Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 227205 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hartaty Sarma Sangkot
"ABSTRAK
Latar belakang: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mortalitas dan
morbiditas pada pasien elektif dalam daftar tunggu serta gambaran waktu tunggu
pasien elektif dalam daftar tunggu operasi bedah pintas koroner dikaitkan dengan
ketersediaan sumber daya (sistem, sumber daya manusia dan fasilitas) UPF Bedah
Jantung Dewasa, RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Metode : Penelitian ini menggunakan desain studi kuantitatif dan kualitatif. Data
kuantitatif dikumpulkan secara prospektif selama 2 bulan sejak bulan Agustus-
September 2010.
Hasil : Dari 58 pasien tersebut, 1 pasien meninggal selama menunggu dan 1
pasien terkena stroke selagi menunggu. Tidak terdapat sistem khusus atau skoring
untuk menentukan waktu tunggu pada pasien. Belum terdapat sistem penjadwalan,
termasuk metode memasukan pasien kedalam daftar, memutuskan status
kegawatan, menjadwalkan tanggal masuk dan memindahkan pasien dari daftar
yang adekuat.
Kesimpulan : Kejadian mortalitas dan morbiditas selama waktu tunggu tidak
ditemukan sebagai kejadian yang sering terjadi selama menunggu operasi bedah
pintas koroner pada studi ini. Namun sulit mengabaikan kerjadian yang terjadi
pada kedua pasien pada penemuan, apalagi hasil penelitian menguatkan bahwa
belum terdapat sistem penentuan waktu tunggu dan penjadwalan yang adekuat di
UPF Bedah Jantung dan Intermediate Bedah Dewasa RS.Jantung dan Pembuluh
Darah Harapan Kita walaupun sementara ini sumber daya yang ada (baik fisik
maupun sumber daya manusia) masih dirasakan cukup mengakomodir jumlah
kasus yang ada.

ABSTRACT
Background: This study is aimed to find out mortality and morbidity in elective
patient while waiting and description of waiting time in elective patient related to
resources needed (system, human resources and facility) at department of
cardiovascular surgery, Harapan Kita Hospital.
Method : This study is use quantitative and qualitative desain study. The
quantitative data collected prospectively within 2 months since August until
September 2010.
Result : From 58 patients, 1 patient was died while waiting and 1 fall into stroke.
There?s no adequate system in scheduling patient, including put the patient into
the list of que, decide the urgency and remove the patient from the list.
Conclusion : It?s known that morbidity and mortality is not found as a significant
event happened while waiting for CABG in this study. It?s difficult to ignore the
things happened to the 2 patient, especially after knowing there?s no adequate
system to decide wait time and scheduling at Department of cardiovascular
surgery, Harapan Kita Hospital, while resources is still"
2010
T31717
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Valery Ivanov Arwadi
"Latar belakang: tumor kelenjar liur merupakan tumor yang jarang pada keganasan kepala leher. Histopatologinya sangat heterogen demikian juga kejadian dan klinik epidemiologinya. Perbedaan karakteristik dari tumor parotis di banyak pusat kesehatan memengaruhi survival rate.
Metode: penelitian ini adalah uji retrospektif analitik dengan uji kesintasan. Data didapatkan dari rekam medik pasien tumor parotis ganas yang dirawat di RSUPNCM periode Januari 2005 sampai Desember 2011.
Hasil: ada 75 kasus tumor parotis ganas. Laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan, dengan umur rata-rata 50 tahun. Delapan puluh persen ditemukan dalam stadium klinis lanjut. Mukoepidermoid karsinoma merupakan histopatologi yang paling sering ditemukan. Pembedahan merupakan terapi pilihan utama. Enam puluh persen kasus ditemukan penurunan indeks masa tubuh (IMT). Komplikasi tersering adalah paralisis nervus fasialis sekitar 30,7%. Mortalitas dalam 1 tahun didapati sebesar 25,3%. Rekurensi ditemukan sebesar 17,3%. Analisis bivariat antara tatalaksana dengan morbiditas menunjukkan signifikan dengan nilai p=0.001, dan dalam hubungannya dengan mortalitas didapati signifikan dengan tatalaksana, sedangkan stadium klinis dan histopatologi tidak. Histopatologi signifikan dalam hubungannya dengan rekurensi. Pada analisis multivariat antara stadium klinis I-II dengan status nutrisi dan mortalitas menunjukkan hubungan yang signifikan dengan nilai p = 0.006. Terdapat hubungan signifikan antara tatalaksana dengan survival rate, sedangkan untuk jenis kelamin, usia, histopatologi dan stadium klinis tidak ditemukan hubungan yang signifikan. Disease free survival untuk kasus keganasan ini adalah 61,5%.
