Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172286 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elisa Intania
"ABSTRAK
Perkawinan beda kewarganegaraan atau sering disebut perkawinan
campuran merupakan fenomena di Indonesia, khususnya di kalangan artis.
Terdapat beberapa organisasi di Indonesia yang para anggotanya adalah pasanganpasangan
berbeda kewarganegaraan.. Pada umumnya sebuah keluarga
menginginkan keluarga yang kekal dan bahagia. Namun dalam kenyataannya,
perjalanan sebuah keluarga tidak selalu mulus dan ada kemungkinan terjadinya
penyimpangan dari apa yang sudah direncanakan sebelumnya oleh setiap
pasangan. Ketika terjadinya benturan antara suami isteri secara terus menerus
dapat menimbulkan perceraian. Akibat perceraian dalam perkawinan campuran
sama seperti dalam perkawinan biasa, tetapi lebih rumit karena pasangan tersebut
berbeda kewarganegaraan. Khususnya akibat perceraian terhadap harta bersama,
dimana harta bersama tidak hanya terletak di Indonesia tetapi juga terletak di luar
negeri. Yang menjadi pokok permasalahan disini adalah mengenai eksekusi harta
bersama yang terletak di luar negeri dan keberlakuan Putusan Hakim Asing di
Indonesia. Selain itu juga apabila sudah terjadinya perkawinan, dapatkah
dilakukan perjanjian perkawinan. Kemudian mengenai Pasal 35-37 yang dapat
dikatakan tidak tegas dalam mengatur mengenai harta bersama dan pembagian
harta bersama pada pasangan yang berbeda kewarganegaraan. Bentuk penelitian
yang dilakukan adalah yuridis normatif, yang menekankan pada penggunaan data
primer dan data sekunder. Dapat penulis simpulkan bahwa perjanjian perkawinan
hanya dapat dilakukan sebelum dan pada saat berlangsungnya perkawinan, hal ini
dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan. Oleh karena itu, jika adanya perjanjian perkawinan akan
lebih mudah mengatur harta masing-masing. Selanjutnya mengenai eksekusi harta
di luar negeri tidak dapat dilakukan karena hukum Indonesia hanya berlaku di
Indonesia saja, jadi apabila ingin mengeksekusi harta yang terletak di luar negeri
dapat mengajukan gugatan baru di Negara tempat benda tersebut berada,
begitupun juga sebaliknya. Mengenai Pembagian harta bersama perlu dipertegas
karena untuk pasangan beda kewarganegaraan terpaut dua sistem hukum
perkawinan yang berbeda.

ABSTRACT
Marriages of different nationalities or often called mixed marriages is a
phenomenon in Indonesia, especially among celebrities. There are several
organizations in Indonesia whose members are mixed marriage couples. In
general, every husband and wife wants a long lasting and happy family. But in
reality, down the road is not always smooth sailing and there are possibilities of
deviation from what was planned in advance by each partner. Constant conflicts
between a husband and wife may cause divorce. The effect of divorce in mixed
marriage couples are the same as marriages where both parties are the same
nationality. For instance, joint property which are located abroad. The issue here
is concerning the execution of joint property located in another country and the
validation of foreign Judges verdict. In addition, concerning the prenuptial
agreement if the marriage has been held beforehand, because in Article 29 of Act
No. 1/1974 states that a prenuptial agreement is to be made before or at the time
of the Matrimonial Ceremony. Aside from that, divisions of joint property stated
in Article 35-37 of Act No. 1/1974 can be said that it is not expressly regulated for
mixed marriage couples. The form of research conducted in this Undergraduate
Thesis is normative juridical, which emphasizes on the use of primary data and
secondary data. In conclusion, prenuptial agreement should be made before or at
the time of the Matrimonial Ceremony. Therefore, with the existence of this
prenuptial agreement, joint property is easily divided. Further regarding the
execution of joint property which is located abroad could not be executed because
the Judges verdict only applies in Indonesia alone. To execute joint property
located abroad, the plaintiff may file a new lawsuit in the country where the object
is located, and vice versa. Regarding joint property in Article 35-37 of Act No.
