hubungan antara bahan tambal amalgam pada gigi susu dengan kadar Hg dalam urine dan faktor-faktor yang mempengaruhi.
Penelitian ini menggunakan data primer dengan rancangan penelitian analitik dan pendekatan cross- sectional, sampel berjumlah 40 anak, dengan variabel bebas meliputi jenis kelamin, umur, lama penarnbalan gigi, jumlah penambalan gigi, sedangkan variabel terikat yaitu kadar Hg dalam urine.
Disamping itu dalam penelitian juga akan dilihat mengenai hubungan antara bahan tambal amalgam pada gigi susu dengan kadar Hg dalam urine, dengan mengambil sampel anak yang datang berobat di poliklinik Bagian Gigi Anak Universitas Indonesia Nopember 1993 - Mei 1994, dan dikumpulkan contoh urine anak yang gigi susunya ditambal dengan bahan tambal amalgam gigi. Alasan diambil sampel anak, karena anak belum banyak tercemar dan ingin dilihat secara dini pengaruh Hg dalam tubuh dengan melalui urine.
Gambaran distribusi menurut jenis kelamin perempuan dan laki-laki sama jumlahnya yaitu 20 anak, rata-rata umur anak 7 tahun 3 bulan, rata-rata lama penambalan gigi 132 hari, jumlah penambalan gigi 1 - 3 gigi dan rata-rata kadar Hg dalam urine 93,98 141.
Hasil penelitian untuk variabel jenis kelamin didapatkan bahwa secara statistik ada hubungan bermakna dengan kadar Hg dalam urine (p=001). Kelompok laki-laki mempunyai rata-rata kadar Hg dalam urine lebih tinggi dibandingkan kelompok perempuan. Hasil penelitian didapatkan bahwa secara statistik tidak ada hubungan bermakna antara umur dengan kadar Hg dalam urine (p=O,3d). Rata-rata kadar Hg dalam urine untuk kelompok umur >87 bulan lebih rendah dibandingkan kelompok umur <87 bulan. Hubungan antara lama penambalan dengan kadar Hg dalam urine secara statistik hubungannya juga tidak bermakna (p1.OO). Terlihat rata-rata kadar Hg dalam urine untuk lama penambalan >69 hari lebih besar dibandingkan dengan lama penambalan < 69 hari. Hubungan yang tidak bermakna ditemukan juga untuk variabel jumlah penambalan dengan kadar Hg dalam urine (p=1.00). Terlihat rata-rata kadar Hg dalam urine untuk kelompok jumlah penambalan >1 gigi lebih tinggi dibandingkan kelompok jumlah penambalan 1 gigi. Dalam hal ini anak kemungkinan mendapatkan paparan Hg dari bahan tambal amalgam gigi, kemungkinan lain tidak didapatkan hubungan bermakna karena makin bertambah umur makin berkurang dengan hilangnya gigi susu.
Dalam pembahasan setelah dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu >4 µg/l dan <4 μg/l, terlihat bahwa kadar Hg dalam urine >4 µg/1 sebanyak 92,5%, dengan demikian dari seluruh responden, hampir semuanya sudah terancam penyakit yang diakibatkan oleh kadar Hg dalam tubuh. Dan hasil penelitian berdasarkan mean rank didapatkan kadar Hg dalam urine laki-laki lebih besar daripada perempuan, dan ditemukam hubungan bermakna menurut jenis kelamin (p=0,001), Sedangkan menurut variabel umur, lama penambalan dan jumlah penambalan tidak ditemukan hubungan bermakna. Dari hasil penelitian dengan melihat perbedaan proporsinya, walaupun kadar Hg dalam urine laki-laki lebih tinggi dengan kadar Hg dalam urine perempuan, tetapi setelah diuji secara statistik tidak ditemukan hubungan yang bermakna, juga menurut variabel umur, lama penambalan dan jumlah penambalan tidak ditemukan hubungan bermakna.
