Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 99122 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kanina Cakreswara
"ABSTRAK
Hukum kedokteran atau hukum kesehatan merupakan cabang ilmu yang masih
tergolong muda di Indonesia. Hukum kedokteran yang baru berkembang dan
malpraktek yang baru dikenal konsepnya ini berbanding terbalik dengan
banyaknya sorotan terhadap hukum kesehatan, khususnya kepada dokter dan
rumah sakit. Berangkat dari permasalahan tersebut, skripsi ini membahas
malpraktek medis yang dilakukan dokter ditinjau dari segi hukum pidana dan
mengenai pertanggungjawaban pidana dokter tersebut. Penelitian ini adalah
penelitian kualitatif dengan jenis yuridis-normatif. Teknik pengumpulan data
adalah dengan studi kepustakaan. Data yang dikumpulkan berupa data sekunder.
Data sekunder yang digunakan terdiri dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran, putusan
Mahkamah Agung No. 1347 K/PID.SUS/2010, dan Putusan Pengadilan Negeri
Manado No. 90/PID.B/2011/PN.MDO, buku-buku hukum, serta berbagai kamus.
Kesimpulan skripsi ini yaitu malpraktek medis adalah kelalaian atau ketidakhatihatian
seorang dokter dalam pelaksanaan kewajiban profesionalnya, sementara
ruang lingkup malpraktek adalah kelalaian yang menyebabkan kematian atau
luka.

ABSTRACT
Health law is considered a new branch of law in Indonesia. The developing health
law and the newly recognized concept of malpractice are inversely proportional to
the vast attention given to health law, particularly to doctors and hospitals.
Departing from this problem, this thesis discusses about medical malpractice
committed by doctor from criminal law perspective and about doctor's criminal
liability. This research is a qualitative judicial-normative research. Data collection
technique used is literature study. Data are collected in the form of secondary
data. Secondary data used consist of Indonesian Penal Code, The Law of Republic
Indonesia Number 29 of 2004 on Doctor's Practice, Supreme Court decision No.
1347 K/PID.SUS/2010, Manado District Court decision No.
90/PID.B/2011/PN.MDO, law textbooks, and various dictionaries. The conclusion
of this thesis is that medical malpractice is doctor's negligence in doing his
professional duties, while the scope is a negligence that causes harm or death.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43884
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurnilasari Tri Putri
"Berbeda dengan profesi lain, dokter dalam upaya menyembuhkan, mengurangi penderitaan, memperkecil komplikasi buruk dari suatu penyakit, atau menunda kematian seorang pasien, selalu bersinggungan dengan risiko kerugian fisik seperti rasa sakit atau bahkan sampai ke risiko kematian pasien. Sebagai dampak peningkatan wawasan masyarakat dalam hal kebutuhan perlindungan hukum, masyarakat awam menganggap kerugian yang dialami pasien pasca pemberian tindakan medis adalah malpraktek kemudian mengajukan tuntutan ke kepolisian. Di satu sisi, masyarakat melupakan bahwa seorang dokter tidak bisa menjanjikan kesembuhan kepada pasien.
Malpraktek adalah perbuatan medis yang menyimpang dari standar prosedur operasional. Persoalan utama dalam kasus/tuduhan malpraktek adalah bagaimana membuktikan bahwa perbuatan medis tersebut menyimpang dari standarnya. Terlebih lagi, dokter tidak dapat dipersalahkan sekalipun tindakan medisnya mengakibatkan kematian pasien jika tidak melanggar standar tersebut.
Metodologi penulisan yang digunakan dalam penyelesaian tesis ini adalah deskriptif analitis kualitatif yaitu dengan cara melakukan analisis terhadap data-data lapangan dan kemudian dielaborasi dengan pendapat para pihak terkait (dokter, jaksa, kepolisian) dan hasil tinjauan pustaka untuk mendapatkan pemecahannya.