1/1974 needs to be expressly regulated to resolve disputes between mixed
marriage couples.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42569
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aby Haryono
"Perkembangan e-commerce di dunia menimbulkan kebutuhan terhadap sistem pembayaran yang cepat, aman dan rahasia, selain alat pembayaran konvensional seperti transfer tunai dan kartu kredit juga dikembangkan alat pembayaran baru salah satunya adalah Bitcoin, Bitcoin adalah serangkaian kode pemograman yang kemudian diamankan menggunakan kriptografi yang oleh komunitas tertentu digunakan sebagai alat pembayaran. Skripsi ini akan membahas mengenai alat pembayaran Bitcoin berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE), Undang-Undang No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Undang-Undang Mata Uang), Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta teori terkait dengan alat pembayaran serta kebendaan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan undang-undang. Penulis menggunakan bahan hukum primer, seunder, maupun teresier dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Bitcoin ataupun alat pembayaran kriptografi lainnya di Indonesia tidak tepat dikatakan sebagai mata uang ataupun benda (barter) melainkan merupakan sistem informasi yang memiliki sifat seperti uang, penyelenggaraan sistem Bitcoin di Indonesia serta penggunaanya di Indonesia juga bertentangan dengan Undang-Undang sehingga Bitcoin seharusnya tidak boleh beroperasi di Indonesia.

Developments in the world of e-commerce payment systems raises the need for fast, secure and confidential payment systems, in addition to the conventional means of payment such as cash transfers and credit card payments are also developed new tools one of which is Bitcoin, Bitcoin is a series of programming code that is then secured by the use of cryptographic, certain communities are used as means of payment. This thesis will discuss the Bitcoin payment instruments based on Law No.. 11 of 2008 on Information and Electronic Transactions (ITE Law), Act 7 of 2011 on Currency (Currency Act), Act 8 of 1999 on Consumer Protection and theories associated with tool payments as well as material. This study uses the approach of normative legal research legislation. The author uses primary legal materials, seunder, and teresier using a qualitative approach. Bitcoin payments or other cryptographic tool in Indonesia is not correct to say as currency or objects (barter) but rather an information system that has properties such as money, Bitcoin system implementation in Indonesia as well as its use in Indonesia is also contrary to the Act so that Bitcoin should not be allowed to operate in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55835
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Refyanto
"Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wan ita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Dapat disimpulkan bahwa pada dasamya suatu ikatan perkawinan dimaksudkan untuk membentuk suatu ikatan kekal yang berlangsung untuk seumur hidup akan tetapi dalam kenyataannya suatu perkawinan dapat putus karena beberapa sebab yaitu selain karena perceraian dan kematian putusnya perkawinan juga dapat disebabkan karena putusan pengadilan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 38 Undang Un dang No 1 tahun 1974 Apabila terjadi suatu perceraian maka akan timbul akibat akibat hukum dari perceraian tersebut Akibat hukum yang pertama adalah akibat hukum terhadap hubungan suami istri kemudian hubungan hukum antara orang tua dan anak anak mereka selain itu juga menimbulkan akibat hukum terhadap harta benda yang mereka miliki selama perkawinan tersebut berlangsung Undang Undang No I Tahun 1974 tidak mengatur secara khusus tentang harta benda perkawinan akibat perceraian atau putusnya perkawinan tetapi mengenai hal tersebut Pasal 37 menyebutkan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing masing Pasal ini memiliki pengertian bahwaapabila terjadi perceraian maka para pihak berhak memilih aturan hukum yang akan digunakan untuk men gurus pembagian harta bersama diantara keduanya baik hukum adat masing masing aturan agama masing masing maupun hukum perdata barat Hal ini kemudian seringkali menimbulkan konflik dimana masing masing pihak tidak setuju atas pembagian harta bersama karena masing masing pihak merasa berhak atas bagian yang lebih besar dari pasangannya Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder sedangkan dalam metode analisis data mempergunakan metode pendekatan kualitatif Penelitian ini memberikan hasil sifat deskriptif analitis yang memberikan gambaran secara luas terhadap fakta yang melatarbelakangi pennasalahan kemudian dengan cara menganalisis fakta dengan data yang diperoleh untuk dapat memberikan alternatif pemecahan masalah melalui analisis yang telah dilakukan.

