Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 67518 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S10103
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arina Novazas S.
"Banyak tindakan atas nama institusi pajak yang berdalih untuk menggali sumber keuangan negara, diimplementasikan para oknum pajak dengan penetapan pajak yang mengabaikan ketentuan hukum. Kalangan dunia usaha dan investor asing di sektor minyak dan gas (migas) kini menjadi sasaran praktek kebijakan pengenaan pajak yang tidak berdasarkan perundang-undangan itu. Salah satu permasalahan yang timbul saat ini ialah uplift. Dari ketentuan perpajakan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tidak dijelaskan secara khusus tentang pengenaan pajak atas uplift serta upaya hukumnya. Pa d a kasus yang terjadi antara Pertamina dalam Joint Operating Body yaitu BUT Seaunion Energy (Limau) Ltd.,dan BUT. HED (Indonesia) Inc. melawan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing Dua dikarenakan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) sehubungan dengan adanya objek pajak berupa uplift tersebut.

Many measures do in the name of tax institution that equivocate to intensify source of state finance, implemented by a person in a certain capacity on tax (tax apparatus) with tax assessment in an underestimate law order. Entrepreneur and foreign investor become practice targets of this tax policy without based on rules. Nowadays, tax policy of uplift in gas oil sector became a problem. From the rules of Income Tax, there is no one of tax rules can explain uplift and legal efforts surely. The cases between Seaunion Energy (Limau) Ltd. and HED (Indonesia) Inc. versus Tax Office of Foreign Firm and Expatriate (KPP Badora Dua) because the issued of assessment bill of tax (SKPKB) from tax object, which is uplift."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T26635
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Asjraf
"Latar belakang masalah dari tesis ini adalah berkenaan dengan pemberian insentif perpajakan sebagai salah satu implementasi fungsi pajak untuk mengatur. Fungsi utama pajak adalah menghasilkan penerimaan negara sebagai penggerak roda pembangunan adapun fungsi lainya pajak adalah fungsi mengatur sebagai instrumen untuk mendorong atau memproteksi sektor - sektor tertentu yang diinginkan pemerintah. Pemberian insentif perpajakan harus dilakukan dengan hati - hati mengingat bila salah sasaran , akan dapat mengamputasi fungsi mengatur pajak itu sendiri . Adapun salah satu implementasi fungsi mengatur Pemerintah tersebut di realisasikan pada awal tahun 2007, melalui PP Nomor 7 /2007, dimana pemerintah memberikan insentif perpajakan dibidang PPN berupa pembebasan PPN untuk komodti primer hasil pertanian. Pada saat yang bersamaan terlihat bahwa tahun 2005 realisasi penerimaan pajak adalah sebesar Rp. 346,8 triliun dan lebih rendah Rp 5,2 triliun dari sasaran yang diharapkan sebesarRp.352 triliun. dan pada tahun 2006 shortfall antara 8,5 triliun hingga 17 triliun atau hanya mencapai 96 sampai dengan 98% dari target yang direncanakan. Keadaan diatas tentunya mengharuskan pemerintah menghitung secara cermat berapa potensial loss penerimaan apabila akan mengeluarkan suatu kebijakan.
Pokok permasalahnya dari tesis ini adalah Berapa besar pengaruh pemberian insentif perpajakan berupa dibebaskan dari pengenaan PPN atas penyerahan dan impor produk pertanian yang bersifat strategis terhadap potensi penerimaan PPN dan Faktor - faktor apa yang mendorong sektor pertanian untuk meminta pemberian insentif PPN atas penyerahan dan impor produk pertanian.
Metode penelitian dari tesis ini adalah menggunakan tipe penelitian deskriptif analitis. Metoda pengumpulan data terdiri dari studi kepustakaan , buku- buku karya ilmiah dan sumber - sumber lainnya seperti jurnal dan internet. Adapun penghitungan perkiraan potensi pajak yang hilang akibat pemberlakuan PP no. 7 tahun 2007 tersebut menggunakan metoda perhitungan yang pernah dilakukan oleh Stephen V Marks dengan menggunakan tabel - Input Output. Perhitungan besarnya potensi PPN yang hilang dilakukan dengan menghitung selisih antara perhitungan potensi PPN dengan menggunakan tabel input - output dengan kondisi sebelum PP Nomor 7 /2007 dan setelah diterapkan PP no. 7 tahun 2007.
