Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 91789 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Prapto Yuwono
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
P.M. Laksono
"Pemahaman mengenai struktur masyarakat Jawa dirasakan sangat perlu bagi penelitian tentang pengaruh terobosan unsur-unsur sosial budaya Barat terhadap Jawa. Berkenaan dengan hal ini, maka abad XIX merupakan periode yang sangat penting diperhatikan. Sebab pada masa ini berlangsung perubahan-perubahan di dalam masyarakat Jawa yang digerakkan oleh penumpangan kekuasaan langsung kolonial Belanda di Jawa.
Untuk menjelaskan masalah di atas dari segi perekonomian, J.H. Boeke (1910) mengajukan konsep dualisme ekonomi. Konsep ini telah membawanya sampai pada suatu anggapan bahwa penetrasi kolonial terhadap Jawa sebagai suatu ekspansi yang statis. Artinya di Jawa secara barsarnaan ada ekonomi Timur (Jawa) yang tetap tidak berkembang dan ekonomi Barat (Belanda) Kapitalistik yang berkembang tanpa menyerap yang pertama. Dalam hal ini Jawa menanggapi ekspansi ekonomi Barat dengan ledakan penduduk sambil mempertahankan nafkah per kepalanya, sehingga ekonomi Jawa dikatakan statis.
Konsep Boeke itu banyak mendapat serangan justeru pada dasar metodenya. Karena ia telah melihat pertemuan antara Jawa dan Belanda dengan dua tolok ukur yang berbeda, yang pertama dengan standar hubungan sosial dan yang kedua dengan standar ekonomi kapitalistik, sehingga disimpulkan bahwa Jawa dilandasi mentalitas homososial dan Belanda dilandasi homoeconomicus. Dengan demikian ia telah menyatakan bahwa ekonomi Belanda berbeda dengan ekonomi Jawa menurut alat analisa yang berbeda."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1984
T17540
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ediningsih S.
"Sejak masa lampau sampai sekarang rumah mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia, karena rumah merupakan kebutuhan dasar di samping makan dan pakaian, atau yang disebut dengan istilah kebutuhan sandang, pangan dan papan.
Bagi kebanyakan keluarga rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi mempunyai nilai yang lebih tinggi lagi, yakni/sebagai investasi, untuk dijual kembali atau disewakan (Feather 1982 : 131 - 139 ).
Menurut Llyod Warner ( 1949 ), pada suatu kelompok sosial, rumah juga menjadi tolok ukur bagi tinggi rendahnya status seseorang ( De F1eur, dkk., 1971 ; 218 ).
Pada masyarakat Jawa misalnya, rumah sebagai lambang martabat dan mantapnya kedudukan seseorang tercermin dalam ungkapan curigo (senjata), turunggo (kuda, dalam arti kendaraan ) wismo ( rumah ), wanito ( istri ), kukilo (burung sebagai alat rekreasi). Kelima hal tersebut merupakan jangkauan hidup seorang kepala rumah tangga dalam mempersiapkan masa depan keluarganya. ( Ronald, 1986 ; 167 ).
Selain itu, bagi orang Jawa, rumah merupakan harta warisan yang paling utama di antara harta warisan lain seperti tanah pertanian, pohon buah-buahan, binatang peliharaan, perhiasan benda pusaka dan tanah jabatan beserta jabatan yang dapat diwariskan (Koentjaraningrat, 1984 ; 162 )
Itu semua karena rumah mempunyai nilai yang lebih mantap dan bersifat universal. Mantap, karena rumah di samping tanah adalah kebutuhan pokok yang harus diupayakan sedapat-dapatnya.
