Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142492 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S10320
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Nurdiyana
"EPC project meaning that a construction company will handle whole work, from designing activity, procurement and implementation construction. Base imposition withholding tax article 23 and Value Added Tax (VAT) on EPC project are from their service value. However, in fact EPC project have same treatment equal with construction services in general. This difference is happen because there are no specific regulation about the EPC project. The regulation that exist for now, just only controls about the taxation charge for the construction company in general.
The research is using quantitative approach in intention to have better understanding and interpretation about a social phenomenon through observation. This research is among descriptive research to describe research object based on the fact notice or as it is. Primary data gathering is acquired by doing in-depth interview to discover information from informant who is directly involve in EPC project especially with taxation division, the government who is making the policy, tax consultant, academician and association of constructions. Secondary data is acquired by literature study to optimize theoretical framework in deciding the purpose and goal of the research also the concepts and other theoretical material in conjunction with research problem. Data analyses are using qualitative data analysis based on field discovery, both primary and secondary data.
From the analysis that are conducted, it is found that the basic differences about the charge between withholding tax article 23 and basic charge of VAT on EPC project. The reason is there are differences of understanding the regulation that exist, this thing is practically cause some problems, whether it is between the EPC industrialist with the owner of the project, or between the EPC industrialist with the taxation checkers side. So, it is necessary for making the constitution regarding the tax object of EPC project . Next, specific taxation regulation about the EPC project needs to be created, to think of there are non similar understandings of the regulation that exist. With the existence of the specific special regulation about the EPC project, It is doubtfully will not cause the difference of understandings between the EPC industrialist and the owner of the project.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maya Diarna
"Skripsi ini bertujuan untuk melihat penerapan Undang-Undang Perpajakan No. 10 tahun 1994 tentang pajak penghasilan dan Undang-undang No. 11 tahun 1994 tentang PPN atas pendapatan komisi, pembayaran komisi dan pendapatan pajak teknik. Penulis mengambil tema tersebut untuk membandingkan aspek perpajakan yang dikenakan terhadap penghasilan jasa, yang diterima dari wajib pajak Indonesia, yangditerima dari wajib pajak Luar Negeri dan penghasilan yang dibayarkan kepada wajib pajak Luar Negeri. Dari sini terlihat beberapa perubahan seperti perubahan tarif dan perluasan obyek pajak. Dalam skripsi ini penulis menggunakan metode deduktif dengan menjabarkan mengenai pemotongan PPh pasal 23, pepbebasan PPh pasal 26, serta pemungutan PPN atas penghasilan jasa tersebut. Selain itu juga dijabarkan mengenai pengkreditan PPN untuk memperlihatkan adanya PPN Masukan dan PPN Keluaran dalam PT. INT. Dalam hal pemotongan PPh pasal 26 atas penghasilan yang dibayarkan kepada wajib pajak luar negeri, harus diperhatikan kemungkinan adanya suatu perjanjian perpajakan (tax treaty) antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain yang bertujuan untuk menghindarkan pengenaan pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak contohnya perjanjian perpajakan dengan Pemerintah Jepang. Analisis dilakukan dengan membandingkan penerapan UU Perpajakan tahun 1994 dengan UU Perpajakan sebelumnya, sehingga dapat dilihat perubahan-perubahan yang terjadi. Dari hasil analisis tersebut ternyata PT. INT sudah cukup baik dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, hanya saja dalam hal pembebasan pemotongan PPh pasal 26, baik PT. INT maupun wajib pajak Luar Negeri yang menerima penghasilan tidak mengikuti prosedur Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh pasal 26 PT. INT sebagai pihak yang wajib memotong pajak penghasilan sebaiknya segera meminta wajib pajak negara lain tersebut untuk segera memohon SKB PPh pasal 26 untuk menghindari terjadinya kesalahan dan masalah dengan pihak fiskus."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1996
S19135
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamila
"ABSTRAK
Pada dasamya perusahaan dalam mencari pendanaan untuk membiayai operasionalnya akan mencari cost of debt yang paling efisien. Sebagai perusahaan telekomunikasi yang memiliki akses kepada Pasar Modal Intemasional, Indosat Tbk melalui anak perusahaannya yaitu Indosat Finance B.V. yang berkedudukan di Belanda menerbitkan wesel bayar begaransi yangjatuh tempo pada 2010 sebesar US$300,000,000 pada tingkat bunga 7.75% dibayar semi Annual. Wesel bayar tersebut tercatat di Bursa Efek Luxembourg Stock Exchange and di Singapore Securities Exchange Trading Limited.
