Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138814 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bima
"Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas Negara hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan pada negara yang berdasarkan pada kekuasaan belaka (machtsstaat). Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tentunya tindakan dari pemerintah tersebut harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Dibutuhkan suatu pengujian yuridis terhadap tindakan pemerintah dan pengujian yang dilakukan terhadap tindakan pemerintah itu harus dapat menghasilkan perlindungan bagi kepentingan rakyat. Apabila tindakan tersebut bertentangan dengan kepentingan rakyat, maka kepentingan rakyat tidak semena-mena dapat dikorbankan begitu saja. Prinsip adanya peradilan TUN, untuk menempatkan kontrol yudisial dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik menjadi bias dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Apabila suatu putusan PTUN tidak memiliki kekuatan eksekutorial, bagaimana mungkin hukum dan masyarakat dapat mengawasi jalannya pemerintah yang dilaksanakan oleh pejabat-pejabat TUN. Maka dari itu diperlukannya suatu sanksi administratif yang tegas seperti pembayaran uang paksa dwangsom terhadap si pejabat yang tidak mau melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Indonesia is a country based on Law, and not a country based on power, As a country that based on law, surely the Government must act according to law. It is needed to analyze if it was suspected about any Government or Government official wrongdoing which the outcome is for the greater good. The main principal of the Administrative Court is to put Judiciary control on the Government itself. If The Administrative Court make a law decision that does not have a real impact to government, than it really is a waste of time. Therefore there is a need of an administrative punishment for those government officials to make sure that they obey the law decision that have been made by the Administrative Court."
Universitas Indonesia, 2012
S43166
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rahadian Ihtisyamuddin
"ABSTRAK
Penelitian didalam skripsi ini adalah mengenai penerapan uang paksa dalam lingkungan peradilan tata `usaha negara. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan penelitian kepustakaan. Prinsip adanya peradilan TUN, untuk menempatkan kontrol yudisial dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Apabila suatu putusan TUN tidak memiliki kekuatan eksekutorial maka akan sulit untuk mengawasi jalannya pemerintahan yang dilaksanakan oleh pejabat-pejabat TUN. Maka dari itu diperlukan suatu pemaksaan seperti pengenaan uang paksa (dwangsom) terhadap pejabat yang tidak mau melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan Pasal 116 ayat (7) UU PTUN, bahwa ketentuan mengenai mekanisme uang paksa diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan tapi hingga saat ini belum ada yang mengatur. Lebih lanjut penelitian ini untuk menyelidiki penerapan uang paksa dalam putusan dengan amar uang paksa dan menganalisis efektivitas uang paksa. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan hakim ragu dalam memasukan uang paksa dalam putusan karena ketiadaan peraturan pelaksana sehingga uang paksa (dwangsom) tidaklah memiliki kekuatan eksekutorial dan tidak dapat dilaksanakan.

ABSTRACT
Research in this thesis is about implementation of dwangsom within the State Administrative Court. This research is a normative legal research using libarary research aprroach. The main principal of the State Administrative Court is to put Judiciary control on the Government itself. If the State Administrative Court make a law decision that does not have a real impact to government, than its difficult to control the government. Therefore there is a need of an forcement for those governments official to make sure that they obey the law decision that have been made by the State Adiministrative Court. According to Article 116 Paraghraph (7) of Law Regarding the State Administrative Court, the mechanism of dwangsom will be explain more on another Act which is that Act especially to explain mechanism of dwangsom but until now the Act not exist. Furthermore, this research also want to investigate how judge implementate dwangsom on Law Decision of State Administrative Court and to analyze the efectivity of dwangsom. This research is a normative juridical, with an approach in legislation (statute approach) and aprroaches in cases (case approach). Based on this research, it can be concluded the judge have a doubt to implementate dwangsom because the law of dwangsom mechanism not exist so dwangsom is non executabel and can not to execute."
