Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 94324 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Risca Dwi Wulandari
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran resiliensi korban erupsi Merapi serta mengkaji nilai budaya Jawa yang terkait dengan kemampuan resiliensi korban erupsi Merapi tersebut. Pengertian resiliensi yang dipakai merujuk pada lima karakteristik resiliensi dari Wagnild (2010), yaitu meaningfulness, perseverance, equanimify, self-reliance, dan existential aloneness. Gambaran resiliensi diperoleh dengan menggunakan alat ukur CD-RISC 10 (Connor & Davidson, 2003) dan nilai budaya Jawa diperoleh dari wawancara mendalam. Penelitian ini dilakukan di desa Krinjing yang merupakan salah satu desa yang terdekat dari puncak Gunung Merapi. Partisipan penelitian terdiri dari 17 orang yang berusia 20-30 tahun dan yang diwawancara mendalam adalah 3 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan mendapatkan skor resiliensi sedang dengan variasi skor yang beragam dari rendah sampai tinggi. Adapun nilai budaya Jawa yang terkait dengan kemampuan resiliensi korban erupsi Merapi adalah agama, sikap batin nrimo, ikhlas, dan gotong royong. Sejumlah saran untuk menindaklanjuti penelitian ini, termasuk mengatasi keterbatasan penelitian, disertakan, diantaranya adalah melakukan penelitian berikutnya dengan melibatkan masyarakat Gunung Merapi dari wilayah yang berbeda.

This study was conducted to gain picture of resilience among Merapi eruption victims, and to assess Javanese values associated with the resiliency ability among the victims. The concept of resiliency refers to the tive characeristic of resiliency from Wagnild (2010), and they are meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, and existential aloneness. Picture of resilience was obtained using the CD-RISC 10 (Connor & Daidson, 2003) while the Javanese cultural studies were obtained through interviews. Data were collected Krinjing village which is one of the nearest villages from the top of Mount Merapi. Altogether 17 participants of 20-30 years old took the questionnaire and three people were interviewed. The results indicate that most participants get a middle score of resilience. The Javanese cultural aspects associated with resiliency ability among
eruption victims are religion, nrimo, ikhlczs, and gotong royong. Recommendations for further research are included, such as involving people form other area of Mount Merapi.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Haonisa Shaumi
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran resiliensi penyintas erupsi Merapi serta mengkaji nilai, norma, dan/atau praktek budaya Jawa apa saja yang terkait dengan kemampuan resiliensi penyintas erupsi Merapi tersebut. Pengertian resiliensi yang dipakai merujuk pada lima karakteristik resiliensi dari Wagnild (2010), yaitu meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, dan existential aloneness. Gambaran resiliensi diperoleh dengan menggunakan alat ukur CD-RISC 10 (Connor & Davidson, 2003) dan kajian budaya Jawa diperoleh dari wawancara mendalam. Penelitian ini dilakukan di desa Krinjing yang merupakan salah satu desa yang terdekat dari puncak Gunung Merapi. Partisipan penelitian terdiri dari 18 orang yang berusia 31-40 tahun dan yang diwawancara mendalam adalah 3 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisipan berusia 31-40 tahun mendapatkan skor resiliensi sedang. Adapun budaya Jawa yang terkait dengan kemampuan resiliensi penyintas erupsi Merapi adalah keadaan nrima, iklas, rila dan sabar serta prinsip hidup rukun. Sejumlah saran untuk menindaklanjuti penelitian ini, termasuk mengatasi keterbatasan penelitian, disertakan.