Sebagai wajib pajak dalam negeri, Indosat berkewajiban untuk memotong pajak penghasilan atas bunga yang dibayarkan atas Guaranteed Note jatuh tempo pada 2010 tersebut. Penghasilan bunga yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal 26 yang tarifnya sebesar 20% atau tarif yang berlaku menurut Petjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Oleh kerena itu, Indosat membentuk Indosat B.V. yaitu perusahaan perantara yang ditujukan semata-mata untuk memfasilitasi peminjaman dari pihak ketiga. Dengan membentuk perusahaan tersebut Indosat dapat memperoleh tingkat suku bunga yang lebih menarik bagi investor dan menerapkan tarif P3B antara Indonesia dengan Belanda yaitu sebesar 10%.
Walaupun, dalam P3B tersebut terdapat peluang penghasilan bunga tersebut dipajaki di Belanda yaitu apabila jangka waktu hutang tersebut lebih dari dua tahun, namun karena pelaksanaannya sebagai mana yang terdapat dalam P3B tersebut membutuhkan persetujuan bersama antara pihak yang berwenang di kedua negara, peluang tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh perusahaan. Hal ini disebabkan pemerintah tidak ingin kehilangan penghasilan dari pemotongan paj ak penghasilan atas bunga tersebut.
Karena dalam indenture disebutkan bahwa pemegang obligasi menerima penghasilan bunga bersih tanpa dipotong pajak, maka pajak penghasilan tersebut menjadi biaya tambahan bagi Indosat.
Selain dari tambahan biaya dari pajak penghasilan yang ditanggung oleh Indosat tersebut, Indosat juga mengeluarkan biaya-biaya lain seperti biaya hedging, keuntungan atau kerugian dari selisih kurs yang belum terealisasi, dan biaya penerbitan surat hutang tersebut.
"
2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Ana Triana
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
S23431
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Penni Arumdati
"Starting on April 2007, The Directorate General of Taxes has imposed Income Tax Article 23 of advertisement installing services at printed media by withholding tax system. Since the 2006 tax revenue did not reach its target, this policy is established as one of way to fulfill tax revenue in 2007 and years after it. The industry itself is in the financial unstable condition. This research begins with the fact that income from advertisement installing service is categorized as business income, which net income is difficult to determine before end of tax year because there are no exact amount of both revenues and expenses yet. It causes the difficulty in determining the accurate tax rate of Article 23 that is collected by withholding tax system. The inaccurate tax rate of Article 23 itself may affect the company?s cash flow.
The research has two purposes: (1) to find out the policy?s backgrounds in imposing Income Tax Article 23 on advertisement installing services at printed media by withholding tax system; and (2) to explain the problems occur during the accomplishment of the impositions of Income Tax Article 23 on advertisement installing services at printed media. In order to accomplish the purposes mentioned above, this research done by qualitative approach using depth interview as qualitative data collection technique. This research can be also classified into descriptive, pure, and cross-sectional research.
The results show that the reasons in imposing Income Tax Article 23 on advertisement installing services at printed media are: (1) to input advertisement installing services at printed media to taxation system in order to save its tax potential; (2) to explore a potential tax revenue from advertisement installing services transactions at printed media; (3) to help increasing the government?s revenue during the year. This research also proves that this Article 23 imposition causes several problems: (1) lack of proper socialization from tax officer causing less awareness of tax withholder in withholding printed media?s taxes; (2) dispute between user and advertisement agents in determining the party that obliged to withhold the Article 23 taxes of printed media as a result of bias procedure; (3) decreased daily budget of printed media; (4) increased administrative burden for both user, printed media, and tax officer.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Agus Suparman
"Dalam rangka menyongsong perdagangan bebas baik di tingkat ASEAN pada tahun 2003 maupun Asia Pasifik pada tahun 2020, maka Indonesia perlu mempersiapkan diri agar tidak ketinggalan dengan luar negeri, termasuk dalam peraturan perpajakan yang sesuai dengan kaidah perpajakan internasional khususnya prinsip netralitas. Pemajakan atas premi asuransi oleh negara sumber merupakan salah satu isu yang sering diperdebatkan dalam perpajakan internasioanal. Untuk meningkatkan kepastian hukum bagi wajib pajak dan pihak pelaksana di lapangan maka perlu adanya ketegasan dari Direktorat Jenderal Pajak selaku lembaga yang berwenang.