2016
S64820
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung: Citra Umbara, 2011
R 342.066 UND (1)
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Nurdianto
"Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mulai berlaku sejak tanggal diundangkannya yakni tanggal 12 April 2002. Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak memang terkesan memunculkan dualisme bahwa seolah-olah Pengadilan Pajak, yang hanya berkedudukan di Jakarta, itu berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hingga sekarang, kewenangan pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan Pengadilan Pajak belum dialihkan kepada Mahkamah Agung. Hal ini menimbulkan polemik tersendiri dalam lingkungan Peradilan di Indonesia, khususnya untuk Pengadilan Pajak. Dalam yudisial review terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak di Mahkamah Konstitusi, yaitu putusan Perkara Nomor 004/PUU-II/2004 dan putusan Perkara Nomor 011/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pengadilan Pajak termasuk dalam lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Keputusan tersebut diambil berdasarkan pertimbangan bahwa pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung, bahwa adanya ketentuan yang menyatakan pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung, dan bahwa dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan undang-undang, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa sebagai lembaga peradilan, Pengadilan Pajak mempunyai kekhususan tersendiri, dalam hal ini termasuk dalam pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan yang dilakukan oleh Departemen Keuangan. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa, Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung; dan Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan, hal tersebut telah mencerminkan adanya pemisahan kekuasaan. Di sini jelas terlihat adanya pemisahan kekuasaan, yaitu kekuasaan eksekutif berada di bawah Departemen Keuangan, yang saat ini adalah Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan kekuasaan yudikatif berada dibawah Mahkamah Agung. Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan pajak yang saat ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dilaksanakan Departemen Keuangan hendaknya diserahkan ke Mahkamah Agung. Menempatkan badan peradilan di bawah eksekutif, dalam hal ini departemen, meskipun yang ditempatkan dibawahnya hanya organisatoris, administratif dan financial, sistem seperti ini baik langsung maupun tidak langsung merupakan simbol pengakuan yuridis bahwa badan peradilan di bawah departemen yang bersangkutan. Salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya pemisahan yang tegas antara kekuasaan-kekuasaan negara.

[Code/Law] Number 14 Year 2002 about Justice of Iease which go into operation commencing from the date of its it[him] namely the 12 April 2002. Delivering birth of [Code/Law] Number 14 Year 2002 about Justice of Iease (it) is true impress to peep out dualisme that impressing Justice of Iease, which only dimiciling [in] Jakarta, that beyond judicial power which [is] arranged in [Code/Law] Number 48 Year 2009 about Judicial Power. Until now, kewenangan construction of organization, finance and administration Justice of Iease not yet been transferred to Appellate Court. This Matter generate separate polemic in Jurisdiction environment in Indonesia, specially for the Justice of Iease. In review yudisial to [Code/Law] Number 14 Year 2002 about Justice of Iease [in] Lawcourt Constitution, that is Number verdict 004/PUU-II/2004 and Number verdict 011/PUU-IV/2006, Lawcourt Constitution have a notion that Justice of Iease of[is included in jurisdiction environment which under Appellate Court as expressed by Section 24 sentence ( 2) Constitution 1945. The decision taken pursuant to consideration that the lawsuit can raise Sighting Return of Decision Justice of Iease to Appellate Court, that there is rule him expressing technical construction [of] jurisdiction to Justice of Iease [done/conducted] by Appellate Court, and that Civil service arbitration tribunal environment can be performed [a] [by] peculiarity which regulate, in this case [Code/Law] Number 14 Year 2002 about Justice of Iease. In the balance [of] Lawcourt Constitution also have a notion that as jurisdiction institute, Justice of Iease have separate specialty, in this case the included in construction of organization, administration, and finance [done/conducted] by Treasury Department. Rule Section 5 sentence ( 1) and sentence ( 2) [Code/Law] Number 14 Year 2002 about Justice of Iease expressing that, Technical construction [of] jurisdiction to Justice of Iease [done/conducted] by Appellate Court; and Construction of organization, administration, and finance to Justice of Iease [done/conducted] by Treasury Department, [the] mentioned have expressed the existence of dissociation of power. Clear here seen the existence of dissociation of power, that is power of executive under Treasury Department, what in this time [is] Ministry Of Finance Republic Of Indonesia and power of yudikatif reside in below/under Appellate Court. Construction of organization, administration, and finance justice of Iease which in this time pursuant to [Code/Law] Number 14 Year 2002 about Justice of Iease executed [by] Treasury Department shall be delivered to Appellate Court. Placing jurisdiction body below/under executive, in this case department, though which [is] placed under him only organisatoris, administrative and financial, system like this indirect and also direct goodness represent symbol confession of yuridis that jurisdiction body below/under pertinent department. One of [the] characteristic of body politic [is] the existence of coherent dissociation [among/between] powers of state.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35142
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Dwitya Pradita
"Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur beberapa hal mengenai hak konsumen terhadap informasi produk yang dikonsumsinya. Konsumen Indonesia, yang secara khusus adalah konsumen kesehatan, memiliki hak atas informasi terhadap obat-obatan yang akan dikonsumsinya terutama mengenai komposisi dan khasiat obat.