This study was conducted to gain picture of resilience among Merapi eruption survivors, and to assess Javanese values, norms, and/or cultural practices associated with the resilience ability among the survivors. The concept of resilience refers to the five characeristic of resilience from Wagnild (2010), and they are meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, and existential aloneness. Picture of resilience was obtained using the CD-RISC 10 (Connor & Daidson, 2003) while the Javanese cultural studies were obtained through interviews. Data were collected Krinjing village which is one of the nearest villages from the top of Mount Merapi. Altogether 18 participants of 31-40 years old took the questionnaire and three people were interviewed. The results indicate that most participants get a middle score of resilience. The Javanese cultural aspects associated with resilience ability among eruption survivors are nrima, iklas, rila, patience and the principle of living in harmony. Recommendations for further research are included."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alvina Vivien Setiabrata
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran resiliensi penyintas erupsi Merapi serta mengkaji nilai, norma, dan/atau praktek budaya Jawa apa saja yang terkait dengan kemampuan resiliensi penyintas erupsi Merapi tersebut. Pengertian resiliensi yang dipakai merujuk pada lima karakteristik resiliensi dari Wagnild (2010), yaitu meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, dan existential aloneness. Gambaran resiliensi diperoleh dengan menggunakan alat ukur CD-RISC 10 (Connor & Davidson, 2003) dan kajian budaya Jawa diperoleh dari wawancara mendalam. Penelitian ini dilakukan di desa Krinjing yang merupakan salah satu desa yang terdekat dari puncak Gunung Merapi. Partisipan penelitian terdiri dari 50 orang yang berusia 21-60 tahun dan yang diwawancara mendalam adalah 4 orang yang berusia 41-50 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan berusia 21-60 tahun mendapatkan skor resiliensi sedang dengan variasi skor yang beragam dari rendah sampai tinggi. Adapun budaya Jawa yang terkait dengan kemampuan resiliensi penyintas erupsi Merapi adalah keadaan slamet, ritus slametan, hormat, gotong royong, sikap rela, nrima, sabar, serta kepercayaan terhadap alam gaib atau kuasa di luar kekuatan manusia. Sejumlah saran untuk menindaklanjuti penelitian ini, termasuk mengatasi keterbatasan penelitian, disertakan.

ABSTRACT
This study was conducted to gain picture of resilience among Merapi eruption survivors, and to assess Javanese values, norms, and/or cultural practices associated with the resiliency ability among the survivors. The concept of resiliency refers to the five characeristic of resiliency from Wagnild (2010), and they are meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, and existential aloneness. Picture of resilience was obtained using the CD-RISC 10 (Connor & Daidson, 2003) while the Javanese cultural studies were obtained through interviews. Data were collected in Krinjing village which is one of the nearest villages from the top of Mount Merapi. Altogether 50 participants of 21-60 years old took the questionnaire and four people of 41-50 years old were interviewed. The results indicate that most participants get a middle score of resilience. The Javanese cultural aspects associated with resiliency ability among eruption survivors are slamet, slametan, respect, gotong royong, rela, nrima, sabar, and belief in supernatural being. Recommendations for further reserch are included."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mochammad Ardhya Irawan
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran resiliensi pada remaja penyintas erupsi Gunung Merapi tahun 2010 serta untuk mengidentifikasi nilai-nilai budaya Jawa yang berhubungan dengan kemampuan resiliensi masyarakat suku Jawa yang tinggal di sekitar Gunung Merapi, khususnya di Desa Krinjing, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Gambaran resiliensi remaja di Desa Krinjing ini diperoleh dengan menggunakan alat ukur resiliensi Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC) 10 (Connor & Davidson, 2003; Campbell-Sills & Stein, 2007) juga melalui wawancara mendalam yang merujuk kepada karak-teristik resiliensi yang dikemukakan oleh Wagnild (2010), yaitu meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, dan existential aloneness. Wawancara secara mendalam juga digunakan untuk menggali penghayatan nilai-nilai budaya Jawa dari partisipan. Partisipan penelitian terdiri dari 15 orang remaja berusia 15-20 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja di Desa Krinjing telah menunjukkan resiliensi dalam tingkat yang sedang. Adapun budaya Jawa yang terkait dengan kemampuan resiliensi mereka adalah gotong royong, sopan santun, kebersamaan, dan berbakti pada orang tua. Sejumlah saran untuk menindaklanjuti penelitian ini, termasuk untuk mengatasi keterbatasan yang ditemui, disertakan.

