Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 102106 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riza Marlyne
"Pada penelitian terdahulu diketahui bahwa tanaman Rosa damascena, Rosa multiflora, Rosa canina, Rosa hybrida, memiliki efek analgesik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji efek analgesik ekstrak etanol 70% bunga mawar (Rosa chinensis Jacq.). Dalam penelitian ini digunakan metode Sigmund (metode geliat) pada 25 ekor mencit jantan yang telah lulus uji kepekaan, dibagi dalam 5 kelompok, yaitu kelompok I sebagai kontrol negatif diberikan CMC 0,5%, kelompok II sebagai kontrol positif diberikan asetosal, kelompok III, IV dan V diberikan ekstrak bunga mawar berturut-turut sebesar 0,005; 0,01 dan 0,02 g/20 g BB mencit. Masing-masing kelompok diberikan bahan uji secara oral, satu jam kemudian diinduksi dengan asam asetat 0,6% secara intraperitoneal, setelah sepuluh menit diamati dan dihitung jumlah geliat dengan interval lima menit selama satu jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dosis I (0,005 g/20 g BB mencit) dan dosis II (0,01 g/20 g BB mencit) memberikan persentase proteksi berturut-turut (89,12% dan 73,69%) dan persentase efektivitas yang tinggi (98,15% dan 81,16%), dan hampir setara dengan kontrol positif yaitu asetosal dengan dosis 13 mg/20 g BB mencit yang memberikan persentase proteksi 90,80% dan persentase efektivitas 100%.

In the previous study the analgesic effect of some rose (Rosa damascena, Rosa multiflora, Rosa canina, Rosa hybrida) was investigated. The aim of this study was to investigate analgesic effect of the ethanol extract 70% of Rose (Rosa chinensis Jacq.). This study used Sigmund method (writhing method) at 25 male mice which have passed sensitivity test, divided into five groupes. Group I as negative control was administered 0,5% CMC, group II as positive control was administered acetosal, group III, IV and V was administered extract of rose at 0,005; 0,01 and 0,02 g/20 g BW. One hour before intraperitonial injection of acetic acid 0,6%, drugs were orally administered to mice. The number of writhings exhibited by each animal was counted for one hour with interval five minute beginning ten minute after acetic acid induction. The result shows that effectiveness at dose I (0,005 g/20 g BW) and dose II (0,01 g/20 g BW) had percent protection (89,12% and 73,69%) and higher percent effectiveness (98,15% and 81,16%), and almost equal with positif control, acetosal dose 13 mg/20 g BW with percent protection 90,80% and percent effectiveness 100%."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2012
S42961
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Grace Natalia
"Obat bahan alam telah digunakan dalam upaya promotif, preventif, dan rehabilitatif kesehatan manusia. Secara empiris, daun sisik naga digunakan oleh masyarakat sebagai penghilang rasa sakit atau analgesik. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efek analgesik ekstrak etanol daun sisik naga dalam menghambat respon geliat mencit yang disebabkan oleh stimulasi kimia. Pada penelitian ini, 25 ekor mencit jantan dibagi menjadi lima kelompok. Kelompok pertama diberi CMC 0,5% sebagai kontrol negatif, kelompok kedua diberi asetosal 13 mg/20 g bb sebagai kontrol positif, kelompok ketiga sampai kelompok kelima diberi ekstrak etanol daun sisik naga dengan variasi dosis, yakni 17,125; 34,25; dan 68,5 mg/20 g bb secara oral. Satu jam setelah perlakuan, kelompok-kelompok tersebut disuntikkan asam asetat glasial 0,6% secara intraperitoneal dan dihitung jumlah geliat yang timbul pada menit ke-10 sampai menit ke-60 dengan interval 5 menit. Hasil uji menunjukkan bahwa ketiga dosis ekstrak daun sisik naga memiliki efek analgesik yang signifikan (α<0,05) ditinjau dari penurunan jumlah geliat mencit dengan persentase inhibisi geliat yang diberikan oleh dosis I, dosis II, dan dosis III berturut-turut adalah 94,27%; 86,36%; dan 84,68%.

