Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 107077 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anggi Purnama
"Komunikasi penerbangan antar bandar udara (ground to ground) berfungsi untuk memberikan pelayanan berupa informasi penerbangan dari satu bandar udara ke bandar udara lainnya. Dalam komunikasi ini informasi penerbangan yang dimaksud berupa pesan layanan informasi penerbangan, pesan administrasi penerbangan, pesan marabahaya, pesan urgensi, pesan keselamatan penerbangan, pesan meteorologi, pesan keteraturan penerbangan, dan pesan keselamatan. Layanan komunikasi penerbangan antar bandar udara memiliki persyaratan yang harus dipenuhi seperti waktu tempuh pesan dari pengiriman sampai dengan penerima maksimal selama lima menit dan kedua titik sumber terkoneksi dengan baik.
Sistem komunikasi penerbangan yang digunakan di bandar udara wilayah Maluku Utara saat ini hanya menggunakan Radio HF (high frequency), dimana keberhasilan komunikasinya ditentukan oleh kondisi lapisan ionosfer. Hasil pengamatan LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Negara)
menunjukkan bahwa kondisi lapisan ionosfer di wilayah Ternate dan sekitarnya senantiasa mengalami perubahan selama 24 jam sehingga informasi penerbangan tidak selalu dapat disampaikan sesuai aturan.
Tesis ini meneliti berbagai pilihan sistem komunikasi penerbangan yang digunakan untuk komunikasi antar bandar udara di bandar udara Sultan Babullah ? Ternate, Kuabang - Kao, Gamar Malamo - Galela, Buli - Buli dan Oesman Sadik - Labuha. Jenis sistem komunikasi penerbangan tersebut yaitu Radio HF, HF Data dan VSAT. Trafik penerbangan, pendapatan jasa aeronautika, biaya operasi dan perawatan, tingkat suku bunga, dan biaya investasi merupakan variabel yang digunakan untuk menentukan pilihan yang paling optimal sesuai dokumen Annex 10 volume 2, Aeronautical Telecommunication dengan tetap mengutamakan keselamatan penerbangan.
Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah bandar udara Sultan Babullah - Ternate ditingkatnya statusnya menjadi stasiun sub centre dengan menggunakan sistem komunikasi VSAT, bandar udara Buli - Buli menjadi stasiun tributary dengan menggunakan sistem komunikasi HF Data, sedangkan bandar udara Kuabang - Kao, Gamar Malamo - Galela, Oesman Sadik - Labuha
menjadi stasiun tributary dengan menggunakan sistem komunikasi Radio HF.

The purpose of Aeronautical Fixed Service (ground to ground) is to deliver aeronautical information from one airport to the others. For such information, message could be in the form of aeronautical information service message, aeronautical administrative message, distress message, urgency message, flight safety message, meteorological message, flight regularity message, and safety message. In delivering aeronautical information, delivery time should be kept to 5 minutes or less and the two source points should be well connected.
The only Aeronautical Fixed Service system used in North Maluku region's airport at this time is HF Radio (high frequency), which success relies heavily on the wave propagation in the Ionosphere layer. Study by LAPAN (National Institute of Aeronautics and Space) shows that ionosphere layer?s condition in Ternate region and its surroundings suffers continuous changes during 24 hour period. Because of this reason, aeronautical information could not always be
delivered according to the requirement.
In this research, various Aeronautical Fixed Service system (i.e. Radio HF, HF Data and VSAT), used for communications among airports such as Sultan Babullah - Ternate, Kuabang - Kao, Gamar Malamo - Galela, Buli - Buli and Oesman Sadik - Labuha are analized. Variables such as flight traffic, flight service income to the airport, operating & maintenance cost, interest rate, and investment, are considered to determine the optimal system based on Annex 10 volume 2, with flight safety as the first principal.
