Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 51017 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dina Novita Sari
"ABSTRAK
Ajaran melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi di Indonesia telah lama
dipergunakan dan ditemui dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Penafsiran dari melawan hukum pun mengalami perkembangan dan terpengaruh dengan
konsep melawan hukum dalam hukum perdata. Permasalahan mengenai bagaimanakah
penerapan dan pergeseran ajaran melawan hukum materiil dalam Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI khususnya kasus korupsi sejak berlakunya UU No. 24 Tahun 1960
hingga UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999 menjadi pokok pembahasan
dalam penelitian ini. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa Mahkamah Agung
mengalami pergeseran pandangan ajaran melawan hukum dari bentuk formil ke dalam
bentuk materiil. Bentuk materiil pun meliputi penggunaan dalam fungsi positif dan
negatif. Pada masa sekarang ini, ajaran melawan hukum materiil cenderung
dipergunakan dalam fungsinya yang positif dimana hakim juga sangat berhati-hati
menggunakan fungsi negatifnya karena tuntutan sosiologis kemasyarakatan yang
semakin besar dalam pemberatasan korupsi. Dengan demikian pendekatan yang
digunakan tidak hanya pendekatan secara hukum tetapi juga secara sosiologis.
Rekomendasi penelitian adalah pemberian batasan penggunaan fungsi positif ajaran ini
dalam kasus serta hakim harus jeli menggali nilai-nilai dalam masyarakat. Metode
penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan desain deskriptif.

abstract
The using of Substantive Law Concept against corruption cases in Indonesia has long
been used and found in the Jurisprudence of The Supreme Court of The Republic of
Indonesia. This concept has been influenced by civil law concept. The application and
the shift of substantive law concept since Act No. 24 In 1960 until Act No. 20 In 2001 jo.
Act No. 31 In 1999 has became the main problems in this research. The result reveal that
The Supreme Court has shifted the view from formal law concept to the substantive law
concept. The substantive law concept used in two kind of function: positive and negative
where the judge also very careful about using negative function because of the demands
from sociological community to eradicate corruption. Thus the approach used is not only
legal approach but also sociological approach. Research recommendation is the provision
limits the use of positive function of this doctrine in the case and the judge should be
cautious explore values in the society. The methode used is the juridical normative with
descriptive design."
Universitas Indonesia, 2012
S43672
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adami Chazawi
Bandung: Bayumedia Publishing, 2013
345.023 ADA h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Adami Chazawi
Bandung: Bayumedia Publishing, 2013
345.023 ADA h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Adami Chazawi
Malang: MNC Publishing, 2018
345.023 ADA h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Erni Pramoti
"ABSTRAK
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan sebuah nuansa baru
dalam perkembangan penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi di
Indonesia yaitu dengan dikenalnya pembalikan beban pembuktian terutama
berkaitan dengan pembuktian tindak pidana gratifikasi sebagaimana diatur dalam
Pasal 12 B ayat (1) huruf a. Permasalahannyamasih jarang ditemui perkara yang
menerapkan ketentuan tentang gratifikasi, padahal penggunaan pasal ini Penuntut
Umum akan lebih diuntungkan karena kewajiban untuk membuktikan sudah ada
pada pihak terdakwa. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana
konsekuensi dari pembalikan beban pembuktian pada perkara gratifikasi terhadap
proses pembuktian di muka persidangan oleh Penuntut Umum, penerapannya
dalam kasus Dhana Widiatmika dan Gayus Tambunan, dan hal-hal apakah yang
masih menjadi permasalahan dalam penerapannya. Hasil penelitian ini
menunjukkan penerapan pembalikan beban pembuktian perkara Gratifikasi dalam
Pasal 12 B terdapat kerancuan, karenapasal ini memuat dua unsur pasal yang
masing-masing memiliki sistem pembuktian yang berbeda yaitu unsur “pemberian
kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara” (sistem pembuktian
konvensional) dan unsur “berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya” (sistem pembuktian terbalik). Dimana dalam
proses pembuktian Pasal 12 Btetap mengacu pada KUHAP, sehingga menjadikan
pembuktian terbalik mekanismenya tidak terlihat dalam pemeriksaan di
persidangan, karena dengan tetap saja pola hakim digiring pada pola
pemikirannya Jaksa Penuntut Umum.