Natural medicines have been used in promotive, preventive, and rehabilitative of human health. Empirically, sisik naga leaves used as analgesic. This study aimed to observe the analgesic effect of ethanol extract of sisik naga leaves in inhibiting writhing respon in mice caused by chemical stimulation. In this study, 25 mice were used and divided into five groups. First group received CMC 0,5% as negative control group, second group received acetosal 13 mg/20 g bw as positive control group, third group until fifth group received ethanol extract of sisik naga leaves with doses 17,125; 34,25; and 68,5 mg/20 g bw per oral. One hour afterward, the groups induced by intraperitoneal injection of glacial acetic acid 0,6% and the writhing that occured at 10 minute until 60 minute counted with interval 5 minute. The result showed that ethanol extract of sisik naga leaves have analgesic effect significantly (α<0,05) reviewed from reduction of writhing number in mice with the writhing inhibition for dose I, II, and III are 94,27%; 86,36%; and 84,68% respectively."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2012
S43077
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Widiarti
"Pada penelitian terdahulu diketahui bahwa ekstrak kering etanol 80% kulit batang tanaman Cinnamommum zeylanicum memberikan efek analgesik. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji efek analgesik ekstrak kental etanol 70% kulit batang kayu manis (Cinnamomum zeylanicum Breyn.). Dalam penelitian ini digunakan metode Tail-Flick pada 25 ekor mencit jantan yang terbagi dalam 5 kelompok, yaitu kelompok I sebagai kontrol negatif diberikan CMC 0,5%, kelompok II sebagai kontrol positif diberikan Tramadol HCl, kelompok III, IV dan V diberikan ekstrak kental etanol 70 % kulit batang kayu manis berturut-turut sebesar 8; 16 dan 32 mg/20 g BB mencit. Setiap mencit yang digunakan telah lolos uji kepekaan. Masing-masing kelompok diberikan bahan uji secara oral 30 menit sebelum induksi panas, diamati waktu respon mencit terhadap induksi panas dari alat Tail-Flick dengan interval 30 menit selama 2 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis I (8 g/20 g BB mencit), dosis II (16 g/20 g BB mencit) dan dosis III (32 g/20 g BB mencit) memperlihatkan efek analgesik pada menit ke-30, 60, 90, dan 120.

In the previous study the analgesic effect of Cinnamommum zeylanicum Breyn had been investigating. The aim of this study was to investigate analgesic effect of the 70% ethanol extract of cinnamon bark (Cinnamommum zeylanicum Breyn.). This study used Tail-Flick method at 25 male mice which have passed sensitivity test, divided into five groupes. Group I as negative control was administered 0,5% CMC, group II as positive control was administered tramadol HCl, group III, IV and V was administered extract of cinnamon bark at 8; 16 and 32 mg/20 g BW. Drugs were orally administered to mice. The reaction of time exhibited by each animal was counted for two hour with interval thirty minutes. The result shows that effectiveness at dose I (8 mg/20 g BW), dose II (16 mg/20 g BW) and dose III (32 mg/20 g BW) showed analgesic effect at 30, 60, 90 and 120 minutes."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S45190
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wulung, Navy Gerard Humphrey Matasak Lolong
"Latar belakang : Suatu penelitian menyatakan bahwa penambahan klonidin 45 pg pada bupivakain plus fentanil intratekal menurunkan tekanan darah dan tidak menambah durasi analgesia persalinan. Penelitian lainnya menyatakan bahwa penambahan bupivakain hiperbarik segera setelah fentanil intratekal dapat meningkatkan durasi analgesia. Kami membandingkan penambahan bupivakain 2,5 mg hiperbarik dengan penambahan klonidin 45 μg pada campuran bupivakain 2,5 mg 0,1 % dan fentanil 25 μg.
