Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 112444 dokumen yang sesuai dengan query
cover
I Gusti Made Arya Suta Wirawan
"ABSTRAK
Di saat banyak orang Tionghoa yang sudah kokoh dengan identitas keagamaannya
sebagai seorang Nasrani, Islam, dan Buddha, serta diakuinya Kong Hu Cu sebagai
agama yang paling erat dengan identitas etnik orang Tionghoa di Indonesia, namun
kenyataanya terdapat sebuah komunitas Tionghoa yang memilih untuk memeluk
agama Hindu yang dianggap sebagai agama minoritas. Bagi sebagian besar orang, hal
ini tentu menjadi pertanyaan. Selama ini publik terjerembab pada sebuah bentuk
stereotipe tentang orang Tionghoa yang dianggap oportunis yakni berlindung di bawah pengaruh penguasa atau struktur dominan. Di sisi yang lain, masyarakat menilai
bahwa Hindu bukan agama mayoritas sehingga sedikit banyak mempengaruhi
peluang-peluang positif yang akan di raih oleh orang Tionghoa itu sendiri.
Penelitian yang bersetting di Jakarta ini ingin menjelaskan tentang alasan orang
Tionghoa memilih Hindu sebagai identitas keagamaan mereka serta usaha mereka
dalam mempertahankan identitas mereka ini. Selain memaparkan tentang dinamika
sejarah komunitas mereka, penelitian ini juga mau menjelaskan tentang mengapa
integrasi antara Tionghoa dan Hindu menjadi sesuatu yang sulit untuk dilakukan
(paling tidak untuk saat ini).

Abstract
While many Chinese people who have strong religious identity as a Christian, Islam,
and Buddhism, as well as recognition of Confucianism as a religion that most closely
with the ethnic identity of the Chinese in Indonesia, but in reality there is a Chinese
community that chose to convert to Hinduism which is considered as a minority
religion. For most people, this is certainly a question. During the public this fall on a
form stereotypes about people who are considered opportunistic Tionghoa which was
under the influence of the ruling or dominant structure. On the other hand, the
community considered that the majority Hindu religion is not so much affect slightly
positive opportunities that will be achieved by the Tionghoa itself.
This Research that takes place in Jakarta is to explain about the reason the Chinese
chose their religious identity of Hindus as well as their efforts in maintaining their
identity is. In addition to describing the dynamics of the history of their community,
this study would also explain why the integration between the Tionghoa and the Hindu
to be something difficult to do (at least for now)."
2012
T30988
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Ishardanti
"Studi ini membahas mengenai identitas hibrid Cina-Banyumas. Pertama, akan bercerita mengenai ruang, agen dan relasi seperti apa yang berperan dalam rekonstuksi identitas. Ketiga hal tersebut akan bekerja dalam kerangka berpikir Berger. Kemudian, relasi sosial seperti apa yang terbentuk antara kedua etnik ini dan bagaiamana bentuk-bentuk relasi ini berkontribusi dalam rekonstruksi identitas. Dari hasil rekonstruksi identitas ini, maka identitas hibrid seperti apa yang akan muncul. Rekonstruksi identitas dibangun dengan beberapa tahapan yang dalam penelitian ini dilihat melalui kerangka berpikir dari konstruksi sosial yang diungkapkan Berger dan Luckmann, yang memiliki tiga proses utama dalam rekonstruksinya yaitu proses eksternalisasi, obyektifikasi, dan internalisasi. Di dalam proses-proses rekonstruksi identitas ini penuh dengan proses yang disebut dengan Bhaba mimikri, dimana etnis Cina-Banyumas melakukan peniruan-peniruan dan imitasi sebagai upaya untuk mengambil nila-nilai lokal Banyumas. Karena proses-proses imitasi yang terjadi berulang-ulang, mengakibatkan batasan antara nilai lokal dan Cina-Banyumas menjadi kabur. Batasan-batasan yang menjadi tidak jelas ini melahirkan identitas hibrid yang baru. Adapun temuan lapangan dari studi ini ada beberapa nilai dan simbol yang berperan dalam membentuk karakter hibrid Cina-Banyumas, seperti karakter Bawor dari wong Banyumas, nilai konfusius dari Tionghoa. Agen sosialisasi juga bervariasi dari mulai kelompok kecinaan, keluarga, tokoh masyarakat dan agama.

