Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165590 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Radinal
"Ketentuan mengenai saksi dalam hukum acara pidana di Indonesia yang selama ini diatur dalam Pasal 1 angka 26 dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-undang nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dinyatakan bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum tetap melaui putusan Mahkamah Konstitusi nomor 65/PUU-VIII/2010. Dengan adanya putusan tersebut maka perlu dilihat bagaimana sifat dari putusan tersebut mempengaruhi baik kedudukan saksi dalam hukum acara pidana di Indonesia, maupun dalam hukum acara pidana pada umumnya, yang mana kedudukan saksi untuk dapat memberikan keterangan saksi dalam suatu perkara pidana dianggap cukup penting.

The provisions on witness in criminal procedure law in Indonesia provided in article 1 points 26 and 27, article 65, article 116 subsection (3) and subsection (4) and Article 184 subsection (1) letter a Law No. 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure (Indonesian Code of Criminal Procedure) is declared to be contrary to Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 and has no absolute legal force of law according to the Constitutional Court Award No. 65/PUU-VIII/2010. Following the ruling, the is necessity to see how the nature of the decision affects the position of witness both in criminal procedure law in Indonesia, as well as in the law of criminal procedure in general, considering the importance of the witness competence in giving testimony for the criminal trial."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42816
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Hartati
"Pada bulan Agustus 2011, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 65/PUU-VIII/2010. Putusan ini memperluas cakupan makna saksi yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sehingga timbul pertanyaan: (1) bagaimana perluasan makna saksi menurut putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, (2) bagaimana pengaruh perluasan makna saksi terhadap para penegak hukum dalam proses peradilan pidana, (3) apakah perluasan makna saksi berpengaruh terhadap KUHAP yang akan datang. Untuk menjawab pertanyaan ini dilakukan penelitian dengan metode yuridis normatif. Data yang digunakan menitikberatkan pada data sekunder, dengan data primer yang diperoleh dari wawancara sebagai data pendukung. Datadata yang diperoleh dianalisis secara deskriptif-analitis dengan pendekatan kualitatif.
Hasil yang diperoleh bahwa, Mahkamah Konstitusi telah memperluas cakupan makna saksi, namun tidak memberikan batasan perluasan tersebut. Penilaian relevansi keterangan saksi tetap diserahkan kepada para penegak hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi lebih menekankan pada tujuan agar semua saksi menguntungkan yang diajukan tersangka/terdakwa dipanggil dan diperiksa. Setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi ini, para penegak hukum masih menggunakan dasar KUHAP dalam memeriksa saksi. Dalam prakteknya, terhadap saksi yang menguntungkan tersangka/terdakwa, para penegak hukum selalu memeriksanya.
Relevansi keterangan saksi tersebut terhadap perkara yang diperiksa diserahkan kepada hakim di persidangan. KUHAP yang akan datang tidak perlu mengikuti perluasan makna saksi sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi karena Rancangan KUHAP telah memberikan peluang untuk memeriksa saksi-saksi yang memberikan keterangan di luar batasan melihat sendiri, mengalami sendiri, mendengar sendiri, sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 17 ayat (1), tanpa mengubah pengertian saksi seperti yang tercantum dalam KUHAP. Disamping itu, sudah ada penambahan alat-alat bukti, sehingga dapat mempermudah pembuktian.