Metode : Sebanyak 34 ibu bersalin dengan pembukaan serviks z3 sm dirandomisasi ke dalam 2 grup. Grup pertama menerima campuran bupivakain 2,5 mg 0,1% dan fentanil 25 pg diikuti oleh bupivakain 2,5 mg 0,5% hiperbarik (grup BH, n=17). Grup kontrol menerima campuran bupivakain 2,5 mg 0,1% plus fentanil 25 μg plus klonidin 45 μg diikuti oleh NaCl 0,9% (grup K, n=17). Dari posisi duduk saat penyuntikan obat, pasien dibaringkan dengan posisi 30° sepanjang sisa persalinan. Dilakukan pencatatan durasi analgesia, skor VAPS, skor Bromage, efek samping, lama persalinan, jenis persalinan, skor APGAR dan tingkat kepuasan ibu bersalin.
Hasil : Ibu bersalin dalam grup K memiliki durasi analgesia yang lebih lama (Tara-rata 168 menit, kisaran 140-240 menit) daripada ibu bersalin dalam grup BH (rata-rata 126 menit, kisaran 105-150 menit) (p<0,001). Grup BH juga memiliki lebih banyak ibu bersalin yang mengalami blok motorik (p=0,003). Efek samping lainnya seimbang di antara kedua grup, dengan catatan bahwa tidak ada kejadian mual-muntah pada kedua grup, dan hanya 1 kejadian hipotensi pada grip BH.
Kesimpulan : Penambahan klonidin 45 μg pada bupivakain 2,5 mg 0,1% dan fentanil 25 μg menghasilkan durasi analgesia yang lebih lama dibandingkan penambahan bupivakain 2,5 mg 0,5% hiperbarik segera setelah bupivakain 2,5 mg 0,1% dan fentanil 25 μg.

Background : One study reported that the addition of clonidine 45 pg to intrathecal bupivacaine and fentanyl reduced blood pressure and did not increase the duration of analgesia. In another study, the addition of hyperbaric bupivacaine right after intrathecal fentanyl increased the duration of analgesia. We compared the duration of analgesia of intrathecal hyperbaric bupivacaine 2,5 mg right after intrathecal bupivacaine 2,5 mg 0,1 % and fentanyl 25 μg with that of intrathecal bupivacaine 2,5 mg 0,1% and fentanyl 25 μg and clonidine 45 μg.
Method : Thirty-four parturients with a cervical dilation 3 cm were randomized into 2 groups. The first group received intrathecal bupivacaine 2,5 mg 0,1% and fentanyl 25 μg which followed immediately by hyperbaric bupivacaine 2,5 mg 0,5% (group BH, n=17). The second group received intrathecal bupivacaine 2,5 mg 0,1% and fentanyl 25 μg and clonidine 45 μg followed immediately by NaCl 0,9% 0,5 ml (group K, n=17). After the administration of the drugs, the position of the patient was changed from sifting to supine with 30° elevation of torso. We collected the data of duration of analgesia, VAPS score, Bromage score, other side effect, duration of labor, type of labor, APGAR score and the maternal satisfaction.
Results : The duration of analgesia of group K (mean 168 minutes, range 140-240 minutes) is longer than group BH (mean 126 minutes, range 105-150 minutes) (p<0,001). There was more patient with motoric block in group BH than in group K (p=0,003). The other side effects are equal ini both groups. We noted that there was no nauseaNomiting in both group, and there was only one patient BH got hypotension which treated easily.
Conclusion : The addition of clonidine 45 μg to intrathecal bupivacaine 2,5 mg 0,1% and fentanyl 25 pg results in longer duration of analgesia compared with the addition of hyperbaric bupivacaine 2,5 mg 0,5% right after bupivacaine 2,5 mg 0,1% and fentanyl 25 μg.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Hanani
"Anacardium Occidentale L atau yang lebih dikenal masyarakat Indonesia dengan nama daerah jambu mede, jambu mente, merupakan salah satu tumbuhan multiguna, karena selain dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional, bagian biji dapat dimakan sebagai makanan kecil, bagian buah sebagai buah segar atau sari buah dan bagian daun muda untuk lalap ( sayur mentah ).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek analgetik hasil fraksinasi sari metanol daun jambu mede yang diberikan secara oral pada hewan coba mencit putih yang diberi asam asetat sebagai pembangkit rangsang nyeri.