These studies about Chinese-Banyumas identity. First, will talk about the social space, agents and relations that play a role in the reconstruction of identity. These three things will work within the framework of Berger. Then, identify relations form between these two ethnic groups and how these relationships contribute to the reconstruction of identity. From the results of reconstruction of this identity, then hybrid identity will appear. Reconstruction of identity is built with several stages in this research viewed through the framework of social construction by Berger and Luckmann, which has three main processes. There are process of externalization, objectification, and internalization. In the processes of identity reconstruction, Bhaba said is filled with mimicry processes, where the ethnic Chinese-Banyumas imitate the local values of Banyumas. Since imitation processes that occur repeatedly, resulting in the boundaries between local and Chinese-Banyumas become blurred. Boundaries became unclear who gave birth to a new hybrid identity. The field findings from this study: there are some values and symbols that play roles in shaping the character of the hybrid Chinese-Banyumas, like the character of Wong Banyumas, Bawor, the Confucius of China. Also, Agents of socialization varies from the Chinese group, family, community and religious leaders."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yarra Regita
"Tesis ini menganalisis bagaimana konstruksi gender yang binari dalam budaya masyarakat yang heteronormativisme memarginalkan kelompok seksual minoritas, diantaranya adalah transgender. Di Indonesia, transgender dikenal dengan istilah waria, yaitu wanita-pria. Keberadaan mereka yang belum diakui oleh pemerintah secara formal dan stigma buruk yang dilekatkan kepada mereka secara sosial membuat waria kerap mendapat perlakuan tidak adil seperti diskriminasi, marginalisasi, sampai kekerasan. Waria yang dialienasikan oleh masyarakat karena dianggap menyimpang, menciptakan komunitas sendiri yang bisa memberikan rasa aman dan eksistensi. Meskipun demikian, komunitas yang terdiri dari keberagaman individu terpolitisasi dalam relasi kuasa yang patron-klien dan membuat identitas waria sebagai individu terstereotipe dalam identitas sosial versi komunitas.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan perspektif gender yang menggunakan teknik pengumpulan data, wawancara dan observasi. Terdapat total enam responden yang diwawancara, dengan fokus pada empat responden untuk melihat bagaimana pergulatan identitas waria dalam diri dan komunitas. Identitas sosial dalam komunitas membatasi pencarian identitas diri yang mandiri. Terlebih, pola relasi kuasa yang hierarkis dalam hubungan antara senior dan junior yang patron-klien membuat waria mengedepankan eksistensi identitas kelompok dibandingkan esensi identitas dirinya. Visi akan identitas yang beragam menjadikan komunitas waria terkotak-kotak dan berjarak, hal ini dapat menjadi pemicu konflik sosial yang mengancam kesatuan dan solidaritas kelompok waria.

This thesis analyze how the binary gender contruction within heteronormative society marginalizing sexual minority groups, among them the transgender. In Indonesia, transgender is known as waria, wanita-pria (shemale). Their exsistence are not formally recognize by the government and an attached stigma socially made the waria often receive gender injustice such as discrimination, marginalization, and violence. Waria is alienated by the society because they are considered a deviation, thus they create their own community that can provide safety and sense of belonging. However, a community that comprises of diversed individuals that is politically influenced in power-related, patron-client, and stereotyping into social identity ? community version.
This is a qualitative research with gender perspective that uses data gathering, observation and deep interview. There a total of six respondents that were interviewed, focusing on four respondents how they coped with identity struggle within themselves and community. Social identity within the community constraints the search of their own identity. Moreover, the hierarchy of power related pattern between the senior and junior in patron-client mode, cause waria to prioritize more their group identity existence than their own identity. The vision of diverst identity caused waria?s community to be segregated and distanced, which can trigger social conflict that threatened their unity and solidarity as a group."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afthonul Afif
Depok: Kepik, 2012
305.895 AFI i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Cahaya Hati
"Indonesia merupakan bangsa polietnik yang terdiri dari keberagaman suku bangsa. Salah satu kelompok minoritas yaitu suku bangsa Tionghoa masih menjadi perdebatan mengenai penerimaannya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Beberapa pihak menyatakan tidak setuju jika kelompok Tionghoa dianggap bagian masyarakat asli Indonesia. Orang Tionghoa kini mencari identitas diri dan mengartikan Tionghoa dalam kehidupan mereka. Keluarga merupakan agen yang penting mengenalkan identitas sebagai Tionghoa. Penguatan identitas terjadi ketika berinteraksi dengan orang di luar kelompoknya khususnya di sekolah. Mengamati orang muda di Belitung dalam pemaknaan identitas dari cara mereka menjalankan tradisi Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan zaman membawa pengaruh terhadap pandangan pemuda Tionghoa mengenai identitas kesukubangsaan dan identitas nasional. Kondisi sosial, ekonomi, dan politik setempat turut mempengaruhi pemaknaan identitas suatu kelompok. Pemuda Tionghoa di Belitung menyadari posisi mereka sebagai warga negara Indonesia namun tidak melupakan asul usul nenek moyang serta tradisi yang diwariskan. Menjadi Tionghoa bukan sebuah pilihan melainkan didapatkan dari keluarga. Proses sosialisasi yang terus menerus dilakukan menghasilkan pemaknaan identitas diri oleh orang muda Tionghoa Belitung.

