Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143377 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Uke Andrawina Utami
"Inflammatory Bowel Disease (IBD) merupakan penyakit radang yang terjadi pada usus. Peradangan kronik yang terjadi dapat menyebabkan terbentuknya jaringan parut, tindakan bedah dilakukan untuk pengobatan ini. Obat antifibrotik diberikan pasca operasi, salah satu obat antifibrotik yang digunakan adalah pentoksifillin. Pengobatan pada lapisan mukosa usus akan lebih efektif, jika obat dapat dilepaskan ke tempat peradangan. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat beads dengan metode gelasi ion menggunakan polimer alginat yang disambung silang dengan kation divalen seperti kalsium klorida yang akan membentuk gel tidak larut. Beads kalsium-alginat yang mengandung pentoksifillin dibuat dalam tiga formula dengan variasi konsentrasi kalsium klorida 2% (formula 1), 3% (formula 2), dan 4% (formula 3). Karakterisasi yang dilakukan meliputi bentuk dan morfologi, distribusi ukuran, efisiensi proses, efisiensi penjerapan, dan uji pelepasan in vitro. Beads yang dihasilkan berbentuk hampir bulat, distribusi berada pada ukuran 710 sampai 1180 μm. Efisiensi penjerapan dari ketiga formula berturut-turut yaitu 48,75%, 47,28%, dan 45,89%. Kandungan pentoksifillin dari ketiga formula berturut-turut yaitu 18,28%, 15,75%, dan 13,76%. Uji pelepasan zat aktif dari beads dilakukan pada medium asam klorida pH 1,2 dapar fosfat pH 7,4 dan dapar fosfat pH 6. Hasil penelitian menunjukkan, pelepasan pentoksifillin dari beads alginat pada ketiga medium dilepaskan dengan cepat.

Inflammatory Bowel Disease (IBD) is an inflammatory that occurs in intestinal. Chronic inflammation that occurs can cause a fibrotic tissue, surgery is an action for the treatment of IBD. Antifibrotic drug is administered after surgery, pentoxifylline is one of an antifibrotic drugs. Treatment of the intestinal mucosa inflammation will be more effective if the drug can be released directly to the inflammation. The aim of this research is to prepare beads by ionic gelation method, where sodium alginate were crosslinked with divalen cations such as calcium ions to form an insoluble gel beads. Beads were characterized, include shape and morphology, size distribution, process efficiency, adsorption efficiency, and in vitro release test. Calcium-alginate containing pentoxifylline were prepared in three formulas which various concentration of calcium chloride 2% (formula 1), 3% (formula 3), and 4% (formula 3). The results shows that beads which produced have almost spherical form, most of particle size distribution is between 710-1180 μm. Adsorption efficiency from three formulas respectively are 48,75%, 47,28%, and 45,89%. Encapsulation efficiency from three formulas respectively are 18,28%, 15,75%, and 13,76%. The release test of active substance from beads performed in pH 1,2 hydrochloric acid, pH 7,4 phosphate buffer, and pH 6 phosphate buffer. Results showed the release of pentoxifylline from alginate beads was released fastly in three mediums.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S42292
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Dwi Kurniawan
"[Latar Belakang: Ulkus kaki diabetik terinfeksi merupakan kasus DM yang paling banyak dirawat di RS, berhubungan dengan morbiditas, mortalitas, biaya yang tinggi dan bersifat multifaktorial. Salah satu faktor yang berpengaruh adalah albumin. Belum ada penelitian yang secara langsung menghubungkan konsentrasi albumin serum awal perawatan dengan perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik. Belum ada batasan mengenai konsentrasi albumin yang dapat
mempengaruhi perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik.
Tujuan: Mendapatkan data mengenai konsentrasi albumin serum awal perawatan dan hubungannya dengan perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik.
