Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 193635 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Evi Zuraida
"Dengan adanya permasalahan tentang masih dikontrolnya ruang udara Indonesia oleh FIR asing khususnya di atas kepulauan Riau dan Natuna oleh FIR Singapura berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh Indonesia dan Singapura tahun 1995, dimana kemudian dengan telah dimilikinya kemampuan baik di bidang teknologi maupun SDM maka Indonesia berkeinginan untuk mengambil alih kontrol FIR tersebut sebagai bangsa yang berdaulat dan juga sbg pelaksanaan dari undangundang. Terkait dengan hal itu, perlu ditinjau lebih lanjut mengapa Indonesia memandang perlu untuk mengambil alih kontrol FIR di atas kepulauan Riau dan Natuna dari pihak Singapura serta hambatan-hambatan yang dihadapi pihak Indonesia dalam mewujudkan kehendaknya tersebut. Namun sesuai dengan salah satu klausul dalam perjanjian (Article 6) bahwa selama pihak Singapura melakukan pengontrolan di wilayah Indonesia maka Pemerintah Singapura atas nama Pemerintah Indonesia memungut Route Air Navigation Services (RANS) Charges, dan hasilnya akan diserahkan ke pemerintah Indonesia. Dari adanya pendapatan yang diperoleh Negara tersebut maka hal ini menjadi salah satu sumber pendapatan Negara berupa PNBP. Namun demikian, dengan adanya RANS Charges tersebut.menimbulkan implikasi terhadap Indonesia terkait upaya pengambilalihan pelayanan navigasi penerbangan pada FIR Singapura di atas kepulauan Riau dan Natuna berdasarkan perjanjian Indonesia Singapura Tahun 1995.

With the problems about still is still uncontrollable air space Indonesia by foreign FIR, especially above the Riau Islands and Natuna by the Singapore FIR based on agreements made by Indonesia and Singapore in 1995, which then has the ability to have both in the field of technology and human resources, Indonesia desirous to take over FIR control as a sovereign nation and also as the implementation of the Act. Related to this matter, need to be reviewed further, Indonesia necessary to take over control FIR above Riau Islands and Natuna from the Singapore and the obstacles faced by Indonesia in realizing against his will. However according to one clause in the agreement (Article 6) that during the Singapore authorities in the area of controlling in Indonesia, the Government of Singapore on behalf of the Government of Indonesia picked up Route Air Navigation Services (RANS) Charges, and the results will be submitted to the government of Indonesia. Of the State earned income it becomes a source of State revenue in the form of non-tax revenues. However, with the existence of RANS , give rise to that implication charges against Indonesia's takeover attempts on the air navigation services in the Singapore FIR above Riau islands and Natuna based on agreement Indonesia Singapore 1995.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30925
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Dewayanti Kusumastining
"Wilayah udara yang berada di atas sebuah negara merupakan hak negara tersebut secara penuh dan eksklusif. Namun, ketentuan itu tidak selalu dapat diikuti. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pengaturan wilayah penerbangan di atas negara - negara di dunia, Flight Information Region (FIR), yang tidak selalu mengikuti garis batas negara. Kondisi tersebut dialami oleh Indonesia. Sebagian wilayah udara di kawasan Kepulauan Riau dan Natuna didelegasikan kepada Singapura karena ketidakmampuan Indonesia konon dalam mengelola navigasi penerbangan. Melalui pendelegasian wilayah udara tersebut, terdapat berbagai kerugian yang diderita oleh Indonesia. Namun, pemerintah Indonesia tetap meneruskan kerja sama pengelolaan wilayah udara tersebut walaupun perjanjian pendelegasian, yang dibuat pada tahun 1995, telah berakhir masa berlakunya, dan kondisi Indonesia telah memungkinkan untuk mengambil kembali kewenangannya. Hal inilah yang menjadi anomali dari sikap negara berdaulat. Oleh sebab itu, tesis ini menggunakan teori politik birokratik (bureaucratic politics theory) dalam pembedahan isu untuk melihat proses pemutusan kebijakan politik luar negeri di antara birokrasi - birokrasi di dalam negeri. Pembedahan tesis dibagi sesuai dengan variabel dalam teori ini, yaitu aktor/birokrasi yang terlibat, faktor yang menentukan masing - masing aktor, dan sikap aktor dalam menyatukan pertimbangan untuk menghasilkan keputusan dan tindakan pemerintah. Setelah mendapatkan ketiga variabel penelitian, langkah selanjutnya adalah memetakan politik birokratik Indonesia terkait isu tersebut. Pada akhirnya, ditemukan adanya masalah politik birokratik intranasional yang menyebabkan limitasi pilihan bagi pemerintah dalam proses pemutusan kebijakan politik luar negeri menanggapi isu pendelegasian wilayah udara nasional kepada Singapura. Masalah ini juga merefleksikan persaingan antara Indonesia dan Singapura di beberapa aspek.