According to this research, Sultan Babullah - Ternate airport should be upgraded to Sub Centre Station with VSAT communications system, Buli airport should become Tributary Stations with HF Data communications system, while Kuabang- Kao, Gamar Malamo - Galela and Oesman Sadik ? Labuha should become Tributary Stations with HF radio communications system.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
T30972
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abd. Rahman
"Disertasi ini membahas mengenai Penataan Maluku Utara pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda yang berdampak pada berakhirnya Kerajaan Loloda di Pesisir Pantai Barat Laut Halmahera. Lingkup temporal kajian disertasi ini dimulai dari 1817 sampai pada berakhirnya masa pemerintahan Kerajaan Loloda di Halmahera Utara pada 1915. Pada 1817 Belanda kembali mengambil alih kekuasaan atas seluruh Kawasan Laut dan Kepulauan Maluku dari kekuasaan Pemerintahan Kolonial Inggeris. Segera setelah itu, Pemerintah Kolonial Belanda, langsung membuat tiga kontrak pertama dengan para raja dan sultan serta penguasa-penguasa pribumi lainnya di Maluku Utara, terutama dengan Ternate, Tidore, dan Bacan. Tiga kontrak pertama itu adalah Kontrak 1817, 1822, dan 1824 yang melibatkan raja dan penguasa Loloda di dalamnya. Ketiga kontrak pertama itu dijadikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai dasar pembuatan kontrak-kontrak politik selanjutnya untuk menata Maluku Utara. Setelah dikaji secara mendalam, nampak terlihat bahwa substansi setiap kontrak tersebut hampir semuanya hanya menguntungkan pihak Pemerintah Kolonial Belanda.
Terdapat empat aspek utama yang ditata oleh Belanda dalam setiap kontrak yang disepakatinya dengan para raja dan Sultan di Maluku Utara itu, yakni: 1) wilayah; 2) politik pemerintahan; 3) ekonomi dan perdagngan; dan 4) sosial budaya dan keagamaan. Selama dalam masa kekuasaannya di Maluku Utara Pemerintah Kolonial Belanda telah melakukan sebanyak tiga kali penataan wilayah pemerintahan termasuk daerah-daerah di sepanjang Pesisir Pantai Barat Halmahera yang dikuasai Kerajaan Loloda. Periodisasi penataan pemerintahan atas Maluku Utara yang dimaksud adalah: pertama, periode 1817—1865; kedua, periode 1866—1897; dan yang ketiga, periode 1898—1908. Dalam penataan kedua dan ketiga, Pemerintah Kolonial Belanda melakukan pengambilalihan dominasi Raja Loloda, Sultan Ternate, dan penguasa pribumi Maluku Utara lainnya atas hak kepemilikan dan pengelolaan potensi ekonomi sumber daya alam khususnya lahan hutan, pertanian, dan perkebunan yang menghasilkan komoditi perdagangan menguntungkan bagi para Pengusaha Kolonial Belanda. Dampak yang ditimbulkan oleh Penataan Maluku Utara oleh Pemerintah Kolonial Belanda dalam bidang politik dan ekonomi menimbulkan penentangan penduduk Loloda dengan tindakan perlawanan pimpinan Kapitan Sikuru pada 9 Februari 1909. Perlawanan itu timbul karena faktor pemungutan pajak, pengerahan tenaga kerja, dan persoalan konversi agama sebagai konsekuensi dari penataan Maluku Utara. Setelah Pemerintah Kolonial Belanda berhasil menumpas perlawanan itu, Kerajaan Loloda kemudian dibubarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda seiring dengan meninggalnya Raja Loloda terakhir, Kolano Syamsuddin Syah (1906—1909) pada 1915. Peristiwa pembubaran itu menyebabkan Kerajaan Loloda mengalami kemerosotan entitas politik dan degradasi kedaulatan, yang berujung pada berakhirnya kerajaan tersebut di pesisir pantai barat laut Halmahera.

This dissertation discusses the structuring of North Maluku during the Dutch Colonial Government which had an impact on the end of the Loloda Kingdom on the West Coast of Halmahera. The temporal scope of this dissertation study began from 1817 until the end of the reign of the Kingdom of Loloda in North Halmahera in 1915. In 1817 the Dutch again took power over the entire Sea Zone and the Maluku Islands from the British Colonial Government. Soon after, the Dutch Colonial Government immediately made the first three contracts with kings and sultans and other indigenous rulers in North Maluku, especially with Ternate, Tidore, and Bacan. The first three contracts were Contracts 1817, 1822 and 1824 involving the king and the ruler of Loloda in them. The three contracts were made by the Dutch Government as the basis for making further contracts to organize North Maluku. After being studied in-depth, it seems that the substance of each contract is almost all of which only benefits the Dutch East Indies Colonial Government.