In August 2011, the Constitutional Court issued a ruling Number 65/PUUVIII/2010. This ruling expands the scope of the meaning of a witness contained in Law Number 8 of 1981 on Criminal Proceedings Act (Criminal Procedure Code), which raised the questions: (1) how the expansion of the meaning of a witness by the Constitutional Court ruling, (2) how the influence of expanding the meaning of a witness against law enforcement officials in the criminal justice process, (3) whether the expansion of the meaning of a witness influent the next Criminal Procedure Code. To answer this question, the research done by the method of juridical normative. The data used is focused on secondary data, with primary data obtained from interviews as supporting data. The data obtained were analyzed by descriptive-analitic with qualitative approach.
The results obtained that, the Constitutional Court has expanded the scope of the meaning of a witness, but did not give the limits of the expansion. Assessment of relevance of the statements of witnesses remains handed over to law enforcement. Ruling of the Constitutional Court emphasized the goal of keeping all the favorable witnesses presented by suspect / defendant are called and examined. After the release of this Constitutional Court ruling, the law enforcement agencies still use the Criminal Procedure Code in examining witnesses. In practice, a favorable witnessess presented by suspects / defendants, law enforcement is always examined.
The relevance of these witnesses to be examined cases submitted to the judge in the trial. Criminal Procedure Code which will come no need to follow the expansion of the meaning of a witness in the ruling of Constitutional Court because the draft of Criminal Code has provided an opportunity to examine witnesses who testify outside the limits that the witness must see, suffered, or hear themselves, as provided in the Explanation of Article 17 paragraph (1), without changing the sense of a witness as stated in the Criminal Procedure Code. In addition, there are additional evidences, so burden of proof more easily.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30307
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Marco Hardianto
"Salah satu asas dasar dalam hukum pidana adalah asas transitoir, yakni asas yang mengatur mengenai pemberlakuan hukum dalam hal terjadi perubahan perundang-undangan setelah suatu tindak pidana dilakukan. Terkait frasa ‘perubahan perundang-undangan’ dapat dibedakan antara 3 paham: paham formil (Simons, 1910), paham materiil terbatas (Van Geuns, 1919), dan paham materiil tidak terbatas (Hoge Raad, 1921). Ketiga paham ini berkembang sebelum dikenalnya pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi. Implikasi logisnya: Perubahan perundang-undangan dalam asas transitoir tidak mencakup hasil pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi. Lantas bagaimana implementasi perubahan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam asas transitoir dalam kaitannya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi? Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif terhadap putusan hakim pidana yang memaknai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013. Penelitian ini memperlihatkan bahwa penerapan asas transitoir terhadap perubahan perundang-undangan yang diakibatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilakukan. Adapun penerapan asas transitoir dalam kaitannya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusan di Indonesia masih sangat kabur. Oleh karena itu, sangat disarankan bagi Mahkamah Agung untuk memberikan suatu pedoman mengenai bagaimana hakim-hakim dalam peradilan pidana harus memaknai perubahan perundang-undangan yang diakibatkan oleh Mahkamah Konstitusi

One of the basic principles in criminal law is the principle of transitoir, namely the principle that regulates the enforcement of the law in the event of an amendment in legislation after a criminal act is committed. Regarding to the phrase 'amandment in legislation', there are three running doctrine: formele leer (Simons, 1910), beperkte materiele leer (Van Geuns, 1919), and onbeperkte materiele leer (Hoge Raad, 1921). These three doctrine developed prior to the recognition of judicial review by the Constitutional Court. Logical implication: Amendment in legislation as referred to in the principle of transitoir does not include amandment as the result of judicial review by the Constitutional Court. Hence the question: how is the implementation of amandment in legislation as referred to in the principle of transitoir in relation to Constitutional Court Verdict? This research was conducted with a juridial-normative approach to the verdict of criminal law judges which interpret the Constitutional Court Verdict No. 85/PUU-XI/2013. This study shows that the application of the principle of transitoir in relation to amendment in legislation as a result of the Constitutional Court Verdict can be done. However, it has to be noted that the application of the principle of transitoir in relation to the Constitutional Court Verdict in Public Court Verdict regarding criminal law in Indonesia is still very vague. Therefore, it is highly recommended for the Supreme Court to provide a guideline regarding how the judges in the Public Court should interpret the amendments to these laws as a result of the Constitutional Court Verdict."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasna Wahida
"ABSTRAK
Pandangan dominan dalam ilmu hukum pidana menyatakan bahwa penerapan
analogi dilarang dalam hukum pidana sebab melanggar asas legalitas, sedangkan
penafsiran ekstensif diperbolehkan. Skripsi ini menemukan bahwa penerapan
analogi dan penafsiran ekstensif memang memiliki perbedaan dalam konteks
struktur argumentasi yang dikandung di dalamnya, namun keduanya memiliki
persamaan dalam konteks penerapan praktisnya, yaitu sama-sama memperluas
cakupan makna suatu ketentuan pidana dalam undang-undang sehingga dapat
mencakup perbuatan yang sebelumnya tidak termasuk dalam ketentuan pidana
tersebut. Skripsi ini juga menemukan bahwa Mahkamah Agung Republik
Indonesia telah menerapkan analogi dalam Putusan Nomor 786K/Pid/2015 dan
1417K/Pid/1997.