Indonesia is a polytethnic nation that is very rich in ethnic diversities. One of the minority groups is ethnic Tionghoa that is still in a debate regarding the approval as a ethnic group of Indonesian. Some groups in Indonesia refuse to accept the ethnic Tionghoa group as a part of the Indonesian people circle. The Tionghoa people in Indonesia have been searching for their identities and meanings of being a 'Tionghoa' in their daily lives. Family is an important agent to introduce and nurture someone's identity as a 'Tionghoa'. Confirmation of 'Tionghoa' as an identity occurs whenever they interact with someone with different ethnic background. This social phenomenon especially happens in school. This paper highlights how 'Tionghoa' as a social identity is always in the process of lsquo meaning making'regarding their lived tradition among the daily lives of Tionghoa youth in the context of modernity that clearly influences their perspectives about ethnic identity and national identity. Besides that, the social, economic and political conditions in a local context also influence the lsquo meaning making'of a group's idenity. The Tionghoa youth in Belitung realizes their position as Indonesian citizens, yet they also do not forget their ancestors and tradition. Due to the continuous socialization process from the family that influences them to interpret their social identity, being a 'Tionghoa' is not a choice, but it is inherited.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S66016
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Hubungan Tiongkok dan Nusantara banyak tercatat pada naskah kuno Tiongkok. Warga Tionghoa beremigrasi ke Indonesia terutama karena alasan ekonomi disamping situasi domestik Tiongkok yang kacau. Mereka menumpang perahu niaga junk yang rutin berlayar antara pesisir Tiongkok Selatan dan Batavia. Ketika VOC membangun Batavia untuk pinjaman awal di Pulau Jawa, para pendatang Tionghoa diperlukan kemampuannya membangun dan menghidupkan Batavia untuk menggerakan roda perekonomian..."
JSIO 11:26 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Sakti Bandini
"Skripsi ini membahas identitas dan pandangan tokoh Aku, sebagai orang Tionghoa, terhadap masyarakat Tionghoa dalam Indonesia Dalem Api dan Bara karya Tjamboek Berdoeri alias Kwee Thiam Tjing. Berdasarkan penelitian, tokoh Aku mengkritik sikap masyarakat Tionghoa yang tidak tegas sehingga berakibat buruk pada diri mereka sendiri. Akan tetapi, tokoh Aku membela sikap masyarakat Tionghoa yang lebih giat bekerja dan mampu beradaptasi dengan berbagai keadaan yang menyebabkan kedudukan ekonomi masyarakat Tionghoa lebih stabil dibandingkan dengan keadaan ekonomi pribumi. Pandangan tokoh Aku terhadap masyarakat Tionghoa tidak lepas dari pengaruh Tjamboek Berdoeri sebagai pengarang.