Dalam pada itu, pada saat ini di kota-kota besar kebutuhan akan fasilitas perumahan semakin meningkat, sebagai akibat laju pertumbuhan penduduk yang cenderung meningkat. Laju pertumbuhan penduduk yang cenderung meningkat bukan hanya disebabkan oleh pertambahan internal, melainkan lebih disebabkan oleh pertumbuhan eksternal, khususnya urbanisasi. Berkaitan dengan mobilitas penduduk ke kota, Djoko Marsudi dalam papernya "Masalah fisik dalam pemugaran / perbaikan perumahan"(1980), menyatakan bahwa meskipun penduduk yang tinggal di daerah perkotaan di Indonesia masih relatif lebih kecil dibandingkan dengan kota besar di negara lain, dengan pertambahan penduduk kota antara tahun 1961-1971 mencapai 44% dibanding pertambahan penduduk secara keseluruhan 22%. Untuk kota Semarang ± 2,2,5% pertahun, sedang kota Surabaya sama dengan kota Jakarta sebesar 4,5 7. pertahun (Frick, 1986:23)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
T1612
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Vincentia Irmayanti Meliono
"Kehidupan masyarakat Jawa selalu diwarnai oleh kchidupan simbolis. Unsur-Unsur simbolis itu sangatlah bcrperan terulanla di dalam kchidupan schari-hari. l)alam nicnjalani kchidupannya, nlasyarakal .Iawa iucngungkapkan perasaan clan perilakunya dengan mengkaitkannya pada hal-hal yang bcrsilat simbolis. Kebiasaan-kebiasaan yang t lakukannya seringkali dituangkan dalam henluk upacara-upacara_ 'Iak pelak lagi, dalam upacara-upacara tersebut unsur simbolis sangat berperan di dalamnya. Unsur-unsur simbolis itu berkaitan dengan pandangan hidup masyarakatnya. Oleh karenanya, unsur-unsur simbolis itu haruslah dihavati dan dipahami sehingga ungkapan Berta keinginan masyarakatnya dapat terkuak dan menjadi pedoman hidupnya. Upacara-upacara yang dilakukan old) masyarakat Jawa berkaitan dengan siklus kehidupan manusia, seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian ataupun juga berkaitan dengan pekerjaan, mendirikan rumah, kenaikan pangkat, dan scbagainya. Salah sate tradisi Jawa yang dilaksanakan oleh masyarakatnya adalah upacara wiwuhanl atau"
1998
D1645
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vincentia Irmayanti Meliono
"Kehidupan masyarakat Jawa seialu diwarnai oleh kehidupan simbolis. Unsur-unsur simbolis itu sangatlah berperan terutama di dalarn kehidupan sehari-hari. Dalam menjalani kehidupannya, masyarakat Jawa mengungkapkan perasaan dan perilakunya dengan mengkaitkannya pada hal-hal yang bersifat simbolis. Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya seringkali dituangkan dalam bentuk upacara-upacara. Tak pelak lagi, dalam upacara-upacara tersebut unsur simbolis sangat berperan di dalamnya. Unsur-unsur simbolis itu berkaitan dengan pandangan hidup masyarakatnya. OIeh karenanya, unsur-unsur simbolis itu haruslah dihayati dan dipahami sehingga ungkapan serta keinginan masyarakatnya dapat terkuak dan menjadi pedoman hidupnya.
Upacara-upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa berkaitan dengan siklus kehidupan manusia, seperti kelahiran, perkawinan, dan kematian ataupun juga berkaitan dengan pekerjaan, mendirikan rumah, kenaikan pangkat, dan sebagainya. Salah satu tradisi Jawa yang dilaksanakan oleh masvarakatnya adalah upacara wiwuhan atau upacara perkawinan. Dalam melaksanakan upacara tersebut, mempelai laki-laki dan perempuan menggunakan busana dan tata rias yang diperuntukkan pada upacara wiwahan serta melaksanakan upacara yang sarat dengan tata cara dan adat Jawa. 'I'ata cara tersebut berasal dari kalangan keraton ataupun raja-raja Jawa yang berkuasa di tanah Jawa. Dengan kata lain, kehidupan dan perilaku para bangsawan yang berada di dalam komunitas keraton menjadi salah satu sumber budaya Jawa. Untuk memahmi upacara wiwahan, baik mengenai tata busana, tata rias maupun langkah-langkah dari upacara yang ada di lingkungan istana, perlu dipahami juga latar belakang yang mendasarinya."
