Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24040 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tri Nugroho
"ABSTRAK
Tulisan ini membahas tentang perjuangan untuk kebebasan sebelum dan sesudah Reformasi. Kajian ini akan melihat dari sudut pandang sebuah Komunitas Epistemik yang bernama Komunitas Utan Kayu, yang sebagiannya berkembang menjadi Komunitas Salihara. Kisah tentang Komunitas ini dimulai pada tanggal 21 Juni 1994 ketika majalah Tempo, Detik dan Editor dibredel. Kegaduhan tentang ini bersama dengan hal lainnya berujung pada jatuhnya pemerintahan Soeharto di bulan Mei 1998. Komunitas ini melanjutkan upayanya untuk mempromosikan kebebasan pada banyak hal. Dimulai dari kebebasan pers, kebebasan berorganisasi, kebebasan berbicara dan berpendapat, kebebasan menyiarkan, kebebasan atas informasi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, dan kebebasan lainnya dalam kerangka kebebasan berfikir dan kebebasan berekspresi. Promosi kebebasan dari komunitas ini pada akhirnya harus berkontestasi dengan kelompok dan komunitas lainnya yang memiliki prinsip dan nilai yang berbeda, epistema yang berbeda. Semuanya berebut untuk dapat terlembagakan menjadi kebijakan dan praktik negara. Pada akhirnya ini adalah perjuangan mengelola imaginasi yang berbeda tentang Indonesia.

ABSTRACT
This paper examines the struggle for freedom in Indonesia before and after the reformation. It would be seen from the perspective of an epistemic community namely Utan Kayu Community, a community which later established Salihara Community. The story of the community begun in 21 June 1994 when Tempo magazine was banned along with Detik and Editor media. This created one of crowds that brought Soeharto government into end in May 1998. The community continued to promote freedom in all kinds. It started with the promotion of freedom of the press, freedom to established associations, freedom of speech and opinion, freedom of broadcasting, freedom of information, freedom of religions and beliefs and other freedoms under the freedom of thought and expressions. Promotion of freedoms by this community has been contested with other interest groups who have different principles and values, different episteme. All want to be adopted and institutionalized into policies and practices of the state. At end, this is about the struggle of managing different imaginations of Indonesia."
Depok: 2012
D1327
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Kemal Dermawan
"Lokasi penelitian ini adalah permukiman Real estate dan Non Real estate di Bekasi dan Depok. Karena penelitian disertasi ini juga melihat potensi pelaksanaan Pemolisian Komunitas di dalam komunitas dengan klas sosial yang berbeda maka pemilihan permukiman real estate dan non real estate ditetapkan untuk mewakili komunitas yang lebih mapan (tingkat sosial-ekonomi, dalam hal ini diwakili oleh komunitas permukiman real estate) dan komunitas yang kurang mapan (tingkat sosial-ekonomi, dalam hal ini diwakili oleh komunitas permukiman non real estate).
Dari kondisi empiris Tataran kebijakan yang melingkupi implementasi Pemolisian Komunitas terlihat bahwa (1) Aturan Perundang-undangan termasuk pula kebijakan-kebijakan yang berpijak pada Paradigma Baru POLRI/Reformasi POLRI sudah memadai; (2) terkait dengan penerapan prinsip-prinsip demokrasi dalam Pemolisian Komunitas, ternyata masih terdapat beberapa masalah seperti (a) belum terumuskannya mekanisme kemitraan yang lebih partisipastif; (b) belum diperolehnya pemahaman yang baik tentang formasi dan stratifikasi kelaskelas sosial dan gender; (c) belum maksimalnya faktor pendorong dan fasilitasi kebijakan-kebijakan bagi prakarsa, inisiatif dan gagasan yang muncul dari polisi lokal/ setempat; terkait dengan pelaksanaan pengawasan sipil terhadap POLRI dan tindakan pemolisiannya, ternyata masih terdapat beberapa masalah seperti (a) belum berjalan mekanisme pengawasan sipil dengan baik, khususnya pengawasan terhadap Polri dan tindakan pemolisiannya; (b) belum ada lembaga pengawasan yang efektif baik lembaga pengawasan bentukan Undang-Undang maupun bentukan masyarakat.