Penelitian dilakukan menurut metode writhing test atau test peritoneal, menggunakan pembanding asam asetil salisilat ( asetosal ). Bahan uji diberikan secara oral dalam bentuk suspensi dalam larutan CMC 0,5 %, diberikan tiga puluh menit sebelum pemberian asam asetat. Pengamatan jumlah geliat dilakukan 10 menit setelah penyuntikan asam asetat, selang waktu 5 menit selama 30 menit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sari etil asetat dosis 47 mg/20 g berat badan dan sari butanol dosis 26 mg/20 g berat badan mempunyai efek analgetik yang secara statistik tidak berbeda bermakna dengan efek yang ditimbulkan oleh asam asetil salisilat dosis 1,30 mg/20 g berat badan. Sari air dan residu tidak menunjukkan efek analgetik. Ketiga macam dosis sari etil asetat yaitu 31, 47 dan 71 mg/20 g berat badan memberikan efek analgetik tetapi peningkatan dosis ini tidak diikuti dengan peningkatan efek."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1998
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhsan Amran
"Latar Belakang : Penanganan nyeri pascabedah merupakan tantangan bagi dokter anestesi dan merupakan penyebab tersering pemanjangan lama rawatan pasien di ruang rawat. Pemantauan oleh tim Acute Pain Service (APS) dan penggunaan metoda analgesia modern sudah terbukti dapat mengurangi kejadian nyeri pascabedah. Masalah baru manajemen nyeri pada masa peralihan analgesia dari metoda modern ke analgesik dasar. Peningkatan nyeri akibat kesenjangan pada periode transisi ini disebut dengan analgesia gap. Saat ini faktor resiko kejadian analgesia gap belum jelas. Peneliti ingin mengetahui pengaruh jenis operasi, lama pemberian epidural, jenis obat analgesik dan kepatuhan pemberian obat analgesik sebagai faktor risiko terjadinya analgesia gap pada pasien pascabedah di RSCM.
Metode : Penelitian ini uji kohort prospektif prediktif pada pasien pasca-APS di RSCM. Subjek penelitian 220 sampel. Semua sample diambil data kejadian analgesia gap, selain itu dicatat status data demografis, jenis operasi, lama pemberian epidural, jenis obat analgesik yang diberikan dan kepatuhan pemberian obat berdasarkan waktu pemberian.
Hasil : Angka kejadian analgesia gap di RSCM sebesar 26.6%. Faktor jenis operasi dan lama pemberian epidural tidak memiliki hubungan bermakna terhadap kejadian analgesia gap (p 0.057 dan p 0.119). Faktor jenis obat analgesic yang diberikan dan kepatuhan waktu pemberian obat analgesic di ruangan bermana secara statistic bermakna secara statistik terhadap kejadian analgesia gap (p 0.016 dan p 0.00). Pemberian gabungan opioid dan OAINS/asetaminofen dapat menurunkan kejadian analgesia gap. Pemberian obat analgesik sesuai waktu pemberian dapat menurunkan kemungkinan terjadinya analgesia gap sebesar 4,5x dibandingkan dengan tidak diberikan obat (RR 0.22) dan menurunkan sebesar 3,33x dibandingkan dengan tidak diberikan obat (RR 0.3).
Simpulan : Angka kejadian analgesia gap di RSCM sebesar 26.6%. Jenis obat analgesik dan kepatuhan waktu pemberian obat analgesik di ruang rawat berhubungan terhadap kejadian analgesia gap. Pemberian obat analgesik sesuai waktu pemberian dapat menurunkan terjadinya analgesia gap sebesar 4,5x dibandingkan dengan tidak diberikan obat dan menurunkan sebesar 3,33x dibandingkan dengan tidak diberikan obat.