Kesimpulan: karakteristik tumor parotis ganas di RSUPNCM tidak berbeda dengan yang ditemukan pada literatur, hubungan yang signifikan ditemukan antara histopatologi dan tatalaksana sebagai faktor prognosis survival rate.

Background: salivary gland tumor is a rare case found in head and neck tumor. The histopathology is very heterogeneous, as well as the incident and clinical epidemiology. Different characteristics of parotid gland tumor in many health centers affecting survival rate.
Method: This is a survival study with retrospective analytical method. Data is obtained from medical record in Cipto Mangunkusumo Hospital in period of January 2005 to December 2011.
Results: There are 75 patients with malignant parotid gland tumor. Male is affected more than female, the mean age is 50 years old. 80% of cases found are in late stage. Mucoepidermoid carcinoma is the most frequent histopathology found. Surgery remains the treatment of choice. 60% patients experienced a decreased of body mass index. Postoperative complication such as facial nerve paralysis occurred in 30.7%. One year mortality is found in 25.3% cases. Recurrence is found in 17,3%. Bivariate analysis between clinical management and morbidity has a significant correlation with p=0,001, and significant also found between clinical management with mortality but not for tumor stage and histopathology. Histopathology found significant in correlation with recurrence. Multivariate analysis between nutritional status and tumor stage showed significancy with p = 0.006 in stage I-II. There is significant relationship between clinical management and survival rate, but there is no significancy between sex, age, histopathology, and tumor stage. Disease Free Survival is among 61,5%.
Conclusion: malignant parotid gland tumor in Cipto Mangunkusumo Hospital contributes the same characteristics with those found in publications. There is significant relationship between variables from survival analysis of prognostic factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58683
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Zaini
"ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian secara retrospektif terhadap 260 penderita yang menjalani bedah pintas koroner di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita antara bulan Maret 1986 sampai dengan 31 Maret 1990 untuk mencari variabel prognostik mortalitas bedah.
Tiga puluh satu variabel prabedah yang terdiri dart 24 variabel klinis, 7 variabel kateterisasi-angiografi; dan 6 variabel intrabedah, telah diuji secara univariat dengan analisa "Kai-kuadrat" atau "Fisher's exact" dan selanjutnya secara multivariat dengan "Forward stepwise selection".
Dari 24 variabel klinik yang dianalisa secara univariat hanya 4 variabel yang bermakna yaitu kelas angina, riwayat CHF, aritmia dan kreatinin. Dari 7 variabel kateterisasi-angiografi tidak satupun yang bermakna. Dari 6 variabel bedah hanya 3 variabel yang bermakna secara univariat yaitu prioritas bedah, lama klem aorta dan endarterektomi. Dari 4 variabel klinik dan 3 variabel bedah yang bermakna tersebut, dengan analisa multivariat hanya 3 variabel yang bermakna yaitu prioritas bedah (p=0,0002), lama klem aorta (p=0,019) dan kreatinin serum (p=0,049).
Mortalitas bedah meningkat dengan tindakan urgensi--emergensi (mortalitas elektif 5,7%, mortalitas urgensi 28,0% dan mortalitas emergensi 57,1%). Lama klem aorta juga mempengaruhi mortalitas (mortalitas lame klem aorta < 52 menit 2%, antara 52-70 menit 4,9%, antara 71-96 menit 10,0% dan > 96 menit 22,9%). Kadar kreatinin > 2 mg% menyebabkan mortalitas meningkat (pada kadar kreatinin serum > 2 mg% mortalitasnya 60%).
Sebagai kesimpulan bahwa kadar kreatinin serum yang tinggi, pernbedahan secara urgensi-emergensi, dan lama klem aorta yang panjang akan meningkatkan mortalitas bedah.

ABSTRACT
A retrospective study on 260 patients who underwent bypass surgery at the Harapan Kiita National Cardiac Center from March 1986 up to March 1990 was undertaken to determine the prognostic variable in surgical mortality.