Kesimpulan dalam penelitian ini ditemukannya lebih dari 90 % responden mempunyai kadar Hg dalam urine diatas normal (4 μg/l), secara statistik ditemukan hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan kadar Hg dalam urine, dimana laki-laki mempunyai kadar Hg dalam urine lebih tinggi daripada perempuan. Tidak ditemukannya secara statistik hubungan bermakna antara umur, lama penambalan dan jumlah penambalan terhadap kadar Hg dalam urine.

ABSTRACT
Community dental health service for both the adults and children has often been mainly filling the teeth using dental amalgam containing Mercury (Hg).
Mercury has poisonous property to the human body as well as evaporate vapor, and absorbed through skin. Healing in and penetration through also and can damage the brain centre, kidney, liver, and body organs.
The problem in this research is that the Hg content in the urine of the children with amalgam filling content Hg, has not been assessed.
The research goal is to investigate the Hg content in mine and to investigate the relation between amalgam filling, Hg in the urine and the various influencing factors.
This research collected primary data with analytics research pattern and cross-sectional approach. The sample size is 40 children, with independent variable sex, age, length of time of teeth, the number of filled teeth, while dependent variable is the Hg content in urine.
However, in this research we can also investigate the relation between the amalgam filling material that is used to fill the deciduous teeth and Hg content in urine, from the children, attending Children Dental Polyclinic, University of Indonesia, between November 1993 - May 1994, as the sample and connecting the sample of urine in children which their teeth filled with dental amalgam. The 'reason using children as sample is that they're still pure try to assess the earliest side effect of Hg in human body through urine.
The distribution of female and male is the equal, 20 children of each, and, the average is 7 years 3 months, the average of filling teeth duration is 132 days, total filled teeth is 1-3 teeth and Hg content's average in urine is 93,89 µg11. The result of research showed that sex has been found to be statistically significant relation with Hg content in urine (p= 0,001). Male group have Hg content's average in urine higher than female group. Research result has shown that there is no statistical relation between age and the Hg content's in urine (p=0,30). Hg content's average in urine in the >87 months age group is lower than the 587 months age group. The relationship between filling duration and Hg content in urine statistically are not significant (p=1.00). The average of Hg content in urine for >69 days filling duration is bigger than 569 days filling duration. No significant relationship also found for the number of filling with Hg content in urine (p=1,00). The average Hg content in urine in the group with more the one tooth filled is higher than the group with only one tooth filed. In this matter, the children are exposed to Hg from amalgam filling, and another possibility, there's no significant relationship due to higher the age the amalgam filling has been reduced due to exfoliation of the milk teeth more lack of amalgam. In the discussion, after grouping into two groups that is >4 µg/l and 54 μg/l, it showed that the Hg content in wine >4 µg/l is 92,5%. Therefore, from all of the respondents, nearly all of them have already been threatened by the disorder due to Hg content in the body. From the research's result based on the mean rank it has been found that the Hg content in the male urine is higher than female, and significant relationship on sex has been found (p=0,001}. By age group duration of filling and the number of filling, no significant relationship has been found. From the research result by observing the proportion's differences, although the Hg content in male urine is higher than the Hg content in female urine, but after being tested statistically there's no significant relationship, the same result is found also by age variable, duration of fillings and number of filling.