This study discusses the identity and the insight of the character Aku, as a Chinese, towards the Chinese society in Indonesia Dalem Api dan Bara by Tjamboek Berdoeri, as known as Kwee Thiam Thjing. Based on this study, Aku criticizes the Chinese society that is indecisive that could cause bad things to themselves. However, Aku defends the habit of the Chinese society that is more diligent in working and could adapt to many circumstances that make their economic position is more stable than the natives. The insight of Aku towards the Chinese society can not be separated from the influence of Tjamboek Berdoeri as the writer."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
S56319
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fandra Febriand
"Penelitian ini tentang representasi identitas diaspora Tionghoa dalam dua film, yaitu The Journey (Malaysia) dan Ngenest (Indonesia). Peran diaspora Tionghoa sejak awal kehadiran film di kedua negara (akhir 1920-an) sangat signifikan. Akan tetapi, sejak periode akhir 1960-an hingga tahun 2000, peran itu dan tema ketionghoaan berkurang sangat drastis akibat dari kebijakan politik kedua negara terhadap diaspora Tionghoa. Baru setelah tahun 2000-an, seiring perubahan politik di Indonesia dan ketersediaan teknologi dalam pembuatan film di Malaysia, film bertema ketionghoaan kembali hadir di kedua negara. The Journey (2014) dan Ngenest (2015) diproduksi pada era setelah tahun 2010-an, dan disutradarai oleh diaspora Tionghoa. Menggunakan metode kualitatif, penelitian ini melakukan analisis mendalam terhadap unsur-unsur pembentuk kedua film, yaitu unsur naratif dan unsur sinematik. Konsep representasi dan identitas dari Stuart Hall digunakan sebagai kerangka teoritis dalam penelitian ini untuk memahami representasi identitas diaspora Tionghoa dalam kedua film dari dua negara ini.
Temuan dari penelitian ini adalah bahwa kedua film sama-sama merepsentasikan hal- hal berikut, namun dengan cara yang berbeda, yaitu: 1) tradisi adalah bagian dari penanda identitas diaspora Tionghoa; 2) dinamika identitas yaitu berupa tegangan antara tradisi dengan modernitas (The Journey) dan antara ketionghoaan dengan pandangan diskriminatif terhadapnya (Ngenest); 3) ketidakadaan relasi dengan Tiongkok sebagai negara secara politis. Representasi identitas diaspora Tionghoa di dalam kedua film sangat berbeda karena tidak terlepas dari perbedaan sosial, budaya, dan politik identitas terhadap diaspora Tionghoa di kedua negara tersebut. Masing-masing tokoh utama dalam kedua film merepresentasikan bagaimana identitas diaspora Tionghoa berada dalam kondisi “being” dan “becoming” dalam konteks konsep identitas dari Stuart Hall, yaitu identitas adalah a matter of “becoming” as well as of “being”.

This research is about the representation of the Chinese diaspora‟s identity in two different films, The Journey (Malaysia) and Ngenest (Indonesia). Since the late 1920s, when the cinema has just started to be introduced in both countries, the contributions of the Chinese diaspora has been very significant. However, from the late 1960s to 2000, there has been a decline in the participation of the Chinese diaspora in the cinema which results in the decline of Chinese-themed films. This phenomenon was a result of the two countries' political policies towards the Chinese diaspora. It was only after the 2000s, along with political changes in Indonesia and the availability of technology in filmmaking in Malaysia, that Chinese-themed films returned to both countries. The Journey (2014) and Ngenest (2015) were produced in the post-2010s era, and were directed by the Chinese diaspora. Using qualitative methods, this research conducts an in-depth analysis of the elements of the two films, which are the narrative elements and cinematic elements. Stuart Hall's concept of representation and identity was used as a theoretical framework to understand the representation of Chinese diaspora identity in the two films from these two countries.
The findings of this study are that both films represent the followings: 1) tradition is part of the identity marker of the Chinese diaspora; 2) the dynamics of identity in the form of tension between tradition and modernity (The Journey) and between Chinese and discriminatory views against it (Ngenest); 3) the absence of relations with China as a country politically. However, there were differences in how those things were represented. The different representations were related with the differences in terms of social, cultural, and identity politics of the Chinese diaspora in both countries. Using Stuart Hall‟s concept of identity, it can be seen that each of the main characters in both films represents how the identity of the Chinese diaspora is in a state of "being" and "becoming".
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lu Li Qian Qian
"Di Indonesia, beberapa tahun terakhir ini, seiring dengan meningkatnya fenomena Rising China, terjadi peningkatan jumlah sekolah yang mengajarkan pelajaran bahasa Mandarin. Peningkatan ini sebagian juga disebabkan oleh berakhirnya periode Orde Baru yang membuka luas kesempatan bagi keturunan etnis Tionghoa untuk mendapat pendidikan bahasa Mandarin. Tren tersebut memunculkan pertanyaan, apakah terbukanya kembali kesempatan belajar bahasa Mandarin pada etnis Tionghoa tersebut menimbulkan adanya re-asersi ke-'Tionghoa'-an di antara etnis Tionghoa di Indonesia yang berorientasi akhir pada 'negeri leluhur' (Tiongkok) atau lebih didasarkan pada pandangan kosmopolitan yang tidak mempertimbangkan batasan lintas etnis sebagai bagian penting dari identitas mereka? Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, pendekatan etnografis, observasi dan survei terhadap para orangtua siswa etnis Tionghoa (baca: Indonesia-Tionghoa) yang lahir pada periode Orde Baru. Para responden yang diobservasi tersebut telah menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah yang mempunyai kurikulum pelajaran bahasa Mandarin.