Argumentasi yang digunakan agar Produk pertanian mendapat perlakuan dikecualikan dari pengenaan PPN antara lain karena umumnya petani bergerak pada sektor informal dan kebanyakan dari mereka tidak menyelenggarakan pembukuan. Kalaupun mereka telah menyelenggarakan pembukuan pada umumya pembukuan mereka tidak teradministrasi dengan baik. Disamping itu ada persepsi pada masyarakat bahwa pengenaan PPN pada produk pertanian akan menyebabkan harga jual komoditi tersebut menjadi lebih mahal atau dari sisi produsen akan menyebabkan keuntungan menjadi lebih kecil. Disamping itu pengenaan PPN pada produk pertanian adalah suatu hal yang sensitif secara politik.
Secara teori sesuai dengan legal character PPN, Pajak ini bersifat netral terhadap pilihan seseorang untuk mengkonsumsi suatu barang/jasa. Adapun permasalahan penyelenggarakan pembukuan yang tidak teradministrasi dengan baik bukan hanya dialami oleh petani tetapi adalah masalah pengusaha kecil pada umumnya. Memberikan fasilitas pembebasan pada produk pertanian pada akhirnya akan menambah beban biaya pada petani. Karena pajak masukan untuk menghasilkan produk tersebut seperti pupuk, petisida, mesin pertanian, makanan ternak, dan pajak masukan lainya tidak dapat dikreditkan dan dibebankan sebagai biaya. Pada akhirnya semua beban pajak masukan tersebut akan menjadi komponen biaya yang akan menaikan harga pokok produk final pertanian. Adapun untuk mengatasi masalah administratif pembukuan PPN kuncinya ada pada mengatur batasan pengusaha kena pajak yang pas yang pas buat penguasaha kecil.
Mengingat peranan penerimaan pajak yang semakin dominan dan penting bagi kelangsungan hidup bangsa maka pemberian insentif perpajakan tersebut harus benar - benar dipertimbangkan dengan matang dan hati - hati karena pemberian insentif pajak yang tidak tepat hanya mengurangi penerimaan pajak tetapi saaran utamanya untuk meningkatkan daya saing produk pertanian tidak juga tercapai, penting pula untuk digarisbawahi bahwa potensial loss penerimaan pajak berarti juga akan hilangnya hak rakyat untuk memperoleh barang dan jasa publik yang seharusnya disediakan oleh negara Total potensi penerimaan PPN sebelum diberlakukanya PP No. 7 tahun 2007 adalah sebesar Rp 178,84 Triliun dan setelah diberlakukanya PP tersebut potensi penerimaan PPN menurun menjadi Rp 173,10 triliun atau perkiraan potensi PPN yang hilang karena pemberlakuan PP No. 7 tahun 2007 adalah sebesar Rp 5,74 triliun Angka sebesar ini merupakan 3,21% dari total potensi penerimaan PPN. atau kalau memperhitungkan coverage ratio PPN potensial loss adalah sebesar sebesar Rp 4,40 triliun

The back ground of this thesis is concerning the tax incentives as one implementation of the tax regulated function. The main function of tax is to generate the state revenue as the wheel turning energy for development, while the other function is the regulated function as an instrument to push or to protect certain sectors the government wanted. The tax incentives must be given with careful thoughts, other wise it will miss its target and eventually will amputate the regulated function of tax it self. One of the implementation of the regulated function of tax is started on the beginning of 2007 through PP No 7/2007, in which the government gave the VAT tax incentives in the form of VAT Exemptions for primer commodity of farming goods. In the same time it was shown that the 2005 tax revenue realization is 346,8 trillion rupiah which is 5,2 trillion lower than the target expected as much as 352 trillion rupiah. In the year 2006 the short fall continued between 8,5 trillion to 17 trillion or only 96 to 98% of the target planned. This condition should make the government carefully count how much is the revenue potential loss when releasing a regulation.
The main problem of this thesis is how much the impact of tax incentive in the form of VAT exemption on of strategic farming goods to the VAT potential revenue and what are the factors that supported and blocked the implementation of it.
This thesis uses a descriptive analytic method. The data collection consists of the library study, scientific literatures, and other resources such as journals from the internet. The estimation of the lost revenue potential due to the implementation of PP No 7 is calculated using the Stephen V. Marks model based on the Input - Output Table. The estimation of the lost VAT potential is calculated by the different between the VAT potential before and after the implementation of the PP No. 7 /2007.
The Argument used to exempt the farming goods from VAT are because most farmers are in informal sectors and they do not used book keeping. Even if they used book keeping, they are usually not administered well enough. Another Argument is that it's the people perspective that the VAT on farming goods will raise the selling price of that commodity and from the producer's side it will lower their profit. Addition to that, the VAT on farming goods is indeed a very sensitive political issue.