ABSTRACT
The dominant perspective in criminal law propounds that the application of
analogical reasoning is prohibited in criminal law, since it is contradictory to
principle of legality, whereas extensive interpretation is not prohibited. This thesis
finds that application of analogical reasoning is different from extensive
interpretation in the context of their own argumentative structure, but they are
identical in the context of their practical application, for they both extend the
meaning of a criminal provision so it could include an action that was not
included in that provision. This thesis also finds that Supreme Court of Republic
of Indonesia has applied analogical reasoning in Decision Number 786K/Pid/2015
and 1417K/Pid/1997."
2016
S64462
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Debora Vetra Mesia
"Skripsi ini membahas mengenai penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku baik di Indonesia, Belanda, maupun Singapura. Penyelesaian perkara pidana di luar persidangan atau dikenal dengan istilah Afdoening Buiten Proces merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan perkara di luar persidangan dengan cara membayar denda maksimum secara sukarela sebagaimana diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama. Ketentuan ini juga terdapat dalam KUHP Baru, tepatnya dalam Pasal 132 ayat (1) huruf d-e. Sementara itu, di Belanda ketentuan ini diatur dalam Pasal 74 Wetboek van Strafrecht, sedangkan di Singapura dikenal mekanisme Deferred Prosecution Agreement yang memiliki konsep berbeda dengan yang diatur oleh Indonesia dan Belanda. Terdapat dua pembahasan utama dalam skripsi ini. Pertama, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan dalam ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura. Kedua, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lama dalam mengakomodir kebutuhan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian normatif-yuridis yang menganalisis lebih lanjut tentang ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara. Adapun hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan. Selanjutnya, diketahui bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama selama ini tidak mengakomodir kebutuhan yang diperlukan oleh sistem peradilan pidana. Terakhir, ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan pada dasarnya memiliki tujuan yang baik dan dapat membantu meringankan beban sistem peradilan pidana, tetapi masih terdapat beberapa hambatan.

This thesis discusses the settlement of criminal cases outside the court which is valid in Indonesia, Netherlands, and Singapore. Settlement of criminal cases outside the court or known as Afdoening Buiten Process is one way to settle cases outside the court by paying the maximum fine voluntarily as stipulated in Article 82 of the Old Criminal Code. This provision is also contained in the New Criminal Code, specifically in Article 132 paragraph (1) letter d-e. Meanwhile, in the Netherlands this provision is regulated in Article 74 Wetboek van Strafrecht, while in Singapore the Deferred Prosecution Agreement mechanism is known, which has a different concept from that regulated by Indonesia and Netherlands. There are two main discussions in this thesis. First, this thesis will discuss how the provisions for settling criminal cases outside the court in the legal provisions in force in Indonesia, the Netherlands and Singapore. Second, this thesis will discuss how the Old Criminal Code accommodates the need for settlement of criminal cases outside of court. This research was conducted using a normative-juridical research method that further analyzes the legal provisions in force in a country. The results of this study state that the provisions for settling criminal cases outside the court in force in Indonesia, Netherlands and Singapore have similarities and differences, respectively. Furthermore, it is known that the provisions for settling criminal cases outside the court as regulated in Article 82 of the Old Criminal Code have so far not accommodated the needs required by the criminal justice system. Finally, provisions for the settlement of criminal cases outside the court basically have a good purpose and can help ease the burden on the criminal justice system, but there are still some obstacles."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dita Narvitasari
"This thesis focuses on Indonesian Criminal Law in facing maritime terrorism cases that may happen in the future. The aims of this thesis are to get to know about the differences between piracy and maritime terrorism, Indonesian Regulation in maritime terrorism, and legal problems in maritime terrorism regulation in Indonesia. Indonesia has national and international law instrument as basic regulations for terrorism offences, but it has not covered the provisions of maritime terrorism offences. Although there has never been any case of maritime terrorism in Indonesia, yet Indonesia has great potential in being the target of this offence.