Background : Post-operative pain management has been a challenged for anesthesiologist for decades and causes prolonged hospital stays for patients. The monitoring by acute pain service team and use of advanced analgesia clearly can reduce of analgesia pain. New challenge of post-operative pain managements is the management transition from advanced analgesic support to analgesic drugs. Increased pain during transition from post-epidural analgesia to oral analgesic, is defined as analgesic gap. Risk factors of analgesic gap are not clearly known. This study aims to observe the prediction of analgesia gap in RSCM based on type of surgery, duration of epidural, type of analgesic drugs and drugs administration adherence.
Method : This study is a predictive prospective cohort in post-APS patients in RSCM. This research subjects were 220 samples. Samples were selected based on the analgesia gap occurrence data, as well as demographic data, type of surgery, duration of epidural analgesia, type of analgesic drugs, timing of drugs administration.
Result : The Incidence of analgesic gap in RSCM is 26.6%. Types of operation and duration epidural analgesia administration are not statistically related to incidence of analgesic gap (p 0.057 and p 0.119). However, types of analgesic drugs in ward and timing of drugs administration are related to incidence of analgesic gap (p 0.016 and p.00). Combining opioid and NSAID/asetaminofen are recommended to reduce analgesic gap. Administering drugs on scheduled lowers the incidence of analgesic gaps 4.5 times un-administered (RR 0.22) and 3.3 times than if administering not on schedule (RR 0.3).
Conclusion : The incidence of analgesic gap in RSCM is 26.6%. Types of analgesic drugs and timing of drugs administration are related to incidence of analgesic gap. Combining opioid and NSAID/asetaminofen and administering drugs on scheduled lower incidence of analgesic gap.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Junaidi Baharudin
"Telah dilakukan penelitian untuk memperpanjang efek analgesia pasca operasi dengan memakai obat neostigmin 50 yang dicampurkan kedalam bupivakain 0,5% isobarik dan disuntikkan kedalam rongga subarakhnoid pada operasi abdominal bagian bawah, dalam hal ini operasi saesar, operasi hernia dan operasi appendiks di Instalasi Gawat Darural dan Instalasi Bedah Pusat Rumah Sakit Ciptomangunkusumo Jakarta Pusat. Pasien yang diteliti sebanyak 40 penderita dan dibagi menjadi 2 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 20 penderita Kelompok satu mendapat bupivakain 0,5% isobarik dan kelompok dua mendapat bupivakain 0,5% isobarik yang ditambah neostigmin 50p. Dari hasil perbandingan kedua kelompok didapatkan hasil dimana nyeri pasca operasi yang timbul sesuai dengan skala visual analog 6 pada kelompok dua lebih lambat daripada kelompok satu dan secara statistik berbeda bermakna. Efek samping dari neostigmin seperti mual, muntah pada kelompok perlakuan tidak dijumpai. Efek penurunan tekanan darah, frekuensi nadi ditemukan perbedaan diantara kedua kelompok, namun secara statistik perbedaan ini tidak bermakna. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57278
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maruanaya, Samuel
"Latar Belakang: Manajemen nyeri yang adekuat memiliki peran penting dalam mendukung ambulasi dini setelah operasi Total Knee Arthroplasty (TKA). Analgesia multimodal adalah salah satu modalitas untuk menurunkan Penggunaan morphine dan mengatasi nyeri pasca operasi. Penggunaan kombinasi parasetamol dan injeksi ibuprofen diharapkan dapat mengurangi total penggunaan morfin setelah dilakukan tindakan TKA.
Metode: Setelah persetujuan etik dan penanda-tanganan informed consent, tiga puluh enam pasien berusia 50-75 tahun yang akan menjalani TKA di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan RSUP Fatmawati dilibatkan dalam penelitian ini. Semua subjek dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok I akan menerima Paracetamol 1 gr iv dan Ibuprofen 800 mg iv, Kelompok II akan menerima 1 gr Paracetamol iv dan 100 ml normal saline, Kelompok III akan menerima 800 mg Ibuprofen iv dan 100 ml normal saline. Obat diberikan sepuluh menit sebelum operasi selesai. Total penggunaan morfin, skor nyeri (pada fase istirahat, fase berjalan, fase fleksi lutut), rentang gerak sendi lutut (ROM) dan 2MWT diukur dalam jam ke-24, 48, dan 72 pasca operasi. Kami juga membandingkan 6MWT, skor WOMAC dan SF-12 (PCS-12 dan MCS-12) pada masing-masing kelompok pada hari ke 32 pasca operasi. Data kemudian dianalisis dengan SPSS 16.0.