Air territory, located above a country, is exclusively and fully considered a right owned by the subjacent state. However, this provision does not always succeed to follow. This is indicated by the Flight Information Region (FIR) which most unlikely follow the country demarcation line. That condition is experienced by Indonesia with most of the air territories in Riau Islands and Natuna are delegated to Singapore due to the country's inability in managing air navigation. By delegating the air territory, Indonesia suffers various losses. However, Indonesian government still continues the air territory management cooperation although the delegation agreement in 1995 has expired, and the condition of Indonesia has made it possible to take back the authority. This is considered an anomaly of the sovereign state's attitude. Therefore, this thesis applies the bureaucratic politics theory in dissecting issues to look at the foreign policy decision making process among bureaucracies in the country. Thesis dissection is divided according to the variables in this theory, the actor/bureaucracy involved, the factors that determine each actor, and the attitude of each actor in aggregating to yield governmental decisions and actions. After obtaining three variables of the study, Indonesian bureaucratic politic, related to the issue, is mapped. In the end, the identified problems of intra-national bureaucratic politics cause choices of limitation in the governmental foreign policy decision making process in response to the issue of national air territory delegation to Singapore. Furthermore, this issue also reflects the competition between Indonesia and Singapore in several aspects.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T44604
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vivi Tri Handayani
"Pada tanggal 25 Januari 2022 pemerintah Indonesia bersama dengan Singapura menyetujui kesepakatan penyesuaian Flight Information Region (FIR) Indonesia-Singapura yang di ratifikasi melalui Peraturan Presiden No 109 Tahun 2023. Adanya perjanjian realignment FIR penting untuk dikaji terutama dilihat melalui pertahanan dan keamanan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggambarkan objek yang diteliti berdasarkan fakta di lapangan dengan menggunakan key informan sebagai sumber data dan data sekunder. Pada penelitian ini juga digunakan teori Kedaulatan dari Kranser dan Teori Keamanan Kompleks dari Barry Buzzan. Penelitian ini menghasilkan bahwa Indonesia belum sepenuhnya mengelola ruang udara yang semula di delegasikan kepada Singapura khususnya di sebagian sektor A dan B. Tetapi Indonesia tetap memiliki kontrol dan pengawasan melalui Civil-Military Cooperation In Air Traffic Control (CMAC), dimana CMAC tersebut dapat menjadi solusi dalam isu kedaulatan, pertahanan, dan keamanan. Di sisi lain perjanjian tersebut dianggap dapat menabrak UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang menyatakan bahwa Indonesia harus sudah melakukan pengelolaan secara penuh selambat-lambatnya pada tahun 2024. Pada penelitian ini juga dihasilkan bahwa Indonesia masih dihadapkan dengan kendala pengambilalihan ruang udara tersebut, diantaranya: (1) kepercayaan; (2) diplomasi.