Sebagai pelaksana di lapangan, penulis sering menemukan kesulitan untuk mengenakan pajak atas premi asuransi yang dikirim ke luar negeri. Padahal penghasilan premi asuransi yang dikirim ke luar negeri sangat besar. Karena itu, penelitian penulis lebih ditujukan untuk menjawab permasalah sebagai berikut :
1. Apakah setiap pembayaran premi asuransi ke luar negeri dapat dikenakan PPh Pasal 26?
2. Apakah pembebasan pengenaan PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri, sebagaimana dimaksud dalam Surat Dirjen telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku?
Karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui peraturan perundang-undangan perpajakan khususnya ketentuan tax treaty yang membebaskan pengenaan PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi ke luar negeri dan mengetahui peraturan yang berlaku tentang perantara asuransi yaitu pialang asuransi dan agen asuransi.
Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia memiliki kewenangan memungut pajak dari penghasilan yang berasal dari Indonesia (asas sumber). Premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar negeri wajib dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari perkiraan penghasilan neto. Besarnya perkiraan penghasilan neto diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 6241KMK.0411994 tanggal 27 Desember 1994. Aplikasi ketentuan ini dapat dibatasi dengan tax treaty antara Indonesia dengan negara mitra perjanjian (treaty partner). Pembebasan pemotongan PPh Pasai 26 sebagaimana dimaksud dalam Surat Dirjen seharusnya hanya dapat dilakukan jika diatur dalam tax treaty.
Metode penelitian yang diiakukan oleh penulis adalah deskriptif analisis. Metode penelitian ini didasarkan atas pertimbangan bahwa dalam membahas tesis ini pertama-tama penulis akan menguraikan mengenai siapa dan apa yang dikenakan pajak, perlunya suatu tax treaty dan peraturan perantara asuransi di Indonesia. Sesudah memberikan deskripsi atas berbagai hal yang relevan, penulis melakukan analisis data-data tersebut guna memecahkan permasalahan pokok yang diperoleh dalam penelitian. Data-data yang diperoleh penulis berasal dari studi kepustakaan dan studi lapangan.
Berdasarkan penelitian terhadap literatur dan wawancara dengan berbagai pihak, penulis berkesimpulan bahwa pembayaran premi asuransi ke luar negeri wajib dipotong oleh pembayar premi asuransi jika negara tujuan premi asuransi tersebut tidak memiliki tax treaty dengan Indonesia. Hal ini berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UU PPh. Jika negara tujuan merupakan treaty partner maka tidak ada kewajiban pemotongan berdasarkan tax treaty dan memori penjelasan Pasal 26 ayat (2) UU PPh. Selanjutnya pemajakan terhadap perusahaan asuransi di luar negeri diperlakukan sama dengan Bentuk Usaha Tetap perusahaan jasa lain dan mengacu kepada Pasal 5 UU PPh.
Sebagian besar tax treaty Indonesia dengan treaty partner memiliki aturan khusus tentang Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi yang menerima penghasilan premi dari negara sumber. Ketentuan ini mengadopsi Pasal 5 ayat (6) UN model. Pasal tersebut mengatur bahwa perusahaan asuransi di negara domisili dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di negara sumber asal perusahaan asuransi tersebut menerima atau memperoleh penghasilan premi asuransi dari negara sumber atau menanggung resiko di negara sumber. Sebagian lain, tax treaty Indonesia dengan treaty partner tidak memiliki aturan khusus tentang Bentuk Usaha Tetap bagi perusahaan asuransi. Tax treaty ini mengadopsi ketentuan dalam OECD model. Menurut OECD model, perusahaan asuransi di suatu negera yang menerima penghasilan premi asuransi dari negara lain dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di negara lain tersebut jika perusahaan asuransi tersebut memiliki a fixed place of business sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) OECD model atau perusahaan asuransi tersebut menerima atau memperoleh penghasilan asuransi dari negara lain melalui agen tidak babas sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (5) OECD model.