There are four main aspects arranged by the Dutch in each contract that he agreed with the Sultan of North Maluku, namely: 1) territory, 2) government politics, 3) economy and trade, and 4) social culture, and religion. During his reign in North Maluku, the Dutch East Indies Colonial Government had conducted three times the arrangement of government areas including areas along the Western Coast of Halmahera which were controlled by the Kingdom of Loloda. The period of governance arrangement in North Maluku is: first, the period 1817-1865; second, the period 1866-1897; and the third, the period 1898-1908. In the second and third arrangements, the Dutch Colonial Government seized the domination of King Loloda, Sultan of Ternate, and other indigenous rulers of North Maluku over ownership rights and management of the economic potential of natural resources, especially forest land, agriculture, and plantations which produced profitable trading commodities for the Dutch Businessman. The impact caused by the North Maluku Colonial Arrangement by the Dutch Colonial Government in the political and economic fields caused opposition to the population of Loloda with the Kapitan Sikuru leadership on 9 February 1909. The resistance arose because of tax collection, labor mobilization, and the problem of religious conversion as a consequence of the arrangement of North Maluku. After the Dutch Colonial Government succeeded in quelling the resistance, the Loloda Kingdom was later dissolved by the Dutch Colonial Government along with the death of the last King Loloda, Kolano Syamsuddin Syah (1906-1909) in 1915. The dissolution incident caused the Loloda Kingdom to experience a decline in political entities and the degradation of sovereignty, which led to the end of the kingdom on the Northwest Coast of Halmahera."
2019
D2775
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tulisan ini melakukan analisis tentang sejauh mana pemekaran wilayah memiliki dampak pada terjadinya proses rutinitas kekerasan, khususnya kekerasan yang berbasis pada etnik atau identitas tertentu. Pemekaran wilayah, juga menjadi arena konflik baru, dimana menjadi diabaikan. Justru pemekaran wilayah telah menyulut adanya konflik di berbagai daerah, khususnya karena etnik, identitas, agama dan solidaritas primodial, lebih banyak digunakan sebagai pertimbangan bagi sebuah daerah yang hendak dimekarkan, dibanding dengan berdasarkan pertimbangan penguatan masyarakat sipil."
361 JPS 1:1(2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tutuhatunewa, Alex Robert
"ABSTRAK
Konflik antar kelompok (bukan kelompok agama) bukanlah hal baru bagi masyarakat Maluku. Namun, konflik yang terjadi sejak tanggal 19 Januari 1999 hingga kini Juni 2000 saat tesis ini diselesaikan), benar-benar hal baru dan memalukan bagi orang Maluku. Demikian tanggapan responden pada saat dilakukan penelitian lapangan (1999). Betapa tidak, selama ini masyarakat Maluku dikenal sangat toleran dan harmonis dalam hidup bersama dengan orang lain yang memiliki latar belakang budaya, etnis dan agama yang berbeda. Orang Maluku telah mempraktekkan bagaimana hidup sebagai manusia antar budaya melalui budaya Pela yang mereka punyai.
Kini, pranata ini (Pela) diragukan perannya, terutama berkaitan dengan konflik yang terjadi yang hingga saat ini belum dapat didamaikan. Padahal, selama ini Pela berhasil memperlihatkan fungsinya sebagai usafety valve" dalam menjembatani perbedaan di masyarakatnya.
Untuk menyelidiki sikap pesimistis masyarakat tentang peran budaya pela tersebut, maka studi ini dilakukan dengan fokus pada model komunikasi antar masyarakat pela serta perannya dalam pengelolaan konflik yang terjadi. Kajian ini dilakukan dengan mengacuh pada model komunikasi konvergensi (Convergence Model of Communication) dari Roger dan Kincaid (1981, dalam Revianti, 1986) sebagai tools of analysis, disamping teori Perubahan Sosial dan Integrasi Sosial dari Durkheim (Laeyendecker, 1983) dan sejumlah pikiran ilmuan Iainnya seperti Samovar dkk.(1981).
Dari hasil studi ini, ternyata ada hal yang mendasar yang perlu dipahami yakni, wilayah konflik dan wilayah dimana pranata pela hidup dan bertumbuh ternyata berbeda. Konflik terjadi pada wilayah masyarakat dengan struktur yang heterogen. Pada masyarakat ini, perubahan sosial terjadi begitu cepat, tetapi tidak diikuti dengan perbaikan struktur (kelembagaan) dan kebijakan yang mendukungnya. Kecuali itu, model komunikasinya pun beragam. Faktor situasi dan tujuan komunikasi sangat berpengaruh terhadap model komunikasi masyarakatnya. Sebaliknya, wilayah dimana pela hidup dan bertumbuh berada pada masyarakat dengan struktur yang homogen.