This research was carried out to get an idea of resilience in young survivors of the eruption of Mount Merapi in 2010 and to identify the Javanese cultural values that related to the resilience ability of the Javanese community who live around Mount Merapi, particularly in Krinjing, Magelang regency, Central Java. The idea of resilience in young survivors in Krinjing is achieved by using a measuring instrument Connor Davidson Resilience Scale (CD-RISC) 10 (Connor & Davidson, 2003; Campbell-Sills & Stein, 2007) and by in-depth interviews refers to the characteristics proposed by Wagnild (2010): meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, and existential aloneness.. Interviews were also used to explore the appreciation of Javanese cultural values of the participants. The participants consisted of 15 adolescents aged 15-20 years. The results showed that young survivors in Krinjing have shown resilience in the medium level. The Javanese culture associated with the resilience ability of survivors of the eruption of Mount Merapi are mutual cooperation, courtesy, togetherness, and dutiful to parents. A number of suggestions to follow-up this research, and to overcome the limitations that were encountered, are included"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45461
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iis Yatty Liud
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran resiliensi penyintas erupsi Merapi serta mengkaji nilai, norma, dan/atau praktek budaya Jawa apa saja yang terkait dengan kemampuan resiliensi penyintas erupsi Merapi tersebut. Pengertian resiliensi yang dipakai merujuk pada lima karakteristik resiliensi dari Wagnild (2010), yaitu meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, dan existential aloneness. Gambaran resiliensi diperoleh dengan menggunakan alat ukur CD-RISC 10 yang sudah diadapatasi oleh Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI tahun 2011 dan kajian budaya Jawa diperoleh dari wawancara mendalam. Penelitian ini dilakukan di Desa Krinjing yang merupakan salah satu desa yang terdekat dari puncak Gunung Merapi. Partisipan penelitian terdiri dari empat orang yang berusia 51 hingga 60 tahun dan yang diwawancara mendalam adalah tiga orang yang berusia 51 hingga 60 tahun.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan berusia 51 hingga 60 tahun mendapatkan skor resiliensi sedang dengan variasi skor yang beragam dari rendah sampai tinggi. Adapun nilai, norma, dan/atau praktek budaya Jawa yang terkait dengan kemampuan resiliensi penyintas erupsi Merapi adalah prinsip kerukunan, gotong royong, prinsip hormat, nrima, iklas, kekerabatan orang Jawa, dan alam gaib. Sejumlah saran untuk menindaklanjuti penelitian ini, termasuk mengatasi keterbatasan penelitian, disertakan.

This study was conducted to gain picture of resiliency among Merapi eruption survivors, and to assess Javanese values, norms, and/or cultural practices associated with the resiliency ability among the survivors. The concept of resiliency refers to the five characeristic of resiliency from Wagnild (2010), and they are meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, and existential aloneness. Picture of resiliency was obtained using the CD-RISC 10 adapted by Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI in 2011 while the Javanese cultural studies were obtained through interviews. Data were collected in Krinjing village which is one of the nearest villages from the top of Mount Merapi. Altogether four participants of 51 to 60 years old filled out the resiliency scale and three people of 51 to 60 years old were interviewed.