Dari penelitian diketahui, tidak semua standar prosedur operasional dalam bentuk tertulis. Padahal untuk membuktikan tuduhan malpraktek diperlukan standar prosedur tertulis yang dapat digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan dalam tindakan medis yang diberikan sehingga dapat menjatuhkan sanksi yang tepat dalam proses pertanggungjawaban hukumnya. Oleh karena itu untuk mengantisipasi agar tidak terjadi tindakan malpraktek, setiap dokter harus memiliki standar prosedur operasional tertulis untuk semua bidang spesialisasi dan alat hukum harus memiliki kompetensi untuk memahami kaidah-kaidah atau prosedur yang berlaku di bidang kedokteran.

Differ from other profession, a doctor during performing an act or service to their patients Is considered to face the possibility to cause injury or even death to the patient. On the other hand, as well as the necessity of being protected from lawsuit is increasing, commonly that injuries will be called as medical malpractice and will be proceeded to the criminal trial. Whilst, people usually forget that doctor cannot promise any protection from the death.
Medical malpractice is a medical act or omission, which deviate from the accepted standard operational procedure. The main problem in the case of medical malpractice is how to proof that act or omission is deviate from it-accepted standard. Furthermore, doctor cannot be sentence by law though his act causes fatal injury unless it breaking the standard.
A descriptive-qualitative analytic is being applied to analyze the data as it is to be clarified with some professionals such as doctor, prosecutor, and police as well as references in order to obtain the resolution.
From the research, it is discovered that a few standard operational procedure is being documented where others is not. It is known that this documented standard is required to proof whether there is a deviation or not from the medical act or omission that was performed by doctor. Then, it liability can be conducted as well. Finally, doctor must have all standard operational procedure documented in order to prevent malpractice. Whilst, on the other hand, especially the prosecutor and the police shall develop and keep updating their competency to comprehend those medical procedure in order to attain the malpractice case comprehensively."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19294
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Artahsasta Prasetyo Santoso
"Kesehatan merupakan suatu bagian dari hak asasi manusia yang dirumuskan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, sehingga masyarakat perlu mengenal untuk dapat menjamin hak sebagai masyarakat. Penyelenggaraan kesehatan dipercayakan kepada tenaga kesehatan yaitu dokter dan penyedia fasilitas kesehatan, yaitu rumah sakit. Kenyataannya masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang hak dan kewajiban sebagai pasien, khususnya hak dan kewajiban di mata hukum saat terjadi kasus-kasus malpraktik yang merugikan mereka. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, malpraktik medis sendiri tidak diatur secara khusus. Saat terjadinya suatu kasus malpraktik medis, pasien memiliki hak untuk menuntut haknya, dengan begitu dokter yang melakukan malpraktik medis harus bertanggung jawab atas tindakan medis tersebut. Pada kasus-kasus tertentu, terdapat peran rumah sakit dalam terjadi malpraktik tersebut yang membuat rumah sakit dapat bertanggung jawab. Pengaturan ini secara eksplisit diatur di dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Namun patut disayangkan, sering kali pasien maupun penegak hukum tidak mengetahui bahwa rumah sakit juga dapat bertanggung jawab. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya kasus yang masuk ke sistem peradilan pidana di Indonesia terkait dengan pertanggungjawaban pidana dari rumah sakit sebagai suatu korporasi terhadap terjadinya suatu kasus malpraktik.

