Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 186576 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arin Karniasari
"Tesis ini berisikan pembahasan mengenai wewenang Jaksa Agung mengesampingkan perkara demi kepentingan umum yang ditinjau dari perspektif teoritis, historis, yuridis dan praktis. Permasalahan dalam tesis ini terkait dengan kriteria ?Kepentingan Bangsa dan Negara dan/atau Kepentingan Masyarakat Luas? yang merupakan penjelasan dari istilah ?Kepentingan Umum?, dan Badan- Badan Kekuasaan Negara yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang dapat diperhatikan saran dan pendapatnya oleh Jaksa Agung, serta mengenai kekuatan mengikat saran dan pendapat Badan-badan Kekuasaan Negara tersebut terhadap Jaksa Agung, dan terakhir tentang sifat final dan mengikat keputusan Jaksa Agung mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis sosiologis, karena menggambarkan selengkapnya tentang wewenang Jaksa Agung dalam mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, baik dari segi teoritis, historis, yuridis dan praktis, dengan perbandingan segi teoritis penyampingan perkara demi kepentingan umum di Indonesia dan Belanda. Kemudian dilakukan wawancara dengan narasumber yang terkait pelaksanakan wewenang tersebut, serta para narasumber lainnya yakni akademisi yang bidang keilmuannya sesuai dengan permasalahan penelitian ini.
Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa tidak ada kriteria 'Kepentingan Bangsa dan Negara dan/atau Kepentingan Masyarakat Luas' yang merupakan penjelasan dari istilah 'Kepentingan Umum'. Kemudian Badan-Badan Kekuasaan Negara yang dimaksud dalam penjelasan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga negara yang wewenangnya meliputi kekuasaan-kekuasaan negara (primary constitutional organs) yakni MPR, DPR, DPD, MA, MK, Presiden dan Wakil Presiden, dan BPK, tetapi saran dan pendapat lembaga-lembaga negara tersebut tidak mengikat Jaksa Agung dalam mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, karena hal tersebut merupakan hak prerogatif Jaksa Agung. Lebih lanjut wewenang Jaksa Agung mengesampingkan perkara demi kepentingan umum bersifat final dan mengikat, karena selain wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum termasuk kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dalam menghadapi situasi dan kondisi pada suatu waktu tertentu yang tidak dapat diserahkan kepada hakim, juga tidak terdapat pengaturan untuk melakukan upaya perlawanan, baik dasar hukum ataupun formulasi peradilannya di Indonesia.

This thesis contains of The Attorney General?s authority in dismiss cases based on public interest reason, which overviewed by theoretical, historical, juridical, practical perspectives. The thesis's problems related to the criteria of "Nation's, State's interest and community interest" which is the explanation of term 'public interest', and states institution which is stated on the explanation of Article 35 letter c of Law No. 16 of 2004 concerning the Republic of Indonesia?s Prosecutor, which their advices and opinions can be considered by the Attorney General, as well as the strength of binding of their advices and opinions to the Attorney General. The last is about the nature of the Attorney General decision in dismissing cases based on public interest reason.
It is a juridical sociological research, because it describes about the Attorney General? authority in dismiss cases based on public interest reason, which is viewed by theoretical, historical, juridical and practical perspectives, with a comparison of same matter in Indonesia and the Netherlands. The author has interviewed some relevant informants on the authority implementation, as well as the other speakers whom the field of their academic scientific research related to the problem.