Thirty one preoperative variables comprising of 24 clinical, 7 coronary angiographies and 6 intraoperative variables were tested using univariate analysis with chi-square or Fisher's exact followed by multivariate analysis using Forward Stepwise Selection.
Of 24 variables analyzed using univariate analysis only 4 were significant, namely angina class, history of CHF, arrhythmias and creatinine.
Of the 7 angiographies variables, not even one was significant ; whereas of 6 surgical variables, only 3 were significant, that is priority of surgery, duration of aortic clamp and endarterectomy.
From 4 clinical and 3 surgical variables which were significant, using multivariate analysis, only 3 were significant: priority of surgery (p=0,0002), duration of aortic clamp (p=0,019), and serum creatinine (p=0,049).
Surgical mortality increased with urgency-emergency procedures (elective mortality 5,7%, urgency mortality 28,0% and emergency mortality 57,1%). Duration of aortic clamp also influenced mortality (aortic cross clamp < 521,2%; between 71-96',10,0% ; and > 96',22,9%). 96',22,9%). Serum creatinine level exceeding 2 mg% increased mortality (at a serum creatinine level of > 2 mg%, mortality was 60%).
In conclusion, a high serum creatinine level, an urgency-emergency surgical procedure, and the duration of aortic clamp time will increase surgical mortality."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Dwi Astuti
"Pasien yang menjalani operasi Bedah Pintas Koroner (BPK) atau coronary artery bypass grafting (CABG) memiliki risiko terjadinya komplikasi pasca operasi yang berakibat pada hari rawat yang lama bahkan kematian. Intervensi berupa rehabilitasi jantung fase I diperlukan untuk membantu mempercepat proses pemulihan pasca operasi serta mencegah terjadinya komplikasi pasca operasi BPK. Meskipun penelitian terkait rehabilitasi jantung sudah banyak dilakukan, namun perlu dilakukan telaah lebih lanjut dari artikel penelitian mengenai intervensi yang dapat dilakukan dalam program rehabilitasi jantung yang aman dan mudah dilakukan pada pasien pasca operasi BPK. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat intervensi yang aman dan efektif dilakukan dalam rehabilitasi jantung fase I pada pasien yang menjalani operasi BPK. Studi literatur ini dibuat dengan melakukan analisis terhadap atikel-artikel ilmiah minimal penelitian retrospektif yang dipublikasi tahun 2008 sampai 2018 dan berbahasa Inggris. Data didapat dari database meliputi Google Scholar, PubMed, DOAJ, dan Proquest dengan kata kunci cardiac rehabilitation phase I, coronary artery bypass grafting, early ambulation, early mobilization, education pre operative, dan physical exercise. Hasil studi literatur ini didapatkan 13 artikel yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Hasil telaah ditemukan bahwa pelaksanaan rehabilitasi jantung fase I pada pasien yang menjalani operasi BPK dimulai dari fase praoperasi dan dilanjutkan pasca operasi sampai pasien akan pulang. Intervensi rehabilitasi jantung fase I, baik pre maupun pasca operasi, terdiri dari edukasi dan konseling, latihan/ aktivitas fisik, latihan bernapas, latihan batuk efektif, inspiratory muscle training, fisioterapi dada, dan respiratory muscle stretch gymnastics. Oleh karena itu, hasil telaah literatur ini dapat menjadi dasar dalam menentukan standar prosedur operasional terhadap pelaksanaan rehabilitasi jantung fase I untuk rumah sakit yang menyediakan pelayanan operasi BPK.

A patient undergoing coronary artery bypass grafting CABG surgery has a risk of post operative complication, which can cause prolonged length of stay and even mortality. The patient necessarily needs to do intervention cardiac rehabilitation phase I to help the recovery process after surgery and prevent post operative complications. The articles related to cardiac rehabilitation have been carried out. However, it is necessary to review research articles about the effective and safe intervention of cardiac rehabilitation phase I for patients undergoing CABG surgery. The aim of this study was to explore the effective and safe intervention of cardiac rehabilitation phase I. This literature review was conducted by analyzing articles including randomized control trial until retrospective design which published between 2008 until 2018 with English language articles. Data was searched through Google Scholar, PubMed, DOAJ, and Proquest. The keyword was early ambulation, coronary artery bypass grafting, preoperative education, physical exercise, early mobilization, and cardiac rehabilitation phase I or inpatient cardiac rehabilitation. The finding in this literature review was 13 articles corresponding with the inclusion and exclusion criteria. The result of this study found that the intervention in cardiac rehabilitation phase I in patient who undergoing coronary artery bypass grafting surgery was started from preoperative and continued postoperative phases until the patient will leave the hospital. Interventions in cardiac rehabilitation phase I consisted of education and counseling, physical exercise/ activity, breathing exercises, effective cough exercises, inspiratory muscle training, chest physiotherapy, and respiratory muscle stretch gymnastics. Therefore, the result of this literature review can be the basis to determine standard operational procedure for the implementation of the cardiac rehabilitation phase I for the hospitals that provide CABG surgery."
