Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 63929 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wawan Hermawan
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2009
S10469
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Eugenia Liliawati Mulyono
Jakarta: Havarindo, 1999
336.243 EUG p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rieza Zainal
"Perusahaan pertambangan batubara dalam menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia didasarkan atas suatu Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dengan Pemerintah Indonesia dengan yang memiliki sifat lex specialis derogat lex generalis. Di dalam PKP2B tersebut mengatur segala hak dan kewajiban bagi kedua pihak atas kegiatan usaha termasuk mengenai pajak-pajak dan lain-lain kewajiban perusahaan.
Latar belakang penulisan ini didasari karena adanya perubahan kebijakan publik dalam perpajakan atas pengenaan PPN atas hasil tambang batubara sejak reformasi perpajakan tahun 2000 dengan diterbitkannya suatu kebijakan dalam PP Nomor 144 Tahun 2000 yang mengubah status batubara menjadi Barang Tidak Kena Pajak (BTKP). Dalam implementasinya, proses kebijakan tersebut melalui ketentuan dan peraturan perundang-undangan perpajakan (instrument fiscal arrangements) menimbulkan perubahan persepsi antara otoritas perpajakan dengan Wajib Pajak sehingga menyulitkan administrasi PPN. Selain itu, diterbitkannya PP tersebut kurang memenuhi asas-asas perpajakan dan perundang-undangan maupun konsepsi dari PPN atas nilai tambah dari hasil tambang batubara. Usaha-usaha dari Wajib Pajak sendiri berupaya kepada pemerintah untuk menunda PP tersebut karena akan merugikan investor maupun harga batubara Indonesia di pasar internasional.
Oleh karena itu atas dasar permasalahan-permasalahan tersebut, maka dalam penulisan ini bertujuan untuk melakukan kajian atau analisis terhadap perubahan kebijakan PPN atas pengusahaan pertambangan batubara di Indonesia. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah deskripsi analisis dengan teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan dan dokumen serta penelitian lapangan melalui kuesioner dan wawancara kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan penelitian.
Berdasarkan analisis, bahwa perumusan kebijakan dalam PP tersebut sebagai pelaksana UU PPN hendaknya tidak mengubah atau mengesampingkan ketentuan pada undang-undang yang memiliki kedudukan lebih tinggi dalam mengatur hal yang sama (lex superiors derogat lex inferior). Demi menciptakan kepastian hukum, penyempitan atau perluasan materi tidak dibenarkan menambah norma-norma baru serta tidak dapat mengganti ketentuan perundangan-undangan lama sepanjang mengatur hal yang tidak sama (lex posteriori derogat lex priori). Bagi PKP2B yang terbagi dalam tiga generasi (Generasi I, II dan III), adanya kebijakan tersebut akan membawa konsekuensi pada masing-masing generasi mengalami perlakukan pengenaan PPN yang tidak sama.
Pada akhir tulisan ini, penulis memberikan input bagi pemerintah sebagai tax policy maker , sovereign tax power dan government as resources owner dalam menetapkan kebijakan PPN atas hasil tambang batubara demi memaksimalkan penerimaan negara sehingga menimbulkan keadilan (equality), kepastian (certainty), kemudahan (convenience) dan tidak menimbulkan biaya tambahan ekonomi (economy) bagi masing-masing generasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10825
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Baidowi
"Salah satu jenis pajak yang mempunyai peranan dalam penerimaan Negara adalah Pajak Pertambahan Nilai, dimana penerapannya di Indonesia untuk pertama kali yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 dan merupakan upaya reformasi perpajakan menggantikan pelaksanaan pemungutan pajak penjualan berdasarkan Undang-Undang Darurat nomor 19 tahun 1951 dan Undang-Undang nomor 35 tahun 1953.