Health is a part of human rights formulated in Article 28H of the Constitution of the Republic of Indonesia, 1945 so that people need to know how to be able to guarantee their rights as a citizen. Health care is entrusted to health workers, namely doctors and providers of health facilities, namely hospitals. In fact, many people do not know about their rights and obligations as patients, especially in the eyes of the law when medical malpractice occurs regardless of injure. In the laws and regulations in Indonesia, medical malpractice itself is specifically unregulated. When a medical malpractice case occurs, the patient occupies the claims of their rights, so the doctor who commits medical malpractice must be responsible for the medical action. In certain cases, there is an influential role from the hospital in the possible occurrence of malpractice which cautiously makes the medical institution responsible. This unique arrangement is explicitly regulated in Article 46 of Law Number 44, 2009 about Hospital. Unfortunately, often patients and law enforcement do not know hospitals can also be held responsible. This is evidenced by the frequent absence of specific cases entering the criminal justice system in Indonesia positively related to the criminal liability of hospital as a corporation for the tragic occurrence of medical malpractice cases."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Artahsasta Prasetyo Santoso
"Kesehatan merupakan suatu bagian dari hak asasi manusia yang dirumuskan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, sehingga masyarakat perlu mengenal untuk dapat menjamin hak sebagai masyarakat. Penyelenggaraan kesehatan dipercayakan kepada tenaga kesehatan yaitu dokter dan penyedia fasilitas kesehatan, yaitu rumah sakit. Kenyataannya masih banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang hak dan kewajiban sebagai pasien, khususnya hak dan kewajiban di mata hukum saat terjadi kasus-kasus malpraktik yang merugikan mereka. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, malpraktik medis sendiri tidak diatur secara khusus. Saat terjadinya suatu kasus malpraktik medis, pasien memiliki hak untuk menuntut haknya, dengan begitu dokter yang melakukan malpraktik medis harus bertanggung jawab atas tindakan medis tersebut. Pada kasus-kasus tertentu, terdapat peran rumah sakit dalam terjadi malpraktik tersebut yang membuat rumah sakit dapat bertanggung jawab. Pengaturan ini secara eksplisit diatur di dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Namun patut disayangkan, sering kali pasien maupun penegak hukum tidak mengetahui bahwa rumah sakit juga dapat bertanggung jawab. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya kasus yang masuk ke sistem peradilan pidana di Indonesia terkait dengan pertanggungjawaban pidana dari rumah sakit sebagai suatu korporasi terhadap terjadinya suatu kasus malpraktik.

Health is a part of human rights formulated in Article 28H of the Constitution of the Republic of Indonesia, 1945 so that people need to know how to be able to guarantee their rights as a citizen. Health care is entrusted to health workers, namely doctors and providers of health facilities, namely hospitals. In fact, many people do not know about their rights and obligations as patients, especially in the eyes of the law when medical malpractice occurs regardless of injure. In the laws and regulations in Indonesia, medical malpractice itself is specifically unregulated. When a medical malpractice case occurs, the patient occupies the claims of their rights, so the doctor who commits medical malpractice must be responsible for the medical action. In certain cases, there is an influential role from the hospital in the possible occurrence of malpractice which cautiously makes the medical institution responsible. This unique arrangement is explicitly regulated in Article 46 of Law Number 44, 2009 about Hospital. Unfortunately, often patients and law enforcement do not know hospitals can also be held responsible. This is evidenced by the frequent absence of specific cases entering the criminal justice system in Indonesia positively related to the criminal liability of hospital as a corporation for the tragic occurrence of medical malpractice cases. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Zahra Syafitri Enanie
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai bentuk pertanggungjawaban tenaga kesehatan khususnya profesi perawat. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian ini mengacu pada ketentuan normatif atau peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang menjalankan praktik pelayanan kesehatan serta menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Pendekatan kasus meliputi pertanggungjawaban pidana tenaga kesehatan perawat melalui pengadilan sebanyak tiga putusan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tugas dan wewenang tenaga kesehatan perawat dalam melakukan pelayanan kesehatan adalah praktik keperawatan professional meliputi seluruh aspek keperawatan yang diberikan kepada individu keluarga dan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni Undang-Undang Tentang Keperawatan No.38 Tahun 2014, Undang-Undang Tentang Kesehatan No.36 Tahun 2009 dan peraturan yang terkait lainnya. Perawat dalam menjalankan praktik keperawatan harus memiliki batas-batas tertentu dalam melakukan kegiatan pelayanan kesehatan atau praktik keperawatan. Ruang lingkup dari malpraktik medis meliputi praktik yang buruk/ salah yang berkaitan dengan profesi dibidang medis atau kesehatan yaitu profesi dokter, bidan dan perawat. Untuk membuktikan terjadinya malpraktik, faktor-faktor yang sangat penting adalah, Duty kewajiban , Breach of Duty Penyimpangan dari kewajiban , Direct Causation Akibat langsung , Damage Kerugian . Perawat dalam memberikan asuhan/pelayanan keperawatan harus bertanggungjawab baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap masyarakat. Bentuk pertanggungjawaban di sini baik berupa tanggung jawab maupun tanggung gugat. Tanggung jawab perawat dalam pelayanan kesehatan dapat dibagi menjadi 3 tiga yaitu tanggung jawab perdata, tanggung jawab administratif, dan tanggung jawab pidana.