Hasil: Median total penggunaan morfin antara tiga kelompok masing-masing adalah 7,5 (3,0-36,0) vs 15,0 (4,5-28,5) vs 9,0 (0,0-24,0) tanpa perbedaan (p 0,391). Mean skor nyeri pada fase berjalan masing-masing adalah 4,8 ± 0,5 vs 7,3 ± 1,2 vs 5,6 ± 0,5 (jam ke-24, p 0,000), 4,8 ± 0,9 vs 8,3 ± 1,5 vs 5,9 ± 0,2 (jam ke-48, p 0,000), 4,6 ± 0,7 vs 7,3 ± 0,6 vs 6,4 ± 2,4 (jam ke-72, p 0,001). Median ROM pada ekstensi masing-masing adalah 10,0 (0-20) vs 7,5 (0-15) vs 10,0 (10-20) (jam ke-24, p 0,137), 10,0 (0-15) vs 10,0 (10-10) vs 10,0 (10-10) (jam ke-48, p 0,050), 0,0 (0-15) vs 10,0 (10-10) vs 10,0 (0-15) (jam ke-72, p 0,105). Median 2MWT masing-masing adalah 6,0 (2-16) vs 0,0 (0-4) vs 0,0 (0-4) (jam ke-24, p 0,000), 9,0 (2-16) vs 0,0 (0-10) vs 2,0 (0-8,4) (jam ke-48, p 0,000), 9,0 (8-16) vs 3,0 (0-12) vs 2,5 (0-8,4) (jam ke-72, p 0,001). Median 6MWT pada hari 32 pasca operasi masing-masing adalah 77,5 (18-124) vs 108,5 (50-138) vs 107,0 (47-172) (p 0,011).
Kesimpulan: Kombinasi Paracetamol dan Ibuprofen secara statistik tidak signifikan, namun jumlah total penggunaan morfin lebih rendah pada kelompok kombinasi dibandingkan dengan kelompok lain yang hanya diberikan Parasetamol atau Ibuprofen saja. Kombinasi Paracetamol dan Ibuprofen dapat mempercepat ambulasi dini pada pasien TKA.

Background: Adequat pain management has an important role in supporting early ambulation after the Total Knee Arthroplasty (TKA). Multimodal analgesia is one of the modalities of overcoming postoperative pain. The use of combination Paracetamol and Ibuprofen injection is expected to reduce total morphine consumption after TKA.
Methods: After ethical approval and informed consent thirty-six patient aged 50-75 years old who would undergo TKA in Cipto Mangunkusumo Hospital and Fatmawati Hospital were included in this study. All subject was divided into three groups. Group I will recived Paracetamol 1 gr and Ibuprofen 800 mg, Group II will be received 1 gr Paracetamol iv and 100 ml normal saline, Group III will be received 800 mg Ibuprofen iv and 100 ml normal saline, ten minutes before end of surgery. Total morphine consumption, pain score (resting phase, walking phase, knee flexion phase), range of motion (ROM) and 2-Minute Walking Time (2MWT) were measured in hour 24, 48, and 72 post operatively. We also compared 6-Minute Walking Time (6MWT), WOMAC score and SF-12 (PCS-12 and MCS-12) on each group in day 32 post operatively. Data was analyzed with SPSS 16.0.