Pajak Pertambahan Nilai memiliki legal karakter sebagai pajak objektif dimana timbulnya suatu kewajiban pajak sangat ditentukan oleh factor objektif yaitu karena adanya peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak, sedangkan kondisi subjektif subjek pajak tidak ikut menentukan. Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri merupakan perluasan objek Pajak Pertambahan Nilai yang baru diatur dalam pasal 16.C Undang-Undang nomor 11 tahun 1994 dimana kebijakan tersebut masih kurang selaras dengan memori penjelasan pada pasal 4.
Disamping itu dalam memori penjelasan pasal 16.C Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yaitu untuk mencegah terjadinya penghindaran pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan untuk melindungi masyarakat yang berpenghasilan rendah juga belum sesuai dengan implementasi kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri yang telah dijalankan.
Berdasarkan hal tersebut penulis mendapatkan beberapa permasalahan pokok sebagai sumber dalam penulisan tesis ini yaitu :
1. Apakah Implementasi Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri tidak dalam usaha atau pekerjaannya dapat mempengaruhi masyarakat Wajib Pajak untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
2. Bagaimana pengaruh Implementasi Kebijakan Pajak Pertambahan NiIai atas kegiatan membangun sendiri tidak dalam usaha atau pekerjaannya terhadap penerimaan Negara dari Pajak Pertambahan Nilai.
3. Apakah Implementasi Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri tidak dalam usaha atau pekerjaannya dapat dilaksanakan sesuai kondisi di Indonesia.
Hasil analisis yang menggunakan metode desk iptif analisis melalui studi kepustakaan diketahui bahwa pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam usaha atau pekerjaan oleh Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, Pengusaha Kecil, maupun membangun sendiri yang dilakukan dalam kawasan real estate tujuannya adalah untuk memajaki pengeluaran konsumsi dan adanya kecendrungan masyarakat wajib pajak untuk melaksanakan kegiatan membangun sendiri dengan menggunakan jasa pemborong yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Dari kesimpulan diatas untuk mengoptimalkan Implementasi Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap kebijakan-kebijakan yang mengatur sehingga maksud dan tujuan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dapat dioptimalkan.

Analysis On The Implementation Of Value Added Tax (VAT) Policy Toward Self Establishment Activity
One type of the tax which has an important role for State revenue is Value Added Tax (VAT), which was firstly implemented in Indonesia by UU (Code of Law) number 8, 1983 and is one of tax reform action to subsirute for the implementation of sale tax collection based on Undang-undang Dana-at Number 19,1951 and Undang-undang Number 35, 1953.
Value Added Tax has legal characteristics as an objective tax in which the obligation to pay the tax is fully determined by objective factors, i.e. due to a legal event or action from which the tax can be collected, where as the subjective condition of the tax payer does not determine. VAT toward self establishment activity is the extension of VAT object which is regulated an article 16C UU (Code of Law) number 11,1994, of which policy is not in accordance with the explanation of article 4.
Besides, on the explanation of article 16C of VAT Code of Law, that is to stop the avoidance of VAT collection, as well as to protect low-income society which is not in accordance with the implementation of VAT policy toward self establishment activity. Based on those explanations the writer formulizes several research problems as the sources in writing this thesis, i.e.
1. Whether the implementation of VAT policy toward self establishment activity outside the job can stimulate tax payers to fulfill the duty in accordance with the tax regulation.
2. How the implementation of VAT policy toward self establishment activity outside the job can affect state revenue from VAT.
3. Whether the implementation of VAT policy toward self establishment activity outside the job can be implemented in Indonesian setting.
From the result of the analysis utilizing Descriptive method through library study, it is found that VAT policy implemented toward self establishment activity which is done outside the work by individuals, Institutions, Soft Office, as self establishment done by real estate in order to collect the tax from consumption and the tendency of tax payers to do self establishment activity by using the construction company which is not legalized as Tax Payer.