Skripsi ini membahas bagaimana analisis peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak konsumen atas informasi terhadap fakta yang terjadi terkait dengan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam pemenuhan hak konsumen atas informasi obat yang berada pada label obat, serta pengaturan mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen kesehatan yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi obat yang memiliki kesalahan yaitu ketidaksesuaian antara label informasi obat dengan isi kandungan obat yang terdapat dalam ampul obat tersebut.
Hasil penelitian menyarankan bahwa dalam memproduksi obat-obatan harus diterapkan prinsip kehati-hatian; mengadakan kerja sama antara Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan Kepolisian dalam pengawasan serta pemberian sanksi pidana terhadap pelaku usaha yang melanggar; mengadakan sosialisasi mengenai hak konsumen terutama penyuluhan tentang Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

The Law Number 8 Year 1999 on Consumer Protection rules some consumer rights about product information which is consumed. Indonesian consumers, especially health consumer, have the rights for information about medicines they buy and consume, especially about compositions and properties of the drug.
This thesis discusses how the analysis of legislation regulating for the rights of consumers to information on the facts that occurred in relation to offenses committed by business actors in the fulfillment of the right of consumers to information on the drug?s label, also regulations about protection to health consumers that suffered losses as the result of taking the medicine that has a fault, that is a mismatch between the drug?s information label to the content of the drug contained in the drug ampule.
The results suggested, when producing drugs business actors should apply the principle of prudence; held the cooperation between the National Agency of Drug and Food with the police to supervise and the provision of criminal sanctions to business actors that break the rules; also held socialization and education about consumer rights, especially counseling about the Consumer Protection Act.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S61191
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Khairul Fadli
"Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan merupakan landasan baru dan menjadi induk hukum materiil peradilan administrasi negara. Sehubungan eratnya hubungan antara hukum materiil dengan hukum acara yang memuat prosedur formal pelaksanaan kaidah-kaidah hukum materiil tersebut, maka diperlukan kesesuaian antara subtansi dalam undang-undang peradilan administrasi negara dengan UU No. 30/2014 tersebut. Subtansi hukum yang diangkat dalam tesis ini adalah: Pertama, UU No. 30/2014 secara signifikan memperluas makna keputusan administrasi, perluasan makna tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1 Ayat (7) dan Pasal 87 (Penetapan tertulis mencakup tindakan faktual, memperluas sumber terbitnya keputusan administrasi, perluasan terhadap legal standing yang akan menggugat, melegalkan keputusan berbentuk elektronik, dan merubah paradigma dalam sikap diam/ lalai pejabat dari fiktif negatif ke fiktif positif). Maka implikasinya perlu merevisi pasal 1 angka (9), pasal 2 angka (1,6), dan pasal 3 Ayat (1,2,3) undang-undang peradilan administrasi. Kedua, UU No. 30/2014 merekonstruksi dan mengembangkan eksistensi upaya administratif menjadi: 1) General untuk semua kasus; 2) Terintegrasi menjadi satu sistem dengan peradilan murni; 3) Pengujian akhir hasil banding di peradilan administrasi tingkat 1 (PTUN); 4) Memiliki hukum acara dengan berbasis fiktif positif; 5) Empowering terhadap institusi pemerintahan; 6) Pembebanan sanksi administratif. Konsekuensi hukum dari konstruksi tersebut adalah; a) Ketentuan pasal 48 UU No. 9/2004 harus dihapus, karena menempatkan upaya administratif bersifat alternatif-imperatif; b) Penghapusan Pasal 51 ayat 3 UU No. 9/2004 yang menyatakan bahwa upaya hukum setelah upaya administratif ke PTTUN; c) dan revisi Pasal 55 UU No. 9/2004 berkenaan dengan ketentuan tenggang waktu. Ketiga, dalam rangka mengefektifkan pelaksanaan keputusan peradilan administrasi UU No. 30/2014 mengkonsepkan uang paksa (dwangsom) sebagai bentuk dari sanksi administratif yang dikelompokkan kedalam jenis sanksi administratif sedang (tidak memandang sebagai suatu sarana eksekutor sebagaimana konsep uang paksa dalam undang-undang peradilan administrasi negara). Dan pelaksanaan uang paksa secara yuridis menjadi tanggungjawab atasan pejabat dengan proses pemeriksaan internal instansi pemerintahan secara berjenjang. Dan mengenai sumber uang paksa tersebut dibebankan kepada pejabat yang bersangkutan sebagaimana penjelasan pasal 81 Ayat (2) UU No. 30/2014.

