Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 115198 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdul Qadir Gassing
"Beberapa permasalahan pokok masyarakat desa adalah: (1) rendahnya pendapatan perkapita; (2) rendahnya tingkat pendidikan; (3) belum digalinya sumber/potensi alam desa secara maksimal, disamping masih banyaknya tenaga kerja yang belum dimanfaatkan secara optimal; dan (4) adanya nilai budaya lokal yang kadang-kadang justru menghambat pembangunan.
Tesis ini bertujuan untuk membahas beberapa sebab yang berpengaruh terhadap kemiskinan penduduk di Marunda, dengan penekanan utama pada nilai-nilai sosial budaya yang sering menghambat usaha-usaha pembangunan.
Dalam penelitian ini dijumpai bahwa kemiskinan penduduk Marunda adalah hasil dari perpaduan tekanan kondisi lingkungan fisik dan adanya hambatan nilai sosial
budaya.
Sawah, empang dan laut adalah merupakan tempat memperoleh nafkah sebagian besar penduduk Marunda. Penghasilan petani terkaya rata-rata mencapai 18 kali lipat
penghasilan buruh tani terkaya, sedangkan juragan nelayan terkaya rata-rata mencapai 9 kali lipat penghasilan buruh nelayan (kuli). Sekitar 70 persen sawaht 100 persen
empang, dan 65 persen modal/peralatan nelayan adalah merupakan milik orang luar ("orang kota"). Petani dan nelayan Marunda sebagian besarnya hanya berstatus sebagai buruh, status yang menempatkannya pada klasifikasi miskin sekali apapun jenis pekerjaannya.
Upaya meningkatkan pendidikan warga Marunda telah cukup berhasil, dan sekitar 90 persen anak usia sekolah benar-benar telah masuk sekolah (SD). Angka drop-out
pun telah banyak menurun sejak 8 tahun terakhir, yaitu dari 84 persen pada tahun 1976 menjadi 40 persen pada tahun 1984. Tetapi ternyata pendidikan konvensional
seperti ini telah berhasil mengasingkan sekitar 60 persen pemuda desa dari lingkungannya sendiri. Mereka (umumnya drop-out dan tamatan SLP) enggan memasuki
lapangan pekerjaan (kasar) yang ada di desanya, sedang untuk masuk ke lapangan pekerjaan formal masih terlalu tanggung, baik pendidikan maupun keterampilannya. Oleh sebab itu untuk jangka lama (biasanya sebelum kawin) mereka terpaksa menganggur.
Tidak jarang suatu program pembangunan, secara teoritis, sesunggguhnya telah dapat menyentuh atau meningkatkan taraf hidup si miskin, tetapi sering tidak sampai
kepada mereka sebab lebih dahulu dan lebih banyak dinikmati oleh golongan elit dan birokrat desa. Tetapi, memang ada beberapa nilai tradisional yang masih melekat
pada masyarakat Marunda yang harus ditinggalkan bila diinginkan adanya transformasi, yaitu :
a. Sikap tertutup yang mungkin berhubungan erat dengan rendahnya pendidikan dan kurangnya komunikasi dengan dunia luar. Mereka akan (1) tertutup terhadap setiap
ide-ide baru yang bertentangan dengan apa yang telah diyakininya benar; (2) keengganan mengoreksi diri atau menerima kemungkinan adanya sesuatu yang lebih
baik/benar dari luar lingkungannya; dan (3) penerimaan atau pewarisan nilai-nilai tanpa adanya upaya memperluas atau memperbaharui pemahamannya, mereka
cenderung menerima dan mewariskannya secara utuh; tidak ada peningkatan.
b. Pola berpikir dan bertindak konsumtif masih sangat mendominasi masyarakat miskin. Bila mereka memperoleh uang (banyak) hanya 10 persen yang akan memanfaatkannya untuk tujuan-tujuan produktif, sedang selebihnya akan menghabiskannya pada tujuan-tujuan konsumtif.
c. Sikap fatalistik, terialu cepat puas, dan sikap malas dari masyarakat miskin memberi kesan bahwa mereka statis, kurang upaya untuk merobah nasib, kurang usaha
atau rencana-rencana yang berorientasi ke masa depan. Sesungguhnya mereka telah berusaha, tetapi usahanya begitu kecil dan sangat terbatas, sebab memang kemam -
puan, keterampilan, dan wawasan-wawasan yang dapat dijangkaunya sangat terbatas pula. Disamping itu keyakinan kepada takdir sering membuat mereka merasakan bahwa nasibnya selalu ditentukan oleh Tuhan, dan dengan demikian mereka merasakap pula bahwa kemampuannya untuk berbuat selalu terbatasi. Akibatnya, makin kabur sikap
mandiri dan makin tipis kepercayaan akan kemampuan dirinya sendiri. Mereka lebih banyak bergantung, dan miskin.