It can be concluded that the effort to increase the implementation of VAT Policy toward self establishment activity should be improved especially toward the regulating policies so that the purpose of VAT collection can be optimalized."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T 13866
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Dwi Endah Mira
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S10438
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tunas Hariyulianto
"Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai menganut prinsip tujuan (Destination Principle) yaitu suatu prinsip pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas barang dan jasa oleh negara tempat pemanfaatan atau konsumsi barang dan jasa tersebut. Berdasarkan prinsip ini, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi di dalam Daerah Pabean, sedangkan atas konsumsi barang dan jasa yang dilakukan di luar Daerah Pabean tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Atas dasar prinsip tujuan (Destination Principle) ini, Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai tidak mengenakan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak. Pengecualian dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai ini dilakukan melalui metode Zero Rate, yaitu atas ekspor Barang Kena Pajak ditentukan sebagai penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0%. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 0% ini telah membuat ekspor Barang Kena Pajak menjadi bebas dad pengenaan Pajak Pertambahan Nilai secara penuh (Free of Tax), karena atas Barang Kena Pajak yang diekspor tersebut tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan Pengusaha ekspor tetap dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan barang dan jasa yang berhubungan dengan Barang Kena Pajak yang diekspor tersebut.
Berbeda halnya dengan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Jasa Kena Pajak, Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai hanya mengatur mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dengan tarif 10%, tanpa adanya ketentuan iebih lanjut yang mengatur mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai da!am hal Jasa Kena Pajak tersebut dimanfaatkan di luar Daerah Pabean (Ekspor Jasa). Dengan demikian, Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai mengenakan tarif yang sama sebesar 10% atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean baik untuk dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean maupun di luar Daerah Pabean.
Analisis yang dilakukan berdasarkan studi kepustakaan, penelaahan dokumen dan hasil wawancara diperoleh kesimpulan bahwa Ketentuan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% atas ekspor Jasa Kena Pajak tidak sesuai dengan konsep teori Pajak Pertambahan Nilai antara lain prinsip tujuan (Destination Principle) yang dianut oleh Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, Teori Netralitas Pajak Pertambahan Nilai dan Teori Bukan Faktor Harga (VAT is not a cost price factor). Berdasarkan prinsip tujuan, atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean untuk dikonsumsi atau dimanfaatkan di luar Daerah Pabean seharusnya tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Teori Netralitas Pajak Pertambahan Nilai menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai seharusnya tidak dikenakan atas ekspor. Sedangkan teori yang ketiga menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai bukanlah faktor penentu harga atau tidak masuk ke dalam harga barang atau jasa yang diserahkan.
Pengecualian dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Ekspor Jasa Kena Pajak, dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari dua metode yaitu Exemption dan Zero Rate. Berdasarkan konsep teori dan metode yang digunakan oleh negara-negara yang menerapkan sistem Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax), metode yang sebaiknya digunakan adalah Zero Rate, yaitu pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Jasa Kena Pajak dengan tarif 0%.
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dengan metode Zero Rate (tarif 0%) ini, akan membuat ekspor Jasa Kena Pajak menjadi bebas dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai secara penuh (Free of Tax), karena atas Jasa Kena Pajak yang diekspor tersebut tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan Pengusaha ekspor tetap dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan barang dan jasa yang berhubungan dengan Jasa Kena Pajak yang diekspor tersebut. Pengecualian dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai secara penuh (Free of Tax) diharapkan akan dapat meningkatkan daya saing harga dari produk-produk jasa yang diekspor oleh Pengusaha Indonesia. Hal ini tentunya akan Iebih menciptakan iklim dunia usaha jasa di Indonesia yang lebih kondusil. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dengan metode Zero Rate juga dilakukan dalam rangka harmonisasi perpajakan demi terciptanya perdagangan internasional yang fair dan netral.
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan analisis permasalahan dalam tesis ini adalah pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Jasa Kena Pajak dalam peraturan perundang-undangan Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia belum sesuai dengan konsep teori Pajak Pertambahan Nilai. Selanjutnya, disarankan agar dilakukan perubahan ketentuan dalam Undangundang Pajak Pertambahan Nilai yang mengatur mengenai penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean untuk dimanfaatkan di luar daerah pabean (ekspor Jasa Kena Pajak) sehingga sesuai dengan konsep teori Pajak Pertambahan Nilai.