Article I of Law No 1 of 1974 states that marriage is a bond between the inner and outer man with one woman as husband and wife with the intention of forming families households are happy and eternal based on God It can be concluded that in essence a marriage is intended to form an eternal bond that lasts for a lifetime but in reality a marriage can break up for many reasons which in addition to divorce and death rupture of marriage can also be caused due to a court decision as contained in Article 38 of Law No 1 of 1974 In the event of a divorce then there will be legal consequences of divorce As a result of the rust law is the legal effect of the marital relationship then the legal relationship between parents and their children but it also raises legal consequences to their property during the marriage takes place Law No 1 of 1974 does not specifically regulate marital property due to divorce or the breakdown of a marriage but on the subject of Article 37 states that if the marriage broke up because of divorce community property is set according to its own laws This article has the sense that ifthere is a divorce the parties are entitled to choose the law that will be used to take care of the division of matrimonial property between them both their respective customary laws the rules of their religion or civil law west This then often leads to conflicts in which each of the parties do not agree on the division of matrimonial property because each party was entitled to a larger share of their partner The method used in this paper is the method of normative legal research using secondary data whereas the methods of data analysis using a qualitative approach This study provides descriptive nature of the analytical results provide broad overview of the facts underlying the issue then by analyzing the data obtained with the facts to be able to provide alternative solutions to problems through the analysis that has been done."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S54554
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fadil Moestar. author
"Skripsi ini membahas regulasi Holding Company di Indonesia. Sebagaimana yang kita ketahui, konsep dari Holding Company adalah konsep yang umum di berbagai Negara tetapi hal tersebut berbeda di Indonesia, bahwa konsep ini tidaklah umum. Pada kenyataanya, Indonesia mempunyai peraturan perundangundangan yang mengatur tentang Holding Company. berdasarkan permasalahan tersebut, penulis mencoba untuk mengajukan pokok permasalahan, yang dimana adalah sebagai berikut :1. Bagaimanakah pengaturan Holding Company yang tersebar di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia? 2. Bagaimanakah urgensi dari harmonisasi dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia? Dibagian terakhir dari skripsi ini, penulis mendapatkan kesimpulan bahwa pengaturan Holding Company di Indonesia tidak konsisten.

This thesis is discusses about the regulations of Holding Company in Indonesia. As we know it, the concept of Holding Company is common concept in many country but in Indonesia, this concept is not common. In fact, Indonesia has a regulations that regulated the Holding Company. Based on that problems, the writer tried to submit the reseacrh questions, which are : 1. How is the regulation of Holding Company that distributed in legislation that applies in Indonesia? 2. How is the urgency of harmonisation regulation of holding company in Indonesia?. In a last part this thesis, the writer get the conclusion that the regulation of holding company is not consistent."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S59123
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imansyah Auliaputra Mahidin
"Skripsi ini membahas mengenai hubungan perkawinan dengan pengakuan anak luar kawin menurut peraturan perundang - undangan di Indonesia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan metode kualitatif dan tipe penelitian deskriptif. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengubah ketentuan Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan sehingga anak yang dilahirkan di luar perkawinan dapat memiliki hubungan keperdataan tak hanya dengan ibu dan keluarga ibu namun juga dengan ayah dan keluarga ayah selama dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan / atau alat bukti lain mempunyai hubungan darah. Untuk dapat memiliki hubungan keperdataan dilakukan pengakuan anak luar kawin yang diatur oleh KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 sebagai peraturan terbaru setelah Putusan Mahkamah Konstitusi dikeluarkan. Hasil penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, pengakuan anak luar kawin tetap harus memenuhi syarat yang terdapat dalam Pasal 49 ayat 2 Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2013 dan Hakim tidak konsisten menerapkan dasar hukum dalam mengabulkan Penetapan No. 175/Pdt.P/2015/PN.JKT.TIM.

This undergraduate thesis discusses about relation between marriage and child acknowledgment according to regulations in Indonesia after Constitutional Court Order Number 46 PUU VIII 2010. This research used normative juridical and qualitative method with descriptive as type of research. The Constitutional Court Order Number 46 PUU VIII 2010 change the condition of Article 43 verses 1 Law Number 1 Year 1974 which a child born out of lawful wedlock could have civil relationships not only with the mother and her family but also with the father and his family as long as it can be proven by science and technology and or other evidence resulting a blood relation. To acquire civil relationship, child acknowledgment could be done which is regulated under Book of the Law of Civil Law, Law Number 23 Year 2006, and Law Number 24 Year 2013 as the newest regulation after the Constitutional Court Order. The conclusions are after the Constitutional Court Number 46 PUU VIII 2010, child acknowledgment still have to qualify the term regulated by Article 49 verses 2 Law Number 24 Year 2013 and panel of Judges has been inconsistent in case of applying legal basis to grant Court Order Number 175 Pdt.P 2015 PN.JKT.TIM.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Shabira Putri
"Skripsi ini membahas mengenai bagaimana harta bersama diatur baik dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam. Menurut Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, pembagian harta bersama ditentukan setengah bagian untuk masing-masing suami istri, namun dalam Putusan Pengadilan Agama Bengkalis No. 0282/Pdt.G/2015/PA. Bkls, hakim memutuskan bagian harta bersama yang berbeda dari apa yang ditentukan dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu 1/3 bagian untuk istri dan 2/3 bagian untuk suami. Berdasarkan hal tersebut, Peneliti mengajukan pokok permasalahan, yaitu: 1. Bagaimanakah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai harta bersama dan pembagiannya dalam hal terjadi perceraian?; 2. Apakah pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Bengkalis Nomor 0282/Pdt.G/2015/PA. Bkls sudah tepat berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam? Bentuk penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis.