ABSTRACT
This thesis discusses about the form of responsibility of health workers especially nursing profession. The author use normative methode which is the methode refers to normative or regulation provisions concerning criminal acts committed by health workers who carry out health service practice and use two approaches namely approach of legislation and approach of case. The case approach involves the criminal responsibility of health workers Nurses through the court of three decisions. The data already got will be analyzed by qualitative means describe the data in the form of a sentence and then interpreted by binding to the legislation so that eventually will lead to a conclusion. The result is the authorities of health workers Nurses in performing health services is a professional nursing practice covering all aspects of nursing given to individual families and communities in accordance with applicable legislation in Indonesia UU about Nurses No.38 in 2014. UU about healthy No.36 in 2009, etc. Nurses in doing nursing practice must have certain limits on doing health services or nursing practice. The scope of medical malpractice includes bad or false practices related to the medical or health professions such a doctors, midwives and nurses. The Fact For proven the malpractice are Duty, Breach of duty, Direct Causation, and Damage. The nurse in providing nursing care must be responsible both to himself and to the community. This form of accountability is both responsibility and accountability. The responsibility of the nurse in the health service can be divided into three namely civil liability, administrative responsibility, and criminal responsibility."
2017
T48443
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Krido Sasmita A M Sakali
"ABSTRAK
Proses pembuktian dugaan malpraktek dengan menggunakan pembuktian secara konvensional, kadang kala menimbulkan pro kontra di masyarakat. Pro kontra ini terjadi karena melihat tidak adanya keseimbangan dalam pembuktian apalagi
dokter sebagai terdakwa dalam kasus tersebut. Walaupun disisi lain ada MKDKI
(Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) sebagai lembaga
independen yang memiliki kewenangan terlebih dahulu dalam melakukan
pemeriksaan terkait disiplin kedokteran dinilai tidak bisa berbuat apa-apa, dan
dirasakan oleh masyarakat bahwa pasti akan lebih menguntungkan dokter. Untuk
melihat kondisi tersebut sebagai bagian yang menjadi suatu kondisi yang terjadi
saat ini, maka penulis mengkonversinya dalam suatu penulisan tesis dengan 3
(tiga) pertanyaan penelitian, yaitu: Bagaimanakah tindakan Kepolisian dalam hal
terdapat pengaduan dari pasien/keluarga pasien atas dugaan malpraktek walaupun
MKDKI dalam laporannya menyatakan sebaliknya? Apakah putusan MKDKI
bisa digunakan sebagai laporan pihak dokter dengan menerapkan metode res ipsa
loquitur? Bagaimanakah konsep res ipsa loquitur diterapkan dalam kasus dugaan
malpraktek dokter ketika terjadi kelalaian terhadap pasien dalam lingkup hukum
pidana?. Penelitian ini menelaah dan menganalisis data sekunder dan juga
menggunakan data primer sebagai data pendukung. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa sikap kepolisian bisa sertamerta mengesampingkan putusan
MKDKI yang notabene, hanya merupakan data biasa walaupun laporan tersebut
menyatakan tidak adanya dugaan malpraktek. Tidak digunakannya laporan
MKDKI sebagai bukti awal dalam proses pra ajudikasi, tidak menghilangkan
esensi dari laporan tersebut, sebab ketika masuk dalam proses ajudikasi maka
laporan MKDKI merupakan hasil dari pernyataan dokter sebagai bahan
pembelaan dan ketika sistem pembuktian terkait tindakan dokter yang berakibat
kelalaian digunakan konsep res ipsa loquitur maka laporan MKDKI adalah bagian
yang tidak terpisah dari pernyataan dokter di Pengadilan nanti. Res ipsa loquitur
sebagai metode yang digunakan dokter digunakan dalam mengajukan bukti dan
fakta dalam mengungapkan tindakanya yang berakibat cacat atau meninggal

ABSTRACT
The process of proving the alleged malpractice by using conventional verification,
sometimes raises the pros and cons in the community. Pros and cons of this
happened because of lack of balance seen in the proof let alone doctors as
defendants in the case. While on the other hand there MKDKI (Indonesian
Medical Disciplinary Board) as an independent agency having authority to
advance the discipline of medical related examination assessed can not do
anything about it, and felt by the people that would be more advantageous doctor.