The Law Number 30 Year 2014on Governmental Administration a new foundation and becomes the main material law of state administrative procedure law. Due to the close relation between the material law and procedural law that contains formal procedure on the implementation of such material law rules, a conformity between the substance in the Law of the State Administrative Law Procedure by Law No. 30/2014. The substances of law being focused on in this thesis such as: First, The Law No.30/2014 is significantly provided a more extensive meaning an administration decision, extensively meaning can be seen to Article I number (7) and Article 87 (Written decision include to factual actions, extensively the source of issuance of an administration decision, extensively to legal standing of litigant, legaliting to electronic decision, and changing paradigzm in the official?s readiness/negligence from negative fictive to positive fictive. Therefore, the implication need to revise article 1 number (9), article 2 number (1,6), and article 3 number (1,2,3) from the Law of Administration Procedural. Second, The Law No. 30/2014 reconstructed and developed the existence of administrative beroep such as: 1) is generally applicable for all cases; 2) is integrated into one system under pure judicial court; 3) final testing of the appeal result in level 1 administration judicial court; 4) Has a positive fictive-based procedural law; 5) Empower the governmental institution; 6) imposition of Administration sanction. Legal consequences of such construction are; a) The provision of article 48 of The Law No. 9/2004 must be eliminated, because it disposes an imperative-alternative of administration beroep; b) Elimination of Article 5l number 3 of The Law No. 9/2004 that states legal effort following the administrative beroep to PTTUN; c) and revision of Article 55 of The Law No. 9/2004 with regard to the provision of deadline. Third, for efficiently implement administration judicial court order, The Law No. 30/2014 provides the concept of penalty payment (dwangsom) as a form of administrative sanction, grouped into a medium administrative sanction (without considering it as an executer media as thepenalty payment concept in the Law of the State Administrative Law Procedure. And then the implementation of juridical penalty payment shall be the responsibility of the official?s superior with step-by-step internal inspection process of the governmental institution. And with regard to such source of penalty payment shall be borne by the concerned official as stated in the description of article 81 number (2) of The Law No. 30/2014."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44883
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trypu Vevianto
"Tindak pidana pada awalnya merupakan tindakan yang merugikan keuangan negara. dalam perkembangannya kondisi yang diciptakan akibat tindak pidana korupsi adalah membahayakan keamanan negara, dan akhirnya tindak pidana korupsi menimbulkan bahaya keamanan asimetrik atau non-tradisional yaitu bahaya terhadap keamanan umat manusia, karena dampak negatifnya telah menambah ke dunia pendidikan, kesehatan, penyediaan sandang pangan, keagamaan dan fingsi fungsi pelayanan sosial lainnya.