On January 25, 2022, the Indonesian government together with Singapore approved the realignment Flight Information Region (FIR) Indonesia-Singapore agreement which was ratified through Presidential Regulation Number 109 Year 2023. The existence of an FIR realignment agreement is important to be reviewed, especially seen through defense and security. This research uses qualitative descriptive methods by describing the object under study based on facts in the field using key informants as data sources and secondary data. In this study also used the theory of sovereignty from Kranser and the theory of security the complex of Barry Buzzan. This research results that Indonesia has not fully managed the airspace originally delegated to Singapore, especially in some sectors A and B. But Indonesia still has control and supervision through Civil-Military Cooperation In Air Traffic Control (CMAC), where the CMAC can be a solution in sovereignty, defense, and security issues. On the other hand, the agreement is considered to be able to violate Law of the Republic Indonesia Number 1 Year 2009 concerning Aviation which states that Indonesia must have carried out full management no later than 2024. In this study, it was also found that Indonesia is still faced with obstacles to the takeover of airspace, including: (1) trust; (2) diplomacy."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedi
"Otoritas kontrol ruang udara atau FIR terkait keamanan dan keselamatan penerbangan sipil memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap berlaku penuh dan ekslusifnya suatu Negara atas kedaulatan ruang udaranya. Pada Rapat Terbatas Tingkat Menteri tanggal 8 September 2015, Presiden RI menginstrusikan kepada Menteri Perhubungan dan Panglima TNI untuk mengambil alih kontrol ruang udara sektor ABC di Kepuluan Riau dari FIR Singapura dalam tiga atau empat tahun kedepan. Dampak pendelegasian kontrol ruang udara ini adalah kerugian pada tiga gatra dari panca gatra ketahanan nasional yaitu ekonomi, politik, dan pertahanan keamanan di kedaulatan udara Indonesia. Sejak tahun 2007 telah dilaksanakan audit kepatuhan keamanan dan keselamatan penerbangan oleh ICAO kepada Indonesia serta kesiapan-kesiapan dan rapat koordinasi antar kementerian dan Lembaga yang terlibat kebijakan FIR. Beberapa hal tersebut dijadikan acuan dalam penelitian ini untuk melihat sejauh mana penerapan strategi perencanaan dan analisis kebijakan dari kementerian dan lembaga terkait dengan metode penilitian kualitatif. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa kemampuan sumber daya penerbangan Indonesia masih berada di bawah standar rata-rata dunia serta masih adanya ego sektoral dan perbedaan persepsi antar Kementerian dan Lembaga pada urgensi kebijakan ini. Sedangkan pada strategi perencanaan dan analisis kebijakan terlihat belum adanya pelaksanaan roadmap yang komprensif dalam mengimplementasikan Instruksi Presiden tersebut.

The airspace control authority or FIR of civil aviation security and safety has a significant role on the exclusiveness of a State especially on it airspace sovereignty. On September 8, 2015, the President of the Republic Indonesia instructed the Minister of Transport and the TNI Commander to take control of the ABC sector air space in Riau Islands from the Singapore FIR within three or four years. The impact of this delegation of airspace control is the loss of three aspects of the national security resilience such as economic, political, and defense of security in air sovereignty of Indonesia. From 2007 ICAO has conducted compliance audits on aspects of aviation safety and security in Indonesia, as well as coordination readiness and coordination meetings between Ministries and Agencies involved in this FIR policy. It`s to analyze how far the implementation of strategic planning and policy analysis. This research uses a qualitative research method. The result of this research shows that the ability of aviation resources in Indonesia is still below the world average standard as well as the existence of sectoral ego and the difference of perception. For planning strategy and policy analysis, there is no comprehensive roadmap to manifestation President`s instruction.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syaifudin Zuchri
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
S25800
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Farchan Fachrurrezy
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang kepentingan nasional Singapura terhadap penguasaan ruang udara Kep.Riau yang ingin diambil alih kembali oleh Indonesia. Ruang udara Kep.Riau masuk ke dalam bagian dari FIR Singapura sejak tahun 1946. Indonesia sudah bertahun-tahun berusaha untuk mengambil alih ruang udara tersebut namun Singapura tetap tidak memberikan dengan alasan Indonesia belum siap. Pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo menginginkan pemerintahannya mempercepat pengambilalihan ruang udara Kep. Riau tersebut menjadi tahun 2019, dari seharusnya akan dievaluasi pada tahun 2024. Penulis memfokuskan tulisan ini pada alasan atau faktor kepentingan nasional apa yang mendasari Singapura tidak memberikan otoritas ruang udara tersebut kepada Indonesia. Penulis akan membahas mengenai FIR Indonesia secara singkat, teknologi radar navigasi yang Indonesia miliki dan kesiapan dari Indonesia untuk mengambil alih. Selain itu penulis juga akan mengupas dari sisi Singapura, penulis akan membahas tentang FIR Singapura, posisi Bandara Changi sebagai Global-Hub dan melihat keuntungan yang didapatkan Singapura dari sektor penerbangannya. Dari hasil penelitian ini, penulis mendapati bahwa Singapura memiliki kepentingan ekonomi yang kuat berdasarkan keuntungan yang didapatkannya melalui sektor penerbangan. Sehingga Singapura merasa perlu untuk menguasai ruang udara tersebut dan memiliki keraguan akan kapabilitas Indonesia apabila Indonesia menguasai ruang udara tersebut.