Theoretically, based on the legal character of the VAT, it is neutral to a person's choice whether to consume a good or service. In the case of good book keeping it does not only happen to farmers but also to other small business in general. The exemptions of farming products will in the end add more burden for farmers. It is because the input tax from fertilizer, pesticides, farming machines, and livestock's foods, and other input tax used for productions are not creditable and will become a cost. In the end all the inputs tax will become cost that will increase the price of the final farming products. The way to overcome the problem of VAT administrative book keeping is on the right setting threshold for small business.
Considering the more dominant role of the tax revenue for this country well being, the implementation of tax incentives must be considered in a very mature and careful way because the wrong tax incentives will not only decrease the tax revenue but will also miss its main target, it is very important to note that revenue potential loss will also mean the lost of people's right for the public goods and services that this country's suppose to provide.
Total Revenue potential estimation before the implementation of PP No 7 /2007 is
178,84 trillion Rupiahs and after the implementation that number is decreased to 173,10
trillion or the total potential loss estimation due to the implementation of PP no 7 /2007 is 5,74 trillion rupiahs. It is about 3,21% of the total VAT revenue potential estimation, or considering the VAT coverage ratio, the potential loss is 4,40 trillion rupiahs."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19449
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"
"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S10299
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Hartanti
"Migas merupakan sumber daya alam yang strategis. Investasi di bidang migas mayoritas dilakukan oleh swasta asing yang dalam hal ini kehadirannya dirangsang oleh berbagai fasilitas. Salah satunya adalah kemudahan di bidang perpajakan. Skripsi ini bertujuan untuk membahas masalah insentif pajak tersebut dikaitkan dengan penerimaan negara dari sektor perpajakan. Metode penelitian yang dilakukan adalah studi kepustakaan. Meliputi telaah literatur yang didukung dengan wawancara dengan narasumber yang kompeten. Skripsi dibatasi pada kontraktor yang menandatangani kontrak bagi hasil antara periode 1 Januari 1984 hingga 31 Desember 1994. Pembahasan ditekankan pada aspek PPH dan PPN/PPn.BM. Insentif yang didapatkan dalam aspek PPH ialah kesamaan definisi, biaya penyusutan yang dipercepat, masuknya unsur pajak dalam biaya operasi, sumbangan sebagai biaya, dibebaskan dari pungutan PPH pasal 22 dan adanya pajak yang ditanggung oleh pemerintah. Insentif yang didapatkan dalam aspek PPN/PPn.BM ialah reimbursement PPN/PPn.BM, pembebasan PPn.BM impor dan penundaan PPN jasa selama masa pra produksi. Fasilitas tersebut memang memberikan iklim yang kondusif bagi pengusahaan migas. Dengan konsekwensi adanya penerimaan pemerintah yang berkurang dari sektor pajak. Namun terdapat kelemahan, sehingga biaya operasi makin meningkat dan minyak yang dibagi menjadi makin kecil. Diperlukan peranan pemerintah agar biaya operasi dapat diprediksi dengan tepat dan tidak membesar."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1996
S19122
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triwydiasari P.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
S9917
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Magfur S.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1981
S16753
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bugi Umar Seno Aji
"Kontrak bagi hasil merupakan system pengoperasian lapangan minyak dan gas yang mengatur kewajiban kontraktor, cara perhitungan biaya serta cara pembagian keuntungan. Dan pada kontrak bagi hasil pembagian produksi minyak antara Pemerintah dan kontraktor adalah 85% dan 15%. Evaluasi variable kinerja, menunjukkan bahwa secar aumum kontraktor Maxus relative lebih baik dibandingkan kontraktor Total dan Unocal. Pada evaluasi ini digunakan satuan USDollar per barrel, konstan gross revenue dan profit index tertentu sebagai ambang perubahan persen split. Besar perubahan split tergantung pada selisih cost yang perlu dilakukan untuk mencapai ambang profit index. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa dari ketiga kontraktor tersebut, kontraktor Total tidak sesuai dengan metode evaluasi yang digunakan."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufan Andiko
"The sharp increase in oil price automatically will benefit the oil producer, in Indonesia they are production sharing contractor. They receive excess profit from the high sales price in access of increasing oil price. The excess profit usually called as windfall profit, which is an unearned, unanticipated gain in income through no additional effort. This favourable condition on the contrary cause unequal income distribution, where the fairness rationale was strongly influenced by impact of higher energy prices on poorer consumers, where there will be more money on energy expenditure. This condition indicates the declining of government's ability to do their duty in giving transfer payment for citizen, especially petroleum subsidy.