Masyarakat homogen selalu hidup dalam suasana toleran dan harmonis. Mereka memiliki lembaga-lembaga sosial (lokal) yang kuat yang menopang berjalannya sistem sosial di masyarakat.
Perubahan sosial berjalan lambat dan masyarakatnya begitu taat kepada tatanan norma dan nilai yang berlaku. Model komunikasi masyarakatnya tidak berorientasi pada tujuan, tetapi pada apa yang hendak dicapai bersama.
Dengan demikian, komunikasi yang terjadi tidak banyak menimbulkan persepsi terhadap pesan yang disampaikan karena mereka memiliki kesepakatan bersama terhadap simbol-simbol komunikasi yang mereka gunakan beserta maknanya. Makna atas pesan pun tidak bias. Proses Komunikasinya tidak linear (sumber ke penerima), tetapi sirkuler.
Artinya dengan model sirkuler, maka komunikasi dilihat sebagai suatu proses sampai masing-masing pihak saling memahami (bandingkan: Roger & Kincaid, dalam Revianti,1986).
Untuk mendapat data atas permasalahan yang ada, studi ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Dengan pendekatan ini diharapkan akan dapat ditulis secara sistimatis pela dengan berbagai latar belakang dan perkembangannya, perannya di masyarakat, model komunikasi antar masyarakatnya, persepsi masyarakat tentang pela itu sendiri dan berbagai hal lainnya. Kecuali itu, demikian halnya konflik yang terjadi. Kesemuanya diharapkan dapat dijelaskan secara faktual dan cermat, untuk kemudian menemukan hakekat Pela yang sebenamya dan perannya dalam pengelolaan konflik di Maluku. Dengan tipe penelitian ini diharapkan akan dapat dipahami persoalan pela dan konflik pada latar alamiahnya atau pada konteks dari suatu keutuhan yang tidak dapat dipahami jika dipisahkan dad. konteksnya.
Studi ini menyimpulkan bahwa, kedepan, model komunikasi pela tetap dapat digunakan untuk mengelola konflik di Maluku dengan dua syarat.
Pertama, Pola hubungan masyarakat pela harus direvitalisasi demi memberi ruang dan kesempatan bagi anggota masyarakat lain dari etnis dan budaya yang ada di Maluku, sebagai akibat berubahnya struktur masyarakat. Dengan demikian, semangat yang melatarbelakangi lahirnya pela tidak lagi sebatas semangat negeri-negeri tetapi harus diartikulasikan bare menjadi semangat masyarakat kebanyakan.
Kedua, Bersamaan dengan proses revitalisasi, maka proses konvergensi harus berjalan bersamaan. Proses ini dimaksudkan untuk mencari kesamaan dari simbol-simbol komunikasi yang ada di masyarakat plural dengan simbol-simbol komunikasi di masyarakat pela, untuk diarahkan pada satu kesepahaman makna serta tujuan komunikasi bersama di masyarakat.

"
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Maluku: Kantor Bahasa Provinsi Maluku Utara, 2014
499.22 BAH
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Arini Yulfarida
"Pasca runtuhnya Orde Baru, isu pemekaran wilayah di Indonesia ramai muncul ke permukaan. Maluku Utara muncul sebagai salah satu wilayah yang menuntut otonomi daerah dan terlepas dari provinsi induknya, Maluku. Gagasan ini muncul setelah upaya pengajuan pembentukan Provinsi Maluku Utara pada tahun 1958 tidak mendapat tanggapan dan gagasan ini tenggelam pada masa Orde Baru. Pada masa Presiden Habibie, pemerintah pusat dan daerah sama-sama setuju mengenai pembentukan Provinsi Maluku Utara. Tantangan kemudian muncul antara pemerintah pusat dengan masyartakat dan elite lokal Maluku Utara, di mana pemerintah pusat dinilai lambat dan tidak serius oleh masyarakat dan elite lokal Maluku Utara dalam memroses pengesahan Undang-Undang. Sedangkan pemerintah pusat menilai tindakan masyarakat dan elite lokal Maluku Utara yang melakukan demo sepanjang awal tahun 1999 terlalu berlebihan. Persaingan elite lokal antar dua kesultanan kembali mengemuka yang terwujud dalam perdebatan dalam penentuan ibukota provinsi, serta konflik sosial dan konflik politik yang terjadi setelah Maluku Utara dibentuk. Kehidupan awal Maluku Utara sebagai provinsi baru diwarnai konflik sosial hingga diberlakukannya darurat sipil. Selain itu, pemilihan gubernur pertama menjadi bukti kebangkitan demokrasi lokal yang mengarah pada primordialisme. Pembentukan Provinsi Maluku Utara ini membawa dampak bagi berkembangnya kesejahteraan rakyat di Maluku Utara dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi provinsi. Penelitian ini merupakan penelitian sejarah kontemporer yang menggunakan metode wawancara dan penelusuran arsip sezaman. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi sejarah pembentukan Provinsi Maluku Utara serta sejarah politik lokal di Indonesia.