d. Nilai anak dalam keluarga masih sangat tinggi, dan walaupun sikap bahwa banyak anak banyak rezeki telah ternyata tidak banyak benarnya, tetapi masih merata dianut oleh masyarakat Marunda. Anak bagi mereka memang dapat berarti beban, tetapi sebaliknya, anak juga berarti investasi modal yang segera dapat dinikmati hasilnya, disamping anak banyak dijadikan taruhan masa depan. Selain itu ada kepercayaan di kalangan mereka, bahwa beranak banyak akan mengangkat derajatnya disisi Tuhan."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrik Ataupah
"Suku bangsa Meto merupakan satu komponen ekosistem sabana semi-ringkai Timor Barat yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung. Suku bangsa itu menyesuaikan diri secara sosial budaya baik pada karakteristik ekosistem sabana itu maupun pada keadaan perkembangan sejarahnya. Melalui suatu sistem pemukiman terpencar-pencar dalam kelompok-kelompok kecil, sampai meliputi hampir sebagian besar wilayah Timor Barat. Persebaran penduduk itu dilakukan untuk dapat memanfaatkan pelbagai jenis sumber daya alam yang kesediaannya terpencar-pencar dalam ruang dan waktu, maupun untuk menghindarkan diri dari pengaruh kekuasaan asing yang mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia di Timor Barat. Jadi proses persebaran orang Meto itu tidak selalu didasarkan pada pemikiran tindakan sendiri untuk memenuhi kebutuhan dan keperluan hidup mereka, melainkan juga terpaksa dilakukan untuk mempertahankan kebebasan dan kepentingan kehidupan sendiri.
Suku bangsa itu pun berinteraksi dengan suku bangsa tetangganya, pedagang dan pelaut Nusantara maupun asing, dari benua Asia. Proses interaksi dengan pelbagai pihak selama satu jangka waktu panjang itu pada hakekatnya merupakan suatu proses pembudayaan berjangka panjang bagi suku bangsa Meto.
Proses pembudayaan itu berlangsung tersendat-sendat. Pelbagai wujud dan unsur budaya serta benda kebudayaan diambil-alih suku bangsa Meto dari suku bangsa-suku bangsa tetangga maupun dari bangsa asing yang pernah berkuasa atas pah Meto dan suku bangsa Meto. Dalam proses pembudayaan itu warga suku bangsa tetangga maupun keturunan orang asing yang terintegrasi ke dalam suku bangsa Meto melalui proses perkawinan. Dalam suasana hidup pencar-pencar dan relatif terpencil secara geografik dan sosiologik itu banyak kali orang Meto menerima bendabenda budaya asing untuk digunakan atau dikonsumsi tanpa mengembangkan pemikiran dan kemampuan teknis untuk memproduksi atau memperbaiki keberadaan benda-benda itu. Pelbagai jenis tanaman dan ternak diterima dari luar Timor untuk dibudayakan tanpa memperhatikan proses produksi yang seharusnya disertai upaya rehabilitasi, restorasi dan atau konservasi lingkungan dan pelbagai jenis sumber daya alam yang rusak oleh proses produksi itu, sampai sekarang pada umumnya suku bangsa Meto belum sadar akan dampak negatif kegiatan produksi pertanian pangan dan peternakan atas pelbagai komponen dan unsur ekosistem sabana yang rapuh kombinasinya dan rentan terhadap proses kerusakan dan pengrusakan.
Di pihak lain lambat-laun tercipta suatu kemampuan budaya tradisional untuk melangsungkan kehidupan sebagai peladang dan peternak tradisional ekstensif di lingkungan sabana semi-ringkai Timor Barat itu. Bukit, gunung, sumber air perenial, hutan lestari yang berpohon besar yang rindang dan tinggi menjulang, tumbuhan pemanjat, padang rumput kering, pelbagai jenis satwa dan burung, tidak hanya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan biofisik. Pelbagai jenis komponen dan unsur ekosistern itu dijadikan pula alat peraga budaya, sumber pemikiran inspiratif, dan keyakinan religius untuk mengatur kehidupan perorangan, kehidupan kekeluargaan dan kekerabatan yang menjadi soko guru kehidupan bermasyarakat dan berpemerintahan tradisional. Terdapat suatu keyakinan religius bahwa suatu kekuatan adikodrati yang dinamakan nono yang dijunjungkan di atas kepala setiap bayi ataupun anak isteri akan melindungi keselamatan dan keberuntungan.