The results indicate that most participants get a middle score of resiliency. The Javanese cultural aspects associated with resiliency ability among eruption survivors were rukun, respect, gotong royong, family relationship among Javanese, nrima, iklas, and belief in supernatural being. Recommendations for futher research are included.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Elsha Fara
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang resiliensi penyintas tsunami Aceh 2004 dan mengkaji nilai budaya Aceh apa saja yang terkait dengan kemampuan resiliensi penyintas tersebut. Pengertian resiliensi yang dipakai merujuk pada lima karakteristik resiliensi dari Wagnild (2010), yaitu meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, dan existential aloneness. Gambaran resiliensi diperoleh dengan menggunakan alat ukur CD-RISC 10 dan kajian tentang nilai budaya Aceh diperoleh dari wawancara mendalam. Penelitian ini dilakukan di Banda Aceh yang merupakan kawasan yang terkena dampak tsunami paling parah. Partisipan penelitian terdiri dari 27 orang dewasa awal yang berusia 25-40 tahun dan yang diwawancara mendalam adalah 3 orang yang berusia 25-40 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan mendapatkan skor resiliensi sedang. Adapun budaya Aceh yang terkait dengan kemampuan resiliensi penyintas tsunami Aceh adalah nilai-nilai Islami, penerimaan terhadap kehendak Tuhan, rasa kepedulian, Meuseraya dan Meuripe, dan watak keras orang Aceh. Oleh sebab itu, penting bagi masyarakat untuk tetap memelihara nilai hidup yang membangun masyarakat untuk kemudian diturunkan pada generasi berikutnya agar dapat terus diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.

This study was conducted to gain picture of resilience among tsunami survivors, and to assess Acehnese values associated with the resiliency ability among the survivors. The concept of resiliency refers to the five characeristic of resiliency from Wagnild (2010), and they are meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, and existential aloneness. Picture of resilience was obtained using the CD-RISC 10 while the values in Acehnese cultural studies were obtained through interviews. Data were collected Banda Aceh which is suffered most damage tsunami 2004. Altogether 27 young adult partisipants of 25-40 years old took the questionnaire and three people 25-40 years old were interviewed. The results indicate that most partisipants get a middle score of resilience. The Acehnese cultural aspects associated with resiliency ability among tsunami survivors are Islamic values, acceptance, compassion, Meuseraya and Meuripe, and stubborn. Therefore, it is important for society to remain keeping the values for later derived in the next generation so as to be steadily applied in the social life."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Maryam Azizah Hanif
"ABSTRAK
Salah satu bahaya erupsi Gunung Merapi 2010 adalah banjir lahar hujan yang memberikan pengaruh terhadap Kali Woro sebagai salah satu sungai yang bersifat ephemeral dan rawan ditutupi oleh endapan lahar hujan. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti morfodinamika badan Kali Woro sebelum dan sesudah erupsi Gunung Merapi 2010. Variabel bebas penelitian ini adalah kejadian banjir lahar hujan, topografi ketinggian dan kemiringan lereng , dan aktivitas tambang galian C yang diduga dapat mempengaruhi morfodinamika Kali Woro. Variabel terikat penelitian ini adalah morfodinamika Kali Woro yang terdiri atas perubahan indeks kelengkungan SRI , perubahan luas sungai dan perubahan lebar sungai. Penelitian ini menggunakan citra resolusi tinggi yang diperoleh dari aplikasi Google Earth. Hasil perhitungan morfodinamika diuji regresi untuk mengetahui pengaruh dengan kondisi topografi daerah aliran Kali Woro. Selain analisis dengan uji regresi, analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara kejadian lahar hujan dan aktivitas tambang dengan morfodinamika alur badan Kali Woro dilakukan secara deskriptif berdasarkan perbandingan antara data hasil perhitungan morfodinamika dengan fakta yang ada di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian, maka diperolah kesimpulan bahwa Kali Woro mengalami peningkatan rata-rata SRI setiap tahunnya adalah 1,08; 1,15 dan 1,14. Luas Kali Woro juga semakin bertambah pasca erupsi Gunung Merapi 2010 dengan rata-rata luas setiap tahunnya adalah 34.026,58 m2, 43.001,24 m2 dan 62.696,23 m2. Berbanding lurus dengan kondisi luas sungai yang semakin meluas, Kali Woro juga mengalami pelebaran dengan nilai rata-rata lebar setiap tahunnya yaitu 42,91 m; 61,54 m dan 79,54 m. Lokasi yang mengalami perubahan bentuk adalah bagian hulu yang mencakup segmen 1 dan bagian tengah yang mencakup segmen 2 ndash; segmen 8. Berbeda dengan bagian hulu dan tengah, bagian hilir segmen 9 ndash; segmen 11 cenderung lebih tetap. Morfodinamika Kali Woro memiliki hubungan dengan seluruh variabel bebas, namun tidak semua variabel memiliki pengaruh. Luapan dan arah aliran lahar hujan juga dipengaruhi oleh kondisi topografi Kali Woro yang cenderung curam dan terjal serta rawan terhadap erosi permukaan, erosi alur dan longsor. Selain itu, peristiwa banjir lahar hujan menyebabkan potensi bahan tambang galian C di Kali Woro meningkat sehingga aktivitas tambang di bagian dasar maupun di bagian tebing Kali Woro juga bertambah.