Depok : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia , 2019
610 UI-JKI 22:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Andriyani Risma Sanggul
"Infark Miokard Akut dengan elevasi segmen ST/ ST-Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI) adalah bagian dari sindrom koroner akut yang berat dan menetap akibat oklusi total arteri koroner sehingga diperlukan tindakan revaskularisasi segera untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya. Tindakan revaskularisasi dilakukan dalam 12 jam onset serangan angina pektoris dan didapatkan elevasi segmen ST yang menetap atau ditemukan Left Bundle Branch Block (LBBB). Tatalaksana Intervensi Koroner Perkutan primer lebih disarankan dibandingkan fibrinolisis. Penelitian mengenai mortalitas selama 3 tahun pada pasien pasca STEMI dengan IKP primer belum pernah dilakukan di Indonesia sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tersebut. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dengan waktu pengamatan selama 3 tahun. Populasi studi adalah adalah semua pasien diagnosis STEMI dengan terapi IKP primer berusia ≥ 18 tahun dan keluar rawat hidup Tahun 2011-2012 di RSJPD Harapan Kita. Kriteria inklusi sampel adalah pasien didiagnosa STEMI dan keluar rawat dalam keadaan hidup 01 Januari 2011- 31 Desember 2012 dan Pasien STEMI yang berusia ≥ 18 tahun dengan total sampel sebanyak 466 orang. Data pasien diperoleh dari Jakarta Acute Coronary Syndromes (JACS) dan rekam medis. Analisis data dilakukan dengan Stata 12. Pada analisis multivariat dengan menggunakan uji cox regression time independent, didapatkan pasien STEMI dengan IKP primer yang tidak teratur kontrol memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan kontrol teratur ( Adj HR = 5,7 ; 2,447 ? 13,477 ; p value = 0,0001). Pasien STEMI yang DM memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan tidak DM ( Adj HR = 2,66 ; 1,149 - 6,150; p value = 0,034). Pasien STEMI dengan kelas killip II memiliki risiko kematian lebih tinggi dibandingkan kelas killip I (Adj HR = 2,31 ; 0,99 ? 5,363 ; p value = 0,05). Model estimasi risiko hazard: H(1095h,t)=ho (1095h) exp [(0,91DM )+ (0,84 x Killip Admisi) + ( 1,75 x Kontrol)]. Keteraturan kontrol, diabetes mellitus dan kelas killip admisi memengaruhi risiko mortalitas pasien STEMI dengan IKP primer di RSJPD Harapan Kita.