Dari kondisi empiris Tataran Empiris, yakni relasi POLRI dan Komunitas dalam Pemolisian Komunitas, diperoleh data bahwa (a) kondisi Kapasitas. Komunitas secara umum mendukung kemitraan serta siap dikembangkan bagi kepentingan menyambut program dari luar yang bermanfaat bagi mereka; (b) belum terciptanya Kemitraan yang setara antara POLRI dan Komunitas karena POLRI lebih mendominasi sejak Pembentukan Panitia Persiapan Pembentukan FKPM hingga Realisasi FKPM; (c) muncul tiga pihak dalam relasi kemitraan yang kemudian memunculkan relasi kekuasaan tiga pihak : POLRI-FKPMKomunitas. Hal ini kemudian menjadi hambatan bagi terciptanya partisipasi kolektif warga komunitas dalam bermitra dengan Polri demi tercapainya upayaupaya penyelenggaraan kamtibmas di dalam komunitas secara kolektif. Beberapa kendala dalam pelaksanaan Pemolisian Komunitas yang ditemui dalam penelitian Disertasi ini tersebut, secara umum tidak menghambat potensi keberhasilan program Pemolisian Komunitas di masa yang akan datang. Beberapa perbaikan, peningkatan dan penyempurnaan hal-hal yang terkait dengan kendalakendala tersebut harus dilakukan dan mendapat perhatian yang seksama oleh pelaksana program Pemolisian Komunitas.

Real estate and Non Real estate settlement community in Bekasi and Depok are the research location for the Dissertation. The reason to choose the Real estate and Non Real estate settlement is to shown therepresentation the stable community (social economy class, represented by Real estate housing community) and less stable community (social economy class, represented by Non Real estate housing community).
From the empirical policy level that contains Community Policing implementation, we are able to view that: (1) The laws, including the policies that stand on the new paradigm of POLRI/the reformation of POLRI, has adequated; (2) there are still some problems in the democratic principles implementation in Community Policing, which are (a) the more participative partnership has not been fully explainable, (b) the social class and gender formation and stratification has not been fully understandable, (c) the supporting factors and policies facility for action, initiative, and ideas that come up from the local Police regarding the implementation of civil monitoring to POLRI and their Policing action has not been maximized. There are a few problems regarding this factor, such as: (a) the civil monitoring mechanism has not been successfully implemented, especially the monitoring to POLRI and their Policing action, (b) there has no effective oversight institution, either made by law or community.
The data shown from the empirical condition at the Empirical Level, regarding POLRI relation with community in community policing, in general, the Community Capacity Condition is ready to support the partnership program and ready to be developed to accept any other intentional program from the outside community that might benefit them. Unequal relationship between community and Police, are caused more by the domination of Police since the begining of FKPM development by the early comitee, until the real activity is running. Since the program is started, there was 3 parties in the partnership relation, that then emerges into 3 power relationships; POLRI-FKPM-Community. Such condition become the barrier for collective participation among community member to become Polri partner on achieving collective activity in community security and order program. Some problem found in this Dissertation research regarding the Community Policing implementation, basicly are not an obstacle for the successful Community Policing program in the future. Nevertheless, some improvement need to be done regarding all the problems, and should be the point of attention to all subjects in Community Policing program.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
D955
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hanggar Budi Prasetyo
"ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk memahami proses dan pola penguasaan tanah marga
oleh penduduk pendatang serta implikasinya pada distribusi tanah marga dan
terbentuknya komunitas baru di Desa Rata Agung.
Data diperoleh melalui penelitian lapangan dengan metode partisipasi
observasi selama 4 bulan di Desa Rata Agung, Kecamatan Pesisir Utara, Kabupaten
Lampung Barat. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa tanah marga
di Rata Agung sebenarnya termasuk communally owned resources yang hanya dapat
dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu berdasarkan aturan yang telah dibangun dan
dikukuhkan oleh masyarakat yang bersangkutan (Acheson, 1989). Akan tetapi oleh
karena adanya perubahan pranata dan melemahnya pranata adat, tanah marga dapat
dikuasai oleb pendatang dengan mudah.
Pranata lokal memungkinkan terjadinya proses individualisasi tanah marga.
Proses ini dipercepat oleh masuknya perusahaan FIPH dan pembangunan jalan raya.
