Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176842 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Annisaa Nurbaiti
"ABSTRAK
Pada dasarnya hukum perkawinan di Indonesia menganut asas monogami.
Namun dalam asas monogami ini terdapat beberapa pengecualian sehingga tidak
bersifat monogami mutlak. Dalam beberapa keadaan poligami dapat dilakukan.
Poligami tersebut diakui oleh undang-undang perkawinan Indonesia. Dalam
kaitannya dengan poligami, timbul dua permasalahan yang akan dikaji dalam
penulisan ini. Pertama, upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh seorang isteri
Pegawai Negeri Sipil terhadap poligami yang tidak sesuai dengan peraturan
perkawinan bagi Pegawai Negeri Sipil, kedua apakah pertimbangan Hakim
Pengadilan Agama Makassar dalam Putusan No. 1098/Pdt.G/2011/PA.Mks telah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Metode yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode
penelitian hukum normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder dengan
menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier. Dalam melakukan analisis dipergunakan metode pendekatan kualitatif
yang menghasilkan sifat deskriptif analitis. Berdasarkan penelitian tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa upaya hukum yang dapat dilakukan seorang isteri,
khususnya isteri Pegawai Negeri Sipil yang dipoligami tidak sesuai dengan
ketentuan hukum perkawinan berlaku adalah pencegahan dan pembatalan
perkawinan. Kemudian Putusan Pengadilan Agama Makassar dalam Putusan No.
1098/Pdt.G/2011/PA.Mks telah sesuai dengan undang-undang dan peraturan
perundang-undangan lain yang berlaku yang terkait dengan perkawinan,
khususnya bagi PNS. Namun majelis hakim tidak menjadikan Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990
Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil sebagai salah
satu pertimbangan hukum

ABSTRACT
According to Indonesian Law of Marriage, Indonesia embraces
monogamy principle. However, in this monogamy principle there are several
exceptions resulting it to be not absolute. In many circumstances polygamy can be
done legally. Poligamy is recognized by the Act of Marriage in Indonesia. In
relation with poligamy, then emerged two problems that will be discussed in this
paper. First, what kind of law effort that can be taken by the government
employee?s first wife if her husband?s polygamy is done not in accordance with
the Act of Marriage and Government Regulation No. 10 Year 1983 as revised by
Government Regulation No. 45 Year 1990 concerning Marriage Consent and
Divorce to the Government Employee. Second, whether Verdict No.
1098/Pdt.G/2011/PA.Mks has already in line with the existing law and regulations
concerning marriage. The research method used in this writing is normative legal
researh method. It uses secondary data by primary law sources, secondary law
sources, and also tertiary law sources. In analyzing the data, qualitative approach
is used producing a descriptive analytical result. According to the research we can
make a conclusion that legal effort than can be done by a wife whose husband is a
government employee and the husband conduct a polygamy that is not in
accordance with the Act of Marriage and Government Regulation No. 10 Year
1983 as revised by Government Regulation No. 45 Year 1990, she can claim for
prevention and cancellation of her husband?s second marriage. Beside those two
things, she can also asked for her husband to be fined. And that the Verdict No.
1098/Pdt.G/2011/PA.Mks in is already in line with the existing law and
regulations concerning marriage but the Judges did not include the Government
Regulation No. 10 Year 1983 as revised by Government Regulation No. 45 Year
1990 in their law considerations.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43790
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Manullang, Octaviani
"Pasal 7 ayat (3) huruf a PP 10/1983 mengatur bahwa Izin untuk bercerai tidak
dapat diberikan oleh Pejabat apabila bertentangan dengan ajaran agama yang
dianut oleh PNS yang bersangkutan. Sebagaimana disabdakan oleh Tuhan
Yesus dalam Injil Markus 10: 6-9, bahwa “apa yang telah dipersatukan Allah,
tidak boleh diceraikan manusia”, maka kepada setiap orang yang telah
menikah berdasarkan ajaran agama Katolik, tidak dapat dilakukan perceraian.
Berdasarkan ketetuan tersebut, maka akibat yang seharusnya terjadi terhadap
PNS beragama Katolik adalah tidak dapat dilakukannya perceraian.