Nono pun digunakan sebagai satu nama keluarga dan dijadikan alasan religius untuk berpantang makan jenis satwa dan tumbuhan totem tertentu. Keyakinan religius itu diterapkan sejak saat upacara turun tanah setiap bayi, atau sejak saat penyelesaian perkawinan yang diikuti dengan upacara penggantian kekuatan adikodrati dan dipenggantian nama keluarga. Setiap warga suatu kesatuan kerabat dapat meninggalkan kampung-halaman dan keluarganya untuk mencari nafakah kehidupan dan bermukim di wilayah lain tanpa perlu khawatir bahwa is dan atau keturunan akan kehilangan komunikasi dengan warga kesatuan kerabat yang ditinggalkan di kampung halaman. Konsep nano dan penetrapannya dalam kehidupan sosial sehari-hari merupakan salah satu faktor penting bagi persatuan dan kesatuan kekerabatan dan sekaligus merupakan dasar kebudayaan tradisional suku bangsa Meto.
Warga yang berpindah maupun yang menetap beserta keturunan mereka dapat saling menelusuri dengan memperhatikan nama yang digunakan sehari-hari, nama sapaan kehormatan yang digunakan bahasa upacara, atau nama puisi yang digunakan ketika sedang bernaka-naka. Kesatuan kekerabatan diperkokoh melalui sistem perkawinan kemenakan silang, saling membantu pada masa suka dan duka, serta saling menyapa dan menyebut dengan istilah kerabatan dan atau teknonimi tertentu.
Pendatang baru yang tidak mempunyai hubungan kerabatan dengan para pemukim lebih dini dapat diterima untuk bermukim, berladang, dan atau beternak melalui upacaraupacara tertentu lalu dijadikan anak oleh pihak pemukim lebih dini. Melalui perkawinan dengan pihak pemukim yang lebih dini, keturunan pendatang/pemukim baru itu dapat diterima sebagai warga kesatuan kerabat fiktif setelah terjadi penyesuaian sosial budaya timbal-balik dengan sempurna. Keturunan orang asing pun diintergrasikan ke dalam suatu golongan orang Meto melalui proses penyesuaian sosial budaya dan rangkaian proses perkawinan yang lama dan fasih. Kefasihan berbahasa Meto, berlafal tertentu merupakan suatu syarat yang penting untuk ,diterima dalam lingkungan kehidupan sosial budaya suatu golongan orang Meto, yang memukimi suatu wilayah tertentu di Timor Barat. Orang-orang keturunan Portugis dan desertir Belanda, termasuk para pemimpin mereka yang pernah secara de facto menguasai pedalaman Timor Barat lebih dari dua abad, terintegrasi penuh ke dalam suku bangsa Meto karena proses penguasaan itu berlangsung bersamaan dengan proses adaptasi sosial budaya secara timbal-balik di antara suku bangsa Meto dengan para penguasa itu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
D20
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Kerawanan ekologis yang disebabkan banjir atau rob yang secara rutin atau permanen datang melanda di sebuah kawasan permukiman dan lingkungan lahan pertanian akan berdampak mengganggu kualitas lingkungan dan kehidupan penduduknya
."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Sutjahjono
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2004
T39632
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Sunarti Purwaningsih
Jakarta: LIPI Press, [date of publication not identified]
361 SRI p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"1. Kerangka Konseptual
Berkembangnya studi tentang lingkungan atau yang dikenal dengan ekologi, pada dasawarsa terakhir ini menandakan akan pentingnya pemahaman tentang seluruh aspek lingkungan untuk menjaga terlaksananya keseimbangan hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Manusia merupakan salah satu unsur dalam ekosistem yang tidak dapat diabaikan dalam studi tentang lingkungan, karena hubungan yang saling terkait di antara keduanya seperti yang telah dikemukakan oleh (Forde 1934).
Dalam hubungan yang saling terkait ini maka kebudayaan yang merupakan kerangka landasan bagi manusia untuk beradaptasi terhadap lingkungannya berperanan sebagai jembatan penghubung yang amat menentukan tingkat kesanggupan adaptasi manusia dan usaha peningkatan taraf hidupnya. Sebaliknya, lingkungan alam dan fisiknya juga dipandang oleh manusia sebagai suatu hasil kebudayaan, yaitu sesuatu yang dipahami sesuai dengan persepsi dan alam pikiran manusia.
Interaksi antara manusia dengan lingkungannya yang berpijak pada kebudayaan terwujudkan dalam aktivitas-aktivitas manusia dalam usahanya memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan sumber-sumber daya dan sarana dari lingkungannya guna memenuhi kebutuhan hidup dan kelangsungan hidupnya.