The Indonesian VAT Prevailing Law follows a Destination Principle in imposing Value Added Tax. Under this Destination Principle, VAT is imposed on goods and services consumed in the taxing jurisdiction, regardless of where they are produce. VAT is imposed on imports for consumption in the state, and VAT is rebated on exports to be consumed elsewhere. Fiscal frontiers must be maintained to ensure that exports are fully rebated for the VAT paid in the exporter's domestic market and where the VAT rates appropriate to the importer's home market can be applied.
Based on The Destination Principle, VAT is not imposed on goods consumed outside the taxing jurisdiction (Exports of goods). This Exception of VAT Levy, done with Zero Rate Method. Zero Rate means that the trader is fully compensated for any VAT he pays on inputs and, therefore, genuinely is exempt from VAT, On the other hand, a trader liable to the zero rate is liable to an actual rate of VAT, with just happens to be zero; therefore, such a zero-rated trader is wholly a part of the VAT system and makes a full return for VAT in the normal way. However, when this trader applies the tax rate to his sales, it ends up as a zero VAT liability but from this he can deduct the entire VAT liability on his inputs, generating a repayment of tax from the government. In this way, the zero-rated trader reclaims all the VAT on his inputs and bears no tax on his outputs, and the purchaser of such a trader's sales buys the good free of VAT. Different matter with VAT levy on exports of services. Indonesian VAT Laws imposed on every transfer of taxable services in taxing jurisdiction with rate of 10%, regardless of where they are consumes. Therefore, 10% VAT is imposed on export of taxable services.
Analysis that has been done based on study of literature books and interview, conclude that 10% VAT levy on export of taxable services is not appropriate with Theory of VAT, among other things, Destination Principle, Neutrality Theory and VAT is not a cost-price factor Theory. According to this principle and the theory, VAT should not impose on services that consumed outside the taxing jurisdiction (Export of services).
Exception of VAT levy on export of services can use exemption or zero rate. According to VAT Theory and method used in countries that used VAT System, the method should be used is zero rate. Using Zero Rate means that the exporter of services is fully compensated for any VAT he pays on inputs and, therefore, genuinely is exempt from VAT. The exporter of services can reclaims all the VAT on his inputs and bears no tax on his outputs, and the purchaser of such a trader's sales buys services free of VAT. Using zero rate in export of services will increase price competitiveness of service products that exported by Indonesian producer. Further, this matter will create the conducive condition for business of services in Indonesia.
Based on analysis of the case in this examination, conclude that imposing Value Added Tax on export of services according to the prevailing law is not appropriate with theory of VAT. Further, suggested that the government should amendment prevailing law in particular that regulate about imposing Value Added Tax on export of services.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22186
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nia Amalia
"Implementasi kebijakan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan kakao berpengaruh terhadap keberlangsungan operasional industri kakao. Penelitian ini menggunakan pendekatan post positivist, jenis penelitian deskriptif, dengan tujuan menganalisis proses dan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi. Hasil penelitian dari ketiga faktor menunjukan bahwa implementasi kebijakan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan kakao memiliki beberapa permasalahan yaitu luasnya wilayah indonesia, kurangnya sumber daya manusia, dan mengganggu ekonomi industri. Selain itu, dalam proses implementasi memunculkan output kebijakan baru, kepatuhan Pengusaha Kena Pajak menimbulkan penerimaan pajak, dan terganggunya cashflow industri kakao.

