Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142440 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Armyn Effendi
"Aedes aegypti umumnya memilih perindukan berisi air tawar dan berhubungan erat dengan kehidupan manusia. Larutan garam menghalangi peletakan telur dan pertumbuhan larva nyamuk ini. Penelitian ini bertujuan menentukan pengaruh kadar garam terhadap (1) peletakan telur, (2) pertumbuhan larva dan (3) pengaruh kadar garam dalam medium penumbuhan larva terhadap kematian pupa dan nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa serta umur nyamuk dewasa aktif.
Untuk percobaan ini dipakai 200 ekor nyamuk betina berasal dari daerah Cawang yang dibagi dalam 4 kurungan, masing-masing berisi 4 media peletakan telur yang mengandung larutan O%, 0,5%, 0,8% dan 1,1% NaCl. Untuk pertumbuhan larva dipakai larutan O%, 0,5%, 0,8% dan 0,95% NaCl. Telur yang berasal dari medium peletakan telur di tetaskan dalam medium penumbuhan larva dengan kadar yang sama kecuali dari 1,1% ke O,95%. Kemudian dilakukan pengamatan umur nyamuk dewasa aktif yang berasal dari tiap medium penumbuhan.
Dari hasil penelitian didapatkan perbedaan yang bermakna jumlah telur yangdiletakkan di antara media yang digunakan, kecuali antara medium 0.5% dan 0,8%. Terdapat korelasi negatif yang cukup bermakna antara jumlah telur dan kadar NaCl. Didapatkan perbedaan waktu pertumbuhan yang bermakna larva menjadi pupa di antara media yang digunakan. Kematian larva, pupa dan nyamuk yang baru keluar dari pupa bertambah dengan meningkatnya kadar NaCl Tidak didapatkan perbedaan umur yang bermakna antara nyamuk betina maupun jantan yang berasal dari medium berbeda.
Peningkatan kadar NaCl medium menyebabkan jumlah telur yang diletak berkurang, pertumbuhan larva makin lambat; kematian larva, pupa dan nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa bertambah. Umur nyamuk dewasa aktif tidak dipengaruhi oleh kadar NaCl medium."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1983
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayleen Huang
"Minyak esensi dari tanaman telah terbukti dapat membunuh larva nyamuk. Penelitian ini mengevaluasi aktivitas larvisida dari minyak esensi eugenol dan piperin terhadap larva Aedes aegypti serta mekanismenya meliputi detoksifikasi enzim dan perubahan histopatologi. Bioassay larva Ae. aegypti instar III-IV terhadap eugenol dan piperin konsentrasi 1, 5, 10, dan 30 ppm dilakukan mengikuti protokol WHO selama 72 jam dengan ulangan 5 kali. Larva yang mati diperiksa dengan pemeriksaan histopatologi HE rutin. Evaluasi aktivitas enzim detoksifikasi: AChE, GST, dan oksidase dilakukan mengikuti protokol CDC. Piperin memperlihatkan toksisitas yang lebih baik dibandingkan eugenol dengan persentase mortalitas lebih tinggi serta nilai LC50 dan LC90 lebih rendah. Piperin dan eugenol terbukti menghambat aktivitas AChE dan oksidase (p < 0.05), sedangkan pengaruhnya terhadap GST tidak bermakna. Piperin dan eugenol mengakibatkan kerusakan masif pada midgut larva meliputi kerusakan food bolus dan membran peritrofik, terputusnya lapisan epitel, serta perubahan sel epitel dan mikrovili.

Essential oils from plants were proven to kill mosquito larvae. This research evaluates larvicidal properties of essential oils piperine and eugenol against Aedes aegypti larvae with its mechanism in detoxification enzymes and histopathological changes. Bioassay of III-IV instar Ae. aegypti larvaes exposed to eugenol and piperine with concentration of 1, 5, 10, and 30 ppm was conducted according to WHO protocol for 72 hours with 5 replications. The dead larvae went through routine histopathology H&E examination. Evaluation for detoxification enzymes activity: AChE, GST, and oxidase was conducted according to CDC protocol. Piperine exhibited better toxicity compared to eugenol with higher mortality percentage and smaller LC50, LC90 values. Piperine and eugenol were proven to inhibit AChE and oxidase activity (p < 0.05), but not GST activity. Both substances caused massive destruction to larvae midgut including degradation of food bolus and peritrophic membrane, discontinuity of the epithelium layer, irregular epithelium cell and microvilli shape."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Erminda
"Latar Belakang: Pengendalian vektor merupakan upaya utama yang dilakukan guna memutus rantai penularan penyakit DBD. Dalam penelitian ini digunakan 2 macam insektisida golongan piretroid sintetik yaitu Alfametrin dan Sipermetrin, dan tujuannya adalah untuk mengetahui efektivitas ke 2 macam insektisida tersebut terhadap larva Ae. aegypti dengan mencari dosis letal melalui bioassay dan mengetahui daya residu ke 2 macam insektisida ini di lapangan.