1998
D237
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budiono Herusatoto
Depok: Oncor Semesta Ilmu, 2012
398.209 598 BUD m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Irmawati Marwoto Johan
Depok: Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Immaculatus Djoko Marihandono
Depok: Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Prapto Yuwono
"Hukum Jawa dalam konteks masyarakat Jawa abad ke-18 memiliki ciri-ciri: (1) hukum yang lahir akibat adanya perjanjian Giyanti (1755), yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua; Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, (2) hukum yang berisi norma-norma, aturan-aturan, dan undang-undang yang menyangkut kepentingan kedua kerajaan (bilateral) mengenai kemasyarakatan, pengawasan keamanan, perpajakan, hubungan birokrasi, pertanahan, peradilan. dan sebagainya, (3) hukum yang dalam perkembangan selanjutnya diberlakukan juga untuk wilayah Mangkunegaran (perjanjian Salatiga, 1757) dan Pakualaman (tahun 1812). Hukum Jawa tersebut adalah (1) Nawala Pradata Dalem (Surat Peradilan Raja), (2) Angger Sadasa (Undang-Undang Sepuluh), (3) Angger Agerrg (Undang-Undang Tertinggi), (4) Angger Redi (Undang-Undang Pekerja Gunung) dan (5) Angger Arubiru (Undang-Undang Gangguan Ketentraman).
Pemberlakuan hukum Jawa seperti itu tampaknya tidak mempertimbangan eksistensi dan perkembangan masing-masing kerajaan. Dengan kata lain, secara hipotesis, tidak terjadi perubahan struktur masyarakat Jawa pada waktu itu, meskipun dalam kenyataan, perjanjian Giyanti telah memecah belah kekuasaan Mataram. Pada sisi lain ditunjukkan bahwa pemberlakuan hukum jawa secara hipotesis adalah untuk pengendalian sosial bersama. sebagai akibat perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat Jawa di kerajaan masing-masing.
Kedua permasalahan tersebut menarik untuk dibahas, terutama melalui pemahaman struktur hukum Jawa yang dikaitkan dengan konteks ruang dan waktu di mana hukum itu diberlakukan. Pemahaman seperti itu akan menjawab tentang bagaimanakah sistem hukum Jawa yang berlaku pada waktu itu. Membicarakan sistem hukum berarti juga membicarakan dinamika struktur hukum yang bersangkutan dikaitkan dengan fungsi lembaga-lembaga lain di luar yang dianggap ikut menentukan dinamika struktur hukum yang dimaksud. Dengan latar belakang itu maka ditetapkanlah tujuan penelitian adalah (1) menganalisis struktur hukum Jawa sebagai upaya memahami fungsi unsur-unsurnya, (2) memahami sistem hukum Jawa dalam kaitannya dengan konteks sosial budaya masyarakat Jawa pada waktu itu, dan (3) merumuskan secara jelas postulat-postulat hukum Jawa atau anggapan-anggapan dasar mengenai hukum yang dianut masyarakat Jawa pada waktu itu.
Berkenaan dengan permasalahan dan tujuan penelitian itu dan dikaitkan dengan "karakter" hukum Jawa, maka pendekatan yang dipergunakan adalah antropologi hukum dan sejarah. Pendekatan antropologi hukum dipergunakan untuk mencari gambaran bagaimana hukum mempertahankan pranata-pranata yang ada dalam masyarakat, bagaimana masyarakat merumuskan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum, sehubungan dengan cita-cita mengenai apa yang baik dan buruk menurut anggapan dalam kebudayaan yang bersangkutan. Pendekatan sejarah dipergunakan untuk mencari gambaran bagaimana proses perubahan pola dan aspek-aspek hukum Jawa dalam kurun waktu sejak penyusunan hukum Jawa (1755) sampai pada suatu batas hipotesis saat hukum Jawa kehilangan fungsinya lagi karena hegemoni politik kolonial Belanda (1830).
Setelah dilakukan analisa terhadap permasalahan-permasalahan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa (1) Hukum Jawa merupakan sistem yang berfungsi untuk pengendalian sosial bersama, masyarakat Jawa yang sedang mengalami perubahan akibat perjanjian Giyanti (1755), (2) Berfungsinya sistem hukum Jawa tersebut sangat didukung oleh berfungsinya unsur-unsur hukum yakni otoritas, maksud untuk diberlakukan secara universal, obligatio dan sanksi, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Jawa pada waktu itu, dan (3) Sistem hukum Jawa yang diberlakukan pada waktu itu, dikatakan berhasil dan relevan karena terbukti dapat memberikan kontribusi ikut melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Jawa dengan mempertahankan nilai-nilai, pranata-pranata, lembaga-lembaga dan pandangan-pandangan hidup Jawa hingga bertahan sampai saat ini."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11598
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>