Pada akhirnya, Peneliti memperoleh kesimpulan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyerahkan pengaturan mengenai pembagian harta bersama kepada hukumnya masing-masing, sedangkan Kompilasi Hukum Islam mengatur masing-masing suami istri mendapatkan setengah bagian dari harta bersama. Peneliti juga memperoleh kesimpulan bahwa pertimbangan hukum hakim dalam putusan yang dibahas dalam penelitian ini adalah kurang tepat karena istri juga telah berkontribusi dengan baik dalam usaha mendapatkan harta bersama sehingga berhak untuk mendapat bagian harta bersama yang sama dengan suami.

This thesis focuses on how joint assets are regulated, both in Law No. 1 of 1974 and Compilation of Islamic Law. According to the Article 97 of Compilation of Islamic Law, the division of joint assets are determined half portions for each husband and wife, but the Bengkalis Religious Court Judgment No. 0282/Pdt.G/2015/PA.Bkls gave a different portion from what has been determined in Compilation of Islamic Law, 1/3 for the wife and 2/3 for the husband. Based on the preceding, the Writer formulated and discussed the following problems: 1. How Law No. 1 of 1974 on Marriage and the Compilation of Islamic Law regulates the joint asset and its distribution as a result of divorce?; 2. Is the judge in the Bengkalis Religious Court Judgment No. 0282/Pdt.G/2015/PA.Bkls had a proper legal considerations based on Law No. 1 of 1974 on Marriage and the Compilation of Islamic Law? This research is in the form of a normative juridical with the type of descriptive analytical research.
At the end, the Writer arrived at the conclusion that Law No. 1 of 1974 handed regulations regarding the joint assets division to the respective laws, while the Compilation of Islamic Law regulates that each husband and wife get half of the joint assets. The Writer also came to the conclusion that the judge?s legal considerations in the judgment discussed in this research are less proper because the wife has contributed well in the attempt to gain the joint assets so she is entitled to get a same portion of the joint assets with her husband.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S63748
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Saskia Khairunisa
"Tesis ini membahas perkara pembagian harta bersama dalam perkawinan campuran pada Putusan No. 162/Pdt.G/2017/PN.Mtr atas tanah dan bangunan yang merupakan atas nama Tergugat namun dipinjam namanya oleh WNA untuk kemudian dijual kepada pihak lainnya yang merupakan WNI. Oleh karena itu permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai pengaturan pembagian harta bersama dalam perkawinan campuran atas tanah dan bangunan yang terikat nominee agreement dan penerapan hukum oleh Majelis Hakim pada perkara a quo. Bentuk metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian yuridis-normatif dengan statues dan case approach yang mana data penelitian kemudian dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pembagian harta bersama atas putusnya perkawinan campuran karena perceraian tanpa adanya perjanjian perkawinan didasarkan atas Pasal 17 AB jo. Pasal 37 UU Perkawinan dengan memperhatikan agama para pihak dan keabsahan kepemilikan harta benda. Dapat disimpulkan pula bahwa penerapan hukum oleh Majelis Hakim pada Putusan No. 162/Pdt.G/2017/PN.Mtr dalam aspek hukum perdata materiil kurang tepat sebab Penggugat Intervensi bukanlah pemilik karena bukan pembeli yang beriktikad baik namun dalam aspek hukum perdata formil, penerapan hukum telah dilakukan dengan cukup baik mengingat lingkup perkara perdata ditentukan para pihak yang bersengketa. Oleh karena itu pelaku perkawinan campuran hendaknya menyusun perjanjian perkawinan melalui notaris secara jujur dan terbuka mengenai pemisahan harta selain dilakukannya amandemen terhadap peraturan-peraturan terkait.