Metodologi: Penelitian dengan desain kohort prospektif terhadap 71 pasien
diabetes dengan ulkus kaki terinfeksi yang dirawat inap di RSUPNCM,
RSPADGS atau RSP pada kurun waktu April-Agustus 2014. Diagnosis dan klasifikasi ulkus kaki diabetik terinfeksi menggunakan kriteria IDSA. Data klinis dan albumin serum diambil dalam 24 jam pertama perawatan dan diikuti dalam 21 hari perawatan dengan terapi standar untuk dilihat perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik. Perbedaan rerata konsentrasi albumin antara subjek yang mengalami perbaikan klinis infeksi dan yang tidak, diuji dengan uji t tidak berpasangan dengan batas kemaknaan p<0,05. Untuk analisis multivariat,
digunakan analisis regresi logistik dengan koreksi terhadap variabel perancu. Kemudian dinilai kemampuan konsentrasi albumin serum dalam memprediksi perbaikan klinis dengan membuat kurva ROC dan menghitung AUC. Lalu ditentukan titik potong konsentrasi albumin serum dengan sensitifitas dan spesifisitas terbaik pada penelitian ini.
Hasil: Rerata konsentrasi albumin pada kelompok yang tidak mengalami perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik dan yang perbaikan, masing-masing sebesar 2,47 (0,45) g/dL dan 2,94 (0,39) g/dL (p<0,001). Setelah penambahan variabel perancu, didapatkan adjusted OR untuk setiap penurunan konsentrasi albumin 0,5 g/dL adalah 4,81 (IK95% 1,80;10,07). Konsentrasi albumin kurang
dari 2,66 g/dL dapat memprediksi bahwa ulkus kaki diabetik terinfeksi tidak akan mengalami perbaikan dalam 21 hari perawatan dengan sensitivitas 75% dan spesifisitas 69,6%.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara konsentrasi albumin serum awal perawatan dengan perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik. Konsentrasi albumin serum kurang dari 2,66 g/dL dapat memprediksi ulkus kaki diabetik terinfeksi tidak akan membaik dengan sensitivitas 75% dan spesifisitas 69,6%., Background: Infected diabetic foot ulcer is the most common case of diabetes mellitus (DM) for hospitalization. It is associated with high morbidity, mortality, expensive cost of treatment and has multifactorial aspects. Albumin is considered as one of the factors associated with the disease. No studies have been conducted to demonstrate direct association between serum albumin level at early hospitalization and clinical improvement of diabetic foot ulcer infection. Moreover, no standardized value on albumin level has been set, particularly that
may influence the clinical improvement of diabetic foot ulcer infection.
Objective: To obtain data about serum albumin level at early hospitalization and to recognize its association with clinical improvement of diabetic foot ulcer infection.
Methods: A prospective cohort study was conducted. The study evaluated 71 patients with infected diabetic foot ulcers who were hospitalized at Cipto Mangunkusumo Hospital, Gatot Soebroto Hospital or Persahabatan Hospital between April and August 2014. Diagnosis and classification of infected diabetic foot ulcers were made using the IDSA criteria. Clinical data and serum albumin level were obtained within the first 24 hours of hospitalization and the data were
followed within 21 days of hospitalization with standard treatment in order to evaluate any clinical improvement of diabetic foot ulcer infection. Unpaired t test with significance value of p <0,05 was used to show the difference of the mean of serum albumin level between subjects with clinical improvement and without clinical improvement of diabetic foot ulcer infection. Afterwards, a logistic regression analysis with adjustment to the confounding variables was used. ROC
curve and AUC were used to analyze the capacity of serum albumin level in predicting clinical improvement. Then, a cut-off point of serum albumin level with the best sensitivity and specificity was determined to predict the clinical improvement of diabetic foot ulcer infection.
Results: The mean of serum albumin concentration of the group with clinical improvement and without improvement were 2,47 (0,45) g / dL and 2,94 (0,39) g / dL (p <0,001) respectively. After adjusting the confounding variables, we found that serum albumin level had an adjusted OR of 4,81 (95% CI 1,80;10,07) for every decrease in albumin level of 0,5 g / dL. Serum albumin level of less than 2,66 g/dL had sensitivity of 75% and specificity of 69,6% in predicting that the
infected diabetic foot ulcers would not improve within 21 days of hospitalization.
Conclusions: There is a association between serum albumin level at early hospitalization and clinical improvement of diabetic foot ulcer infection. Serum albumin level of less than 2,66 g/dL can predict that the infected diabetic foot ulcers will not improve with sensitivity of 75% and specificity of 69,6%.