After the fall of New Order, issues of formation of new provinces in Indonesia emerged. North Maluku appeared as one of regions which claimed for a regional autonomy to be separated from its main province, Maluku. These ideas emerged after efforts in requesting the establishment of the new province on 1958 had not been responded by the central government and so these ideas were concealed in New Order era. In the era of President Habibie 39 s leadership, central and local governments had come to an agreement to establish North Maluku Province. Thus many challenges rose between central government and local society along with its elites who perceived that the central government had been too slow and had not taken the matter seriously in order to legalise the laws of new province establishment. On the other hand, the central goverment perceived the measures taken by the local society and elites by doing demonstrations during first half 1999 to be an exaggeration. Local elite rivalries between the two sultanates reappeared as manifested in the debates in the determination of the provincial capital, as well as the social conflicts and political conflicts that occurred after the North Moluccas were formed. After establishing a new province, the early establishment of North Maluku was marked with social conflicts and this led to civilian emergencies. In addition to that, the first election of governor became a proof of rising local democratization, which directed to primordialism. The establishment of North Maluku brought about impacts in an increase in the society welfare, due to the growth of the province economy. This is a contemporary historical research, which uses methods by interviews and taking notes of historical archives. This research is done in hopes of contributing for historical studies of the establishment of North Maluku Province and the history of local politics in Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S69702
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Khudzaeva
"Hutan berfungsi sebagai penyerap karbon dan menyimpannya dalam bentuk biomassa hutan, untuk itu diperlukan teknik yang efektif dan mudah digunakan dalam menduga cadangan karbon pada suatu hamparan vegetasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui estimasi stok karbon di area hutan Halmahera Timur serta sebarannya menurut karakteristik fisik hutan. Estimasi stok karbon diperoleh dari hubungan keterkaitan antara diameter batang, tinggi pohon kerapatan vegetasi, dan biomassa yang dihitung melalui model Alometri dengan nilai NDVI citra Landsat TM, sehingga dari hubungan tersebut diperoleh sebaran stok karbon di area hutan Halmahera timur.
Dari hasil pengolahan sebaran stok karbon tertinggi terdapat pada kerapatan vegetasi rapat dengan persentase nilai sebesar 52,20%, sedangkan untuk sebaran stok karbon berdasarkan kelerengan nilai tertinggi terdapat pada kelerengan 16-25%, untuk sebaran stok karbon tertinggi berdasarkan ketinggian terdapat pada ketinggian 501-750, dan untuk sebaran stok karbon tertinggi berdasarkan jenis tanah terdapat pada tanah latosol.

Forests serve as carbon sinks and store it in the form of forest biomass, it is necessary for effective technique and easy to use in suspected carbon stocks on a carpet of vegetation. This study aims to determine the estimated carbon stocks in forest areas of East Halmahera and distribution according to physical characteristics of forest. Estimated carbon stocks derived from the relationship between stem diameter, tree height vegetation density, and biomass are calculated through Algometry model with Landsat TM NDVI values, so that the relationship obtained distribution of carbon stocks in forest area east of Halmahera.