ABSTRACT<>br>
One of the dangers of the 2010 Mount Merapi eruption is the lava flood that gives effect to the Woro River as one of the ephemeral river and is prone to be covered by rain lava sediment. This study aims to examine the morphodynamics of Woro River before and after the eruption of Mount Merapi in 2010. The independent variables of this research are the incidence of rain lava flood, topography height and slope , and mining activity suspected to affect Woro Kali morphodynamics. The dependent variable of this research is Woro River morphodynamics consisting of changes in curvature index SRI , changes in river area and changes in river width. This study uses high resolution imagery obtained from the Google Earth application. The results of morphodynamic calculations were tested by regression to determine the effect with topographic condition of Woro River area. In addition to the analysis with regression test, the analysis used to determine the relationship between the event of rain lava and mining activities with morphodynamic of Woro River is descriptively based on the comparison between the data of morphodynamic calculation with the facts in the field. Based on the results of the study, it is concluded that the Woro River has an average increase of SRI every year is 1.08 1.15 and 1.14. The area of Woro River is also increasing after the eruption of Mount Merapi 2010 with the average area of Woro River each year is 34,026,58 m2, 43,001,24 m2 and 62,696,23 m2. Directly proportional to the widespread condition of the river, Woro River also experiences widening with an average annual width of 42.91 m 61.54 m and 79.54 m. The deformed location is the upstream segment covering segments 1 and the middle segment covering the 2 segment segments 8. Unlike the upstream and middle sections, the downstream segment segment 9 segment 11 tends to be more fixed. Morphodynamics Woro times have a relationship with all independent variables, but not all variables have an influence. The outflow and direction of rain lava flow is also influenced by topographic condition of Woro River which tend to be steep and steep and prone to surface erosion, erosion of flow and landslide. In addition, the event of rain lava floods caused the potential of mining in Woro Kali increased so that mining activities at the bottom and in the cliffs Woro also increased."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Upik Sarjiati
"Penduduk di negara maju maupun di negara berkembang sering menghadapi idiosyncratic dan aggregate risk. Letusan Gunung Merapi yang terletak di di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan Oktober dan November 2010 menyebabkan 196 orang meninggal dunia, dan 2.586 rumah rusak. Studi ini bertujuan untuk mengkaji dampak letusan Gunung Merapi terhadap kehidupan masyarakat desa, menganalisis karakteristik sosial ekonomi rumah tangga, dan menginvestigasi coping strategy rumah tangga dalam menghadapi bencana erupsi pada jangka pendek (tiga bulan setelah erupsi), dan jangka panjang (enam bulan setelah erupsi) melalui mekanisme formal dan informal. Studi ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan kuantitatf. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mewawancarai kepala desa, penduduk desa dan NGO serta mendistribusikan 188 kuesioner kepada rumah tangga di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman dengan metode purposive sampling dan clustering. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bantuan melalui mekanisme informal seperti bantuan yang berasal dari keluarga inti dan besar, teman dan tetangga, serta bantuan melalui mekanisme formal seperti bantuan yang berasal dari partai, NGO, perusahaan dan pemerintah penting pada pasca bencana. Bantuan yang berasal dari institusi informal diperoleh rumah tangga segera setelah terjadi bencana. Dalam jangka panjang, bantuan pemerintah lebih penting sebagai salah satu coping strategy rumah tangga karena keterbatasan jumlah sumber bantuan lainnya.