]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Christye Aulia
"Penyakit inflamasi usus atau Inflammatory Bowel Disease (IBD) merupakan penyakit peradangan yang terjadi pada kolon, penyakit ini sebaiknya diobati dengan sistem penghantaran obat tertarget pada bagian spesifik. Sistem penghantaran yang ditargetkan untuk pengobatan IBD dirancang untuk meningkatkan konsentrasi obat pada jaringan lokal. Deksametason merupakan obat yang memiliki efek anti inflamasi dan antifibrosis yang dapat digunakan untuk memperbaiki jaringan parut yang timbul pasca operasi IBD. Penelitian ini bertujuan untuk membuat beads kalsium-alginat deksametason yang hanya dilepas pada kolon. Beads dibuat menggunakan natrium-alginat yang disambung silang dengan Ca2+ melalui metode gelasi ionik, dengan perbandingan antara natrium alginat-deksametason (3:1). Konsentrasi natrium-alginat yang digunakan sebesar 3% b/v dengan varian konsentrasi CaCl2 sebagai agen sambung silang yakni 2% (formula 1), 3% (formula 2), dan 4% (formula 3). Beads yang telah dibuat akan dikarakterisasi untuk mengetahui bentuk dan morfologi beads, distribusi ukuran partikel beads, kadar air, efisiensi proses, indeks mengembang, uji kandungan obat, efisiensi penjerapan deksametason dalam beads dan evaluasi pelepasan obat secara in vitro yang kadar deksametasonnya ditetapkan secara spektrofotometri UV-Vis. Hasilnya diperoleh bentuk beads yang hampir bulat dengan kisaran ukuran antara 630 - >800 µm. Efisiensi penjerapan terbesar diperoleh dari beads formula 1 yaitu sebesar 98,14% sedangkan setelah disalut dengan eudragit® S100 menggunakan alat fluid bed dryer diperoleh beads formula 4 dengan efisiensi penjerapan sebesar 67,78%. Beads formula 1 hanya bersifat enterik dan belum mampu menahan pelepasan zat aktif hingga di pH kolon, sedangkan beads formula 4 memiliki profil pelepasan yang lebih baik karena dapat melepas zat aktif sampai di pH kolon secara bertahap dan bertahan selama 8 jam saat di pH kolon.

Inflammatory Bowel Disease (IBD) is a disease of inflammation in the colon, therefore this disease should be treated with targeted drug delivery systems on site-specific. Targeted delivery systems for the treatment of IBD is designed to increase the drug concentration in the local tissue. Dexamethasone is a drug having anti-inflammatory and antifibrosis effects which is used to repair scar tissue arising from postoperative IBD. This research purpose to create calcium-alginate beads dexamethasone to be released only in the colon. Beads were made ​​by using sodium-alginate and Ca2+ as crosslinker by ionic gelation method, with ratio between sodium alginate-dexamethasone (3:1). A concentration of solution sodium alginate 3 % b/v with variation concentration of crosslinker is 2% (formula 1), 3% (formula 2), and 4% (formula 3). Beads ​​will be characterized to determine the form and morphology of the beads, particle size distribution of the beads, moisture content, process efficiency, swelling ratio, drug content, encapsulation efficiency and drug release determined by spectrophotometry UV-Vis. The results obtained were spherical beads with a size range between 630 -> 800 μm with the greatest encapsulation efficiency obtained from the beads formula 1 with the amount of 98.14% and after coated with Eudragit® S100 using a fluid bed dryer apparatus, beads of formula 4 was obtained with an encapsulation efficiency of 67,78%. Beads formula 1 were only released in stomach pH and not able to hold up the release of the active substance in colonic pH, whereas beads of formula 4 releasing dexamethason gradually more than 8 hours in colonic pH, and has a better release profile for the active substance.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2013
S44878
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faroland Dedy Koswara Debataradja
"ABSTRAK
Pasien rawat inap dengan malnutrisi dapat mengalami kehilangan albumin melalui saluran cerna yang ditandai dengan penurunan albumin serum dan peningkatan kadar AAT tinja. Tujuan penelitian ini untuk menilai kehilangan protein melalui saluran cerna pada pasien di ruang rawat inap RSCM. Penelitian menggunakan rancangan potong lintang dengan uji deskriptif analitik, dengan menilai kadar AAT tinja dan albumin serum penderita rawat inap. Hasil penelitian pada 41 subjek malnutrisi dan 33 subjek tidak malnutrisi mendapatkan nilai median AAT tinja pada kelompok malnutrisi sebesar 86,9 mg/dL dengan rentang 26,3 - 310,3 mg/dL. Pada kelompok tidak malnutrisi didapat median nilai AAT tinja 12,2 mg/dL dengan rentang 1,4 - 25,6 mg/dL. Rerata albumin serum pada kelompok malnutrisi adalah 2,6 ± 0,4 g/dL sedangkan pada kelompok tidak malnutrisi 4,0 ± 0,4 g/dL. Terdapat korelasi kuat yang berlawanan arah antara kadar AAT tinja dan kadar albumin serum yang berarti terjadi kebocoran albumin serum melalui saluran cerna akibat gangguan integritas usus terutama pada pasien yang mengalami malnutrisi.