Observasi dilakukan di tiga kota terbesar di Indonesia, yaitu Jakarta, Surabaya, dan Medan. Alat analisis yang digunakan adalah teori identitas, fenomena resinisisasi, konsep esensialisme dan stereotip, kosmopolitan dan globalisasi yang akan digunakan sebagai kerangka utama untuk membahas masalah ini. Temuan penelitian ini adalah, melalui pembelajaran bahasa Mandarin, telah terjadi re-(posisi) identitas. Identitas yang masih melekat kuat adalah identitas etnis dan identitas historis. Sementara itu, identitas komunal masih terlihat, tetapi relatif sedikit muncul pada sebagian responden. Dari deretan identitas tersebut, identitas yang begitu kuat muncul adalah identitas etnis dan identitas historis, yang tercermin melalui orientasi dan motivasi untuk meningkatkan ekonomi, pendidikan, dan teknologi. Ketiga orientasi ini merupakan bagian dari identitas historis yang melekat pada orang Tionghoa, seperti rajin mencari uang dan mudah adaptasi di mana pun. Sementara itu identitas etnis digambarkan melalui keinginan kuat untuk belajar berbahasa Mandarin dengan tujuan baru yaitu melihat peluang-peluang dari fenomena 'Rising China' dan unggul dalam peradaban melalui teknologi.
Temuan-temuan dari penelitian juga menunjukkan bahwa (1) sebagian besar responden merasa bangga akan negeri leluhur, tetapi mereka tidak ingin pindah ke negeri Tiongkok, (2) mereka mempunyai nama Tionghoa tapi sudah tidak menggunakannya di dalam dokumen resmi. (3) ketika di luar negeri, mereka lebih ingin diidentifikasi sebagai orang Indonesia-Tionghoa. Berdasarkan temuan tersebut, terlihat bahwa fenomena resinisisasi yang terjadi pada etnis Tionghoa di Indonesia pada umumnya merupakan koneksi sosio-kultural dan bukan politis. Pandangan esensialisme dan stereotip memang membentuk rasa bangga terhadap negeri leluhur, tetapi hal tersebut tidak signifikan terlihat. Selain itu, gagasan kosmopolitan dan globalisasi yang dinamis dapat lebih membantu untuk mendefinisikan identitas orang Indonesia-Tionghoa Bahasa Mandarin dan pembelajaran bahasa Mandarin di Indonesia oleh orang Indonesia-Tionghoa tidak hanya sebagai bentuk resinisisasi etnis, tetapi juga re-posisi peran bahasa Mandarin sebagai bagian dari identitas budaya kosmopolitan.

In Indonesia, there has been an increase in the number of schools that offer Mandarin language lessons in recent years, alongside the increasing 'Rising China' phenomenon. This increase was also partly due to the collapse of Indonesia's New Order government which opened opportunities for Chinese-Indonesian descendants to obtain Mandarin education. The trend raises the question, whether the reopening of opportunities to learn Mandarin has led to the reassertion of 'Chinese-ness' for Chinese-Indonesians which is oriented towards the 'ancestral homeland' (China), or is it based on a cosmopolitan view that considers cross-ethnic boundaries as an important part of their identity? This study uses qualitative method, ethnographic approaches, observations and surveys of parents of students (Chinese-Indonesian) who were born and raised during the New Order period. Respondents are the ones that have sent their children to schools that have a Mandarin language curriculum.