The conclusion of the research is that more than 90% respondents has been found to have Hg content in urine above normal (4 μg/l), statistically a significant relationship has been found between sex and the Hg content in wine, in which males have Hg content in urine higher than female. There's no statistically significant relationship between age, duration of tilling and the number of filling toward the Hg content in urine.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Esti H. Setiawan
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan kebocoran melalui orifis pada teknik pengisian saluran akar secara kondensasi lateral (k.l) dan secara kondensasi lateral vertikal gutta-percha panas (k.l.v.g.p) menggunakan indikator penetrasi bakteri. Empat puluh delapan gigi anterior akar tunggal dan lurus dipreparasi secara step back. Untuk mendapatkan keseragaman, diameter foramen apikal ditembus dengan file no. 25 sesuai panjang gigi, kemudian panjang kerja dikurangi 1 mm. Preparasi dimulai dengan file no. 30 sampai didapat MAF no.50 dan file terakhir no. 70. Secara random 20 gigi eksperimen diisi dengan teknik kondensasi lateral dan 20 gigi eksperimen lainnya diisi secara teknik kondensasi lateral vertikal gutta-percha panas, sedang 8 gigi lainnya digunakan sebagai kelompok kontrol. Setelah sealer setting, panjang pengisian distandardisasi menjadi 10 mm menggunakan Gates glidden drill & Peeso reamer. Seluruh sampel dipasang dalam botol kaca 15 ml dengan dot silicone yang sudah disterilkan, pads dasar botol diisi dengan Phenol red + lactosa 3% sampai ujung apeks terendam kira-kira 1 mm, kemudian melalui orifis diteteskan 2 jenis mikro organisme rongga mulut dan saliva sintetis steril. Karena mikro organisme yang diteteskan merupakan jenis mikro organisme yang memproduksi asam, maka bila mikro organisme telah mencapai apeks akan merubah indikator phenol red dan lactosa 3% menjadi kuning. Evaluasi dilakukan dengan mencatat jumlah hari yang dibutuhkan oleh mikro organisme untuk melewati panjang standard pengisian sampai merubah indikator phenol red dan lactosa 3% menjadi kuning, dan data diuji secara statistik dengan uji Anova; p=0,05. Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan kebocoran antara teknik k.l dan k.l.v.g.p, tetapi secara deskriptif pengisian secara kondensasi lateral vertikal gutta-percha panas memberi waktu kebocoran lebih lama daripada teknik kondensasi lateral."
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Nandita Dewana
"Latar Belakang : Anomali gigi dapat menyebabkan berbagai masalah fungsional seperti, maloklusi, meningkatkan resiko karies, dan mengganggu estetika. Tingkat kejadian anomali gigi di Indonesia, masih belum banyak diteliti. Berdasarkan hal tersebut, maka penting untuk melakukan identifikasi untuk memperoleh data frekuensi distribusi anomali gigi pada radiograf panoramik di RSKGM FKG UI. Tujuan : Mendapatkan data frekuensi distribusi anomali gigi berdasarkan usia dan jenis kelamin pada radiograf panoramik di RSKGM FKG UI. Metode : Penelitian ini merupakan studi cross-sectional dengan total sampel 367 radiograf panoramik. Radiograf dievaluasi dan diinterpretasi oleh dua orang observer untuk mengidentifikasi anomali gigi sesuai klasifikasi berdasarkan anomali jumlah (gigi supernumerari), ukuran (makrodonsia dan mikrodonsia), erupsi (transposisi), serta morfologi (fusi, concrescence, geminasi, taurodonsia, dilaserasi, dens invaginatus, dens evaginatus, molar incisor malformation (MIM) , amelogenesis imperfecta, dentinogenesis imperfecta, dentin dysplasia, regional odontodisplasia, enamel pearl, talon cusp, dan congenital sifilis). Data usia, jenis kelamin, dan hasil interpretasi radiograf panoramik dicatat. Selanjutnya, dilakukan uji reliabilitas menggunakan uji Kappa untuk data kategorik dan uji ICC untuk data numerik. Hasil : Dari total sampel 367 radiograf pada rentang usia 6-79 tahun ditemukan 133 (36,2%) radiograf panoramik dengan anomali gigi, sebanyak 1-4 kasus pada setiap radiograf. Jumlah seluruh anomali gigi yang ditemukan adalah 395 kasus. Anomali gigi terbanyak ditemukan pada rentang usia 16-25 tahun. Berdasarkan klasifikasi, frekuensi distribusi anomali gigi yang ditemukan, secara berurutan yaitu anomali morfologi (63,15%), ukuran (32,33%), jumlah (18,05%), dan erupsi (7,52%). Jenis anomali morfologi