Tana1itanah marga berubah menj adj milik keluarga dan milik individu. Dan
peispektif rnasyarakat lokal, tanah yang telah meiijadì hak milik individu tersebut
sebagian tergolong hanta bekas tangan yang dapat diwariskan kepada seniua generasi
dan rentan untuk dikuasai oleh para pendatang.
Para pendatang dapat menguasai tanah marga dengan empat cara, yaitu
membuka hutan marga, ganti rugi tenaga, tnembeli tanab atau kebun, dan
penyakapan. Kemudahan penduduk pendatang membuka hutan marga dipercepat oleh
berlakunya kebijakaii petnenintah dengan berlakunya Undangundang Pokok.
nintahan Pesa. ¡(ini 73,53 % bekas tanah manga tersebut telah dikuasal oleb para
pendatang dan Knu, Jawa, Ogan Komering Ulu, dan Sunda.
Laju perubahan kepemilikan dan lahan milik masyarakat lokal ke penduduk
Pendatang dipercepat oleh krisis ekonomi yang berdampak pada naiknya harga
komoditi kopi dan lada, seda program pemerintah dalarn mensukseskan Gema
Palagung.
Sampai sejauh ini, tanda-tanda konflik yang disebabkan oleb ketimpangan
Wasan tanah antara pendatang dan masyarakat lokal belum dijumpai. Ini terjadi
karena penduduk pendatang mampu beradaptasi dengan masyarakat lokal, Selain itu
daya dukung lahan masih memungkinkan
"
2001
T5543
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rayhan Ramayudanto
"While everyone can consider themselves as a fan, but not many fans has the effort to be a part of a fandom in which the franchise that already ended. Indo Harry Potter is a community based in Jakarta in which the member still actively participate and engage despite the fact that the Harry Potter franchise has been ended for nine years. This paper will attempt to understand the Indo Harry Potter community through the lens of participatory cultural. Through secondary research using data from research conducted by Ramayudanto, Soetomo, and Yudhistira in 2019, the research found Indo Harry Potter can be qualified as an example of participatory culture.

Meskipun setiap orang dapat menganggap diri mereka sebagai penggemar, tetapi tidak banyak penggemar yang berusaha untuk menjadi bagian dari fandom di mana waralaba tersebut telah berakhir. Indo Harry Potter adalah komunitas yang berbasis di Jakarta di mana anggotanya masih aktif berpartisipasi dan terlibat meskipun waralaba Harry Potter telah berakhir selama sembilan tahun. Tulisan ini akan mencoba untuk memahami komunitas Indo Harry Potter melalui lensa budaya partisipatif. Melalui penelitian sekunder menggunakan data dari riset yang sudah dilakukan oleh Ramayudanto, Soetomo, dan Yudhistira pada tahun 2019, penelitian ini menemukan bahwa budaya partisipatif dapat ditemukan pada komunitas di Indo Harry Potter."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Community based-tourism discourse in these days is still identifying as rural tourism. It is very rarely to find community based-tourism context. This article tries to analyze theoretically aspects about community based-tourism context. The practice of urban community based tourism which will be discussed in this article is night urban tourism in Jalan Jaksa, Central Jakarta. Jalan Jaksa is an urban tourism attraction especially for international tourists from backpackers or low middle tourist segment. This tourist attraction has been managed by Jalan Jaksa Community, not by local government. The authors identify that urban community based-tourism which has been practiced by Jalan Jaksa community is beneficial for local community."
790 JUKIN 3:1 (2008)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Tonggo Uli Yusmaniar
"Tesis ini membahas proses pengorganisasian yang terjadi di Organisasi Tani Lokal Serikat Petani Pasundan (OTL SPP) di Desa Sagara. Termasuk membahas berbagai tantangan yang dihadapi organisasi dan bagaimana mereka menemukan penyelesaikannya. Penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan studi kasus di desa Sagara yang menggunakan metode wawancara mendalam dan diskusi.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pengorganisasian bukanlah proses yang liner tapi proses saling saling terkait dan dapat berjalan bersamaan yang berlangsung berulang dan terus menerus, yang tidak boleh berhenti karena jika tercapai tujuan yang satu, tujuan yang lain sudah menanti. Berbagai faktor yang mempengaruhi mobilitas organisasi harus dikelolah dengan baik.
Hasil penelitian menyarankan SPP untuk memperbaiki keorganisasiannya secara menyeluruh dan menjalankannya sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.