People in the developed and developed countries often face idiosyncratic risk and aggregate risk. In October and November, 2010, the Mt. Merapi located in Sleman Regency, Yogyakarta Province, Indonesia erupted that caused 196 people dead, and 2,586 houses damaged. This paper aims to assess the impact of Mt. Merapi eruption on rural household livelihood, to examine socio-economic characteristics of households, and to investigate the coping strategies of the households against the eruption in the short term (three month after eruption), and in the long term (six month after eruption) through formal and informal mechanisms. This study use quantitative and qualitative method. Using purposive sampling and clustering, the data was collected by distributing 188 questionnaires from the households in Cangkringan Districts, Sleman Regency, and interviewing local leader, villager, and non-government organization. The findings are assistances from informal institution such as from nuclear and extended families, friends and neighbors, and formal institutions such as from party, non-government organization, company and government are important in the post disaster. Assistances from informal institutions were got by the households immediately after disaster. In the long term, assistances from government became more important as households’ coping strategies because amount of other assistances were limited."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2012
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Firlie Pratiwi
"ABSTRACT
Bencana merupakan peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan lingkungan. Indonesia termasuk dalam daerah dengan potensi bencana yang tinggi, sehingga perlu dilakukan proses penanggulangan bencana. Proses penanggulangan bencana terdiri dari tiga fase yakni fase pra bencana, fase tanggap darurat, dan fase pasca bencana. Pada penerapannya, terdapat fase tambahan atau fase transisi yang berada diantara fase tanggap darurat dan fase pasca bencana. Pada fase transisi inilah pemerintah dan Non-Government Organization NGO memberikan hunian sementara berupa transitional shelter. Transitional shelter adalah tempat penampungan yang layak huni, tertutup dan aman serta menggunakan material yang dapat digunakan kembali. Transitional shelter memiliki beberapa aspek yakni faktor yang mempengaruhi bentuk, prinsip, karakteristik pasca penggunaan, dan konstruksi. Pada penerapannya, transitional shelter pada bencana Gunung Merapi hanya menggunakan beberapa faktor pembentuk rumah dan hanya menggunakan tiga karakteristik pasca penggunaan. Meskipun demikian, konstruksi yang digunakan adalah tipe disassemble design dengan dua teknik lashings. Bila dipelajari lebih lanjut, transitional shelter dapat memberikan keuntungan kepada masyarakat terdampak jika potensinya digunakan secara maksimal. Oleh karena itu diharapkan potensi yang dimiliki transitional shelter dapat dimaksimalkan dan penggunaannya tidak hanya terbatas pada bencana erupsi Gunung Merapi melainkan untuk bencana yang lain mengingat Indonesia memiliki potensi bencana yang tinggi.

ABSTRACT
Disaster is an event that occurs suddenly and produces harm to society and the environment. Indonesia is included in areas with high potential for disaster, so that disaster management needs to be done. The disaster management process consists of three phases pre disaster phase, emergency response phase, and post disaster phase. In its application, there is an additional phase or transition phase that lies between the emergency response phase and the post disaster phase. In this transition phase, the government and Non Government Organization NGO provide transitional shelters. Transitional shelters are shelter that is liveable, closed and safe and uses reusable materials. Transitional shelter has several aspects that is factors that affect form, principle, post use characteristics and construction. In its application, the transitional shelter at Mount Merapi disaster only uses several factors of house 39 s building formers and uses only three characteristics post use. However, the construction used is a disassemble design type with two lashings techniques. When studied further, transitional shelters can provide benefits to affected communities if its potential can maximally utilized. Therefore, it is expected that the potential of transitional shelters can be maximized and the transitional shelters uses is not limited to the eruption of Mount Merapi disaster but to other disasters since Indonesia has high potential for disaster."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>