ST -Segment Elevation Myocardial Infarction ( STEMI ) is a part of the heavy acute coronary syndromes and settled due to total occlusion of the coronary arteries that required immediate revascularization to restore blood flow and myocardial reperfusion as soon as possible . Revascularization performed within 12 hours of onset of angina pectoris and ST segment elevation obtained were settled or discovered Left Bundle Branch Block ( LBBB ) . Primary Percutaneous Coronary Intervention (PPCI) Procedures more advisable than fibrinolysis. The purpose of this study to determine the factors that affect the risk of 3 years mortality and resulted in a scoring system STEMI patients with primary IKP based on demographic and clinical patients at the Hospital Cardiovascular Harapan Kita . This study used a retrospective cohort design with observation time for 3 years . The study population was is all STEMI patients with a diagnosis of PPCI ≥ 18 years old and alive at discharge at 2011-2012 in RSJPD Harapan Kita . The inclusion criteria were patients diagnosed STEMI alive at discharge at January 2011 - December 2012 and STEMI patients ≥ 18 years old with a total sample of 466 people . Data obtained from the patient Jakarta Acute Coronary Syndromes ( JACS ) and medical records . Data analysis was performed with Stata 12. In multivariate analysis using Cox regression test time independent , STEMI patients with PPCI who irregular control have a higher mortality risk than regular controls ( Adj HR = 5.3 ; 2.345 to 13.026 ; p value = 0.0001 ) . STEMI patients with DM have a higher mortality risk than not DM ( Adj HR = 2,66 ; 1,149 to 6,150 ; p value = 0,034 ) . STEMI patients with killip class II had a higher mortality risk than Killip class I ( Adj HR = 2,31 ; 0,991 to 5,363 ; p value = 0,035 ) . Hazard risk estimation model : H(1095h,t)=ho (1095h) exp [(0,91DM )+ (0,84 x Killip Admisi) + ( 1,75 x Kontrol)]."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T46531
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Darmayanto
"Berbagai upaya dilakukaq untuk memelihara kelangsungan hidup anak agar dapat dihasilkan generasi berkualitas guna menunjang Pembangunan Nasional. Baqyak faktor mempengaruhi kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, salah satu faktor terpenting adalah carak reproduksi ibu. TIngkat kematian bayi dan anak merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat baik secara makro maupun secara mikro. Pada penelitian ini telah diteliti hubungan corak reproduksi ibu terhadap morbiditas dan mortalistas balita. Penelitian ini merupakan studi deskriptif terhadap balita yang datang berobat ke poliklinik umum bagian ilmu kesehatan anak FK UI/RSCM dan seluruh balita yang dilahirkan dalam kurun reproduksi ibu, 0-4 tahun sebelum penelitian."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Shalahuddin
"Proses adaptasi dan interaksi dari peserta didik dengan lingkungan baru dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan fisiologis tubuh sehingga menjadi rentan terhadap penyakit. Penelitian potong lintang ini bertujuan untuk mengidentifikasi determinan epidemiologi penyakit pada mahasiswa Akademi Keperawatan Pemerintah Kabupaten Garut tahun 2015. Sebanyak 235 mahasiswa menjadi sampel. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik responden, karakteristik tempat asal mahasiswa, kesakitan dengan menggunakan kuesioner tentang riwayat kesakitan atau mobiditas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70,2% mahasiswa mengalami sakit selama tiga bulan terakhir dan 57,9% mahasiswa memiliki riwayat sakit terdahulu. Terdapat hubungan antara determinan epidemiologi karakteristik responden dengan nilai p= 0,023 dengan 95% CI sebesar 6,48 (2,21–22,56) dan karakteristik tempat pada kesakitan mahasiswa nilai p= 0,045 dengan 95% CI sebesar 0,09 (0,02–0,41). Peran pembimbing akademik perlu ditambah dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan terhadap masalah kesehatan mahasiswa. Institusi pendidikan sangat penting memiliki dan menyimpan pangkalan data tentang kesakitan mahasiswa.

The process of adaptation and interaction of students with the new environment can result in physiological balance disorders of the body, thus becoming susceptible to disease. This cross-sectional study aimed to identify the epidemiological determinants of disease in 2015 Garut District Nursing Academy students. A total of 235 students were involved. Data collected included respondent characteristics, the characteristics of the place of origin of the students, morbidity using a questionnaire about the history of previous illness or morbidity. The results showed that 70.2% of students experienced pain during the last three months and 57.9% of students had a history of the previous disease. There was a relationship between the epidemiological determinant of the characteristics of respondents with a value of p= 0.023 with 95% CI of 6.48 (2.21–22.56) and place characteristics in the morbidity of students p= 0.045 with 95% CI of 0.09 (0.02–0.41). The role of academic advisers needs to extend by providing guidance and counseling on student health problems. Educational institutions are significant to have and keep a database of the morbidity of students."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
610 UI-JKI 22:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Luh Kompyang Sulisnadewi
"Diare merupakan salah satu penyebab tingginya morbiditas dan mortalitas anak di Indonesia. Salah satu faktor risiko terjadinya diare dan meningkatkan risiko anak untuk dirawat inap adalah kurang pengetahuan ibu. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh pendidikan kesehatan terhadap kemampuan ibu merawat anak diare. Penelitian ini merupakan studi kuasi eksperimen dengan rancangan post-test only with group control design. Sampel penelitian sebanyak 62 responden di dua rumah sakit di Denpasar. Hasil post-test menggambarkan bahwa skor pengetahuan, sikap, dan keterampilan masingmasing kelompok berbeda secara bermakna (p< 0,05) dan ibu pada kelompok intervensi mampu merawat anak diare, berbeda secara bermakna dengan kelompok kontrol (p= 0,000; α= 0,05). Pendidikan kesehatan perawatan anak diare hendaknya diberikan secara intensif guna mendukung terlaksananya konsep family centered care dalam asuhan keperawatan anak di rumah sakit.