To see these conditions as part of becoming a condition that occurs at this time,
then convert it to an author writing a thesis with three (3) research questions,
namely: How does the police action in the event of a complaint from the patient /
family of the alleged malpractice though MKDKI in reports to the contrary? Is
MKDKI decision could be used as a doctor's report by applying the method IPSA
loquitur res? How does the concept of res IPSA loquitur applied in cases of
alleged malpractice occurs when a doctor's negligence to patients within the
scope of the criminal law?. This study examines and analyzes of secondary data
and also uses primary data as supporting data. The results of this study showed
that the attitude of the police can arbitrarily overrule the decision MKDKI that in
fact, just an ordinary data although the report states the absence of the alleged
malpractice. Failure to use the report as evidence MKDKI early in the preadjudication
process, do not eliminate the essence of the report, because when
entered in the adjudication process MKDKI report is the result of a doctor's
statement as a defense and proof systems associated action when doctors used the
concept of negligence resulting in res IPSA loquitur then MKDKI report is an
integral part of the doctor's statement in court later. Res IPSA loquitur as
physicians used the method used in the filed evidence and facts revealed actions
that result in disability or death."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42182
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ketaren, Alexander Edward
"Dewasa ini, tindak pidana dapat dilakukan oleh Yayasan. Yayasan yang pada dasarnya bertujuan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, dijadikan alat untuk melakukan tindak pidana. Namun demikian, dalam penelusuran yang Penulis lakukan, tidak terdapat Yayasan yang dibebankan pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Dua kasus tindak pidana yang melibatkan Yayasan dalam melakukan tindak pidana adalah kasus Ketua Yayasan Berkarya Dalam Pujian dan Yayasan Cakradonya. Skripsi ini mencoba menjawab pertanyaan mengenai konsep pertanggungjawaban pidana Yayasan serta penerapannya dalam kasus Ketua Yayasan Berkarya Dalam Pujian dan Ketua Yayasan Cakradonya. Berdasarkan teori-teori pertanggungjawaban pidana korporasi dan Yayasan. Skripsi ini akan menganalisis mengenai pertanggungjawaban pidana dalam hal tindak pidana dilakukan oleh suatu Yayasan. Dari hasil analisis tersebut, diketahui bahwa Yayasan termasuk dalam definisi korporasi dalam beberapa undang-undang pidana khusus Indonesia, seperti Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Yayasan dapat dibebankan pertanggungjawaban dalam hal tindak pidana dilakukan oleh orang yang berwenang mewakili dan mengatasnamakan Yayasan, untuk menguntungkan Yayasan, oleh orang yang memiliki hubungan kerja atau hubungan lain, dan dalam lingkungan Yayasan baik secara sendiri maupun bersama-sama. Dalam kasus Ketua Yayasan Berkarya Dalam Pujian, tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan dapat diatribusikan sebagai perbuatan Yayasan Berkarya Dalam Pujian, sedangkan dalam kasus Ketua Yayasan Cakradonya, tindak pidana korupsi yang dilakukan tidak dapat diatribusikan sebagai perbuatan Yayasan Cakradonya karena tidak dilakukan untuk menguntungkan Yayasan Cakradonya.