The research was carried out in the three largest cities in Indonesia, namely Jakarta, Surabaya and Medan. The analytical tool used is identity theory, the phenomenon of re-sinicization, the concept of essentialism and stereotypes, cosmopolitanism and globalism, which will be used as the main framework to discuss the issues. The findings of this study show through learning Mandarin, there has been a re-positioning of identities. Identities that are still inherently strong are ethnic identity and historical identity. Meanwhile, though communal identity is still visible, it only appears in relatively few respondents. From the aforementioned identities, identities that seems to be strong are ethnic identity and historical identity, which are reflected through orientation and motivation to improve economy, education and access to technology. Meanwhile, ethnic identity is portrayed through a strong desire to learn Mandarin with a new goal of seizing the opportunities offered by the 'Rising China' phenomenon and excelling through the mastery of technology.
The findings of the study also showed that (1) most respondents felt proud of their ancestral homeland, but they did not want to move to China, (2) they had Chinese names but did not used them in official documents. (3) when abroad, they would rather be identified as Chinese-Indonesians. Based on these findings, it can be seen that the phenomenon of re-sinicization that occurred amongst the Chinese-Indonesians in general is a socio-cultural and not political phenomenon. While essentialism and stereotypes indeed form a sense of pride for the ancestral homeland, this is not significant. In addition, the idea of cosmopolitanism and x dynamic globalism help redefine the identity of Chinese-Indonesians. Mandarin language learning in Indonesia by Chinese Indonesians is not only a form of re-sinicization, but also a re-positioning of the role of the Mandarin language as part of a cosmopolitan cultural identity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
D2639
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dea Letriana Cesaria
"Sastra Melayu Tionghoa adalah karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang keturunan Tionghoa di Indonesia. Pada tahun 1950-an, kebanyakan karya mereka dimuat dalam tiga majalah yaitu Star Weekly, Liberal, dan Pantjawarna. Penelitian ini melihat bagaimana nilai konfusianisme memengaruhi identitas Tionghoa Indonesia melalui teks dalam majalah tahun 1950-an. Tahun 1950-an awal merupakan tahun-tahun ketika Indonesia sudah mendapatkan kedaulatannya sebagai bangsa, tetapi Indonesia pada saat itu baru mulai untuk hidup bernegara. Pencarian identitas sebagaimana disebutkan tersebut menyebabkan konsep Indonesia pun dibangun dengan mendapatkan ̳masukan‘ dari berbagai hal yang ada di luar. Hal ini tentunya akan mengakibatkan adanya berbagai bentuk dan berbagai hal yang berbeda dari apa yang ada sebelumnya, termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai kemasyarakatan yang di antaranya adalah nilai-nilai dalam sebuah keluarga, mengingat keluarga adalah bentuk terkecil dan bentuk inti masyarakat. Penelitian ini secara khusus menumpukan perhatian pada karya cerpen yang dibahas dalam majalah-majalah tersebut. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan deskriptif dengan menggunakan sumber data dari majalah Star Weekly, Liberal, dan Pantjawarna tahun 1950—1959. Hasil penelitian menunjukkan bahwa majalah Star Weekly, Pantjawarna, dan Liberal menjadi wahana untuk mempertahankan identitas ketionghoaan. Bentuk-bentuk pemertahanan identitas dapat dilihat dari 6 aspek yaitu nama diri, tradisi/adat, pendidikan, keagamaan, nilai bakti, dan status ekonomi. Nama diri, nilai bakti, dan status ekonomi merupakan tiga aspek yang paling banyak ditemukan dalam 11 cerpen tersebut.

Chinese Malay literature is a literary work produced by authors of Chinese descent in Indonesia. In the 1950s, most of their works were published in three magazines, namely Star Weekly, Liberal, and Pantjawarna. This study looks at how Confucian values influence Indonesian Chinese identity through texts in magazines in the 1950s. The early 1950s were the years when Indonesia had gained its sovereignty as a nation, but at that time Indonesia was just starting to live as a state. The search for identity as mentioned above causes the concept of Indonesia to be built by getting 'input' from various things outside. This of course will result in various forms and various things that are different from what existed before, including social values which include values in a family, considering that the family is the smallest form and the core form of society. This research focuses specifically on the short stories discussed in these magazines. The method used is a qualitative and descriptive method using data sources from the magazines Star Weekly, Liberal, and Pantjawarna 1950-1959. The results showed that Star Weekly, Liberal, and Pantjawarna magazines became vehicles to maintain Chinese identity. The forms of identity defense can be seen from 6 aspects, namely self-name, tradition/custom. education, religion, devotional value, and economic status. Names, values of devotion, and economic status are the three most common aspects found in the 11 short stories."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>