Berdasarkan penelitian normatif-empiris yang Penulis lakukan dan analisa
terhadap 5 putusan terkait, dapat disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 7
ayat (3) huruf a PP 10/1983 telah tidak efektif diterapkan karena tidak pernah
dijadikan sebagai dasar hukum dalam memecahkan masalah perceraian yang
melibatkan PNS beragama Katolik sebagai Penggugat atau Tergugat di
dalamnya. Hal ini karena Majelis Hakim lebih mengedepankan syarat
perceraian dalam Pasal 19 PP 9/1975 jo. Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan.

Article 7 Paragraph (3) (a) of Government Regulation Number 10 of 1983
regulates that permission to divorce cannot be granted by the official if it is
against the religious teaching of the relevant civil servant. As stated by Jesus
in the Gospel of Mark 10: 6-9, “what God has united cannot be divorced by
humans”, then anyone who has been married under the Canonic Law cannot
be divorced. The consequence of these provisions is that Catholic Civil
Servants cannot divorce their spouse. Based on normative-empirical research
that the Author conducted and the analysis of 5 related court decisions, it can
be concluded that the provision in Art. 7 Par. (3) (a) of GR 10/1983 has not
been effectively applied because it was never used as a legal basis in solving
divorce proceedings involving Catholic Civil Servants. This is because the
Panel of Judges prioritizes the terms of divorce in Art 19 GR 9/1975 juncto
Art 39 Par. (2) Marriage Law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Danty Patabai W.
"Berdasarkan ketentuan dalam hukum perkawinan Indonesia, asas monogami tidak berlaku secara mutlak. Dalam hal ini, terhadap asas monogami masih dimungkinkan adanya pengecualian. Poligami sebagai penyimpangan asas monogami diakui oleh undang-undang perkawinan. Dalam kaitannya dengan poligami kemudian muncul dua permasalahan kesimpulan bahwa Undang-Undang Perkawinan beserta peraturan pelaksanannya telah memberikan perlindungan hukum terhadap seorang Isteri dalam kaitannya dengan Poligami Yang Dilakukan Oleh Suami. Poligami hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin pengadilan agama. Dalam memberikan izin, pengadilan agama akan mendengar keterangan dari isteri pertama dan juga mendapat persetujuan dari isteri pertama tersebut. Pemberian izin pengadilan yang didasarkan pada persetujuan istri merupakan wujud perlindungan nyata, dimana suami hanya boleh berpoligami jika isterinya menyetujuinya. Pemberian persetujuan isteri tersebut merupakan wujud perlindungan hukum bagi isteri. Dalam hal seorang isteri, khususnya isteri Pegawai Negeri Sipil mengalami Poligami yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum, maka Isteri dapat mengajukan pembatalan perkawinan terhadap pernikahan kedua suaminya. Disamping pembatalan perkawinan, Isteri juga dapat meminta dijatuhkan sanksi administratif terhadap suaminya yang berstatus sebagai Pegawai Negeri sipil untuk dipecat dari jabatannya. Bahkan dari aspek pidana dapat melaporkan suaminya ke pihak yang berwajib untuk diproses secara Pidana karena melanggar Pasal 279 KUHP.

According to Indonesian law of Marriage, monogamy is not absolute. In this matter, there still exception according monogamy. Polygamy is the exception of monogamy which ruled by the act of marriage. So, there are two problems reveal to be discussed in this paper. First, how is the law protection to a wife concerning to polygamy. Second, what kind of law effort that can be taken by the government employee first wife's if his husband polygamy not accordance with the act of marriage and government regulation number: 10 in the year 1983 as revised by government regulation number: 45 in the year 1990 concerning marriage consent and divorce to the government employee. This research is a normative law research, by using case study to the court decision. This research use secondary data by primary law sources, secondary law sources and also tertiary law sources. This is a descriptive evaluative by using qualitative analysis. According to that research we can make a conclusion for polygamy, that is: the act of marriage and it government regulation has given law protection towards a wife related to polygamy. Polygamy must be done after acquire a consent from the religion court. Before that, the court of religion will hear opinion and also permission from his first wife. The court consent based on agreement from his first wife and this is aimed to give law protection for a wife. If polygamy done by the government employee and it is not accordance with the act of marriage and it government regulation, so that his wife can claim for abortion of his second marriage, besides that his wife can also claim for administrative sanction that can cause fired from his occupation. Even from crime aspect, she can claim his husband to proceed in criminal way according article 279 KUHP.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19568
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rina R. Novianti
"Tesis ini membahas tentang Bagaimana Prosedur dan Tata Cara Perceraian bagi Pegawai Negeri sipil dan apakah pelaksanaannya sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1983 tentang izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil, bentuk penelitian dalam tesis ini merupakan Yuridis Normatif. dalam melakukan penelitian penulis menganalisa Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 341/Pdt.G/2009/PA.DPK.