The results have the highest carbon stock distribution on the density of vegetation meeting with the percentage value of 52.20%, while for the distribution of carbon stocks based on the steepness of the highest value found in 16-25% slope, for the distribution of the highest carbon stocks based on height are at an altitude of 501 - 750, and to the highest carbon stock distribution by type of soil found on the ground latosol.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
T31871
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi S. Tawari
"Togal adalah tradisi hiburan yang ada pada masyarakat Makian di Propinsi Maluku Utara. Tradisi ini menggabungkan beberapa unsur, yaitu musik, tarian, lantunan syair dan pantun. Dalam perkembangannya togal cenderung melemah, meskipun lemah tradisi ini masih bertahan sampai saat ini, dan dimungkinkan terus bertahan hingga di masa-masa mendatang. Hipotesanya adalah togal bisa bertahan karena memiliki kekuatan tertentu. Dengan demikian, penelitian ini bermaksud memeriksa kekuatan apa yang dimiliki togal sehingga tradisi tersebut dimungkinkan bisa terus bertahan.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan etnografi. Pilihan ini beradasarkan asumsi bahwa etnografi memanfaatkan tekhnik pengumpulan data pengamatan berperan serta (participant observation) yang memungkinkan togal bisa diungkapkan secara holistik.
Hasil penelitian menunjukkan kekuatan togal berada pada wilayah komunikasi, selain itu hakikat togal yang menampakkan kelenturannya pada berbagai aspek ternyata juga turut menjaga tradisi ini terus bertahan.

Togal is entertainment tradition of Makian society in North Maluku province. This tradition combines several elements, namely music, dance, syair, and pantun. In its development togal tends to be weakened, although togal is weak this tradition survived until now, and it is possible to continue to endure in the future. The hypothesis is togal can survive because it has certain strengths. Thus, this study intends to examine what powers belong to the traditions that made possible togal can continue to survive.
The research method used is qualitative with the ethnographic approach. This option base on the assumption that ethnographic utilize participant observation that allows togal can be disclosed holistically.
The result of the study showed strength of togal is at the communication, besides that, the essence of togal that appear flexible on various aspects is also take care of this tradition continue to survive."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
T34946
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mijie Dwiputri Ramadini
"Keterlambatan pembayaran honor dan juga insentif sudah sering terjadi di awal tahun. Terjadinya penunggakan pembayaran honor dan insentif menunjukkan proses perencanaan dan penganggaran yang kurang terkendali oleh Pemerintah Kota Ternate, meskipun rata-rata setiap tahunnya mereka mendapatkan predikat pengelolaan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang tidak sejalan dengan data lapangan yang menunjukkan adanya masalah dalam penganggaran (https://ombudsman.go.id/ Kamis, 11/02/2021). Pengelolaan Pemerintah Kota Ternate dalam upaya penanganan COVID-19 juga menunjukkan adanya permasalahan serupa. Peneliti menggunakan paradigma post- positivist dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan melaluiwawancara mendalam dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwaPemerintah kota Ternate sudah menetapkan batas kapasitas anggaran sehingga utang daerah terjaga, justifikasi refocusing sesuai urgensi namun dalam penentuan proses masih belum partisipatif. Namun masih di temukan fenomena flypaper effect di Pemerintah kota Ternate karena proporsi transfer yang lebih besar dibandingkan PAD, sekalipun PAD sudah menunjukan peningkatan yang cukup signifikan sekalipun dalam kondisi pandemi COVID-19, terkait penghematan masih belum terlaksana dengan optimal karena masih adanya berbagai pos anggaran yang seharusnya dapat lebih kecil atau bahkan sepenuhnya dihilangkan.

Late payments of fees and incentives have often occurred at the beginning of the year. The occurrence of arrears in the payment of honorarium and incentives shows that the planning and budgeting process is less controlled by the Ternate City Government, even though on average every year they get the title of Unqualified management (WTP) which is not in line with field data which shows there are problems in budgeting (https: //ombudsman.go.id/ Thursday, 11/02/2021). The management of the Ternate City Government in efforts to deal with COVID- 19 also shows a similar problem. Researchers used a post-positivist paradigm with data collection techniques carried out through in-depth interviews and literature studies. The results of the study show that the Ternate city government has set budget capacity limits so that regional debt is maintained, the justification for refocusing is according to urgency but the process determination is still not participatory. However, the phenomenon of the flypaper effect is still found in the Ternate city government because the proportion of transfers is greater than PAD, even though PAD has shown a significant increase even in the conditions of the COVID- 19 pandemic, related to savings that have not been implemented optimally because there are still various budget items that have been should be reduced or even completely eliminated.

"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>