gigi yang paling banyak ditemukan adalah dilaserasi (33,83%), anomali ukuran adalah mikrodonsia (32,05%), dan anomali jumlah adalah gigi supernumerari (23,64%). Berdasarkan jenis kelamin, frekuensi distribusi anomali gigi ditemukan lebih banyak pada laki-laki (45,83%) dibanding perempuan (31,87%). Anomali gigi yang paling banyak ditemukan pada laki-laki adalah gigi supernumerari, concrescence, dens invaginatus dan enamel pearl. Sedangkan, anomali gigi yang paling banyak ditemukan pada perempuan adalah makrodonsia, mikrodonsia, transposisi, geminasi, taurodonsia, dilaserasi, dens evaginatus, molar-incisor malformation (MIM), dan talon cusp. Kesimpulan : Prevalensi anomali gigi pada radiograf panoramik yang ditemukan pada penelitian ini cukup tinggi. Proporsi anomali gigi lebih tinggi ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Background : Dental anomalies can affect various functional problems such as, malocclusion, increase the risk of caries, and aesthetics problem. Incidence rate of dental anomalies in Indonesia has not yet been widely studied. Based on this, it is important to identification to get data frequency distribution of dental anomalies on panoramic radiographs at RSKGM FKG UI. Objective : To get data frequency distribution of dental anomalies based on age and gender in panoramic radiograph at RSKGM FKG UI. Method : This study is a cross-sectional study with total sample 367 panoramic radiographs. Radiographs were evaluated and interpreted by two observers to identify dental anomalies according to classification anomaly by number (supernumerary teeth), size (macrodontia and microdontia), eruption (transposition), and morphology (fusion, concrescence, gemination, taurodontisme, dilaceration, dens invaginatus, dens evaginatus, molar incisor malformation (MIM) , amelogenesis imperfecta, dentinogenesis imperfecta, dentin dysplasia, regional odontodisplasia, enamel pearl, talon cusp, and congenital syphilis). Data on age, gender, and interpretation of panoramic radiographs result were recorded. Reliability test were performed using Kappa test for categoric data and ICC test for numeric data. Result : From a total sample of 367 radiographs in the age range 6-79 years, 133 (36.2%) panoramic radiographs with dental anomalies were found, 1-4 cases in each radiograph. The total of all dental anomalies in were 395 cases. Based on classification, frequency distribution of dental anomalies found, respectively, are anomaly of morphology (63,15%), size (32,33%), number (18,05%), and eruption (7,52%). The most common type of anomaly of morphology was dilaceration (33,83%), anomaly of number was microdontia (32,05%), and anomaly of number was supernumerary tooth (23,64%). Based on gender, frequency distribution of dental anomalies were found higher 45,83% in male than 31,87% in female. The most common dental anomalies found in men are supernumerary tooth, concrescence, dens invaginatus and enamel pearl. Meanwhile, the most common dental anomalies found in women are macrodontia, microdontia, transposition, gemination, taurodontisme, dilaceration, dens evaginatus, molar-incisor malformation (MIM), and talon cusp. Conclusions : The prevalence of dental anomalies on panoramic radiographs found in this study is quite high. A higher proportion of dental anomalies was found in men than women."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Nandita Dewana
"Latar Belakang : Anomali gigi dapat menyebabkan berbagai masalah fungsional seperti, maloklusi, meningkatkan resiko karies, dan mengganggu estetika. Tingkat kejadian anomali gigi di Indonesia, masih belum banyak diteliti. Berdasarkan hal tersebut, maka penting untuk melakukan identifikasi untuk memperoleh data frekuensi distribusi anomali gigi pada radiograf panoramik di RSKGM FKG UI. Tujuan : Mendapatkan data frekuensi distribusi anomali gigi berdasarkan usia dan jenis kelamin pada radiograf panoramik di RSKGM FKG UI. Metode : Penelitian ini merupakan studi cross-sectional dengan total sampel 367 radiograf panoramik. Radiograf dievaluasi dan diinterpretasi oleh dua orang observer untuk mengidentifikasi anomali gigi sesuai klasifikasi berdasarkan anomali jumlah (gigi supernumerari), ukuran (makrodonsia dan mikrodonsia), erupsi (transposisi), serta morfologi (fusi, concrescence, geminasi, taurodonsia, dilaserasi, dens