Tesis ini memberikan kesimpulan bahwa berdasarkan analisa putusan pengadilan bahwa prosedur pelaksanaannya sudah sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1983 tentang izin Perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil Saran penulis di dalam penulisan ini adalah dalam rangka menciptakan aparatur pemerintah yang disiplin serta tertib administrasi untuk terwujudnya pemerintahan yang baik, diperlukan aparatur negara yang taat terhadap ketentuan perundang-undangan.

This thesis discusses about How Divorce Procedures and Procedures for Civil Servants and whether the implementation is in accordance with Government Regulation Number 45 Year 1990 regarding Amendment to Government Regulation No.10 of 1983 on Marriage and Divorce permit Civil Servants, form of research in this thesis is a Juridical Normative. in conducting the study authors analyzed the Religious Court Decision No. 341/Pdt.G/2009/PA.DPK Depok.
This thesis gives the conclusion that based on the analysis of court decisions that implementation procedures are in accordance with the provisions of Government Regulation Number 45 Year 1990 regarding Amendment to Government Regulation No.10 of 1983 concerning marriage and divorce licenses Civil Service Advice writer in this writing is in order to create government apparatus and the orderly administration of discipline for the realization of good governance, the state apparatus is required to obey the statutory provision.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T21737
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Chandra Kimono
"Poligami dan perceraian sering menimbulkan perbedaan pendapat
dalam Masyarakat Indonesia yang majemuk. Bahkan dalam era setelah adanya unifikasi hukum perkawinan, hukum dan agama yang bersangkutan masih menentukan kebolehan untuk berpoligami dan melakukan perceraian. Undang-undang kebolehan untuk berpoligami dan melakukan perceraian. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 sebagai unifikasi hukum perkawinan yang berlaku bagi seluruh warganegara Indonesia, menganut asas monogami tidak mutlak sehingga poligami sebagai pengecualian diperbolehkan apabila memenuhi syarat-syarat alternatif dan kumulatif. Sedangkan, mengenai perceraian undang-undang No. 1 tahun 1974 menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian dengan alasan-alasan yang ditentukan secara limitatif. Dua prinsip tersebut tetap dipertahankan dalam peraturan pemerintah No. 10 tahun 1983 dan peraturan pemerintah no. 45 tahun 1990, yang juga mengatur poligami dan perceraian bagi pegawai negeri sipil, karena kedudukannya sebagai aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat sehingga pegawai negeri sipil harus memperoleh izin sebelum melakukan perkawinan atau bercerai."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1994
S20517
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denny Tanujaya
"Pegawai negeri adalah setiap Warga Negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri,atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pegawai negeri yang dibahas dalam tulisan ini adalah pegawai negeri sipil pusat dan pegawai negeri sipil daerah. Disiplin pegawai negeri adalah kesanggupan pegawai negeri sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang di tentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak dipatuhi akan dijatuhi hukuman disiplin. Peraturan tentang disiplin pegawai negeri dimulai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah tahun 1950 dan pada tahun 1952 Peraturan Pemerintah ini dicabut dan digantikan dengan Peraturan Pemerintah Tahun 1952 tentang Hukuman Jabatan. Peraturan Pemerintah Tahun 1952 bertahan sampai akhir tahun 1980, dan pada Agustus tahun 1980, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sejak kejatuhan Soeharto diakhir tahun 1998, muncul desakan untuk melakukan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi memiliki peran dalam lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri. Beberapa alasan pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980, diantaranya adalah: dalam kurun waktu 29 (dua puluh sembilan) tahun telah banyak perubahan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian, Tidak ada klasifikasi kewajiban dan larangan yang dikaitkan dengan jenis hukuman disiplin, sehingga tidak tampak adanya hubungan antara pelanggaran dan jenis hukuman, pengaturan mengenai ketidak hadiran masih terlalu longgar. Pada juni tahun 2010, lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS, beberapa kelebihan dalam Peraturan Pemerintah ini adalah pengaturan tentang ketentuan masuk kerja yang lebih ketat, adanya klasifikasi yang jelas antara pelanggaran dengan sanksi hukuman disiplin yang diterima, adanya sanksi hukuman bagi pejabat yang tidak menjatuhkan hukuman disiplin, dan mengenal hitungan kumulatif untuk masalah ketidakhadiran. Dengan keberadaaan Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010, diharapkan pegawai negeri sipil lebih bersungguh-sungguh dalam melaksanakan fungsi pelayanan kepada masyarakat.