Criminal acts were initially acts that were detrimental to state finances. in its development the conditions created due to criminal acts of corruption are endangering the security of the state, and ultimately corruption acts pose asymmetric or non-traditional security hazards, namely the danger to the security of mankind, because the negative effects have added to the world of education, health, food and religious clothing, religious and function of other social service functions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29370
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hevi Dwi Oktaviani
"ABSTRAK
Pasca disahkannya Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terjadi perluasan dalam pemaknaan Keputusan Tata Usaha Negara KTUN . Sehingga, perlu dipahami perbedaan definisi sebelum dan sesudah munculnya pasal tersebut. KTUN dimaknai secara sempit pada Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Setelah itu, perluasan redefinisi KTUN berdampak pada wewenang PTUN karena KTUN merupakan objek sengketa di PTUN. Pembahasan terakhir akan mencoba mencari putusan-putusan PTUN yang sudah menerapkan ketentuan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 dalam pertimbangan hukum hakim. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder serta menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang diperoleh dari studi kepustakaan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak adanya penambahan wewenang PTUN pasca munculnya Pasal 87 karena pada intinya wewenang PTUN tetap mengadili dan memutus sengketa Tata Usaha Negara yang disebabkan oleh terbitnya suatu KTUN. Tetapi, saat ini PTUN harus memaknai KTUN berdasarkan Pasal 87. Selanjutnya, terdapat putusan PTUN yang telah menerapkan Pasal 87 dalam pertimbangan hukumnya yaitu pada Putusan No.45/B/2016/PT.TUN.MKS yang khususnya menggunakan dalil unsur KTUN pada Pasal 87 huruf e ldquo;berpotensi menimbulkan akibat hukum rdquo;. Pasca disahkannya Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, terjadi perluasan dalam pemaknaan Keputusan Tata Usaha Negara KTUN . Sehingga, perlu dipahami perbedaan definisi sebelum dan sesudah munculnya pasal tersebut. KTUN dimaknai secara sempit pada Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Setelah itu, perluasan redefinisi KTUN berdampak pada wewenang PTUN karena KTUN merupakan objek sengketa di PTUN. Pembahasan terakhir akan mencoba mencari putusan-putusan PTUN yang sudah menerapkan ketentuan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 dalam pertimbangan hukum hakim. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder serta menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang diperoleh dari studi kepustakaan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak adanya penambahan wewenang PTUN pasca munculnya Pasal 87 karena pada intinya wewenang PTUN tetap mengadili dan memutus sengketa Tata Usaha Negara yang disebabkan oleh terbitnya suatu KTUN. Tetapi, saat ini PTUN harus memaknai KTUN berdasarkan Pasal 87. Selanjutnya, terdapat putusan PTUN yang telah menerapkan Pasal 87 dalam pertimbangan hukumnya yaitu pada Putusan No.45/B/2016/PT.TUN.MKS yang khususnya menggunakan dalil unsur KTUN pada Pasal 87 huruf e ldquo;berpotensi menimbulkan akibat hukum rdquo;.

ABSTRACT
After the passing of Article 87 of Law Number 30 Year 2014 on Government Administration, there is an expansion in the meaning of the State Administrative Decision KTUN . Thus, it is necessary to understand the difference of definition before and after the emergence of the article. KTUN is interpreted narrowly in the Law on State Administrative Court. After that, the redefinition extension of KTUN affects the authority of the PTUN because KTUN is a dispute object in the PTUN. The last discussion will try to find the decision of the Administrative Court which has applied the provisions of Article 87 of Law Number 30 Year 2014 in the judge 39 s judicial consideration. The research method used is normative juridical, using secondary data and using primary, secondary and tertiary legal material obtained from literature study. The conclusion of this research is the absence of additional authority of PTUN after the emergence of Article 87 because in essence the authority of PTUN still adjudicates and decides the State Administration dispute caused by the issuance of a KTUN. However, the current State Administrative Court must interpret the KTUN under Article 87. Furthermore, there is a decision of the Administrative Court which has applied Article 87 in its legal considerations, namely Decision No.45 B 2016 PT.TUN.MKS which specifically uses the KTUN elementary argument in Article 87 letter e has the potential to cause legal consequences ."
2018
T49058
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sirang, Bill Arthur
"Skripsi ini membahas mengenai masalah unsur ldquo;memiliki, menyimpan atau menguasai rdquo; dalam Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Pasal ini sering dikenakan kepada penyalahguna narkotika yang seharusnya dihukum dengan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pembahasan dimulai dengan perkembangan unsur tersebut dalam aturan-aturan sebelumnya, pembentukan dan penerapan pasal tersebut dalam proses penegakan hukum. Penelitian dilakukan dengan studi kepustakaan dan peraturan perundang-undangan serta wawancara kepada para penegak hukum. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ketentuan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan banyak disalahgunakan untuk menjerat penyalahguna narkotika. Sehingga, diperlukan perubahan terhadap ketentuan tersebut.

This thesis discusses the element of possessing, storing or controlling elements under Article 112 of 2009 Law Number 35. This study is inspired by the fact that this Article is often misused to impose punishment to narcotic abusers although Article 127 of 2009 Law Number 35 on Narcotics is more relevant to be applied for their cases. The study focuses on various aspects of these elements of crime including their creation, development, and implementation. It was conducted using the literature and legislation study approach backed up by interviews to various stakeholders including several law enforcement officers. Finally, it can be concluded that the Article 112 Paragraph 1 of 2009 Law Number 35 is problematic causing legal uncertainty to everyone. Therefore, it needs to be amended."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S68262
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>