ABSTRACT
This research discusses the national interest of Singapore in the control of the Kep. Riau airspace that Indonesia wants to take over. Kep. Riau's airspace has been part of the Singapore FIR since 1946. Indonesia has been trying for years to take over the airspace, but Singapore still does not giving the authority to Indonesia because Indonesia is not ready yet. In 2015, President Joko Widodo wanted his government to speed up the takeover of Kep. Riau in 2019, of which it should be evaluated in 2024. The author focuses on this article on the reasons or factors of national interest that underlie Singapore not to give the airspace authority to Indonesia. The author will briefly discuss the Indonesian FIR, the navigation radar technology that Indonesia has and the readiness of Indonesia to take over. In addition, the author will also review from the Singapore side, the author will discuss the Singapore FIR, the position of Changi Airport as a Global-Hub and see the benefits Singapore gets from its aviation sector. From the results of this study, the authors found that Singapore had strong economic interests based on the benefits it gained through the aviation sector. So Singapore feels the need to control the airspace and also Singapore has doubts about Indonesia's capability if Indonesia controls the airspace.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bianka Renzanova Kusuma
"Bilateral Investment Treaty (“BIT”) Indonesia dan Singapura yang dibentuk pada tahun 2005 diputuskan untuk tidak dilanjutkan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2016 karena Pemerintah Indonesia memilih untuk menegosiasikan BIT yang baru. Pada tahun 2018, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura telah berhasil membentuk BIT dengan ketentuan yang jauh berbeda dibandingkan dengan BIT terdahulu. Penelitian ini mencoba untuk meneliti perbandingan ketentuan dalam BIT Indonesia dan Singapura tahun 2005 dengan BIT dan Singapura tahun 2018. Selain itu, penelitian ini mencoba untuk mengetahui dampak BIT terhadap penanaman modal asing langsung di Indonesia. Bentuk penelitian ini bersifat yuridis-normatif dengan tipologi deskriptif analitis yang didukung oleh studi bahan pustaka dan wawancara sebagai alat pengumpul data. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa BIT Indonesia dan Singapura tahun 2018 dirumuskan secara lebih terperinci dan jelas dan memasukan banyak safeguard di dalamnya. Selain itu, BIT diketahui tidak memiliki dampak langsung untuk mendorong nilai investasi asing di Indonesia, tetapi kehadiran BIT tetap diperlukan untuk memberikan perlindungan dan meningkatkan kepercayaan investor Singapura, mendorong pembentukan iklim peraturan yang baik, dan pelengkap instrumen hukum perlindungan investasi. Saran yang dapat diberikan adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam merumuskan perjanjian investasi internasional kedepannya tetap mempertahankan rumusan perjanjian investasi yang jelas dan rinci demi menghindari penafsiran yang berbeda antara host state dengan penanam modal.