Metode: Penelitian eksperimental di laboratorium secara bioassay (berdasarkan Lee HL dan WHO) dan uji di lapangan dalam skala kecil. Uji efektivitas alfametrin dan sipermetrin terhadap larva Aedes aegypti dengan konsentrasi yaitu 0,01; 0,02; 0,03; 0,04 dan 0,05 untuk alfametrin sedangkan untuk sipermetrin dengan konsentrasi 0,01 sampai 0,08. Larva Ae. aegypti yang diuji adalah larva instar III akhir dan instar IV awal dari hasil kolonisasi di laboratorium. Pengamatan dilakukan setelah perlakuan 24 jam dan dicatat jumlah larva yang mati.
Hasil : LC50 dan LC90 dari sipermetrin adalah 0,045mg/l dan LC90 adalah 0.124mg/l sedangkan alfametrin adalah 0,001 mg/l dan 0.058mg/l. Pengamatan daya residu sipermetrin di lapangan diperoleh bahwa insektisida ini mampu membunuh larva lebih dari 80% hanya pada hari pertama. Alfametrin mempunyai kemampuan untuk membunuh larva diatas 80% hingga hari ke -15 dan menurun hingga 60% - 80% pada hari ke 16 ? 17. Hal ini membuktikan bahwa alfametrin memiliki tingkat kemampuan yang lebih tinggi dalam membunuh larva.
Kesimpulan :
1. Alfametrin dan sipermetrin mempunyai kemampuan untuk membunuh larva Ae. aegypti, dan daya bunuh alfametrin lebih tinggi daripada sipermetrin.
2. Letal konsentrasi (LC50) dan LC90 alfametrin adalah 0,001mg/l dan 0,058mg/l. Sedangkan LC50 dan LC90 sipermetrin adalah 0,045mg/l dan 0,124mg/l dapat dikatakan daya bunuh alfametrin 2x lebih kuat dibandingkan dengan sipermetrin.
3. Daya residu alfametrin di lapangan dapat bertahan sampai 3 minggu sedangkan daya residu sipermetrin hanya bertahan kurang dari 1 minggu.Latar Belakang: Pengendalian vektor merupakan upaya utama yang dilakukan guna memutus rantai penularan penyakit DBD. Dalam penelitian ini digunakan 2 macam insektisida golongan piretroid sintetik yaitu Alfametrin dan Sipermetrin, dan tujuannya adalah untuk mengetahui efektivitas ke 2 macam insektisida tersebut terhadap larva Ae. aegypti dengan mencari dosis letal melalui bioassay dan mengetahui daya residu ke 2 macam insektisida ini di lapangan.

Vector control is a major effort that is to break the chain of transmission. This study used two classes of synthetic pyrethroid of insecticides, namely Alphamethrin and Cypermethrin. The purpose of this study were to determine the effectiveness of the two classes of these insecticides against Ae. aegypti through bioassay; to know the lethal dose; and to seek the residual power of these 2 classes of insecticides in the field.
Methods: The study used experimental research both in laboratory bioassays (based on Lee HL and WHO) and in the field on a small scale. Alphamethrin against larvae of Aedes aegypti was effective with a concentration of 0.01 to 0.05, while Cypermethrin was effective with a concentration of 0.01 to 0.08. Larva Ae. aegypti that was tested was in final third instars and in early fourth instars. The research used the results of reproduced larva in the laboratory.
Results: The research found that Cypermethrin with a concentration 0.08 mg/l was effective to kill 77% larva Ae. aegypti and Alphamethrin with a concentration 0.05 mg/l was effective to kill 92% larva Ae. aegypti. Based on regression probit, the research also found that LD50 of Cypermethrin was 0.045 mg/l dan LD90 of Cypermethrin was 0.124 mg/l. In addition, LD50 of Alphamethrin was 0.001 mg/l and LD90 of Alphamethrin was 0.045 mg/l. The research also found that Cypermethrin was able to kill over 80% larva only on the first day, but more larva were still alive on the following days. Alphamethrin was able to kill over 80% larvae until on the fifteenth days and the ability to kill the larva was decreasing 60% to 80 % on the sixteenth and seventeenth days.