invaginatus, dens evaginatus, molar incisor malformation (MIM) , amelogenesis imperfecta, dentinogenesis imperfecta, dentin dysplasia, regional odontodisplasia, enamel pearl, talon cusp, dan congenital sifilis). Data usia, jenis kelamin, dan hasil interpretasi radiograf panoramik dicatat. Selanjutnya, dilakukan uji reliabilitas menggunakan uji Kappa untuk data kategorik dan uji ICC untuk data numerik. Hasil : Dari total sampel 367 radiograf pada rentang usia 6-79 tahun ditemukan 133 (36,2%) radiograf panoramik dengan anomali gigi, sebanyak 1-4 kasus pada setiap radiograf. Jumlah seluruh anomali gigi yang ditemukan adalah 395 kasus. Anomali gigi terbanyak ditemukan pada rentang usia 16-25 tahun. Berdasarkan klasifikasi, frekuensi distribusi anomali gigi yang ditemukan, secara berurutan yaitu anomali morfologi (63,15%), ukuran (32,33%), jumlah (18,05%), dan erupsi (7,52%). Jenis anomali morfologi gigi yang paling banyak ditemukan adalah dilaserasi (33,83%), anomali ukuran adalah mikrodonsia (32,05%), dan anomali jumlah adalah gigi supernumerari (23,64%). Berdasarkan jenis kelamin, frekuensi distribusi anomali gigi ditemukan lebih banyak pada laki-laki (45,83%) dibanding perempuan (31,87%). Anomali gigi yang paling banyak ditemukan pada laki-laki adalah gigi supernumerari, concrescence, dens invaginatus dan enamel pearl. Sedangkan, anomali gigi yang paling banyak ditemukan pada perempuan adalah makrodonsia, mikrodonsia, transposisi, geminasi, taurodonsia, dilaserasi, dens evaginatus, molar-incisor malformation (MIM), dan talon cusp. Kesimpulan : Prevalensi anomali gigi pada radiograf panoramik yang ditemukan pada penelitian ini cukup tinggi. Proporsi anomali gigi lebih tinggi ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Background : Dental anomalies can affect various functional problems such as, malocclusion, increase the risk of caries, and aesthetics problem. Incidence rate of dental anomalies in Indonesia has not yet been widely studied. Based on this, it is important to identification to get data frequency distribution of dental anomalies on panoramic radiographs at RSKGM FKG UI. Objective : To get data frequency distribution of dental anomalies based on age and gender in panoramic radiograph at RSKGM FKG UI. Method : This study is a cross-sectional study with total sample 367 panoramic radiographs. Radiographs were evaluated and interpreted by two observers to identify dental anomalies according to classification anomaly by number (supernumerary teeth), size (macrodontia and microdontia), eruption (transposition), and morphology (fusion, concrescence, gemination, taurodontisme, dilaceration, dens invaginatus, dens evaginatus, molar incisor malformation (MIM) , amelogenesis imperfecta, dentinogenesis imperfecta, dentin dysplasia, regional odontodisplasia, enamel pearl, talon cusp, and congenital syphilis). Data on age, gender, and interpretation of panoramic radiographs result were recorded. Reliability test were performed using Kappa test for categoric data and ICC test for numeric data. Result : From a total sample of 367 radiographs in the age range 6-79 years, 133 (36.2%) panoramic radiographs with dental anomalies were found, 1-4 cases in each radiograph. The total of all dental anomalies in were 395 cases. Based on classification, frequency distribution of dental anomalies found, respectively, are anomaly of morphology (63,15%), size (32,33%), number (18,05%), and eruption (7,52%). The most common type of anomaly of morphology was dilaceration (33,83%), anomaly of number was microdontia (32,05%), and anomaly of number was supernumerary tooth (23,64%). Based on gender, frequency distribution of dental anomalies were found higher 45,83% in male than 31,87% in female. The most common dental anomalies found in men are supernumerary tooth, concrescence, dens invaginatus and enamel pearl. Meanwhile, the most common dental anomalies found in women are macrodontia, microdontia, transposition, gemination, taurodontisme, dilaceration, dens evaginatus, molar-incisor malformation (MIM), and talon cusp. Conclusions : The prevalence of dental anomalies on panoramic radiographs found in this study is quite high. A higher proportion of dental anomalies was found in men than women."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>