Bilateral Investment Treaty (“BIT”) between Indonesia and Singapore that was signed in 2005 was discontinued by the Government of Indonesia in 2016 because the Government of Indonesia elected to renegotiate a new BIT. In 2018, the Government of Indonesia and the Government of Singapore successfully agreed on a new BIT with new and different provisions. This research tries to do a comparative analysis on the BIT Indonesia and Singapore 2005 and BIT Indonesia and Singapore 2018. This research also looks to determine the impact of BIT on foreign direct investment. The research method of this thesis is juridical-normative with a descriptive research approach through literature review and desk study, and key informant interviews as a tool for collecting data. This research concludes that BIT Indonesia and Singapore 2018 was formulated with more details, containing explicit clauses and safeguards. This thesis also argues that BIT does not have any direct impact on increasing foreign direct investment in Indonesia. Nevertheless, the presence of BIT is still necessary and effective to provide protection of investment and increase investor confidence, encourage the creation of favourable regulatory climate, and complement other legal instruments for investment protection. In the future, the Indonesian Investment Coordinating Board (BKPM) should seek to establish international investment agreements that maintain a clear and detailed clause of investment agreements in order to avoid different interpretations between the host state and investors."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bianka Renzanova Kusuma
"Bilateral Investment Treaty (“BIT”) Indonesia dan Singapura yang dibentuk pada tahun 2005 diputuskan untuk tidak dilanjutkan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2016 karena Pemerintah Indonesia memilih untuk menegosiasikan BIT yang baru. Pada tahun 2018, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura telah berhasil membentuk BIT dengan ketentuan yang jauh berbeda dibandingkan dengan BIT terdahulu. Penelitian ini mencoba untuk meneliti perbandingan ketentuan dalam BIT Indonesia dan Singapura tahun 2005 dengan BIT dan Singapura tahun 2018. Selain itu, penelitian ini mencoba untuk mengetahui dampak BIT terhadap penanaman modal asing langsung di Indonesia. Bentuk penelitian ini bersifat yuridis-normatif dengan tipologi deskriptif analitis yang didukung oleh studi bahan pustaka dan wawancara sebagai alat pengumpul data. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa BIT Indonesia dan Singapura tahun 2018 dirumuskan secara lebih terperinci dan jelas dan memasukan banyak safeguard di dalamnya. Selain itu, BIT diketahui tidak memiliki dampak langsung untuk mendorong nilai investasi asing di Indonesia, tetapi kehadiran BIT tetap diperlukan untuk memberikan perlindungan dan meningkatkan kepercayaan investor Singapura, mendorong pembentukan iklim peraturan yang baik, dan pelengkap instrumen hukum perlindungan investasi. Saran yang dapat diberikan adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam merumuskan perjanjian investasi internasional kedepannya tetap mempertahankan rumusan perjanjian investasi yang jelas dan rinci demi menghindari penafsiran yang berbeda antara host state dengan penanam modal.

Bilateral Investment Treaty (“BIT”) between Indonesia and Singapore that was signed in 2005 was discontinued by the Government of Indonesia in 2016 because the Government of Indonesia elected to renegotiate a new BIT. In 2018, the Government of Indonesia and the Government of Singapore successfully agreed on a new BIT with new and different provisions. This research tries to do a comparative analysis on the BIT Indonesia and Singapore 2005 and BIT Indonesia and Singapore 2018. This research also looks to determine the impact of BIT on foreign direct investment. The research method of this thesis is juridical-normative with a descriptive research approach through literature review and desk study, and key informant interviews as a tool for collecting data. This research concludes that BIT Indonesia and Singapore 2018 was formulated with more details, containing explicit clauses and safeguards. This thesis also argues that BIT does not have any direct impact on increasing foreign direct investment in Indonesia. Nevertheless, the presence of BIT is still necessary and effective to provide protection of investment and increase investor confidence, encourage the creation of favourable regulatory climate, and complement other legal instruments for investment protection. In the future, the Indonesian Investment Coordinating Board (BKPM) should seek to establish international investment agreements that maintain
a clear and detailed clause of investment agreements in order to avoid different interpretations between the host state and investors.
"
Depok: Fakultas Hukum, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadhira Ameria
"Skripsi ini bertujuan untuk menambah pengetahuan mengenai aspek-aspek yang terkait dengan leveraged buyout, baik mengenai peraturan yang berlaku untuk transaksi leveraged buyout di Indonesia, Singapura, Perancis, Australia, dan Amerika. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian yang bersifat yuridis-normatif dengan menggunakan data-data sekunder, yaitu peraturan perundang-undangan dan buku-buku. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan mengenai peraturan-peraturan yang berlaku dan aspek-aspek hukum yang terkait transaksi leveraged buyout.

The purpose of this mini-thesis is to enrich the general knowledge on the subject relating to a few aspects of leveraged buyout, such as the regulations that can be implemented on levereraged buyout in Indonesia, Singapore, France, Australia and the USA, and issues relating to the leveraged buyout transaction. The types of research method that has been used for the mini-thesis are normative-juridical and comparative research by using secondary data, such as legislations and books. Based on the research, it can be said that on the matter of regulations that can be implemented on levereraged buyout in Indonesia, Singapore, France, Australia and the USA, is comprehensible.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S60498
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>