Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 75707 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fachry Romanza
"ABSTRAK
Demokrasi saat ini bukan hanya sebagai sebuah prosedural melainkan bagaimana demokrasi menghadirkan proses yang demokratis. Bagaimana cara itu terwujud menjadi tugas filsafat atau lebih spesifik tugas Filsafat Politik. Derrida, telah memberikan satu ajaran tentang demokrasi, yaitu dengan merubah demokrasi bukan hanya saat ini saja melainkan untuk saat yang akan datang, bagaimana caranya dengan cara menerima ?the other?. The other yang muncul sebagai kaum artikulatif ekstrem dalam pengertian sederhana adalah constitutive outside yang berada diluar diri kita sebagai pihak yang memaksakan pemikirannya terhadap orang lain dengan cara-cara yang melampaui batas kemampuan penerimaan masyarakat pada umumnya. Namun bukan berarti hal tersebut harus sepenuhnya di tolak melainkan harus di terima dan hal tersebutlah yang menjadi point bagi demokrasi yang menerima ruang gerak the others.

ABSTRACT
Contemporary democracy should not be perceived as a procedural concept, but more like how it can conceive a more democratic process (democratization). It is the responsibility of political philosophy to make it come into being. With his thought about democracy, Derrida determine to elucidate the concept of democracy as something that is always to come, with a will to accepting the others. To put it in the simplest way, the other as the articulate extreme other is our constitutive outside that stands to insist their every thought in many ways crossing what generally considered as agreeable within society. This condition should not to be completely refutes as it is the very point to attain a more democratic condition in accepting the others.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42689
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hehakaya. Shane Antoinetta
"Skripsi ini merupakan telaah filosofis terhadap sistem demokrasi dalam masyarakat pluralis saat ini, yang mana kondisi di dalamnya terjadi penyingkiran subyek sehingga menjadi subyek bagian yang tak memiliki bagian. Hal ini memberikan celah bagi terjadinya kesalahan hitung yang memunculkan kondisi ketidaksetaraan. Praktik-praktik polis dalam masyarakat, melalui logika polisinya memunculkan distribusi sensibilitas yang mengklasifikasikan subyek-subyek di dalam sistem.
Adanya pengklasifikasian dalam hal apapun menurut Rancière merupakan kondisi ketidaksetaraan. Menanggapi masalah ketidaksetaraan ini, terdapat solusi yang berpotensi memberikan jalan keluar, yaitu dengan cara subyek berada dalam posisi politiknya untuk berpartisipasi secara aktif dalam merebut kesetaraannya. Tindakan politik yang dapat dilakukan subyek adalah dengan melalui disensus yang berwujud pada deklasifikasi.
Terkait dengan permasalahan di atas, polis juga tidak dapat begitu saja dihilangkan, namun cara yang dapat dilakukan adalah dengan terus menerus mengungkap apa yang tersembunyi di dalam polis. Disensus sebagai jalan untuk mengkonfrontasi partisi sensibilitas dengan cara berpartisipasi aktif sebagai subyek politik untuk merebut kesetaraan. Upaya ini merupakan bentuk politik demokratisasi sebagai proses disensus.
Tulisan ini bertujuan untuk mengingatkan kembali akan pentingnya menyertakan seluruh subyek dalam sistem demokrasi, sehingga setiap subyek dapat mencapai kesetaraannya secara aktif. Aspirasi yang diperjuangkan pada tulisan ini merupakan suatu kritik terhadap sistem demokrasi yang menyingkirkan subyek-subyek di dalam sistem.

This thesis is an exploration of philosophical about democracy system in the pluralist society today, in which the elimination of subject occurs. Therefore, this would be the subject that is called the part that has no part. The calculation error might arise and this also could lead to the inequality. Moreover, the police practice in society that exists through its policy of logic will lead to the distribution of the sensibility of subject classification in the system.
According to Rancière, inequality will occur whenever classification exists in whatever situation. In regards to the inequality, there is an alternative that could potentially solve this issue. This could be solved if the subject in their political position participates actively in gaining their equality. For instance, subject can do a tangible dissensus in declassification.