This condition had ever hapenned in Indonesia in 1974, when arising oil prices generated windfall profits for the oil company. The political climate at that time dictated that if there was a windfall, then most of that windfall should benefit the government. In order to comply it, negotiations were started through New Deal Agreement. In another country, this happened in United States of America in 1980, where the Federal Government enacted a special federal excise tax called the crude oil windfall profit tax. The tax was enacted basically to recoup much of the large increase in oil industry profits that was anticipated from the decontrol of oil price. The tax was imposed on the difference between the market price of oil, which was called as removal price and the base price that was adjusted quaterly for inflation and state severance tax.
Since the fourth generation of Production Sharing Contract in Indonesia, there has not been regulation yet accomodated windfall profit, also in the section of contract. By looking at the history and taking a look at nowaday's sitiuation, the government of Indonesia can consider to enact regulation about windfall profit received by production sharing contractor. This research try to study the windfall profit received by production sharing contractor observed from income tax regulations, especially the concept of income. This research uses qualitative approach descriptive type by using literature, in depth interview, and historical analysis. After all, it shows that windfall profit is excess income received because of the increasing of oil price. So naturally windfall profit is a kind of income according to income concept contempelated by Schainz, Haig, and Simon (SHS Concept) which also adopted by section about Income in Indonesian Income Tax Regulation. By looking at the history, it is recommended for the government of Indonesia to give special treatment in calculating the windfall profit as part of production sharing contractor's income. To calculate windfall profit, it depends on the government regulation regarding how to define windfall profit. What kind of price or threshold price will be used as the base price in determining profit which generates windfall profit.
For now, windfall profit can be resulted from the difference between realized market price and Indonesian Crude Price (ICP) multiplied by contractor share. It is caused by ICP which supposed to be a market price of Indonesian oil can not reflect it, because the fact is the ICP always stand below the realized market price, like market price determined by OPEC. This will generate loss potention for Indonesia, where the contractor pay the tax with ICP meanwhile they sell their oil from Indonesia based on realized market price. This recommended formula also to reflect the tax payment of contractor is according to arm's length price. If the windfall profit included in part of contractor's income and multiplied with 44% which is the tax rate applied for contractor, it will raise the change in production sharing, which in favor of government of Indonesia. This thing need the government's attention, calculation, and consideration about this recommended formula. Another several things needed to be considered by the government of Indonesia is the economic, law, and political aspects. So if this policy will be applied, it will reflect the equity between government of Indonesia and the contractor as foreign investor. And Indonesia will not be harmed any more by the condition of the sharp increase in oil price so it will help to enhance the prosperity of Indonesian citizen."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rafael Alun Trisambodo
"Penerimaan pajak memegang peranan penting dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terlebih setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan. Banyak usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penerimaan pajak. Salah satunya adalah menghilangkan fasilitas perpajakan yang tidak bermanfaat.
Fasilitas di bidang Pajak Pertambahan Nilai yang menarik untuk dibahas adalah adanya penundaan penyetoran pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 549/KMK.04/2000 Pemungut PPN diperbolehkan menyetorkan PPN yang dipungut 15 hari bulan berikutnya setelah pelunasan dilakukan. Penundaan ini menimbulkan pelanggaran atas Ketentuan Perpajakan dari pihak yang tidak bertanggung jawab.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme pemungutan dan penyetoran serta pelaporan PPN oleh pemungut Pajak Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya, serta menganalisis kerugian negara yang timbul karena keterlambatan penyetoran oleh Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan melakukan studi kasus pada tiga perusahaan yang menjadi supplier Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan tiga perusahaan yang menjadi supplier Kontrak Karya. Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah wawancara, observasi dan studi kepustakaan. Data yang diolah berupa data bukti setoran pajak yang diterima perusahaan untuk transaksi tahun 2001. data diambil sampai dengan September 2002 untuk melihat besarnya kerugian negara dari PPN yang belum disetor ditambah dengan sanksi bunga karena keterlambatan penyetoran.
Dari hasil penelitian dapat diperoleh gambaran bahwa mekanisme pemungutan dan penyetoran serta pelaporan PPN yang dipungut oleh Pemungut Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya berbeda dari mekanisme PPN umumnya, yaitu adanya hak untuk menyetorkan 15 hari bulan berikutnya dari pelunasan transaksi. Hal itu menimbulkan kerugian karena adanya pelanggaran Ketentuan Perpajakan dengan menunda penyetoran lebih lama dari waktu yang ditentukan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T9214
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>