ABSTRACT
Hospitalized patients with malnutrition can have albumin loss through gastrointestinal tract characterized by the decreased of serum albumin and the increased levels of fecal AAT. The purpose of this study was to assess the loss of protein through the gastrointestinal tract in hospitalized patients at RSCM hospital. The study was a cross-sectional study with descriptive analytic approach, assessing the levels of fecal AAT and serum albumin from 41 malnourish and 33 non malnourish subject. Fecal AAT median scores among the malnourished group was 86.9 mg/dL with a range from 26.3 to 310.3 mg/dL. In the non malnourished group fecal AAT median value was 12.2 mg / dL with a range from 1.4 to 25.6 mg/dL. The mean serum albumin in malnourished group was 2.6 ± 0.4 g/dL, while in the non malnourished group was 4.0 ± 0.4 g/dL. There is a strong negative correlation between fecal AAT levels and serum albumin, which indicates that serum albumin leakage through the gastrointestinal tract was due to impaired intestinal integrity especially in malnourished patients."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muzna Anisah
"Latar belakang: Serum Albumin merupakan protein plasma yang jumlahnya paling melimpah dalam darah dan berkontribusi dalam mempertahankan tekanan osmotik koloid dan juga mengikat substansi yang sukar larut dalam plasma dan membantunya agar dapat didistribusikan ke dalam tubuh. Protein dalam ASI kebanyakan disintesis oleh mammary epithelium namun serum albumin merupakan protein yang didapat langsung dari sirkulasi darah ibu dan disalurkan melalui blood-milk barrier. Kadar serum albumin yang ditemukan di dalam ASI jumlahnya dapat bervariasi, protein ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti masa menyusu bayi (fase laktasi), usia ibu, paritas, dan Indeks Massa Tubuh (IMT) Ibu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kadar serum albumin pada ASI ibu yang menyusui bayi usia 1-3 bulan dan 4-6 bulan dan mencari hubungannya dengan  usia Ibu, jumlah paritas, dan IMT Ibu.
Metode: Penelitian ini menggunakan sampel ASI yang diperoleh dari 58 ibu dari Puskesmas Petamburan (Jakarta Pusat) dan Puseksmas Cilincing (Jakarta Utara). Sampel dikelompokkan  menjadi dua kelompok, yaitu usia bayi 1-3 dan 4-6 bulan.  Kadar serum albumin diukur dengan kit Bromocresol Green (BCG) menggunakan spektrofotometer dengan Panjang gelombang 628 nm.
Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa ASI pada periode laktasi yang lebih awal yaitu pada 1-3 bulan memiliki kadar serum albumin yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan kadar serum albumin ASI pada kelompok usia 4-6 bulan (p=0,002). Kadar serum albumin ASI pada kelompok usia bayi 1-3 bulan tidak memiliki korelasi terhadap usia ibu (p=0,881), dan juga paritas (p=0,428), namun berkorelasi positif kuat bermakna terhadap IMT Ibu (p=000). Kadar serum albumin ASI pada kelompok usia bayi 4-6 bulan tidak memiliki korelasi terhadap usia ibu (p=0,581) dan juga paritas (p=0,823), namun berkorelasi positif kuat bermakna terhadap IMT Ibu (p=0,000). 
Kesimpulan: Kadar serum albumin dalam ASI dipengaruhi oleh usia bayi atau fase laktasi, dimana kadar serum albumin lebih tinggi secara bermakna pada ASI kelompok bayi usia 1-3 bulan dibandingkan dengan ASI kelompok bayi usia 4-6 bulan. Kadar serum albumin berhubungan dengan IMT ibu yaitu kadar serum albumin akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya IMT Ibu.