In this case, it does not necessarily mean that a police could be removed. It would be better if we do investigation frequently to reveal something that is hidden in the police. Dissensus is a way to confronting partition of the sensibility through the active participation in achieving equality as a political subject. These efforts are form of political democracy as a dissensus process.
This thesis aims to remind us about the importance of including the entire subject in the democracy system, and thus, every subject can achieve its equality actively. The aspiration in this thesis is a criticism toward democracy system that eliminates subjects in the system.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43070
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"The work of Jacques Derrida has transformed our understanding of a range of disciplines in the humanities through its questioning of some of the basic tenets of western metaphysics. This volume is a trans-disciplinary collection dedicated to his work. The assembled contributions, on law, literature, ethics, gender, politics and psychoanalysis, constitute an investigation of the role of Derrida's work in the humanities, present and future. The volume is distinguished by work on some of his most recent writings, and contains Derrida's own address on "the future of the humanities"."
Cambridge, UK: Cambridge University Press, 2001
e20385282
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Dermawan,author
"Dekonstruksi kebenaran dalam seni rupa yang dimaksudkan di sini adalah praksis Dekonstruksi oleh Derrida terhadap konstruksi pemikiran beberapa filsuf dan perupa tentang status ontologis seni rupa dan juga hubungan logis antara pernyataan dengan kenyataan yang berhubungan dengan seni rupa dan penafsiran karya seni rupa. Secara umum dekonstruksi dapat dimengerti sebagai cara membaca kritis dan spontan terhadap filsafat Barat yang logo dan fonosentris, dan yang memahami ada sebagai kehadiran. Dalam hal ini, dekonstruksi adalah suatu praksis demonstratif untuk membuktikan bahwa kenyataan ada (kebenaran sejati) tidak hadir bagi yang memikirkan dan yang menuliskannya.
Sehubungan dengan ini, khusus di bidang seni dan seni rupa, Derrida menyangkal anggapan para filsuf bahwa seni memiliki kebenaran tunggal (ontologis) yang dapat dijelaskan dengan bahasa. Ia juga menyangkal dapat tercapainya kebenaran relasi (logis) antara bahasa dengan obyek bahasa dalam kegiatan penafsiran karya seni rupa. Filsuf, menurut pendapatnya "membatasi" keanekaragaman seni di dalam seni-seni diskursif : "percakapan" (phonic) dan pemikiran (logos). Oleh karena itu, wacana tentang seni (dalam hal ini seni rupa) menjadi tidak produktif. Agar produktif, Derrida menciptakan wacana yang "mobil". Bergerak di dalam dan di luar bingkai filsafat yang logo dan fonosentris.
Derrida memahami semua yang ada hanya sebagai teks dan ditandai tekstualitas. Baginya teks berasal dari, dan sebagai pengantar kepada teks-teks berikutnya. Teks juga adalah rangkaian tanda-tanda yang distrukturkan oleh "jejak jejak" (traces) otonom. Dengan demikian, seni rupa juga adalah teks yang merupakan jalinan tanda-tanda yang distrukturkan oleh jejak-jejak otonom atau berdiri sendiri-sendiri. Lebih jauh, dia juga menyikapi teks sebagai tulisan, dan tulisan sebagai barang mati. Oleh karena itu, karya seni rupa juga adalah teks atau tulisan, dan barang mati.
Berdasarkan pemikiran seperti ini, dalam mengapresiasikan karya seni rupa, ia secara bebas mengapresiasikan infrastruktur khusus atau ":jejak-jejak" goresan pada karya yang menarik perhatiannya tanpa mengindahkan makna yang dikomunikasikan oleh perupanya. Ia menghubungkan jejak-jejak atau infrastruktur karya dengan teks-teks, baik filsafat, maupun teks-teks lainnya sejauh ia menghendakinya. Teks-teks dilepas dari konstruksi kesatuannya. Dengan ini, konstruksi pemikiran tentang seni yang selalu cenderung mengarah kepada kesatuan atau totalitas, dialihkannya ke wacana pertebaran jejak-jejak otonom.