This thesis discusses the case of division of matrimonial property in mixed marriages in Decision No. 162/Pdt.G/2017/PN.Mtr on land and buildings that are in the name of the Defendant but acted as nominee for WNA to be later sold to other party who are WNI. Therefore, the problem studied in this study is about the arrangement of the division of matrimonial property in mixed marriages on land and buildings bound by the nominee agreement and the application of law by the Judiciary in a quo case. To answer these problems, the research is conducted in a normative form in which the research data is then analysed qualitatively with a prescriptive approach. Based on the results of the study, it can be concluded that the division of matrimonial property on the dissolution of a mixed marriage due to divorce without a marriage agreement is based on AB jo. Article 37 of the Marriage Law by paying attention to the religion of the parties, the existence of common property.. It can also be concluded that the application of the law by the Judges in Decision No. 162/Pdt.G/2017/PN.Mtr in the aspect of material civil law is less appropriate because the Intervention Plaintiff is not the owner because he is not a good faith buyer but in the aspect of formal civil law, the application of the law has been done fairly well given that the scope of civil cases is determined by the disputing parties. Therefore, the author recommends that the perpetrator of a mixed marriage enter into a marriage agreement through a notary honestly and openly regarding the separation of property in addition to the amendment of the relevant regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luh Putu Adinda Martatilova
"Bagi perusahaan, pajak yang dikenakan terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh dapat dianggap sebagai biaya (cost) atau beban (expense) dalam menjalankan usaha. Biaya pajak akan menurunkan laba setelah pajak (after tax profits), tingkat pengembalian (rate of returns), dan arus kas (cash flows). Minimalisasi beban pajak kemudian dilakukan perusahaan dengan melakukan suatu perencanaan pajak (tax planning). Umumnya perencanaan pajak merujuk pada proses merekayasa usaha dan transaksi Wajib Pajak supaya utang pajak berada dalam jumlah yang minimal, tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan. Upaya yang demikian kerap disebut sebagai penghindaran pajak (tax avoidance).
Di banyak negara, penghindaran pajak dibagi menjadi penghindaran pajak yang diperbolehkan (acceptable tax avoidance) dan yang tidak diperbolehkan (unacceptable tax avoidance). Perbedaan keduanya timbul dari motivasi si Wajib Pajak, atau dari ada tidaknya moral hazard dari Wajib Pajak. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang berlaku saat ini belum memberikan definisi yang jelas mengenai penghindaran pajak (tax avoidance), penghindaran penghindaran pajak yang diperbolehkan (acceptable tax avoidance), penghindaran pajak yang tidak diperbolehkan (unacceptable tax avoidance), dan penyelundupan pajak (tax evasion). Hal ini menimbulkan penafsiran yang berbeda antara Wajib Pajak dan otoritas pajak, sehingga tidak terdapat kepastian hukum. Dari sudut pandang Wajib Pajak, mereka akan berpendapat bahwa sepanjang perbuatan tax avoidance yang mereka lakukan tidak dilarang, maka hal tersebut sah-sah saja (legal). Penelitian ini adalah penelitian normatif yang menghasilkan kajian preskriptif.
Hasil penelitian menyarankan bahwa Indonesia perlu membuat Peraturan Umum Anti Penghindaran Pajak atau General Anti Avoidance Rule (GAAR) yang terintegrasi dalam Undang-undang Pajak Penghasilan, yang memberikan definisi mengenai tax avoidance, acceptable tax avoidance, unacceptable tax avoidance, dan tax evasion demi mencapai kepastian hukum bagi fiskus dan Wajib Pajak, karena tax avoidance sering disalahgunkan untuk hal-hal yang merugikan penerimaan negara. Selain itu, perlu segera dikeluarkan peraturan-peraturan pelaksanaan akan Peraturan Khusus Anti Penghindaran Pajak atau Specific Anti Avoidance Rule (GAAR) yang dimiliki Indonesia dalam Pasal 18 UU PPh, dan tersebar pada pasal-pasal lainnya seperti Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (3), dan Pasal 6 ayat (1).

Every companies can deem the income tax as cost or expense in running the business. Tax will decrease after tax profits, rate of returns, and cash flow. The company then try to minimize their burden of tax by doing what so called "tax planning". Commonly, the tax planning make reference to process of cooking business and transactions, so the tax duty is minimum amount, but still in tax regulation-frame. That kind of process is frequently called "tax avoidance".