Conclusion:
1. Alphamethrin and Cypermethrin has the ability to kill the larvae of Ae. aegypti , and the power to kill Alphamethrin higher than Cypermethrin
2. Lethal Dose (LD50) and LD90 Alphamethrin is 0.001 mg / l and 0.058 mg / l. While the LD50 and LD90 Sipermetrin is 0.045 mg / l and 0.124 mg / l can say killing power Alphamethrin 2x stronger than Cypermethrin.
3. Power Alphamethrin residue in the field can last up to 3 weeks while the residual power Cypermethrin lasted less than 1 week
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Telah dilakukan penelitian mengenai kepadatan telur Aedes aegypti dan Aedes albopictus di desa Kutowinangun, Grabag, Ngasinan Tlogorejo, Getasan dan masing-masing mempunyai ketinggian 550, 600, 620, 700, dan 1000 meter di atas permukaan laut. Kepadatan telur Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang diperoleh dengan cara memasang perangkap telur Aedes (ovitrap), menunjukkan adanya perbedaan nyata antara ketinggian daerah pemukiman dengan kepadatan telur Aedes aegypti maupun Aedes albopictus. "
MPARIN 8 (1-2) 1995
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sungkar, Saleha
"ABSTRAK
DBD adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue, dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi DBD di Indonesia, diantaranya adalah dengan program Pemberantasan Sarang Nyamuk dan penggunaan insektisida seperti malation dan temefos. Namun cara tersebut belum memberikan hasil yang memadai, sehingga diperlukan bahan lain untuk menunjang pengendalian DBD, seperti penggunaan insektisida alami yang berasal dari turnbuh-tumbuhan. Insektisida yang berasal dari tumbuhan dalam waktu relatif singkat, setelah digunakan akan terurai menjadi senyawa yang tidak berbahaya bagi manusia dan lingkungan.
Untuk mengetahui golongan senyawa yang berperan sebagai insektisida dalam daun Helianthus au ours dan pengaruh ekstraknya terhadap kematian Aedes aegypti. Penelitian dilakukan di laboratorium Entomologi bagian Parasitologi, laboratorium Kimia bagian Kimia FKUI, dan bagian PTM Depkes selama 8 bulan.
Konsentrasi ekstrak yang digunakan adalah 0,050 % ; 0,075 % ; 0,100 % ; 0,125 % ; 0,150 % ; dan 0,175 % untuk larvisida, dan konsentrasi 0,5% ; 1,0% ; 1,5% dan 2,0% untuk insektisida dan repelen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa golongan senyawa yang diduga bersifat insektisida dalam daun Helianthus animus adalah golongan alkaloid, saponin, tanin, steroid, terpenoid, dan minyak atsiri. Kematian larva tertinggi adalah pada konsentrasi 0,175 % yaitu 92,8 % dan terendah adalah pada konsentrasi 0,050 % yaitu 16,0 %. Konsentrasi letal untuk kematian 50% adalah 0,097 % dan kematian 90% adalah 0,195%. Rata-rata kematian nyamuk dewasa adalah 90,8 % pada konsentrasi 2,0% dan 20,0 % pada konsentrasi 0,5 %. Daya proteksi berkisar antara 65,58 % - 86,10 %, dengan daya proteksi maksimal ketika jam ke-2, pada konsentrasi 2,0%."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Armand Achmadsyah
"Latar Belakang: Penyakit demam berdarah dengue (DBD) ditularkan oleh vektor nyamuk A. aegypti dengan tingkat mortalitas manusia yang tinggi disertai dengan peningkatan resistensi terhadap insektisida sintesis akibat penggunaan yang berlebih. Salah satu upaya menurunkan penularan ini dengan pengendalian vektor DBD dengan metabolit sekunder aktif dari tanaman kunyit (Curcuma domestica) dan nanokomposit AgTiO2. 
Tujuan: penelitian ini untuk menganalisis aktivitas insektisida ekstrak methanol rimpang C.domestica dan nanokomposit AgTiO2 terhadap larva dan nyamuk dewasa A. Aegypti. 