Serum albumin is the most abundant plasma protein in the blood and contributes to maintaining osmotic colloid pressure and also binds poorly soluble substances in plasma and helps them to be distributed throughout the body. Protein in breast milk is mostly synthesized by the mammary epithelium, but serum albumin is a protein that is obtained directly from the mother's blood circulation and is channeled through the blood-milk barrier. Serum albumin levels found in breast milk can vary in number, this protein is influenced by various factors such as breastfeeding period (lactation phase), maternal age, parity, and maternal body mass index (BMI). This study aims to determine the comparison of serum albumin levels in breast milk of mothers who breastfeed infants aged 1-3 months and 4-6 months and to find out the relationship with maternal age, parity, and maternal BMI. This study used breast milk samples obtained from 58 mothers from Petamburan Public Health Center (Central Jakarta) and Cilincing Public Health Center (North Jakarta). The samples were grouped into two groups, namely infants aged 1-3 and 4-6 months. Serum albumin levels were measured with the Bromocresol Green (BCG) kit using a spectrophotometer with a wavelength of 628 nm. The results showed that breast milk in the earlier lactation period at 1-3 months had significantly higher serum albumin levels than breast milk serum albumin levels in the 4-6 month age group (p=0.002). Serum albumin levels in breast milk in infants aged 1-3 months had no correlations on maternal age (p = 0.881), and parity (p = 0.428), but a significant positive correlation with maternal BMI (p = 000) . Serum albumin levels in breast milk in the infant age group 4-6 months had no correlations to maternal age (p=0.581) and parity (p=0.823), but had a significant positive correlation to maternal BMI (p=0.000). Serum albumin levels in breast milk are influenced by the infant's age or lactation phase, where serum albumin levels are significantly higher in the breast milk group of infants aged 1-3 months compared to the breast milk group of infants aged 4-6 months. Serum albumin levels are related to maternal BMI, namely serum albumin levels will increase with increasing maternal BMI."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Espreancelly Sandiata
"Pektin merupakan polisakarida alami yang dapat digunakan sebagai sistem penghantaran obat tertarget ke kolon. Proses gelasi ionik pada pektin dengan adanya kation divalen tertentu seperti ion kalsium dapat melindungi obat dengan memproduksi beads gel polimer yang tidak larut sehingga dapat digunakan sebagai pembawa sistem penghantaran obat tertarget ke kolon. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan beads kalsium pektinat mengandung tetrandrine dengan metode gelasi ionik yang kemudian akan dilakukan evaluasi in vitro dan in vivo. Beads dibuat dengan variasi konsentrasi penaut silang 5%, 10% dan 15%. Beads yang dihasilkan kemudian dikarakterisasi dan dipilih formulasi terbaik untuk dilakukan penyalutan menggunakan Eudragit L100-55 atau Eudragit L100. Beads yang dihasilkan berbentuk cukup bulat dan berwarna kuning kecoklatan, beads memiliki ukuran 1069,58-1142,75 μm. Uji pelepasan zat aktif dari beads tersalut dilakukan pada medium HCl pH 1,2 (2 jam), dapar fosfat pH 7,4 (3 jam) dan dapar fosfat pH 6,8 (3 jam). Dari hasil in vitro, formula beads dengan penyalut Eudragit L100 10% menunjukkan hasil terbaik sebagai sediaan obat kolon tertarget dengan pelepasan kumulatif sebesar 57,87%, sehingga dipilih untuk dilakukan uji penargetan obat secara in vivo. Beads mencapai jarak rata-rata 77 cm dari bagian antrum.