In many countries, tax avoidance is distinguished into "acceptable tax avoidance" and "un acceptable tax avoidance". Their difference depends on taxpayer's motivation, or from wether or not there is moral hazard. Law No. 36 of 2008 abourt Income Tax has not given clear definition about tax avoidance, acceptable tax avoidance, unacceptable tax avoidance, and tax evasion. This creates a different interpretation between taxpayer and tax authority, and makes no legal certainty. Taxpayer will have a notion that as far as no forbidden in tax avoidance, then that process is legal. This study is a normative study which results a prescriptive study.
The study gives some advices that Indonesia has to make a General Anti-Avoidance Rule (GAAR) that is integrated in Indonesian Income Tax Law. GAAR will give some definitons about tax avoidance, acceptable tax avoidance, unacceptable tax avoidance, and tax evasion, so that the legal certainty can be achieved. Otherwise, there is a need to create the implementation regulation for Indonesian Specific anti-Avoidance Rule (SAAR), which is attached in article 4 par. 1, article 4 par. 3, article 6 par. 1, and article 18 of Income Tax Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T35178
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Stefy Kamila Failasufa
"Penelitian ini menganalisis tentang bagaimana penanganan sengketa international child abduction yang terjadi setelah adanya perceraian dari sepasang suami istri yang telah melangsungkan perkawinan campuran beda kewarganegaraan. Perbedaan hukum yang berlaku antara suami dan istri, mempengaruhi status personal anak tersebut dalam berhadapan dengan hukum. International child abduction diatur dalam the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction 1980. Indonesia belum menandatangani konvensi tersebut sehingga penanganannya mengacu pada undang-undang nasional seperti Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Kewarganegaraan RI, dan Undang-Undang Kesejahteraan Anak. Penanganan kasus ini di Indonesia melibatkan instansi seperti KPAI, Kementerian Luar Negeri, dan Kedutaan Besar. Selain melibatkan instansi, pada umumnya proses pengembalian anak dalam penanganan international child abduction dapat mengikuti perjanjian bilateral antara kedua negara, tetapi Indonesia belum memiliki perjanjian bilateral terkait international child abduction dengan negara-negara seperti Amerika Serikat, Singapura, Belanda, dan Prancis. Salah satu yang menjadi permasalahan besar dalam menangani international child abduction di Indonesia adalah Indonesia belum menjadi negara anggota the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction dan belum meratifikasi konvensi tersebut. Penyelesaian international child abduction di pengadilan bisa menghasilkan putusan pengembalian anak atau penetapan hak asuh anak berdasarkan prinsip the best interest of the child dan prinsip habitual residence. Namun, sebagai negara yang belum meratifikasi konvensi, Indonesia masih menghadapi kesulitan dalam menangani kasus international child abduction secara efektif. Indonesia tentu membutuhkan regulasi berupa undang-undang yang jelas untuk menangani kasus international child abduction, yang mencakup Central Authority yang sesuai dengan konvensi untuk menjadi perantara antar negara, serta prosedur pengembalian anak tersebut ke negara asal atau negara habitual residence-nya.

This research analyses how to handle disputes of international child abduction that occur after the divorce of a couple who have conducted an intermarriage with different nationalities. The differences in the applicable laws between the husband and wife affect the personal status of the child when dealing with the law. International child abduction is regulated by the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction 1980. Indonesia has not signed this convention, so the handling in Indonesia refers to national laws such as the Child Protection Act, the Marriage Act, the Indonesian Citizenship Act, and the Child Welfare Act. The handling of this case in Indonesia involves institutions such as KPAI, the Ministry of Foreign Affairs, and the Embassy. Besides involving institutions, generally, the process of returning the child in the handling of international child abduction can follow bilateral agreements between the two countries, but Indonesia does not yet have bilateral agreements related to international child abduction with countries such as the United States, Singapore, the Netherlands, and France. One of the major issues in handling international child abduction in Indonesia is that Indonesia has not become a member state of the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction and has not ratified the convention. The resolution of international child abduction in court can result in a decision to return the child or the determination of child custody based on the principle of the best interest of the child and the principle of habitual residence. However, as a country that has not ratified the convention, Indonesia still faces difficulties in handling cases of international child abduction effectively. Indonesia certainly needs clear regulations in the form of laws to handle cases of international child abduction, which include a Central Authority in accordance with the convention to act as an intermediary between countries, as well as procedures for returning the child to the country of origin or their habitual residence country."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>