Dari pemikiran dan contoh-contoh yang diberikannya, dekonstruksi Derrida terhadap "kebenaran" dalam tema seni rupa adalah usaha untuk memperluas wacana "kebenaran" (kenyataan ada) karya seni rupa ke luar wacana yang dibingkai filsafat yang logo dan fonosentris. Gerakan ke luar "melampaui" (goes beyond) filsafat ini tidak diberi batasan yang tegas, kecuali ia bermain dengan wacana tersebut dan pada waktu dan keadaan tertentu ia memutuskan "permainan"nya sudah cukup. Putusan cukup inilah yang membatasi karya seni, dalam hal ini karya seni rupa, dengan dunia.
Dalam khasanah percakapan dan pada karya seni rupa kontemporer di Indonesia ciri dekonstruksi seperti melanggar batas-batas defenisi dan kategori-kategori dalam teori seni dan keindahan, ketidakhadiran subyek dalam karya, dan usaha memperkenalkan karya seni rupa yang menentang estetika kesatuan dan keselarasan, telah dapat diidentifikasikan. Tetapi ciri-ciri tersebut baru sebatas bagian dari ciri-ciri umumnya saja. Ciri-ciri itupun, secara terpisah, dapat diidentifikasikan pada karakteristik karya seni rupa di luar wacana dekonstruksi. Usaha untuk menunjukkan mana karya seni rupa yang sepenuhnya dekonstruktif bukan pekerjaan mudah. Karena batasan dari dekonstruksi itupun tidak mudah ditegaskan.
Khusus dalam wacana kritik pada.karya seni rupa kontemporer di Indonesia, sejauh penelitian penulis, gaya kritik dekonstruktif belum memperlihatkan fenomena yang berarti. Wacana kritik masih terfokus pada karya dan perupanya; sedangkan kritik dekonstruktif lebih terfokus kepada otoritas "pembaca" atau kritisinya, dan mengembangkan wacana ke arah wacana produktif, intertekstualitas dan tanpa batas."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Derrida, Jacques
Stanford, Calif: Stanford University Press, 1995
194 DER p (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Monacelli Press, 1997
720.92 CHO
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Aldair Zerista Hutama
"Dalam eksistensialisme Sartre, rasa takut kurang mendapat penjelasan yang mendalam, sehingga sulit untuk dapat melihat pengaruhnya dalam eksistensi seorang subjek. Rasa takut sesungguhnya adalah salah satu rasa mendasar yang dimiliki oleh manusia. Rasa takut sudah terstruktur di dalam diri seorang manusia. Ia mempengaruhi hal-hal yang dilakukan oleh subjek bahkan sejak subjek masih dalam tahap kesadaran pra-reflektif. Rasa muak akan membawa subjek menyadari bahwa sesungguhnya ia memiliki kebebasan dan dapat menentukan eksistensi dirinya sendiri. Dari sana, kesadaran pra-reflektif berubah menjadi kesadaran reflektif. Kebebasan adalah kutukan karena ia selalu diiringi dengan tanggung jawab yang berat padahal tidak pernah ada kepastian akan hasil yang nantinya didapat. Hal itulah yang membuat manusia mengalami rasa cemas. Rasa cemas ini kemudian membawa manusia melihat konsekuensi-konsekuensi yang mungkin dari pilihan yang ada bagi si subjek. Disinilah kemudian rasa takut mempengaruhi subjek dalam mengambil pilihan eksistensialisnya. Apakah subjek akan memilih pilihan yang aman baginya, ataukah ia berani melawan ketakutannya dan bertransendenis menjadi diri yang baru.