Metode: Penelitian eksperimental yang terbagi menjadi dua subjek perlakuan : 1) Larva Instar III dan IV yang dipaparkan dengan ekstrak (Konsentrasi 500, 1000, 1500, 2000, dan 2500 ppm), nanokomposit AgTiO2 (Konsentrasi 5, 10, 15, 20, dan 25 ppm), dan campuran ekstrak methanol rimpang C.domestica (Konsentrasi 500, 1000, 1500, 2000, dan 2500 ppm) dengan nanokomposit (25 ppm) diulang sebanyak lima kali; 2) Nyamuk dewasa A. Aegypti yang dipaparkan dengan ekstrak methanol rimpang C. domestica (Konsentrasi 2500, 5000, 10000, dan 20000 ppm), nanokomposit AgTiO2 (Konsentrasi 5000, 10000, 20000, dan 30000 ppm), dan campuran ekstrak methanol rimpang C.domestica (Konsentrasi 2500, 5000, 10000, dan 20000 ppm)dengan nanokomposit (30 ppm) diulang sebanyak tiga kali.
Hasil : Pada jam keempat, mortalitas larva 100% pada 2500 ppm dengan LC 50 dan LC9044.6 dan 586.3 ppm. Pada jam keenam, kematian nyamuk dewasa mencapai 100% pada konsentrasi 10,000-20,000 ppm/botol dengan LC50 dan LC901628.9 dan 4385.1 ppm/botol. Terdapat perbedaan bermakna pada mortalitas larva dan nyamuk dewasa pada campuran ekstrak methanol rimpang C.domestica dengan nanokomposit AgTiO2 (p<0.05) dengan ekstrak methanol rimpang C.domestica saja. Korelasi positif (+) pada subjek perlakuan larva (r=0.486  p=0.014 ) dan nyamuk dewasa (r=0.938  p=0.000 ). 
Kesimpulan: penambahan nanokomposit AgTiO2 pada ekstrak methanol rimpang C.domestica meningkatkan efektivitas insektisida terhadap larva dan nyamuk dewasa A. aegypti. 

Background & objectives : Dengue hemorrhagic fever is a widespread arthropod-borne viral disease transmitted by dengue mosquitoes, mainly A. aegypti. Currently, there are no vaccines available against dengue. Hence, medicinal plants containing bioactive compounds able to control the dengue mosquite attract considerable attention. This study evaluates the larvicidal / adulticidal activities of Curcuma domestica rhizome extract against A. aegypti combined with nanocomposite AgTiO2.
Methods: This is an experimental study. Phytochemical analysis of the extract was performed. The third and fourth larvae of A. aegypti were exposed to varying concentrations of the C.domestica rhizome extract (500, 1000, 1500, 2000, and 2500 ppm), nanocomposite AgTiO2 (5, 10, 15, 20, and 25 ppm), and combined between nanocomposite AgTiO2 (25 ppm) with C.domestica rhizome extract in five replicates, while female adult mosquitoes were exposed to the C.domestica rhizome extract (2500, 5000, 10000, and 20000 ppm), nanocomposite AgTiO2 (5000, 10000, 20000, and 30000 ppm), and combined between nanocomposite AgTiO2 (30 ppm) with C.domestica rhizome extract in three replicates. The phytochemical components consisted of saponin, flavonoid, alkaloid, triterpenoid, essential oil, and tannin. 
Results : At 4h, larva mortality was 100% at 2500 ppm, and the LC50 and LC90 were 44.6 and 586.3 ppm, respectively. At 6 h, adult mortality was 100% at 10,000-20,000 ppm/bottle, and the LC50 and LC90 were 1628.9 and 4385.1 ppm/ bottle. Statistically significant differences were observed in the larval and adult mortalities of A.aegypti between the high and low concentrations of the extract (p<0.05(. There was a significant, strong positive correlation between the concentrations and larval mortality (=0.486 p=0.014) and between the concentrations and adult mortality of A. aegypti (r=0.938  p=0.000). 
Interpretation & conclusion: C.domestica rhizome and nanocomposite AgTiO2 may be useful as an insecticide in controlling the population of A. aegypti.   