Today, criminal offenses can be committed by the Foundation. Foundations that are basically aimed at social, religious, and humanitarian fields, are used as instruments for committing criminal acts. However, in the searches that the Author did, there was no foundation charged with liability for the offenses he committed. Two criminal cases involving the Foundation in committing a crime are the case of the Chairman of Berkarya Dalam Puji Foundation and Cakradonya Foundation. This thesis tries to answer questions about the concept of criminal responsibility of the Foundation and its application in the case of the Chairman of Berkarya Dalam Pujian Foundation and the Chairman of Cakradonya Foundation. Based on theories of corporate criminal liability and foundation, this thesis will analyze the criminal liability in the case of criminal acts committed by a Foundation. From the results of the analysis, it is known that the Foundation is included in the definition of corporations in several special criminal laws of Indonesia, such as the Law on the Eradication of Criminal Trafficking in Persons and the Corruption Eradication Act. The foundation may be liable in the event of a criminal act committed by a person authorized to represent and on behalf of the Foundation, to benefit the Foundation, by a person who has a working relationship or other relationship, and within the Foundation environment either individually or collectively. In the case of the Chairman of Berkarya Dalam Pujian Foundation, the trafficking of persons trafficked can be attributed as the act of Berkarya Dalam Pujian Foundation, while in the case of the Chairman of Cakradonya Foundation, the criminal act of corruption committed cannot be attributed to Cakradonya Foundation because it is not commited to benefit the Cakradonya Foundation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elisa
"Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan menganalisis tanggung jawab hukum dokter dalam kasus malpraktek medis, serta dampaknya terhadap pasien dan sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Malpraktek medis didefinisikan sebagai tindakan kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh dokter yang menyebabkan kerugian bagi pasien. Penulis mengkaji ketentuan hukum yang relevan, termasuk Pasal 1365 dan 1366 KUH Perdata serta Pasal 58 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menegaskan bahwa dokter bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang timbul akibat tindakan mereka. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, di mana penulis melakukan analisis terhadap regulasi dan praktik hukum terkait malpraktek medis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien memiliki hak untuk menggugat dokter jika terbukti terjadi kelalaian dalam pelayanan medis. Selain itu, prosedur penyelesaian hukum harus melibatkan pendapat dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman mengenai tanggung jawab hukum dokter dan perlindungan hak pasien dalam konteks pelayanan kesehatan di Indonesia. Penelitian ini juga membahas pentingnya peningkatan kesadaran akan standar pelayanan medis dan perlunya edukasi bagi dokter mengenai aspek hukum dalam praktik kedokteran. 

This research aims to explore and analyze the legal responsibility of doctors in cases of medical malpractice and its impact on patients and the applicable legal system in Indonesia. Medical malpractice is defined as acts of negligence or error committed by doctors that result in harm to patients. The author examines relevant legal provisions, including Articles 1365 and 1366 of the Indonesian Civil Code, as well as Article 58 of Law No. 36 of 2009 on Health, which emphasizes that doctors are responsible for compensating damages arising from their actions. The research employs a normative juridical method with a legislative approach, where the author analyzes regulations and legal practices related to medical malpractice. The findings indicate that patients have the right to sue doctors if negligence in medical services is proven. Additionally, the legal resolution process should involve opinions from the Indonesian Medical Disciplinary Honorary Council, in accordance with applicable regulations. This study is expected to make a significant contribution to understanding the legal responsibilities of doctors and protecting patient rights within the context of healthcare services in Indonesia. The research also discusses the importance of raising awareness about medical service standards and the need for education for doctors regarding legal aspects in medical practice.  "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iron Fajrul Aslami