The results found there is no criteria of ?the Nation?s, State?s and / or community Interest" which is the explanation of the term "Public Interest". Then the State institution referred to the explanation of Law number 16 of 2004 is state agencies whose authority includes powers of the state (primary constitutional organs) MPR, DPR, DPD, MA, MK, President and Vice President, and BPK, but the state institutions advice and opinion is not binding the Attorney General decision in dismiss cases based on public interest reason, because it is the prerogative of the Attorney General. Furthermore the Attorney General authority in dismiss cases based on public interest reason shall be final and binding, because it is such a freedom of wisdom (beleidsvrijheid) in dealing with the situation and conditions at a certain time that cannot be left to the judge, there is also no appeal efforts in Indonesian courts.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31500
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
A. M. Hasan Ali
Jakarta: Kencana, 2005
297.633 HAS a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Panji Wijanarko
"Azas oportunitas merupakan diskresi penuntutan yang dimiliki institusi Kejaksaan Agung yang dalam hal ini pelaksanaanya hanya ada pada Jaksa Agung. Azas oportunitas yang dilaksanakan melalui perundang- undangan, yakni UU No.15 Tahun 1961, UU No.5 Tahun 1991 dan UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, dengan jelas memberikan wewenang kepada Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Azas oportunitas sampai sekarang tetap ada keberadaannya di Indonesia. Penggunaan azas ini harus memberikan manfaat pada kepentingan umum sebagai dasar pertimbangan Jaksa Agung dalam menggunakannya. Azas tersebut sesuai dengan tujuan pidana, dalam hal ini azas oportunitas bertujuan untuk mengimbangi ketajaman azas legalitas. Berdasarkan penjelasan pasal 77 KUHAP, buku pedoman pelaksanaan KUHAP, KUHAP mengakui eksistensi pewujudan azas oportunitas.

The principle of discretionary prosecution the opportunity is owned institutions in the Attorney General that this implementation is only in the General Prosecutor. Opportunity principle is implemented through legislation, namely Law No. 15 of 1961, Act No. 5 of 1991 and Law No.16 of 2004 on RI Attorney, clearly authorizes the Attorney General to waive the case in the public interest. The principle of opportunity until now remained a presence in Indonesia. The use of this principle should provide benefits to the public interest as the basis for the attorney general considerations in using it. The principle is consistent with the purpose of criminal, in this case the principle of opportunity aims to offset the sharpness of the principle of legality. Based on the explanation of Article 77 Criminal Code, the implementation guidebook Criminal Procedure Code, Criminal Procedure Code recognizes the existence of realizing the principle of opportunity."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1187
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhammad Rullyandi
"Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka atau independen, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Kekhawatiran akan adanya intervensi dari kekuasaan eksekutif terhadap lembaga kejaksaan, khususnya karena pengangkatan Jaksa Agungnya yang merupakan hak prerogatif Presiden. Adapun permasalahan yang dibahas mengenai Bagaimanakah hak prerogatif Presiden dalam sistem presidensial berkaitan dengan mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung oleh Presiden, pembatasan kekuasaan Presiden terhadap independensi kekuasaan penuntutan yang dimiliki oleh Jaksa Agung, dan kedudukan yang tepat kejaksaan dalam doktrin pembagian atau pemisahan kekuasaan trias politica.
Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode pendekatan normatif dan pendekatan kualitatif wawancara. Hak Prerogatif Presiden dalam sistem presidensial pada prinsipnya berkaitan dengan mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung oleh Presiden, hal ini dapat dimengerti bahwa Jaksa Agung adalah pemegang kekuasaan tertinggi penuntutan, fungsi penuntutan merupakan tugas Negara untuk membela rakyat atau kepentingan publik, maka dikaitkan dengan hubungan Presiden dan Jaksa Agung, maka pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung adalah bagian dari hak prerogatif Presiden yang perlu dibatasi dengan terlebih dahulu meminta persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Pembatasan kekuasaan Presiden berhubungan independensi kekuasaan penuntutan yang dimiliki oleh Jaksa Agung, agar tidak mengintervensi proses hukum presiden di batasi oleh konstitusi. Berkaitan dengan kedudukan yang tepat kejaksaan dalam doktrin pembagian atau pemisahan kekuasaan trias politica,maka organ kekuasaan yang sekiranya tepat untuk mewakili tugas di mewakili kepentingan publik di bidang penegakan hukum adalah eksekutif atau Presiden dengan membawahi Jaksa Agung. oleh karena kejaksaan sudah tepat berada dalam ranah kekuasaan eksekutif.