Results: Median of total morphine consumption between three groups respectively were 7,5(3,0-36,0) vs 15,0(4,5-28,5) vs 9,0(0,0-24,0) with no difference (p 0,391). Mean of pain score at walking phase respectively were 4,8 ± 0,5 vs 7,3 ± 1,2 vs 5,6 ± 0,5 (hour 24, p 0,000), 4,8 ± 0,9 vs 8,3 ± 1,5 vs 5,9 ± 0,2 (hour 48, p 0,000), 4,6 ± 0,7 vs 7,3 ± 0,6 vs 6,4 ± 2,4 (hour 72, p 0,001). Median of ROM at extention respectively were 10,0(0-20) vs 7,5(0-15) vs 10,0(10-20) (hour 24, p 0,137), 10,0(0-15) vs 10,0(10-10) vs 10,0(10-10) (hour 48, p 0,050), 0,0(0-15) vs 10,0(10-10) vs 10,0(0-15) (hour 72, p 0,105). Median of 2MWT respectively were 6,0(2-16) vs 0,0(0-4) vs 0,0(0-4) (hour 24, p 0,000), 9,0(2-16) vs 0,0(0-10) vs 2,0(0-8,4) (hour 48, p 0,000), 9,0(8-16) vs 3,0(0-12) vs 2,5(0-8,4) (hour 72, p 0,001). Median of 6MWT at day 32 post operative respectively were 77,5(18-124) vs 108,5(50-138) vs 107,0(47-172) (p 0,011).
Conclusion: The combination of Paracetamol iv and Ibuprofen iv is statistically insignificant, but the total amount of Morphine consumption is lower in combination group compare with others group whose given Paracetamol only or Ibuprofen only. Combination of Paracetamol and Ibuprofen may promote early ambulation in TKA patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yoga Devaera
"Bayi baru lahir sering mengalami berbagai prosedur invasif. Nyeri akibat tindakan tersebut dapat dirasakan oleh bayi karena jalur transmisi nyeri telah berfungsi mulai usia gestasi 20-22 minggu. Bayi prematur mungkin merasakan nyeri lebih kuat karena densitas ujung saraf perasa nyeri di kulit Iebih tinggi dibanding bayi yang lebih tua dan kemampuan adaptasi terhadap nyeri baru mulai terbentuk pada usia gestasi 32-36 minggu.
Nyeri akan menimbulkan respons fisiologis, perilaku dan biokimiawi.l Hal tersebut menjadi dasar penilaian nyeri (skala nyeri) pada neonatus_3 Nyeri dapat mempengaruhi stabilitas kardiovaskuler dan perubahan tekanan intrakranial. Kedua hal tersebut diduga berhubungan dengan kejadian perdarahan intraventrikuler.3.4 Nyeri juga mempunyai efek jangka panjang. Perubahan ambang nyeri, hiperinervasi pada daerah nyeri, somatisasi dan gangguan perilaku dapat dijumpai pada bayi yang mengalami nyeri berulang. Penanganan nyeri yang tidak adekuat saat prosedur invasif pertama akan menurunkan respons terhadap analgesik dosis biasa yang diberikan pada scat prosedur berikutnya.
Penanganan nyeri pada bayi baru lahir masih belum menjadi perhatian. Hal ini disebabkan beberapa hal, diantaranya: ketidakmampuan bayi untuk verbalisasi nyeri, keengganan memakai analgesik karena takut terhadap efek sampingnya, kesalahan menafsirkan ekspresi nyeri pada bayi sebagai ekspresi rasa takut serta perhatian diutamakan untuk menangani penyakit dasarnya. Pencegahan nyeri seharusnya termasuk salah satu tujuan terapi dalam menangani bayi baru lahir. Penanganan nyeri dapat dilakukan melalui intervensi farmakologik dan non-farmakologik. intervensi nonfarmakologik lebih disukai pada prosedur invasif minor karena efek sampingnya minimal. Pemberian larutan sukrosa merupakan suatu jenis intervensi non-farmakologik yang paling banyak diteliti. Mekanisme analgesik larutan ini belum jelas diduga terjadi melalui mekanisme opioid endogen. Suatu meta-analisis menyarankan penggunaan rutin larutan sukrosa sebagai analgesik pada bayi baru lahir yang menjalani prosedur invasif minor. Penelitian lain menunjukkan bahwa larutan manis lain seperti glukosa, fruktosa, aspartam dan sakarin memberikan efek serupa. Tidak ada bukti yang menyatakan bahwa sukrosa lebih balk daripada glukosa.