Pectin, a natural polysaccharide, can be used as colon targeted drug delivery systems. Ionotropic gelation of pectin in the presence of certain divalent cations, such as calcium ions, protects drugs by producing insoluble hydrogels that can be used as a colon-targeted drug delivery carrier. In this study, calcium pectinate beads containing tetrandrine were made and were evaluated for in vitro drug release and in vivo study. Calcium pectinate beads were prepared by ionic gelation method with varied calcium chloride concentration (5%, 10% and 15%). The best formula was coated with Eudragit L100-55 or Eudragit L100. Characterization results showed that the beads produced were quite spherical and have yellow-brownish color with average size of beads 1069.58-1142.75 μm. The drug release test was performed at 37±0.5°C and at 100 rpm in HCl pH 1.2 (2 hours), phosphate buffer pH 7.4 (3 hours), and phosphate buffer pH 6.8 (3 hours). From in vitro release study, beads coated with Eudragit L100 10% has shown good colon targeted dosage form with percent cumulative release 57.87% and thus was selected for in vivo study. The mean distance beads had propagated from antrum was 77 cm.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S64138
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fahmi
"Sekretom merupakan medium kultur sel punca (stem cells) yang berisikan molekul-molekul protein yang disekresikan oleh sel. Pengaplikasian sekretrom dalam dunia medis dapat menggantikan terapi sel punca karena jauh lebih aman dan memiliki fungsi penyembuhan yang hampir sama dengan terapi sel punca. Dalam suatu penyembuhan atau terapi menggunakan obat atau bahan aktif, faktor transfer obat menjadi salah satu parameter keberhasilan. Untuk mengoptimalkan transfer obat maka obat atau bahan aktif yang digunakan dapat dienkapsulasi dalam suatu vesikel, salah satunya adalah transfersom. Transfersom merupakan vesikel berbasis lipid yang tersusun atas fosfolipid dan surfaktan sebagai edge activator. Dengan menggunakan transfersom memungkinkan obat atau bahan aktif dihantarkan secara transdermal, tanpa melalui injeksi, operasi, maupun pemasangan implan. Pada penelitian ini, transfersom dibuat untuk enkapsulasi bovine serum albumin sebagai model protein sekretom. Bahan penyusun transfersom yang digunakan dalam penelitian ini adalah dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC) dan Tween 80 dengan perbandingan fosfolipid dengan surfaktan adalah 97,5:2,5 %w/w. Pada penelitian ini partikel transfersom dibentuk dengan melibatkan siklus freeze-thaw untuk mengetahui pengaruhnya terhadap karakteristik transfersom. Perlakuan siklus freeze-thaw tersebut terbukti dapat memengaruhi karakteristik transfersom. Dalam penelitian ini, siklus freeze-thaw dapat meningkatkan efisiensi enkapsulasi hingga 81,63 ± 0,004% dengan ukuran partikel sekitar 180,70 ± 0,87 nm. Selanjutnya, protein yang dilepaskan secara in-vitro selama 78 jam mencapai 52,80%, lebih banyak dibandingkan tanpa perlakuan freeze-thaw. Dengan demikian, perlakuan siklus freeze-thaw dapat digunakan untuk meningkatkan karakteristik partikel transfersom.

The secretome is a stem cell culture medium containing protein molecules that are secreted by the cells. In the medical field, secretome can substitute stem cell therapy because it is safer and almost has the same function as stem cell therapy. In a cure or therapy using drugs or active ingredients, the drug transfer factor is one of the parameters of success. To optimize drug transfer, the drugs or active compounds can be encapsulated into a vesicle, one of which is transfersome. Transfersome is a lipid based vesicle composed of phospholipid and surfactant as an edge activator. By using transfersome, drugs or active compounds can be transferred transdermally without any injection, operation, or implant placement. In this research, transfersome is made for encapsulating bovine serum albumin as a secretome protein model.  The building blocks for transfersomes used in this study were dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC) and Tween 80 with a 97.5:2.5 %w/w ratio of phospholipids to surfactants. In this research, transfersome is fabricated with involving the freeze-thaw cycles method to study its effect to transfersome characteristics. The freeze-thaw cycles that are involved in transfersome fabrication is proved affecting to transfersome characteristics. In this research, freeze-thaw cycles can increase particle encapsulation to 81.63 ± 0.004% with a particle size of 180.70 ± 0.87 nm. Furthermore, the protein released from transfersome particle for 78 hours reached 52.80%, more than without freeze-thaw cycles treatment. Hence, freeze-thaw cycles treatment can be used to improve transfersome particle characteristics."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aliya Yasmina Khaerunisa