This thesis studies about organizing process which happen at Pasundan Peasant Alliance generally and especially at Local Peasant Organization of Sagara. Including of the challenges which faced by the organization and how the handle and solve it. This research use qualitative research of Sagara village case study which use in depth interview and discussion.
The result of this research is that organizing is not a liner process but processes which related one an another and also can run in the same time, repeatedly and continuously which shouldn’t stop because if one purpose had reached, other objectives are waiting. Factors that influence organizing mobilization must be managed well.
Research results suggest Pasundan Peasant Alliance reorganize their whole organization in holistic and implement as agreement that they had made.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T35438
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edison, F. Thomas
"Komunitas Kristen Depok asli asal-mulanya adalah para pekerja di bidang pertanian dari seorang Belanda yang bernama Cornelis Chastelein. Mereka berasal dari berbagai suku bangsa di Indonesia, seperti dari Bali, Makassar, Jawa, Batavia (Betawi), dan lain-lain. Mereka ini membentuk sebuah kelompok masyarakat di Depok dan merupakan sebuah komunitas yang mula-mula bersifat eksklusif Komunitas ini mempunyai pengalaman yang unik dan tidak ditemukan di tempat lain di Indonesia. Perjalanan hidup komunitas ini mengalami masa menyenangkan dan tenteram sebelum perang kemerdekaan karena kedekatan mereka dengan orang-orang Belanda; masa sukar dan hampir punah pada masa perang mempertahankan kemerdekaan karena dianggap penghianat bangsa dan memihak penjajah; masa prihatin dan dilematis pada masa kemerdekaan karena latar belakang sejarahnya.
Terbentuknya komunitas ini adalah jasa seorang warga negara Belanda keturunan Perancis bernama Cornelis Chastelein yang memberi wasiat yang isinya menghibahkan semua lahan dan sebagian besar kekayaannya kepada para pekerjanya (budaknya) yang mau memeluk agama Kristen Protestan (Hoegenot) Dari sekitar dua ratus orang budak itu, ada seratus dua puluh orang yang mau memeluk agama Kristen Protestan. Mereka ini dibagi dalam dua belas kelompok dan diberi nama marga sebagai berikut : Banos (baca : Bakas), Jacob, Joseph, Jonathans, Laurens, Loan, Leander, Samuel, Soedira, Isakh, Tholense, dan Zadokh.
Mereka mulai menghuni wilayah Depok sejak tahun 1696 dan mulai mewarisi lahan pertanian di Depok sejak tahun 1714. Dalam kurun waktu hampir tiga ratus tahun komunitas ini menghuni wilayah Depok dan telah mengalami pergaulan sosial dengan komunitas-komunitas lain di seldtarnya sehingga terjadi proses perubahan dan kontinyuitas (change and contimdy) dalam kebudayaan mereka. Pada mulanya mereka semua memeluk agama Kristen Protestan dan beribadat di GPIB Immanuel Depok, kini sudah ada yang beribadat di luar gereja GPIB, misalnya di gereja Katolik, gereja Masehi Advent Hari Ketujuh, (Gereja Pantekosta, bahkan karena perkawinan ada yang purdah agama. Mata pencaharian komunitas ini dahulu semua di bidang pertanian, kini hampir tidak ada lagi. Mereka bekerja di bidang industri, perusahaan swasta, dan ada yang menjadi wiraswasta. Ada juga yang bekerja di sektor-sektor informal. Bahasa Belanda yang menjadi ciri khas mereka, kini sudah sangat berkurang intensitasnya dan diganti dengan bahasa Indonesia. Perkawinan yang dahulu bersifat endogarni, kini sudah bersifat eksogami. Kesenian telah berubah dari gamelan dan musik keroncong menjadi paduan suara di gereja menggunakan piano dan gitar.
Namun ada usaha-usaha untuk memperkokoh eksistensi komunitas ini, terutama lima puluh tahun terakhir ini, untuk melaksanakan wasiat Cornelis Chastelein. Usaha itu adalah mendirikan Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein yang bertugas mengelola semua aset yang ditinggalkan oleh Cornelis Chastelein untuk kesejahteraan anggota-anggotanya. Komunitas ini juga tetap terpelihara melalui lembaga gereja yaitu GPID Immanuel Depok. Pads kedua lembaga inilah diletakkan harapan kelangsungan hidup komunitas ini sampai waktu yang lama di masa yang akan datang.