Pengiriman premi asuransi ke luar negeri dibawah ini dapat menimbulkan Bentuk Usaha Tetap :
1. Tertanggung langsung mengadakan pertanggungan dengan penanggung di luar negeri. Jika luar negeri tempat domisili perusahaan asuransi merupakan treaty partner yang memiliki ketentuan khusus tentang asuransi (UN model), maka perusahaan asuransi di luar negeri tersebut dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dan Indonesia memiliki hak pemajakan penuh atas Bentuk Usaha Tetap tersebut.
2. Perusahaan asuransi di luar negeri menerima penghasilan premi asuransi melalui agen asuransi di Indonesia. Jika dalam praktek ditemukan cara ini maka perusahaan asuransi di luar negeri tersebut dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap baik berdasarkan tax treaty yang mengacu Ice OECD model maupun tax treaty yang mengacu ke UN model.
Terakhir, untuk meningkatkan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan kemudahan pelaksanaan di lapangan, penulis mengajukan tiga saran, yaitu :
1) Direktur jenderal pajak hendaknya mengeluarkan keputusan yang mengatur tentang depedensi agen asuransi. Berdasarkan ketentuan UU Perasuransian dan kebiasaan yang lazim di dunia asuransi bahwa jika perusahaan asuransi di luar negeri menerima premi asuransi atau premi reasuransi melalui agen asuransi yang berada di Indonesia maka perusahaan asuransi tersebut dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia karena telah memenuhi Pasal 5 ayat (5) OECD model. Keputusan tersebut dimaksudkan untuk : (i) menghilangkan silang pendapat antara Wajib Pajak dengan pelaksana di lapangan; (ii) memberikan panduan bagi petugas pelaksana di lapangan.
2) Hendaknya menteri keuangan menetapkan penghasilan neto bagi Bentuk Usaha Tetap khusus perusahaan asuransi luar negeri berdasarkan Pasal 15 UU PPh. Pertimbangan ketetapan ini adalah pertimbangan praktis untuk memudahkan pelaksanaan dilapangan. Pertimbangan ini dibolehkan dijadikan dasar keputusan menteri keuangan oleh undang-undang selain kelaziman. Pertimbangan lain adalah sulitnya menentukan penghasilan neto berdasarkan Pasal 16 ayat (3) UU PPh. Dengan norma penghasilan neto maka setiap pembayaran premi ke luar negeri langsung yang dapat dideem memiliki Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dapat dipotong oleh pembayar premi asuransi.
3) Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-4281PJ.43211995 tanggal 05 Desember 1995 merupakan jawaban direktur jenderal pajak yang dilayangkan kepadanya. Surat ini merupakan surat biasa dan bukan surat yang bersifat mengatur. Karena itu tidak dapat dijadikan pegangan bagi pelaksana dilapangan. Berdasarkan pengalaman penulis, Surat Dirjen tersebut banyak dijadikan dasar pemeriksaan aparat Direktorat Jenderal Pajak ditingkat pelaksana. Begitu juga dengan konsultan pajak. Seharusnya, acuan atau dasar hukum yang dipakai adalah tax treaty, undang-undang dan keputusan menteri keuangan atau keputusan direktur jenderal pajak."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T7483
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Batrisyia Izzati Ardhie
"Laporan magang ini bertujuan untuk mengevaluasi prosedur audit substantif yang dilaksanakan KAP PLEDIS atas akun utang pajak PPh pasal 23, PPh pasal 4 ayat (2), dan PPN pada PT SVT. Pembahasan mencakup evaluasi kesesuaian implementasi prosedur substantif pengujian rinci akun utang pajak tersebut dengan teori, peraturan perpajakan, dan standar audit. Dari hasil pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa prosedur substantif pengujian rinci atas akun utang pajak PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 ayat (2), dan PPN yang dijalani KAP PLEDIS terhadap PT SVT sudah sesuai dengan teori, standar audit, serta peraturan perpajakan yang berlaku.

This internship report aims to evaluate the substantive audit procedures carried out by KAP PLEDIS on the taxes payable accounts of Income Tax article 23, Income Tax article 4 paragraph (2), and VAT at PT SVT. The analysis includes evaluating the implementation of substantive procedure test of detail for the taxes payable account with audit theory, taxation, and audit standard. From the discussion, it is concluded that the substantive procedure test of detail for taxes payable accounts of Article 23 Income Tax, Article 4 Income Tax paragraph (2), and VAT PT SVT are in accordance with theory, audit standards, and applicable tax regulations."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>