"Inflammatory bowel disease (IBD) adalah penyakit dengan gejala peradangan kronis pada saluran gastrointestinal yang mencakup dua kondisi, Crohn’s disease dan colitis ulserativa. Pengobatan farmakologis lini pertama untuk IBD adalah golongan kortikosteroid. Deksametason yang termasuk dalam kortikosteroid memiliki bioavailabilitas yang relatif buruk dan spesifisitas yang kurang. Untuk mengatasi kelemahan dan mengurangi efek samping sistemik yang dihasilkannya, perlu diformulasikan pengobatan dengan sistem penghantaran tertarget kolon. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mendapatkan formulasi beads zink alginat yang mengandung deksametason dan kombinasi deksametason-probiotik, serta memperoleh karakteristik dan profil pelepasannya. Jenis probiotik yang digunakan adalah Lactobacillus acidophilus dan Bifidobacterium longum. Beads dibentuk menggunakan metode gelasi ionik zink alginat yang kemudian disalut dengan Eudragit®L100 atau Eudragit®S100, sehingga didapatkan empat jenis formulasi. Uji pelepasan in vitro dilakukan pada beads tersalut dalam medium HCl pH 1,2 selama 2 jam, medium dapar fosfat pH 7,4 selama 3 jam, dan medium dapar fosfat pH 6,8 selama 3 jam secara kontinyu. Didapatkan persentase profil pelepasan obat berturut-turut sebesar -0.11% (1A), 0.42% (2A), 0.50% (1B), dan 0.50% (2B). Berdasarkan hasil pengujian, beads zink alginat, dengan atau tanpa probiotik, belum optimal sebagai sediaan tertarget kolon karena pelepasan obatnya belum maksimal dalam kondisi pH kolon.

Inflammatory bowel disease (IBD) is a disease with symptoms of chronic inflammation of the gastrointestinal tract which includes two conditions, Crohn's disease and ulcerative colitis. The first line pharmacological treatment for IBD is corticosteroids. Dexamethasone, which is a corticosteroid, has relatively poor bioavailability and less specificity. To overcome weakness and reduce the resulting systemic side effects, it is necessary to formulate medication with a colon-targeted delivery system. This research aimed to obtain a zinc alginate beads formulation containing dexamethasone and a combination of dexamethasone-probiotic, and obtain its characteristics along with its release profile. The types of probiotics used are Lactobacillus acidophilus and Bifidobacterium longum. Beads are formed using the ionic gelation method which are then coated with Eudragit®L100 or Eudragit®S100, resulting in four types of formulations. The in vitro release test was carried out on beads coated in HCl medium pH 1.2 for 2 hours, phosphate buffer medium pH 7.4 for 3 hours, and phosphate buffer medium pH 6.8 for 3 hours continuously. The drug release profile percentages were -0.11% (1A), 0.42% (2A), 0.50% (1B), and 0.50% (2B), respectively. Based on the test results, zinc alginate beads, with or without probiotics, are not optimal as colon-targeted preparations because the drug release is not optimal under colonic pH conditions."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marsella Dervina Amisi
"Albumin serum, berat badan dan kekuatan genggaman merupakan parameter penilaian status gizi yang berhubungan dengan kadar protein tubuh. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara kadar albumin serum terhadap persentase penurunan berat badan dan kekuatan genggaman. Penelitian dengan desain potong lintang pada pasien kanker kepala leher dengan usia ≥18–65 tahun yang telah menjalani radiasi ≥25 kali di Departemen Radioterapi RSUPNCM. Hasil penelitian menunjukkan sekitar 55,76% subjek memiliki kadar albumin <3,4 g/dL. Rerata penurunan berat badan selama radiasi – 9,42 ± 7,76%, dengan 79,6% subyek mengalami penurunan berat badan ≥5%. Rerata kekuatan genggaman tangan dominan 39,48 ± 9,15 kg. Tidak terdapat korelasi antara kadar albumin serum dengan persentase penurunan berat badan (r = - 0,129; p = 0,364) dan kekuatan genggaman tangan (r = 0,048; p = 0,733). Kesimpulan, kadar albumin serum tidak memengaruhi penurunan berat badan dan kekuatan genggaman selama radiasi. Sangat penting untuk mempertahankan status gizi selama menjalani radioterapi salah satunya dengan pemakaian NGT di awal radiasi. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan desain kohort prospektif untuk mendapatkan data yang lebih konklusif.