ABSTRACT
Act No. 20 of 2001 on Amendments to Act No. 31 Year 1999 on
Eradication of Corruption gives a new nuance in the development of law
enforcement in the field of eradication of corruption in Indonesia, with the
familiar reversal of the burden of proof is primarily concerned with proving the
crime of gratification as provided for in Article 12 B of paragraph (1) letter a. The
problem is rarely encountered cases that apply the provisions of gratification,
whereas the use of this article Prosecutor will be benefited from the existing
obligation to prove the defendant. This study intends to find out how the
consequences of a reversal of the burden of proof on the graft case against the
evidence in court by prosecution , its application in the case of Gayus Tambunan
and Dhana Widiatmika, and if things are still a problem in its application. The
results of this study demonstrate the applicability of the reversal of the burden of
proof in the case of Article 12 B Gratuities are ambiguous, because this article
contains two elements, each chapter has a different system that is an element of
proof "gift to an official or state officials" (conventional verification system) and
element "associated with his position and contrary to the obligations or
duties"(reverse authentication system). Where in the process of proving Article 12
B still refer to the Criminal Code, making the reverse authentication mechanism is
not visible in the examination in the trial, because the judge still herded the
pattern of his thinking pattern Prosecution."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38999
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhammad Rizky Pratama Saputra
"Unsur kesalahan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam suatu tindak pidana. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak secara tegas mencantumkan unsur kesalahan, namun kesalahan tersebut tersirat dalam unsur memperkaya diri. Melalui metodologi penelitian yuridis normatif dan kajian terhadap beberapa putusan tingkat kasasi dapat disimpulkan bahwa, pada praktiknya kebanyakan hakim hanya membuktikan dan mempertimbangkan unsur memperkaya diri, meskipun demikian ada juga hakim yang mempertimbangkan unsur kesalahan secara khusus. Dengan demikian terlepas dari bagaimana cara hakim mempertimbangkannya, berarti unsur kesalahan dalam pasal ini telah dibuktikan dan dipertimbangkan oleh Majelis Hakim ketika akan menyatakan Terdakwa secara sah meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan pasal tersebut.

Article 2 verse 1 of the Corruption Criminal Act has indirectly contained element of guilt, however element of guilt implicitly contained in self enriching element. Through juridical normative methodology research and study of some cassation rsquo s verdict can be deduced that practically, most of judges just proving and considering self enriching element, eventhough there are judges who considering element of guilt specifically. Therefore, regardless of how judges considering element of guilt, it means in this article element of guilt already proven and considered by judges when stating that defendant is guilty based on this Article 2 verse 1 of the Corruption Criminal Act."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69366
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gitari Ananda Putri
"Korupsi, dalam berbagai bentuknya, tidak hanya terbatas pada pertukaran uang atau barang. Salah satu bentuk yang meresahkan adalah layanan seksual, yang dapat muncul sebagai bentuk alternatif gratifikasi ketika uang atau barang tidak lagi menjadi pilihan. Hal ini sangat relevan dalam kasus-kasus di mana pejabat laki-laki, yang telah memiliki kekayaan dan kekuasaan, tidak lagi membutuhkan barang atau kompensasi finansial. Dalam situasi seperti itu, layanan seksual dapat menjadi alat pertukaran bagi mereka yang ingin mendapatkan pengaruh atau kontrol. Perempuan sangat rentan terlibat dalam situasi seperti ini, karena norma-norma masyarakat sering kali mengasosiasikan perempuan dengan penyediaan layanan seksual kepada laki-laki. Di Indonesia, masalah ini sebagian besar masih belum ditangani dalam kerangka hukum, dan dianggap sebagai topik yang tabu dalam wacana publik. Kesenjangan dalam peraturan ini memungkinkan adanya potensi eksploitasi dinamika kekuasaan, di mana layanan seksual digunakan sebagai bentuk korupsi atau pemaksaan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya mengatur gratifikasi seksual di Indonesia. Dengan menyoroti perlunya ketentuan hukum yang jelas, penelitian ini berupaya mendorong para pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan pengembangan undang-undang yang secara eksplisit menangani dan mencegah bentuk korupsi ini. Kerangka hukum yang efektif sangat penting tidak hanya untuk memerangi eksploitasi seksual tetapi juga untuk menumbuhkan budaya akuntabilitas dan melindungi individu-individu yang rentan. Revisi ini menekankan pada kejelasan dan alur, menyajikan topik dengan cara yang lebih terstruktur dan formal dengan tetap mempertahankan poin-poin aslinya.

Corruption, in its various forms, extends beyond monetary or material exchanges. One troubling manifestation involves sexual services, which can emerge as an alternative form of gratification when money or goods are no longer viable options. This is particularly relevant in cases where male officials, who already possess wealth and power, no longer require material goods or financial compensation. In such circumstances, sexual services may become a means of exchange for those who seek to exert influence or control.Women are especially vulnerable to becoming involved in these situations, as societal norms often associate women with the provision of sexual services to men. In Indonesia, this issue remains largely unaddressed in legal frameworks, and it is considered a taboo subject in public discourse. This gap in regulation allows for the potential exploitation of power dynamics, where sexual services are used as a form of corruption or coercion. The aim of this research is to raise awareness about the importance of regulating sexual gratuities in Indonesia. By highlighting the need for clear legal provisions, this study seeks to encourage policymakers to consider the development of laws that explicitly address and prevent this form of corruption. Effective legal frameworks are essential not only for combating sexual exploitation but also for fostering a culture of accountability and protecting vulnerable individuals. This revision emphasizes clarity and flow, presenting the topic in a more structured and formal manner while maintaining the original points."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Martiman Prodjohamidjojo
Bandung: Mandar Maju, 2009
364.132 3 MAR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>