Diarrhea is one of the causes of high morbidity and mortality of children in Indonesia. One risk factor for diarrhea and increased risk for hospitalized children is the lack of maternal knowledge. The study aimed to identify the effect of health education for maternal ability in caring for child with diarrhea. This research was a quasi-experimental study, using control group post-test only design. Study sample was 62 respondents in two hospitals in Denpasar. The results indicated that posttest scores of knowledge, attitudes and skills of each group were different significantly (p< 0.05). Mothers in the intervention group capable of caring for child with diarrhea, significantly different to those in the control group (p= 0.000; α= 0.05). Health education about diarrhea in children should be given intensively to support the implementation of family centered care concept in pediatric nursing at hospital."
Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
610 UI-JKI 15:3 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Priscilla
"Latar Belakang: COVID-19 telah ditetapkan WHO sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia dengan case fatality rate (CFR) di Indonesia mencapai 8,7% pada April 2020. Sampai saat ini belum ada biomarker prognosis untuk membedakan pasien yang membutuhkan perhatian segera dan menjadi prediktor mortalitas COVID-19 di ICU. Skor Simplified Acute Physiology Score 3 (SAPS 3) menilai kondisi pasien sejak pertama kali datang ke rumah sakit dan mengevaluasi data yang diperoleh saat masuk ICU dalam menentukan prediktor mortalitas 28 hari. Tujuan: Studi ini menganalisis hubungan skor SAPS 3 dengan mortalitas 28 hari pada pasien COVID-19 yang dirawat di ICU RSCM dan RSUI.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo selama bulan Maret-Agustus 2020. Sebanyak 208 subjek yang sesuai kriteria inklusi dianalisis dari data rekam medis. Data demografis dan penilaian skor SAPS 3 dicatat sesuai data rekam medis. Variabel SAPS 3 yang berpengaruh terhadap mortalitas 28 hari dilakukan analisis bivariat dan regresi logistik multivariat. Kesahihan dinilai menggunakan uji diskriminasi dengan melihat Area Under Curve (AUC) dan uji kalibrasi Hosmer Lemeshow. Titik potong optimal ditentukan secara statistik.
Hasil: Angka mortalitas 28 hari akibat COVID-19 periode Maret-Agustus sebesar 43.8%. Variabel SAPS 3 yang secara statistik berpengaruh signifikan (p<0.05) terhadap mortalitas 28 hari pasien COVID-19 di ICU adalah usia, riwayat penggunaan obat vasoaktif sebelum masuk ICU, penyebab masuk ICU (defisit neurologis fokal dan gagal napas), kadar kreatinin dan trombosit. Skor SAPS 3 menunjukkan nilai diskriminasi yang baik (AUC 80.5% Interval Kepercayaan 95% 0.747-0.862) dan kalibrasi yang baik (Hosmer-Lemeshow p=0.395). Titik potong optimal skor SAPS 3 adalah 39 dengan sensitivitas 70.3% dan spesifisitas 74.4%.
Kesimpulan: Skor SAPS 3 memiliki hubungan dengan mortalitas 28 hari pada pasien COVID-19 yang dirawat di ICU.

Background: COVID-19 has been declared as a Public Health Emergency of International Concern by WHO with case fatality rate (CFR) of 8,7% in April 2020 in Indonesia. Until now, there is no prognostic biomarker to differentiate patients who require immediate attention and be a mortality predictor for COVID-19 patients in ICU. Simplified Acute Physiology Score 3 (SAPS 3) score assessed the patient’s condition since the first time he came to the hospital and evaluated the data obtained in the first hour of admission to the ICU in predicting 28-days mortality. Goals: This study aims to analyze the correlation between SAPS 3 score and 28-days mortality caused by COVID-19 in the ICU RSCM and RSUI.