The focus of this study is to prove the effect of fear for the existence of the subject, which is not well explained in Sartre’s existensialism. As a matter of fact, fear is one of human basic feeling, it is an undeniable structure as a human. Feareffected subjects act even in pra-reflective conciousness stage. Nausea will bring subject to realizing, that in fact, he has a freedom and he can choose freely, what kind of existence that he want to create for his own self. At that stage, prareflective conciousness will change into reflective conciousnes and subject could realize their freedom. But freedom it self is a curse because there's a great responsibility adheres our acts whereas there’s never been any certainity about the consequnces. This condition trap human in anxiety feeling. Anxiety will bring subject to see the consequences that probably will appear from all the choice that they can take. At this stage, fear will effecting subject in taking his existential choice. Will the subject going to choose the savest choiceor fight his fear and doing transcended and becoming a new self."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S47773
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Okvi Elyana
"Pembicaraan mengenai komunitas dalam pemikiran Jean-Luc Nancy sesungguhnya adalah suatu upaya untuk membangkitkan kembali nilai-nilai persaudaraan di dalam masyarakat. Oleh karena itu komunitas yang ideal adalah Ada-Dalam-Kebersamaan. Kondisi ini tidak mensyaratkan manusia untuk menjadi sama, melainkan untuk menciptakan pemahaman bahwa setiap manusia memiliki perbedaan yang tidak dapat diatasi, bahkan dengan menciptakan persamaan. Komunitas justru hadir dari kesadaran akan perbedaan yang menjadi landasan untuk saling menghormati manusia yang senantiasa hidup bersama. Ada-Dalam- Kebersamaan tidak pernah mencapai titik akhir karena yang dibutuhkan adalah proses untuk selalu berada di Dalam kebersamaan. Maka sesungguhnya komunitas di dalam pemikiran Nancy memiliki dimensi utopia yang tidak mungkin terwujud karena selalu bergerak ke tempat-tempat berbeda. Namun ketidakmungkinan ini justru menciptakan kemungkinan agar senantiasa berada dalam proses mendekatinya. Hal ini karena ketika sesuatu dapat diwujudkan,maka ia bukanlah sebuah utopia.

In his discourse about community, Jean-Luc Nancy elucidating an effort to reviving the notion of fraternity in society. Therefore the ideal form of community is the state of Being-In-Common. This condition does not require every person to be the same, but rather to bring an understanding that each person has his own differences which is ceaselessly incomprehensible for one another, thus cannot be solved with an idea about sameness. By this perceptive, community takes place in the very awareness of this understanding about difference as a value-ground for each person to be able to live together. Being-In-Common would never come to an end because its main idea stands in the never-ending process of it, that is to always be In common. Hence community in Nancy's thought will always be in an utopian dimension since it can never be finally achieved. But this impossibility to reach the final purpose is exactly the thing that opens up the possibility for an endless attempt to pursue it. For when something has completely achieved, then it is no more can be called as utopia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42802
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Arrifa
"Dalam dunia modern, manusia cenderung melihat segala sesuatunya hanya berdasarkan fungsi semata bahkan memandang manusia sendiri sebagai kumpulan fungsi. Gabriel Marcel, seorang filsuf Perancis yang berbicara mengenai keberadaan manusia berpendapat bahwa cinta kasih dapat membuat manusia keluar dari kumpulan fungsi tersebut dan memandang secara keseluruhan sehingga menjadi manusia yang ada. Pandangan Marcel ini menjadi alat untuk menganalisis seorang tokoh di dalam film yang berjudul 50 First Dates dengan menjadikan tokoh tersebut, Henry Roth, sebagai representasi manusia yang bereksistensi melalui cinta kasih di dalam sebuah relasi intersubjektivitas.

In the modern world, human tends to see everything is based only on the function even seeing human itself as a crowd of function. Gabriel Marcel, a French Philosopher who talked about the human existence had an opinion that love can make human gets out from that crowd of function and sees as a whole-being for becoming a human who exists. This view of Marcel becomes a tool to analyze a character in the film which has a title 50 First Dates by making that character, Henry Roth, as a representative from the human who exists through love in an intersubjectivity relation."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S47056
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margaretha Paulus
Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2006
111.1 PAU p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>