Civil servants is every Republic of Indonesia citizens who have met specified requirement, appointed by authority official and assigned in a one of government position or another state duty, and be paid based on valid legislation regulation. Civil servants discussed in this final task are central and regional ones. Discipline of civil servants is an ability of civil servants to obey obligation and avoid prohibition which had been determined in legislation regulation and/or service regulation, disobedience will get discipline punishment. Regulation about discipline of civil servants began by publishing government regulation year 1950 and on 1952 it stopped and changed by government regulation year 1952 about function punishment. Government regulation year 1952 lasted up to end of 1980, and on August 1980 government established Government Regulation Year 1980 About Civil Servants Discipline Regulation. Since collapsing of Soeharto era by the end of 1980, it appeared enforcement to conduct bureaucracy reformation. Bureaucracy reformation has its role in establishing of Government Regulation No. 53 Year 2010 about Civil Servants Discipline. Some reasons of Government Regulation No 30 Year 1980 revocation, are: in 29 (twenty nine) years era had been many changes of legislation regulation in officialdom field, there were not classification of obligation and prohibition related to type of discipline of punishment, so there is not relationship between infraction and type of punishment, absence regulation were too slight. On June 2010, it appeared Government Regulation No 53 year 2010 about Discipline of Civil Servants, several superiors of it are regulation about work provision is stricter, clear classification between infraction and received discipline sanction, and has accumulative counting regards to absence. By the presence of Government Regulation No. 53 year 2010, it is expected that civil servants are more seriously in implementing their service function for public.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S307
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
R. Ida Rojani
"Pajak bersifat memaksa dan dapat dipaksakan. Disamping kewajiban, Wajib Pajak juga diberikan hak-hak. Wajib Pajak mempunyai hak yang mendasar yaitu mengajukan Keberatan, Banding dan Gugatan. Gugatan diatur dalam pasal 23 Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Untuk petunjuk pelaksanaan diatur dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2011. Hal-hal yang dapat diajukan sebagai Gugatan diatur pada pasal 23 Undang- Undang tentang Ketentuan Umum Perpajakan yang memberikan secara luas kepada Wajib Pajak mengenai hal-hal yang dapat diajukan Gugatan. Sementara dalam PP No. 74 tahun 2011 sebagai Petunjuk Pelaksanaan dari Undang-Undang KUP tersebut dalam Pasal 37 menyebutkan tentang Gugatan yang tidak dapat diajukan atau adanya pembatasan mengenai hal-hal yang bisa diajukan Gugatan. Dengan demikian Undang-Undang sendiri memberikan rumusan yang lebih luas mengenai apa saja yang diajukan sebagai gugatan, tetapi di Peraturan Pemerintah dibatasi hal-hal yang tidak bisa diajukan sebagai Gugatan.

Taxation is coercive and can be enforced. Besides liability, the taxpayer is also granted rights. Taxpayers have a right fundamental objection is filed, Appeal and Lawsuit. The lawsuit provided for in article 23 of the Law on General Provisions and Tax Procedures. For guidelines set out in Article 37 of Government Regulation No. 74 of 2011. The things that can be submitted as stipulated in Article 23, Claims Act on General Rules of Taxation which gives broadly to taxpayers on matters that may be filed lawsuit. While the PP. 74 in 2011 as the directive implementation in Article 37 mentions the lawsuit can not be filed or the restriction of the things that can be filed lawsuit. Thus the Law itself provides a broadly defined as to what is proposed as a lawsuit, but in limited government regulation of things that can not be filed as a lawsuit.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T34969
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>