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yolla Permata
"Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan perubahan kadar trigliserida (TG) serum postprandial setelah 2 jam dan 4 jam pemberian konsumsi satu butir telur omega-3 dibandingkan dengan telur ayam biasa. Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan desain cross over, alokasi acak, tersamar tunggal yang dilakukan terhadap individu sehat berusia 19-24 tahun di FKUI Jakarta, bulan September 2013. Berdasarkan kriteria penelitian, didapat 24 orang subyek yang dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 12 orang. Data yang diperoleh meliputi sebaran dan karakteristik subyek, asupan lemak, karbohidrat, kolesterol dan polyunsaturated fatty acid (PUFA), serta kadar TG serum awal, 2 jam dan 4 jam postprandial. Analisis data menggunakan uji t berpasangan dan Wilcoxon. Median usia subyek penelitian adalah 21 tahun dan sebagian besar subyek penelitian ini adalah laki-laki yaitu 15 orang dari total 24 orang. Rerata IMT subyek termasuk ke dalam kategori normal untuk Asia Pasifik. Asupan karbohidrat antar kedua kelompok pada periode run in tidak berbeda bermakna (p = 0,30) begitupun pada periode wash out (p = 0,44). Asupan lemak subyek kedua kelompok pada periode run in tidak berbeda bermakna (p = 0,74) dan pada periode wash out juga tidak berbeda bermakna (p = 0,85). Asupan kolesterol pada subyek melebihi jumlah anjuran dan jumlah asupan PUFA di bawah nilai anjuran. Perubahan kadar TG serum 2 jam postprandial pada kelompok perlakuan telur omega-3 yaitu -2,79±13,86 mg/dL sedangkan pada kelompok kontrol telur ayam biasa 4,38±10,07 mg/dL. Terdapat perbedaan yang bermakna antar kedua kelompok (p = 0,03). Perubahan kadar TG serum 4 jam postprandial antar kedua kelompok juga terdapat perbedaan bermakna (p = 0,04) yaitu pada kelompok perlakuan 0,00(-38-57) mg/dL dan pada kelompok kontrol 6,00±13,25 mg/dL. Dari penelitian ini disimpulkan pengaruh konsumsi satu butir telur omega-3 lebih baik dibandingkan satu butir telur ayam biasa terhadap kadar TG serum postprandial.

The objective of this study was to evaluate the change of 2 and 4 hours postprandial triglycerides serum after given an omega-3 egg compared with an ordinary egg in healthy young adult. This is an experimental, randomized, single blind, cross over study on healthy young adult 19-24 years of age in FKUI Jakarta, September. By study criteria, 24 subjects were randomly allocated to one of two groups, 12 subjects for each group. Data collected in this study consist of subject distribution and characteristic, intake of carbohydrate, fat, cholesterol, polyunsaturated fatty acids (PUFA) and triglycerides serum, that were assessed before treatment, 2 hours and 4 hours after. The statistical analyses used dependent t-test and Wilcoxon. Median of age in subject is 21 years and 15 subjects of the study are male . BMI of study subjecst is in normal category for Asia Pacific. The carbohydrate intakes between both groups in 'run in period' are not significantly different (p = 0.30) and also in 'wash out period' (p = 0,44). Intakes of fat between both groups are also not significantly different in 'run in period' (p = 0,74) and 'wash out period' (p = 0,85). Cholesterol intake in both groups was higher than recommendation, and PUFA lower than recommendation. Changes of 2 hours postprandial triglycerides serum in omega-3 group (treatment) is -2,79±13,86 mg/dL and in ordinary egg group (control) is 4,38±10,07 mg/dL. There is significantly different in both groups (p = 0,03). Changes of 4 hours postprandial triglycerides serum in both groups is also significantly different (p = 0,04) which is in treatment group is 0,00(-38-57) mg/dL and in control group is 6,00±13,25 mg/dL. The conclusion from this study is the effect of an omega-3 egg consumption is better than an ordinary egg consumption on postprandial TG serum."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Karamoy, Andi Gunawan
"Nyamuk betina Aedes aegypti merupakan vektor yang mampu membawa berbagai virus penyebab penyakit, salah satunya adalah chikungunya. Hingga saat ini, masih belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan penyakit ini. Pengobatan yang ada saat ini hanya bersifat simptomatik atau hanya mengobati gejalanya saja. Oleh karena itu, pilihan terbaik dalam melawan chikungunya adalah pencegahan yang dapat dilakukan dengan cara menggunakan perangkap telur nyamuk ovitrap. Efektivitas penggunaan ovitrap dapat ditingkatkan dengan menggunakan zat atraktan, seperti air rendaman jerami.
Penelitian ini bertujuan untuk mencari zat atraktan lain yang lebih murah dan mudah didapatkan, tetapi memiliki kemampuan yang efektif untuk menarik nyamuk. Zat atraktan yang diteliti pada penelitian ini adalah air akuarium. Penelitian ini menggunakan desain eksperimental analitik yang diuji pada suatu komunitas dan menggunakan 2 variabel bebas, yaitu konsentrasi dari air akuarium dan lokasi penempatan ovitrap.