"Tindak kekerasan kolektif setiap tahunnya terus saja bertambah secara kuantitas di seluruh Indonesia, dan khususnya di Provinsi Banten. Kekerasan kolektif baik yang merupakan kejahatan murni ataupun kekerasan kolektif sebagai reaksi sosial (memperoleh legitimasi dari masyarakat) di Provinsi Banten, tetap saja menimbulkan kerugian yang serius bagi masyarakat Banten itu sendiri. Pengaruh faktor budaya, ekonomi dan lemahnya penegakan hukum menjadi pemicu kekerasan yang dilakukan secara kolektif. Permasalahan utama dalam penulisan tesis ini adalah bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap para pelaku kekerasan kolektif, baik sebagai individu atau kolektif. Hal tersebut berkaitan dengan bentuk kolektivitas massa sebagai pelaku, apakah yang jelas siapa pemimpinnya dan dapat dihitung atau massa yang muncul dengan spontanitas. Penelitian ini berbentuk deskriptif analistis. Metode penulisan tesis ini dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu menganalisis permasalahan dari sudut pandang atau menurut ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku sekarang dan dikaitkan dengan data empiris (kenyataan di lapangan). Peneliti menggunakan data sekunder dengan alat pengumpul data berupa studi kepustakaan dan data primer melalui wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara terhadap penyidik, penuntut umum, advokat, hakim dan masyarakat. Salah satu kendala yang dihadapi ialah karena dalam hukum positif saat ini tidak mengatur secara khusus kejahatan kolektif. Meskipun demikian tidak berarti bahwa KUHP maupun Hukum Pidana di luar KUHP tidak dapat diterapkan terhadap kasus kekerasan kolektif. Berbagai ketentuan yang dapat diterapkan misalnya adalah Pasal 170 KUHP, Pasal Penyertaan (Deelneming) dan juga aturan lainnya yang menyangkut tindakan kekerasan di depan umum. Dengan memperhatikan keadaan dengan penyesuaian yang tepat, ketentuan yang ada dapat diterapkan maksimal. Untuk mengantisipasi tindakan kekerasan kolektif, perlu dilakukan perumusan dalam Konsep KUHP Baru yang mengatur masalah perbuatan kekerasan kolektif secara khusus. Formulasi melalui RUU KUHP dengan melihat perkembangan kejahatan kekerasan dalam masyarakat; eksistensi peraturan perundang-undangan hukum pidana yang berkaitan dengan kejahatan kekerasan kolektif dan praktik penerapannya; kebijakan pengaturan kejahatan kekerasan kolektif di berbagai negara dan pandangan atau harapan masyarakat sehubungan dengan kekerasan kolektif.

Collective violence each year continues increasing in quantity throughout Indonesia, and especially in Banten Province. Collective violence in which as a purely criminal or collective violence as a social reaction (gain legitimacy from the public) in Banten Province, is still causing serious losses for Banten society itself. The influence of cultural, economic and weak of law enforcement stimulate the violence collective occurrence. The main problem in the writing of this thesis is about positive Indonesian criminal law responsibility in collective violence. This research is descriptive analytical form. The method of this thesis using a normative juridical approach, namely to analyze the problem from the viewpoint of or in accordance with applicable laws and regulations now and is associated with empirical data (reality on the ground). Researchers used secondary data with the data collection tool in the form of literature studies and primary data through in-depth interviews using interview guidelines to Police investigators, Prosecutors, Lawyers, Judges and the public. One of the obstacles encountered is that the current positive law does not specifically regulate collective crime. Although this does not mean that the Criminal Code and Special Criminal Act is not applicable to cases of collective violence. Various provisions that can be applied for example is Article 170 of the Criminal Code In Indonesian law, Article Complicity (Deelneming) and also other rules relating to acts of violence in public. By considering the circumstances with appropriate adjustments, the existing provisions applicable maximum. To anticipate the actions of collective violence in forward time, need to be formulated in the concept of the New Penal Code or by entering a new provision the issue of collective acts of violence in particular. Through the draft Penal Code formulation by looking at the development of violent crime in society; the existence of legislation relating to criminal law crime of collective violence and its implementation practices; policy setting collective violent crime in various countries and the views or expectations of society in relation to collective violence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T30537
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Suhariyanto
"Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) telah mengatur model pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu bilamana suatu tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi maka tuntutan dan penjatuhan pidananya dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. UU Tipikor tidak mengatur kriteria bilamana pertanggungjawaban pidana hanya ditujukan terhadap korporasi atau korporasi dan pengurusnya. Ketidaklengkapan UU Tipikor tersebut menyebabkan multi tafsir di kalangan penegak hukum dan hakim sehingga menimbulkan ketidak-pastian hukum dan ketidak-konsistenan putusan pengadilan. Disertasi ini melakukan telaah mengenai perumusan model pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara korupsi yang ideal di Indonesia agar tidak terjadi lagi ketidakpastian hukum dan multi tafsir dalam putusan pengadilan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi dokumen, didukung dengan wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap penegak hukum dan hakim. Adapun pendekatan masalah penelitian yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan, konseptual, kasus dan perbandingan. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa diperlukan penentuan kriteria model pertanggungjawaban pidana korporasi secara otonom, dependen dan independen. Model otonom mensyaratkan pertanggungjawaban korporasi tidak digantungkan dan dihubungkan dengan pertanggungjawaban pengurusnya sama sekali karena kesalahan korporasi tidak berasal dari atribusi kesalahan pengurusnya secara individu. Terdapat empat kriteria dalam model otonom yaitu: pertama, perbuatan pengurus merupakan perbuatan korporasi; kedua, perbuatan pengurus dilakukan untuk dan dalam rangka kepentingan korporasi dan tidak ada kepentingan individu pengurus; ketiga, kesalahan korporasi berasal dari atribusi kesalahan perbuatan korporasi; dan keempat, alokasi tanggung jawab hanya dibebankan kepada korporasi, tanpa sekalipun membebani tanggung jawab kepada pengurus. Model dependen mensyaratkan alokasi kesalahan dan pertanggungjawaban korporasi digantungkan pada terbuktinya kesalahan pengurus atas terjadinya tindak pidana korupsi. Terdapat dua kriteria model dependen yaitu pertanggungjawaban korporasi atas penerimaan manfaat hasil tindak pidana korupsi dan/atau pertanggungjawaban korporasi sebagai sarana tindak pidana korupsi. Model independen mensyaratkan pertanggungjawaban korporasi diajukan secara gabungan dengan pengurusnya dimana konstruksi kesalahan korporasi dibedakan dari pengurusnya dengan mengakomodasi kesalahan original atau organisasi atas reaksi saat terjadinya korupsi dan/atau budaya korporasi yang memicu korupsi. Penelitian ini merekomendasikan agar dilakukan reformulasi UU Tipikor dan pembentukan yurisprudensi terkait dengan kriteria model pertanggungjawaban pidana korporasi

Law Number 31 of 1999 as amended with Law Number 20 of 2001 on Corruption Crime Eradication (Corruption Law) governs a corporation criminal liability model i.e. if a corruption crime is committed by or on behalf of a corporation, then its indictment and criminal charge may be implemented against the corporation and/or its management. However, Corruption Law does not govern criteria whether criminal liability is only addressed to corporation or corporation and its management. Incomplete Corruption Law has led to multi-interpretations among law enforcers and judges causing legal uncertainty and inconsistency in court verdicts. This dissertation scrutinizes the formulation of a corporation criminal liability model in corruption cases that is ideal for Indonesia to prevent legal uncertainty and multi-interpretations in court verdicts. The research method used is a document study, supported with in-depth interviews with law enforcers and judges. The approaches of research problems used are the approaches of statutory laws, concept, case, and comparison. The research concludes that the determination of an autonomous, dependent, and independent corporation criminal liability model criteria is required. Autonomous model requires that corporation liability does not depend on and is not related to the liability of its management at all since the faults of a corporation are not originated from the attribution of its management’s faults individually. There are four criteria in the autonomous model, namely: first, the act of management is the act of a corporation; second, the act of management is conducted for and for the interest of a corporation and there is no individual interest of the management; third, the faults of a corporation come from the attribution of the faults of a corporation’s acts; and fourth, the allocation of liability is only imposed to corporation, without imposing liability to management. The dependent model requires that the allocation of faults and liability of a corporation depends on the proven faults of management regarding a corruption crime. There are two dependent model criteria namely corporation liability over the receipt of proceeds of corruption crime and/or corporation liability as a facility for corruption crime. The independent model requires corporation liability to be submitted collectively with its management in which the construction of a corporation’s faults is distinguished from its management by accommodating original or organizational faults over a reaction during the occurrence of corruption and/or corporation cultures that trigger corruption. This research recommends the reformulation of Corruption Law and the formation of relevant jurisprudence through corporation criminal liability model criteria."
Jakarta: Fakultas Hukum, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>