Attorney of the Republic of Indonesia is implementing a state institution of state power in the prosecution elected by and responsible to the President. The Attorney General as the state agency that implements state power in the prosecution must carry out its functions, duties and authority as an independent or an independent, free from the influence of government power and influence of other powers. Fears of intervention from the executive power to institute prosecution, especially since the appointment of Attorney glory that is the prerogative of the President. The issues discussed on How the President's prerogative in a presidential system with a mechanism related to the appointment and dismissal of the Attorney General by the President, the limitation of presidential powers to the independence of prosecution powers possessed by the Attorney General, and the exact position of prosecutor in the division or separation of powers doctrine of trias politica.
In this paper the author uses the method of normative approach and qualitative approach to the interview. Prerogative of the President in a presidential system, in principle, related to the mechanism of appointment and dismissal of the Attorney General by the President, it is understandable that the Attorney General holds the highest authority of the prosecution, the prosecution function is a duty to defend the people of the State or public interests, it is associated with relations of President and Attorney General, the appointment and dismissal of the Attorney General is part of the prerogative of the President who needs to be limited by first obtaining the consent of the House of Representatives.
Restrictions related to the independence of the powers of the President possessed the power of prosecution by the Attorney General, in order not to intervene in the legal process limited by the constitutional president. Related to the proper position of prosecutor in the division or separation of powers doctrine of trias politica, the organ of power in which if the right to represent tasks in representing the public interest in the field of law enforcement is the executive or the President to supervise the Attorney General. because the prosecutor has the right to be in the realm of executive power.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31443
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arrumaisha Rani Khairunnisa
"Tesis ini berisi analisis tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum terhadap kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di Indonesia yang ditinjau dari Pedoman Tata Kerja BP MIGAS Nomor 027/PTK/XII/2007 Tentang Pengadaan Tanah dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Penelitian ini menggunakan metode yang bersifat yuridis normatif dengan tipologi penelitian yang sifatnya eksploratoris dan juga metode analisis data yang bersifat kualitatif.
Hasil penelitian menyatakan bahwa prosedur pengadaan tanah untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang kini mengacu pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum mengakibatkan jangka waktu pengadaan tanah menjadi semakin lama sehingga dapat menghambat program percepatan penambahan cadangan produksi minyak dan gas negara, yang akan membuat kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di Indonesia mengalami stagnasi.
Peneliti menyarankan agar pemerintah segera mengembalikan prosedur pengadaan tanah untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi pada Pedoman Tata Kerja BP MIGAS Nomor 027/PTK/XII/2007 Tentang Pengadaan Tanah.

The thesis contains an analysis about the acquisition of land for development in the public interest to the oil and gas upstream business activities in Indonesia, a review of the BP MIGAS Work Procedures Guidelines Number 027/PTK/XII/2007 Concerning Acquisition of Land and Law Number 2 of 2012 Concerning Acquisition of Land for Development in the Public Interest. The research is using juridical normative methods with an exploratorical research typology and qualitative data analysis method.
The results stated that the current procedures to acquire land for the oil and gas upstream business activities refers to the Law Number 2 of 2012 Concerning Acquisition of Land for Development in the Public Interest causes a much longer period that could inhibits the acceleration of additional reserves program of the state’s oil and gas, which could cause a stagnation in the oil and gas upstream business activities in Indonesia.