Methods: This retrospective cohort study was conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital from March to August 2020 on 208 subjects who met the inclusion criteria. Demographic data and SAPS 3 score were recorded, the data was taken from medical records. Bivariate and multivariate logistic regression was used to investigate the relationship between SAPS 3 variables and 28-days mortality. The validity of SAPS 3 score was assessed by measurement of the Area Under Curve (AUC) and Hosmer- Lemeshow calibration test. The optimal cut-off point was determined statistically.
Results: The mortality rate of COVID-19 in our study from March to August 2020 is 43.8%. Five SAPS 3 variables were found to be significantly associated with 28-days mortality of COVID-19 patients in the ICU (p<0.05) are age, use of vasoactive drugs before ICU admission, reason for ICU admission (focal neurologic defisit and respiratory failure), creatinine, and thrombocyte level. SAPS 3 showed a good discrimination ability (AUC 80.5% Confidence Interval 95% 0.747-0.862) and calibration ability (Hosmer-Lemeshow p=0.395). The optimal cut off point of SAPS 3 score was 39 with sensitivity 70.3% and specificity 74.4%.
Conclusion: SAPS 3 score have a correlation with 28-days mortality caused by COVID-19 in the ICU.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harsya Dwindaru Gunardi
"Latar Belakang: Di negara maju, angka mortalitas gastroskisis adalah 5-10%, berbeda dengan di negara berkembang. Angka mortalitas gastroskisis mencapai 52% di Brazil, 43% di Afrika Selatan, 35% di Iran, dan 79% di Jamaika. Di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM), sampai saat ini belum ada data mengenai angka mortalitas gastrosksis. Angka mortalitas gastroskisis di RSCM perlu diketahui karena karakteristik pasien yang diperkirakan berbeda dengan di negara maju. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui angka mortalitas gastroskisis di RSCM serta mengidentifikasi faktor risiko yang berpengaruh terhadap mortalitas gastroskisis, antara lain: usia kehamilan, berat badan lahir, jumlah operasi, usia saat operasi pertama kali, serta gastroskisis komplikata.
Metode: Metode penelitian ini adalah studi kohort retrospektif dengan total sampling seluruh neonatus yang menjalani operasi penutupan defek di RSCM dari Januari 2015 – September 2020. Analisis bivariat dilakukan menggunakan uji Chi Square atau uji Fisher. Didapatkan 49 subjek neonatus dengan 7 data masuk kategori drop out sehingga 42 subjek diambil untuk dianalisis.
Hasil: Angka mortalitas neonatus dengan gastroskisis di RSCM tahun 2015-2020 adalah 69% (29 dari 42 subjek). Pada penelitian ini didapatkan usia saat operasi (<1 hari) berpengaruh menurunkan angka mortalitas gastrosksis (p = 0,005). Usia kehamilan, berat badan lahir, jumlah operasi, dan gastroskisis komplikata didapatkan tidak berpengaruh terhadap angka mortalitas gastroskisis.
Kesimpulan: Angka mortalitas gastrokisis di RSCM adalah 69% dan dipengaruhi oleh usia saat operasi.

Background: Unlike developing countries, the mortality rate of gastroschizis in developed countries is much lower, accounting at 5-10%. In developing countries, for example, Brazil, the mortality rate can reach up to 52%, 43% in South Africa, 35% in Iran, and 79% in Jamaica. Until recently, there are no data regarding gastrochizis-related mortality rate in Cipto Mangkunkusumo National Referral Hospital, Indonesia. This is important as it reflects patient characteristics that is different with developed countries. The objective of this research is to find out the mortality rate of gastroschizis in Indonesia along with other possible influencing risk factors such as; gestational age, birth weight, number of operations, age at closure, and the presence of complicated gastroschizis.
Methods: A cohort retrospective study with total sampling is used to document all neonates who undergo defect closure surgery from January 2015 to September 2020. Bivariate analysis is done using Chi Square test or Fisher test. A total of 49 neonates were documented, however 7 neonates were excluded due to drop out criteria, resulting in 42 neonates who were included in the analysis.
Results: The mortality rate of gastroschizis in Cipto Mangkunkusumo National Referral Hospital is 69% (29 out of 42 subjects). The age at closure is related to lower mortality rate (p = 0.005), while other factors such as gestational age, birth weight, number of operations, and the presence of complicated gastroschizis has no impact on mortality.
Conclusions: The mortality rate of gastroschizis in Cipto Mangkunkusumo National Referral Hospital is 69% and is influenced by age at closure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>