The implementation of Value Added Tax policy for the supplies of cocoa gives impact to the operational activities in that current industry. This research conducted by post positivist approach with descriptive purpose, it is to analyze the implementation process and factors that influance the implementation. The result of this are among the three factors shows the policy impelementation has some problems, there are the wide of area, lack of human resource, and distract economy condition of the industry. Besides, in implementation process issued new policy output, voluntary compliance of taxable person increases tax revenue and disruption of the cocoa industry's cash flow."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S65155
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Saraswati
"Penelitian ini membahas mengenai kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor jasa perdagangan di Indonesia. Kebijakan tersebut secara khusus tertuang dalam Surat Edaran Jenderal Pajak No. SE-145/PJ/2010 mengenai Perlakuan PPN atas Jasa Perdagangan, khususnya pada butir 3 huruf c, d, dan e. Tujuan penelitian adalah menjelaskan mengapa Dirjen Pajak menetapkan ekspor jasa perdagangan sebagai penyerahan jasa perdagangan di dalam Daerah Pabean, bagaimana kebijakan PPN atas ekspor jasa perdagangan ditinjau dari konsep taxable supplies dan destination principle, serta bagaimana perlakuan PPN atas ekspor jasa seharusnya menurut kelaziman internasional. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ekspor jasa perdagangan telah sesuai dengan konsep taxable supply dan penyerahan ekspor jasa perdagangan yang ditetapkan sebagai penyerahan jasa perdagangan di dalam Daerah Pabean tidak sesuai dengan konsep destination principle. Alasan Dirjen Pajak adalah terkait dengan masalah pengawasan yang belum cukup memadai untuk dikenakan PPN dengan tarif 0%. Kelaziman internasional atas pengenaan PPN atas ekspor di beberapa negara Asia Pasifik sebagian besar sudah menganut destination principle.

This research discusses the Value Added Taxes policy on export of trade services in Indonesia. This policy is particularly reflected in Circular Letter Director General of Taxation Number SE-145/PJ/2010 regarding the Value Added Taxes Treatment of Trade Services, especially in point 3 letter c, d, and e. The research's objectives are to explain why DG of Taxation determine export of trade services as a supply of trade services within the Customs Area, how the VAT policy on exports of trade service is seen from the concept of taxable supplies and the destination principle, as well as how the treatment of VAT on export of services suppose to be according to international practice. The type of research is descriptive using quantitative approach.
Based on the results, the writer has found that the trade services export has been in accordance with the concept of taxable supply, and the exports of trade services that has been determined as a supply of trade services within the Customs Area is not in accordance with the concept of destination principle. Reasons from the DG of Taxation is related to supervision issues which still insufficient to be burdened by VAT at the rate of 0%. On the other hand, international practice for the imposition of VAT on exports of services in some Asia Pacific countries has been using the destination principle.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Nita Prishela Christanty
"Setelah beras, yang menjadi sumber karbohidrat nomor dua yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah tepung terigu. Masyarakat Indonesia telah mengalami perubahan pola konsumsi ke bahan pangan yang berbasis terigu, seperti mie instant, roti dan aneka macam kue. Hal itu menyebabkan semakin meningkatnya permintaan akan gandum impor yang merupakan bahan baku dari tepung terigu. Dalam rangka program diversifikasi pangan, Kementerian Pertanian tengah mengembangkan pangan lokal seperti singkong yang diolah menjadi tepung mocaf. Tepung mocaf diharapkan dapat menjadi bahan komplementer dari tepung terigu agar dapat menekan permintaan akan gandum. Para pelaku usaha mengeluhkan pengenaan PPN atas tepung mocaf karena dapat menyebabkan industri lokal menjadi enggan untuk mengembangkan tepung mocaf.
Penelitian ini menjelaskan perlunya kebijakan PPN yang bersifat khusus diberikan untuk tepung mocaf, alternatif kebijakan fasilitas PPN atas tepung mocaf dan konsekuensi dari masing-masing alternatif tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan penelitian kepustakaan dan lapangan dengan didukung wawancara mendalam. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian fasilitas pajak untuk tepung mocaf dapat mengurangi ketergantungan Indonesia akan impor gandum dan akan menghemat devisa negara. Jika pemerintah memberikan fasilitas pajak untuk tepung mocaf, maka industri lokal dapat semakin mengembangkan industri lokal dan meningkatkan kesejahteraan petani singkong.