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsentrasi air akuarium terhadap efektivitas ovitrap p=0,818. Akan tetapi, terdapat hubungan yang bermakna antara peletakkan ovitrap terhadap efektivitas ovitrap p=0,005.
Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa peletakkan ovitrap memengaruhi efektivitas ovitrap. Peletakkan ovitrap di luar rumah lebih efektif untuk memerangkap telur nyamuk dibandingkan di dalam rumah.

Aedes aegypti female mosquito is a vector capable of carrying various viruses that cause disease, one of which is chikungunya. Until now, there is still no treatment that can cure this disease. Current treatments are only symptomatic or only treat symptoms. Therefore, the best choice in fighting chikungunya is prevention that can be done by using an ovitrap. The effectiveness of ovitrap use can be increased by using attractant substances, such as straw soaking water.
This study aims to find other attractants that are cheaper and easier to obtain but have an effective ability to attract mosquitoes. The attractant substances examined in this study are aquarium water. This study used an analytical experimental design that was tested in a community and used 2 independent variables, namely the concentration of aquarium water and the location of placement of the ovitrap.
The results of the bivariate analysis showed that there was no significant relationship between the concentration of aquarium water on the effectiveness of ovitrap p = 0.818. However, there is a significant relationship between location of ovitrap with the effectiveness of ovitrap p = 0.005.
From this study, it can be concluded that the placement of the ovitrap affects the effectiveness of the ovitrap. Placing the ovitrap outside the home is more effective for trapping mosquito eggs than in the house."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Yismairai
"Aedes aegypti merupakan salah satu nyamuk yang berperan sebagai vektor bagi virus Dengue dalam mentransmisikan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Salah satu strategi yang dapat memutus rantai penyakit DBD yaitu dengan penggunaan larvasida. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi aktivitas larvasida pada batang dan daun D. pentandra terhadap larva instar IV Ae. aegypti. Pengujian larvasida dilakukan menggunakan konsentrasi 1.000; 2.500; 5.000; 7.500; dan 10.000 ppm, serta menggunakan 3 ulangan pada masing-masing larutan perlakuan ekstrak batang dan daun D. pentandra. Mortalitas pada pengamatan 48 jam dilakukan analisis probit menggunakan aplikasi Statistic Product and Service Solution (SPSS) 24.0 untuk mengetahui nilai LC₅₀ pada kedua ekstrak. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak batang dan daun D. pentandra memiliki aktivitas larvasida dengan nilai LC₅₀ yang berbeda. Ekstrak batang memiliki nilai LC₅₀ = 1.183,23 ppm dan ekstrak daun memiliki nilai LC₅₀ = 6.013,63 ppm. Analisis HPLC juga dilakukan untuk mengetahui profil kromatogram pada kedua ekstrak. Hasil HPLC menunjukkan bahwa terdapat tiga senyawa pada puncak dengan retensi waktu 7,7; 8,6; dan 13,8 menit, yang diduga berperan dalam aktivitas larvasida pada kedua ekstrak D. pentandra. Namun demikian, perlu dilakukan isolasi dan identifikasi lebih lanjut terhadap senyawa yang diduga berperan dalam aktivitas larvasida pada kedua ekstrak D. pentandra.

Aedes aegypti is a mosquito that acts as vector of Dengue virus in transmitting dengue haemorrhagic fever (DHF) disease. Strategy that can break the chain of dengue fever is using larvicide. This study aims to know the potential of larvicidal activity in the stem and leaves of D. pentandra against fourth instar larvae of Ae. aegypti. Larvicidal testing was carried out using concentration series at 1.000; 2.500; 5.000; 7.500; and 10.000 ppm with 3 replications for each extract of D. pentandra. Data of mortality at the 48 hours observation was analyzed using probit in Statistic Product and Service Solution (SPSS) 24.0 application to determine the LC₅₀ value in both extracts. The test results showed that both extracts have a different LC₅₀ value, where stem extract has LC₅₀ = 1,183.23 ppm and leaves extract has LC₅₀ = 6,013.63 ppm. HPLC analysis was carried out to determine the chromatogram profile in each extract of D. pentandra. HPLC results showed three peaks at 7,7; 8,6; and 13,8 minutes indicated have a role in larvicidal activity in stem and leaves extracts. Further, it is needed to isolate and identification three compounds that indicated to have a role in larvicidal activity."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>