Karena pengalaman sejarah, komunitas ini pernah mengalami hidup dalam keadaan apatis terhadap lingkungannya dan merasa frustrasi karena tidak dapat lagi mengembalikan kejayaan masa lampaunya, dan mengalami dilema identitas, bahkan dapat dikatakan mengalami krisis identitas, terutama pada generasi tua. Sedangkan pada generasi mudanya juga masih trauma atas sejarah masa lalu nenek-moyang dan orang-tua mereka. Namun keadaan apatis dan frustrasi masa lalu itu tidak lagi dialami oleh komunitas ini pada masa kini. Sudan tumbuh kesadaran bahwa mereka adalah memiliki Depok dan juga hams berperan dalam pembangunan Depok."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T1632
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
JIP 39 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku Murdani
"ABSTRAK
Komunitas Adat Terpencil (KAT) merupakan salah satu program untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat terpencil, sejalan dengan tujuan petnbangunan nasional untuk menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Tulisan ini merupakan pemberdayaan sosial ko1nunitas terpencil dengan tujuan untuk, memahami kondisi sosial dan menjaring aspirasi masyarakat tentang kebutuhan kesejahteraan sosial; Menganalisis bentuk pemberdayaan sosial bagi komunitas setempat. Pengamatan dilakukan di Dusun Pantan Kriko, Gampong Pantan Sinaku, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah. Berdasarkan studi lapangan masyarakat setempat hidup sebagai petani kebun kopi, kondisi permukiman penduduk sangat memprihatinkan, masih ada rumah tidak layak huni, terbatasnya akses terhadap pelayan sosial seperti kesehatan dan pendidikan. Kebutuhan utama adalah pembangunan rumah layak huni, sarana peribadatan, gedung serbaguna
untuk pertemuan dan sarana pendukung Iainnya. Kondisi sosiologis masyarakat sangat antusias dan siap untuk diberdayakan, kondisi lingkungan sangat baik untuk mengembangkan berbagai pertanian. Pemerintah daerah Bener Meriah menegaskan komitmennya siap
berdampingan dengan program pemberdayaan sosial komunitas setempat."
Yogyakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS), 2017
300 JPKS 16:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Tempat ngèbèr sebagai tempat pertemuan laki-laki gay tersebar meskipun relatif terselubung?di berbagai tempat- tempat publik di seluruh Indonesia. Tempat ngèbèr sebagai salah satu titik utama dalam konstelasi dunia gay berfungsi tidak hanya untuk mencari pasangan hubungan seksual, tapi juga untuk bersosialisasi, membuka diri, dan mendapat
penerimaan. Surabaya memiliki banyak tempat
ngèbèr yang cukup dikenal di kalangan laki-laki gay, dengan Pataya
sebagai satu tempat
ngèbèr terbesar. Namun dalam beberapa tahun terakhir, tampak adanya perubahan-perubahan yang
menyebabkan Pataya tidak lagi sehidup dulu. Melalui metode
partisipasi observasi dan wawancara non-formal, kajian
ini berupaya untuk memahami bagaimana Pataya menjadi pilihan tempat ngèbèr di Surabaya, perubahan-perubahan apa
saja yang terjadi dan menyebabkan penyusutan kehidupannya. Dari penelitian ini, diharapkan ada penelitian lanjutan
untuk mempelajari adaptasi-adaptasi yang terjadi atau dapat dilakukan di luar situs ngèbè.

Abstract
Tempat ngèbèr, or hanging-out places where gay men in Indonesia meet, can be found in various?though relatively
hidden?public places across Indonesia.
Tempat ngèbèr as one of the more prominent sites in the constellation of gay serves not only as a space to find sexual partners, but also to
socialize, to be open in expressing oneself, and to gain
acceptance from one?s peers. Surabaya
has a number of famous, well-known tempat
ngèbèr , with Pataya being one of
the largest places. Yet changes within the
last few years have diminished its popularity. Through participant observation and non-formal interviews, this research attempts to understand how Pataya became the more prominent
tempat ngèbèr in Surabaya, and what kind of changes have happened that reduced its popularity. Hopefully, this research will bring
about future studies that will investigate various adaptations
that can be carried out inside or outside the site itself. "
[Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia, Universitas Airlangga. Fakultas Ilmu Budaya], 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>