After rice, The second most widely consumed by the people of indonesia as their source of carbohydrates are wheat flour. Indonesian society have experienced a change in consumption patterns into a flour-based foodstuffs, such as instant noodles, breads and various cakes. That patterns causes the increasing demand of wheat import which is the raw material of wheat flour. In order to the food diversification program, the Ministry of agriculture developing local food such as processed cassava into modified cassava flour. The cassava flour is expected to becomes complementary goods of wheat flour so it can reduces the demand of wheat. Entrepreneurs complain about the imposition of value added tax on flour mocaf because it can make the local industry be reluctant to develop cassava flour.
This study explain the need of value added tax specialized policy on modified cassava flour, the alternative of value added tax facility policy on modified cassava flour and the consequency of each alternative. This study used qualitative approach. The technique of data collection was used literatur and field research and also supported with depth interview. This study found that providing tax facility on modified cassava flour can reduces the Indonesia?s dependence of importing wheat and it will save the foreign exchange. If the government provide tax facility on modified cassava flour, the local industry can be develop and increase the wealth of cassava farmers.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Wahyudi
"Kekhawatiran para pelaku dunia usaha industri rotan terhadap penghapusan Pasal 4A ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, dikarenakan peraturan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas rotan yang tidak jelas. Berdasarkan masalah tersebut, maka membuka kembali permasalahan mengenai latar belakang penetapan rotan sebagai Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis. Penelitian dalam skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif deskriptif dengan tujuan untuk mengetahui secara mendalam mengenai latar belakang kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas rotan ditetapkan sebagai Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis, Implementasi kebijakan Pajak Pertambahan Nilai atas rotan terhadap perkembangan industri rotan, serta kebijakan Pajak Pertambahan Nilai yang sebaiknya diterapkan untuk mendorong dunia usaha kehutanan khususnya rotan di Indonesia.
Berdasarkan penelitian yang sudah peneliti lakukan, didapatkan hasil penelitian bahwa dalam penetapan rotan sebagai Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis dilihat dari berbagi sisi, diantaranya yaitu dilihat dari segi penambahan nilai pada rotan tersebut atau dilihat dari faktor ekonomi yang mendasari pemberian fasilitas Pajak Pertambahan Nilai dibebaskan, yaitu untuk mendorong perkembangan industri rotan di Indonesia serta meningkatkan daya saing industri rotan. Faktor penghambat implementasi kebijakan tersebut yaitu, dari faktor komunikasi sehingga kekhawatiran akan penghapusan Pasal 4A Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 muncul. Kesemuanya itu diakibatkan kurangnya sosialisasi perpajakan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Faktor lainnya yaitu masalah administrasi dalam proses pengukuhan Wajib Pajak menjadi Pengusaha Kena Pajak, yang didalamnya hanya semata-mata untuk mendapatkan fasilitas berupa pembebasan PPN.

Concerns actors rattan's industrial business due the abolition of Article 4A Paragraph (1) of Law Number 42 Year 2009, due to the obscurity of the imposition of value added tax. Based on that problem, it also a remainder for the background of determination that rattan is a considered as a certain strategic taxable goods. The research is using a descriptive qualitative approach in order to have a depth understanding of the background that set rattan as a certain strategic taxable goods, implementation of value added policy for rattan to stimulate rattan industry and also the value added tax policy that should be applied to stimulate the forestry business especially for the rattan industry in Indonesia.
Based on the research conducted, obtained results that rattan designated as taxable goods certain strategic views from all sides, among which in term of adding value to rattan or viewed from the economic factors underlying the provision of Value Added Tax released, that is to stimulate rattan industry in Indonesia and to increase competitiveness business rattan industry in Indonesia. For implementation inhibiting factors of that policy is about communication that should make concerns the elimination of Article 4A Paragraph (1) of Law Number 42 Year 2009 came out. All of that problem due to lack of knowledge of business taxation actors rattan industry and the lack of socialization taxation undertaken by Directorate General of Taxation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>