The researcher suggests the government to immediately returned the acquisition of land procedures to the BP MIGAS Work Procedures Guidelines Number 027/PTK/XII/2007 Concerning Acquisition of Land.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35567
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Rudi Pradisetia Sudirdja
"Penelitian ini membahas diskresi jaksa dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. KUHAP belum mengatur diskresi secara jelas. Konsep diskresi baru ditemukan dalam hukum administrasi, tetapi apakah konsep ini dapat diterapkan dalam hukum pidana dan bagaimana pengaturan diskresi jaksa dalam proses pemeriksaan perkara pidana di Indonesia. Penelitian ini juga mengkaji konsep penuntutan yang memungkinkan digunakannya diskresi jaksa untuk kepentingan hukum dan kepentingan umum, sekaligus memformulasikan konsep diskresi jaksa yang ideal dalam SPP Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk mengkaji aturan hukum, prinsip, konsep, teori, dan masalah hukum terkait, dan metode kuantitatif dalam pengumpulan pandangan jaksa tentang diskresi dengan teknik survei. Hasil kajian menunjukkan bahwa diskresi dalam hukum administrasi tidak dapat langsung diterapkan dalam hukum pidana. Diskresi dalam hukum pidana terkait dengan masalah hak asasi manusia dan hanya dapat dilakukan jika diberikan kewenangan oleh undang-undang. Esensi diskresi terletak pada kebebasan jaksa dalam menilai dan menerapkan kewenangan yang dimiliki. Di Indonesia, diskresi jaksa ditemukan pada setiap tahapan sistem peradilan pidana, tetapi hanya didasarkan pada aspek kepentingan hukum dan belum mencakup aspek kepentingan umum. Pelaksanaan diskresi jaksa juga dibatasi oleh prinsip kesatuan komando di lembaga kejaksaan. Mayoritas responden jaksa di Indonesia jarang menerapkan diskresi karena birokrasi yang rumit. Mereka setuju bahwa jaksa harus memiliki independensi dan akuntabilitas yang lebih kuat. Temuan penelitian ini menawarkan pendekatan baru bagi jaksa dalam mengambil keputusan, yakni pendekatan the operational efficiency model, yang menekankan efisiensi sistem peradilan pidana dengan mempertimbangkan aspek kepentingan umum. Penelitian ini juga menawarkan konsep penuntutan yang menggabungkan asas legalitas dengan asas oportunitas, serta mempertegas posisi jaksa sebagai pengendali perkara dan menjaga independensinya. Penelitian ini juga mengusulkan konsep diskresi jaksa dalam sistem peradilan pidana, termasuk prinsip-prinsip diskresi, syarat-syarat diskresi jaksa, alternatif penyelesaian perkara oleh jaksa, dan pemaknaan ulang terhadap makna Pasal 139 KUHAP yang mencakup kepentingan umum.

This study examines the discretion of prosecutors within the Indonesian criminal justice system. The Indonesian Criminal Procedure Code does not clearly regulate prosecutor’s discretion. While the concept of discretion has been established in administrative law, it remains unclear whether it can be applied in criminal law and how the discretion of prosecutors is regulated in the examination of criminal cases in Indonesia. This research investigates the concept of prosecution, which allows prosecutors to exercise discretion for the benefit of the law and the public interest, while formulating an ideal framework for prosecutor’s discretion in the Indonesian criminal justice system. Qualitative research methods are employed to examine legal rules, principles, concepts, theories, and related legal issues, and a quantitative approach is used to collect prosecutors' perspectives on discretion through a survey. The findings indicate that discretion in administrative law cannot be directly applied to criminal law. Discretion in criminal law is associated with human rights issues and can only be exercised if authorized by law. The essence of discretion lies in the prosecutor's freedom to assess and apply their powers. In Indonesia, prosecutor’s discretion is present at every stage of the criminal justice system, but it is currently limited to considerations of legal interests and does not encompass the public interest. The implementation of prosecutor’s discretion is further restricted by the principle of unity of command within the prosecutor's institution. The majority of surveyed prosecutors in Indonesia rarely exercise discretion due to bureaucratic complexities. They agree that prosecutors should have greater independence and accountability. The findings propose a new decision-making approach for prosecutors—the operational efficiency model—which prioritizes the efficiency of the criminal justice system while considering the public interest. Furthermore, this study presents a prosecution concept that combines the legality principles and opportunity principles, reinforcing the prosecutor's role as a case controller and preserving their independence. Additionally, the study suggests a framework for prosecutor’s discretion in the criminal justice system, including principles, criteria for prosecutor discretion, alternative case resolutions, and a reinterpretation of Article 139 of the Indonesian Criminal Procedure Code to incorporate the public interest."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>