Serum albumin, body weight and hand grip strength is a parameter of assessment of nutritional status related to body protein. This study was conducted to determine the correlation between serum albumin levels with the percentage of weight loss and hand grip strength. A cross sectional study design in the head neck cancer patients with ge 18 65 years of age who have undergone radiation at least 25 times in the Department of Radiotherapy RSUPNCM. The results showed approximately 55,76 of the subjects had levels of albumin below 3,4 g dL. Mean weight loss during radiation ndash 9,42 7,76 , with 79,6 of subjects experienced weight loss ge 5 . Mean dominant hand grip strength 39,48 9,15 kg. There is no correlation between serum albumin levels with percentage of body weight loss r 0,129 p 0,364 and hand grip strength r 0,048 p 0,733 . Conclussion, serum albumin levels did not affect body weight loss and handgrip strength during radiation. It is essential for head and neck cancer patients undergoing radiotherapy to maintain nutritional status with NGT in the initial radiation. Further research with prospective cohort design is needed to obtain more conclusive data. Keywords Serum albumin, weight loss percentage, handgrip strength, head and neck cancer, radiotherapy "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55687
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yessica Lisyana
"Inflamatory Bowel Disease adalah penyakit peradangan kolon yang menyebabkan jaringan parut yang ditangani dengan pembedahan. Jika terjadi berulang dapat menyebabkan fibrosis. Pentoksifillin merupakan obat yang memiliki efek anti fibrosis digunakan sebagai obat. Pektin merupakan polimer alam bersifat biodegradabel yang berpotensi sebagai sediaan lepas terkendali. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat dan mengkarakterisasi bead kalsium pektinat pentoksifillin dengan metode gelasi ion dengan variasi konsentrasi larutan sambung silang kalsium klorida 2,5% (formula 1), 5% (formula 2), dan 10% (formula 3). Karakterisasi bead yang dihasilkan berbentuk tidak terlalu sferis untuk formula 1 dan 2, namun sferis untuk formula 3, dan berwarna coklat keputihan dengan ukuran rata-rata 710 ? 1180 μm untuk formula 1 dan 2, sedangkan untuk formula 3 berukuran rata-rata > 1180 μm. Kandungan pentoksifilin dalam bead dari ketiga formula berturut-turut yaitu 27,87%, 22,28%, dan 14,05%. Efisiensi penjerapan dari ketiga formula berturut-turut yaitu 69,68%, 66,83%, dan 56,18%. Pada uji pelepasan obat dalam medium asam klorida 0,1N pH 1,2, dapar fosfat pH 6, dan dapar fosfat pH 7,4 tidak berbeda. Obat dapat terlepas hampir seluruhnya pada menit ke 15. Karena pelepasannya yang tinggi di medium asam klorida 0,1N pH 1,2 selama 2 jam yaitu ± 90% kemudian bead disalut HPMCP sehingga pelepasannya di medium asam klorida 0,1N pH 1,2 berkurang dengan jumlah yang terlepas 38-60%.

Inflammatory Bowel Disease causes rasp network. It?s handle by dissection that if occur repeatedly can lead a fibrosis. Pentoxifyllin is a drug that has anti-fibrotic effect which is used as a drug. Pectin is biodegradable natural polymer which have potention as controlled release drug. The aim of this research is preparation and charactherization calcium pectinate pentoxifylline beads which is prepared by ionic gelation method with variation in calcium chloride concentration 2,5% (formula 1), 5% (formula 2), and 10% (formula 3). Characterization of beads which is produced are not too spheris for the first and second formula, but spheris for the third formula, and it?s brown whitish colour. The average size of beads are 710-1180 Fm for the first and second formula. While the third formula are about >1180 Fm. Content of pentoksifilin in beads for all formula are 27,87 % for the first formula, 22,28 % for the second formula and 14,05% for the third formula. Encapsulation efficiency of all formula are 69,68%, 66,83% and 56,18% respectively. Drug release test in medium of hydrochloric acid 0,1N pH 1,2, phosphate buffer pH 6 and phosphate buffer pH 7,4 are not differences. The drug can be released almost in fifteenth minutes. Because it?s release is higher in medium of hydrochloride acid 0,1N pH 1,2 for 2 hours which is about ± 90%, then beads are coated by HPMCP in order that it?s release in medium of hydrochloride acid 0,1N pH 1,2 can holding a number of released is 38-60%.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2012
S42522
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>