Larutan glukosa untuk pemakaian intravena merupakan sediaan yang mudah dan mudah didapat di Indonesia. Hingga saat ini belum ada penelitian tentang efek analgesik glukosa oral pada prosedur invasif minor bayi baru lahir di Indonesia. Penelitian ini ditujukan untuk menilai efikasi larutan glukosa oral sebagai analgesik pada bayi barn lahir yang mengalami prosedur invasif minor.
RUMUSAN MASALAH
Apakah pemberian larutan glukosa 30% per oral dapat memberikan efek analgesik pada bayi baru lahir saat dilakukan prosedur invasif minor?"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18025
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riyadh Firdaus
"Studi ini bertujuan untuk mengetahui keefeletifan parecoxib 40 mg intravena dibandingkan dengan morfin 5 mg intravena sebagai analgesik pada 24 jam pertama pascalaparotomi ginekologi. Enampuluh empat pasien laparotomi ginekologi mendapatkan intervensi parecoxib 40 mg iv atau morfin 5 mg iv pascabedah. Nilai VAS, waktu untuk kebutuhan petidin pertama, jumlah kebutuhan petidin dan efek samping opioid dicatat sampai 24 jam setelah intervensi.
Didapatkan nilai rerata penurunan intensitas nyeri (PID) antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p>0,05), dengan rerata PID 0-6 jam sebesar 33,3 (SE 3,3) untuk? kelompok parecoxib dan 38,4 (SE 4,2) untuk kelompok morfin. Rerata waktu pemberian petidin pertama tidak berbeda bermakna yaitu 2 jam 53 menit (parecoxib) dan 1 jam 44 menit (morfin); p>0,05). Rerata kebutuhan petidin 24 jam juga tidak berbeda bermakna yaitu 51,6 mg (SE 5,8) dan 55,5 mg (SE 4,6); p>0,05. Efek samping opioid berupa sedasi lebih banyak pada kelompok morfin yaitu 21 pasien (65,6%) vs 12 (37,5%); p=0,024. Efek samping opioid berupa mual, muntah dan pusing tidak berbeda bermakna.
Disimpulkan bahwa parecoxib 40 mg iv tidak lebih baik(daripada morfin 5 mg iv dalam memberikan efek analgesia untuk nyeri pasacalaparotorni ginekologi.

Objective: The purpose of this study was to compare the analgesic activity of parecoxib 40 mg iv and morphine 5 mg iv in 24 hours after gynecologic surgery that requires laparotomy.
Study design: In a randomized, controlled, double-blind, 64 patiets after gynecoloogic laparotomy surgery received single-dose intravenous parecoxib 40 mg or morphine .5 mg followed by repeated 25 mg iv pethidine as analgesic rescue drugs.Primary efficacy variables were pain intensity difference (PID), time to first recue/remedication, total pethidin dose over 24 hours, and opioid-sparring side effects were recorded.
Results: Parecoxib 40 mg iv did not provide better pain responses than morphine 5 mg iv. Zero to 6 hours PID between parecoxib group and morphine grows were 33.3 (SE 3,3) versus 38,4 (SE 4,2; p>0,05). Mean time to first recuelremedication were 2h53min (parecoxib group) versus lh44min (morphine graup); p>0,05. Mean total pethidine dose in 24 hours were 51.6 mg (SE 5,8) versus 55,5 mg (SE 4,6) for parecoxib group and morphine group respectively; p>0,05. Morphine group showed more sedation parecoxib group; 21 pis (65,6%) versus 12 (37.5%); p-0,024. Other opioid-sparring side effects were comparable between both groups.
Conclusion: Parecoxib 40 mg iv did not provide better analgesic activity than morphine 5 mg iv in 24 hours after gynecologic surgery that requires laparotomy.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18001
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>