Skripsi ini membahas mengenai ketentuan pidana Indonesia dalam menghadapi kasus-kasus terorisme maritim yang mungkin terjadi di masa depan. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui tentang perbedaan antara tindak pidana pembajakan di laut dan tindak pidana terorisme maritim, pengaturan tindak pidana terorisme maritim di Indonesia, dan permasalahan hukum dalam pengaturan mengenai tindak pidana terorisme maritim. Indonesia memiliki instrumen hukum nasional dan internasional yang menjadi ketentuan umum mengenai tindak pidana terorisme di Indonesia. Hanya saja di dalamnya belum diatur secara khusus mengenai tindak pidana terorisme maritim. Walaupun dalam kenyataannya beum pernah terjadi terorisme maritim di Indonesia, namun Indonesia berpotensi besar menjadi target tindak pidana ini."
Universitas Indonesia, 2015
S60288
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ichsan Zikry
"Penelitian ini dibuat untuk mengkaji kedudukan pelaku tindak pidana yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam rangka mempermudah terbongkarnya suatu tindak pidana baik dalam bentuk mengakui kesalahan perbuatannya, memberikan bukti-bukti atau keterangan mengenai keterlibatan orang lain dalam tindak pidana (dikenal sebagai Saksi Mahkota, Justice Collaborator dan Whistleblower) dikaitkan dengan insentif yang diberikan dan sepatutnya diberikan oleh aparat penegak hukum, serta proses pemberian insentif tersebut. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa pelaku yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum pada dasarnya belum sepenuhnya dilindungi dikarenakan regulasi yang belum memadai dan masih terdapat kelemahan secara kelembagaan dalam memberikan insentif bagi pelaku yang bekerjasama.

This research made to discussed about position of criminal subject who cooperate with law enforcement agency in order to help breaking a case with giving a plead guilty of his act or direction about evidences or information of others involevement (known as Crown Witness, Justice Collaborator and Whistleblower) and relevancy with an incentives they got and properly deserved provided by law enforcement agency as a retain of their cooperation and the process of incentives implementation. This research concluded that the regulation not utterly protect cooperative criminal subject and institutionally there is any weaknesses on giving protection for cooperative criminal subject.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S47578
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rohana Frieta
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Marthin James
"Mengirim uang, membicarakan hal-hal pribadi, berkomunikasi secara langsung maupun virtual seperti melalui telepon atau video call, dan unsur-unsur emosional lainnya merupakan hal-hal umum yang terjadi dalam sebuah hubungan. Namun, dimungkinkan ada keadaan di mana unsur emosional ini digunakan sebagai sarana manipulasi untuk mendapatkan keuntungan atau dikenal sebagai Love Scam. Bila hal tersebut terjadi sulit memastikan apakah pemberian korban sepenuhnya bersifat sukarela atau merupakan hasil upaya manipulasi yang dipergunakan pelaku. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemenuhan unsur tindakan love scam terhadap aturan perbuatan manipulasi, perbuatan curang, dan/atau penipuan di Indonesia menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bentuk dari penelitian ini adalah yuridis normatif, dimana sumber data diperoleh dari data sekunder yang dilengkapi dengan pandangan Aparat Penegak Hukum dalam menangani dan menyelesaikan setiap kasus berkenaan dengan love scam, yang kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil yaitu love scam tidak diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tetapi upaya penegakan hukum terhadap tindakan love scam ini tetap dapat dilakukan dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 378 KUHP dan Pasal 35 UU ITE.

Sending money, talking about personal things, communicating in person or virtual such as via telephone or video calls, and other emotional elements are common things that happen in a relationship. However, there may be circumstances in which this emotional element is used as a means of manipulation for profit otherwise known as the Love Scam. When this happens, it is difficult to ascertain whether the victim's gift is completely voluntary or is the result of manipulation by the perpetrator. Based on this, this study aims to find out how to fulfill the elements of love scam action against the rules of manipulation, fraud, and/or fraud in Indonesia according to the Criminal Code and the Information and Electronic Transaction Law. The form of this research is normative juridical, where the data source is obtained from secondary data which is equipped with the views of Law Enforcement Officials in handling and resolving each case regarding a love scam, which is then analyzed descriptively qualitatively. Based on the research, the results obtained are that love scams are not specifically regulated in Indonesian laws and regulations. However, law enforcement efforts against love scams can still be carried out based on the provisions of Article 378 of the Criminal Code and Article 35 of the ITE Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>