Penelitian-penelitian atau studi tentang lingkungan berdasarkan pendekatan terpadu untuk memahami-keadaan lingkungan dan berbagai unsurnya serta aktivitas-aktivitas manusia dalam rangka interaksinya seperti tersebut diatas, diharapkan dapat berguna dalam menyajikan keterangan sebagai landasan menetapkan kebijakan, baik untuk mempertahankan kelestarian dan keseimbangan lingkungan disatu pihak, maupun dalam meningkatkan kualitas kesejahteraan manusia di pihak lain."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1984
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Naili Rokhmi
"Indonesia adalah wilayah yang rawan bencana. Bencana gempa bumi, erupsi gunung api, tsunami dan banjir sering terjadi karena letak geografis Indonesia yang berada pada jalur cincin api. Indonesia sebagai negara berkembang juga memiliki jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi.
Tesis ini membahas hubungan antara dampak bencana dan pengaruhnya terhadap jumlah penduduk miskin di Indonesia. Penelitian menggunakan data bencana dan kemiskinan dari seluruh kota dan kabupaten di Indonesia dari tahun 2009 sampai tahun 2013. Dampak bencana yang digunakan dalam penelitian ini adalah dampak korban meninggal akibat bencana, menderita, mengungsi, rumah rusak ringan, dan kerusakan pada lahan pertanian.
Dari penelitian ini ditemukan bahwa dampak bencana (korban meninggal, menderita, mengungsi, rumah rusak ringan, dan kerusakan pada lahan pertanian) secara bersama-sama memiliki pengaruh terhadap jumlah penduduk miskin. Empat dari lima variabel dampak bencana yang digunakan dalam penelitian ini (meninggal, menderita, kerusakan lahan pertanian, dan rumah rusak ringan) memiliki pengaruh signifikan terhadap jumlah penduduk miskin. Setiap pertambahan jumlah korban meninggal, mengungsi, menderita, kerusakan lahan pertanian, dan rumah rusak ringan akibat bencana akan menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk miskin."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2016
T45462
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mazzia Luth
"ABSTRAK
Adapun yang nienjadi pokok permasalahan dalam peneli
tian ini adalah sampai seberapa jauh perubahan yang ter
jadi dalam pola?pola pengolahan. Lahan pertanian dan kese
imbangan lingkungan sebagai akibat mirasi selektis. Di
samping itu akan dipermasalahkan pula apakah benar keter
libatan masyarakat Mìnangkabau dalam ekonomi pasar meng
ganggu keseimbangan lingkungan ?
hipotesis yang diajukan (dalam arti asumsi) adalah :
1. Jika efisiensi pengolahan lahan pertanian ditingkatkan
maka keseimbangan lingkungan dapat dicapai.
2. Migrasi selektif merupakan salah satu mekanisme sosial
dalam membina keseimbangan lingkungan. Jika migrasi
tinggi intensitasnya, maka tekanan penduduk menjadi
kecil.
Dalam studi kasus desa Koto Tuo tidak terdapat tanah
terlantar. Hal ini disebabkan oleh karena sawah masih di
anggap sebagai lambang keberhasilan. Menurut sistem ni
lai budaya dalam masyarakat setempat, kualitas lebih uta
ma dari kuantitas. Oleh sebab itu sawah tetap saja dita
nami, walaupun tidak secara gotong royong lagi, melainkan
secara mengupah.
Adanya migrasi tidak banyak mempengaruhi pola - pola
pengolahan lahan pertanian scara tradisional, tiada usa
ha peningkatan efisiensi dan karenanya produktifitas ti
dak dapat ditingkatkan. Namun demikian keseimbangan ling
kungan masih dapat dipertahankan.
Sebagai kesimpulan dan penelitian ini adalah bahwa
migrasi selektif tidak rnenimbulkan perubahan pada pola?
pola pengolahan lahan pertanian. migrasi mem
punyai dampak positif terhadap lingkungan alam. Pendorong
utama terjadiya gerakan penduduk adalah suatu penghidup
an yang lebih baik dan pendidikan yang lebih tinggi. Hal
itu terutama disebabkan oleh karena daya dukung lingkung
an sudah berada di ambang batas. Persepsi petani
terhadap Profesinya tidak memberikan gambaran yang cerah.
prospekna di masa depan tidak memberikan harapan yang
lebih baik. Walaupun mereka hidup di atas garis kemiskinan, tetapi merasa miskin. Migrasi tampaknya salah satu
strategi adaptasi masyarakat dalam menghadapi permasalah
an hidup yang ditimbulkan oleh perubahan linkungan.
"
1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>