Ditemukan 109579 dokumen yang sesuai dengan query
Indra Fajrul Falah
"Skripsi ini membahas kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam memutus perselisihan Pemilukada berdasarkan UU Pemerintahan Daerah. Namun MK melaksanakannya tidak mendasarkan pada UU. Skripsi ini mengambil studi kasus putusan MK atas perselisihan Pemilukada di Kota Jayapura. Permasalahannya bagaimana MK menjalankan kewenangan memutus perselisihan Pemilukada dan apakah bakal pasangan calon dapat diterima sebagai pemohon dalam perselisihan Pemilukada. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder. Penelitian ini menyimpulkan bahwa MK menjalankan kewenangan dengan memegang prinsip hukum dan keadilan, sehingga mengutamakan keadilan substantif. Demi menegakan keadilan substantif, MK mendasarkan kewenangannya pada UUD NRI Tahun 1945. Apabila MK hanya mendasarkan pada UU, maka keadilan prosedural akan menyampingkan keadilan substantif, yang kemudian akan menjadikan MK berwenang mengadili seluruh pelanggaran yang terjadi dalam proses Pemilukada yang mempengaruhi hasil Pemilukada. Dengan kewenangan tersebut, maka MK dapat memeriksa sejak penetapan daftar pemilih pada kasus Kota Jayapura. Dengan adanya pemohon yang merupakan bakal pasangan calon, MK perlu menggunakan interpretasi ekstensif untuk memberikan kedudukan hukum. MK memberikan kedudukan hukum tersebut demi menegakan keadilan substantif dan menjamin hak konstitusional warganegara karena pada dasarnya bakal pasangan calon secara materiil merupakan peserta Pemilukada berdasarkan putusan PTUN yang berkekuatan hukum tetap. Bakal pasangan calon juga dapat menjadikan putusan PTUN sebagai alat bukti otentik di persidangan. Penulis juga mendapat kesimpulan bahwa MK menganut aliran Interessenjurisprudenz dalam melakukan penemuan hukum, dimana hakim konstitusi mencari dan menemukan keadilan dalam batas kaidah-kaidah yang telah ditentukan. MK juga menjadikan putusan-putusannya sebagai yurisprudensi untuk menerapkan pada perkara yang sejenis.
This paper discusses the authority of the Constitutional Court to decide election disputes according to Local Government Act. However, the Constitutional Court does not refer to the Act on asserting its authority. This paper takes a case study of the Constitutional Court verdict on Election dispute in Jayapura. The problem is how to assert the Constitutional Court‟s authority to decide Election disputes and whether the pre-candidates would be accepted as party in the election dispute. The author uses the method of legal normative research, using secondary data. This research concluded that the Constitutional Court implement the principle in law and justice so that substantial justice will be taken as first priority. For the sake of upholding the substantial justice, the Constitutional Court refers its authority on the Constitution. If the Constitutional Court only refers to the Act, the procedural justice will rule aside substantive justice, which makes Constitutional Court has the authority to examine all violations in the Election process which could influence the Election result. With such authority, the Constitutional Court is able to examine since the enlistment of voters in Jayapura case. With the existence of such plaintiff, which is a pre-candidate, the Constitutional Court ought to interpretes extensively to grant legal standing to these plaintiffs. The Constitutional Court grants them the legal standing in order to uphold substantive justice and ensure the constitutional rights of citizens because pre-candidate substantively will be a participant in the Election based on the final and binding verdict of the Administrative Court. Pre-candidates will also be able to use its verdict as an authentic evidence in the trial. The author also concludes that the Constitutional Court adopts Interessenjurisprudenz idea on legal finding, in which the constitutional judges look for and find justice within the limits of established norms. The Constitutional Court also deduces its verdicts as the case law to be applied in other similar case(s)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1942
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
M. Abid Ulil Albab AF
"
AbstrakSemula pilkada masuk dalam rezim pemerintah otonomi daerah, sehingga penyelesaian sengketa pilkada berada pada kewenangan Mahkamah Agung. Kemudian para pembuat undang-undang memasukkan pilkada ke dalam rezim pemilu dan membentuk Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam Pasal 236C UU tersebut menyatakan bahwa penyelesaian perselisihan hasil pilkada dialihkan dan diselesaikan di Mahkamah Konstitusi. Pada 19 Mei 2014 MK mengabulkan pengujian Pasal 236 C UU No. 12 Tahun 2008 terkait kewenangan MK memutus perselisihan hasil pilkada, sebab MK menilai pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional). Dalam hukum Islam ketika terjadi pemilihan kepala daerah yang kemudian menimbulkan perselisihan tentang siapa calon pemimpin yang sah dan lebih berhak menerima baiat, maka harus dibuktikan melalui pemeriksaan saksi-saksi dan bukti-bukti. Untuk itu, maka harus diketahui terlebih dahulu tentang siapa yang paling berwenang untuk mengadili persoalan tersebut, apakah MA atau MK"
Depok: Badan Penerbit FHUI, 2018
340 JHP 48:3 (2018)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Yanuar Arif Wibowo
"Didalam PHPU legislatif tahun 2009, terdapat putusan MK yang menimbulkan perdebatan hukum. Hakim Konstitusi mengabulkan gugatan perkara Nomor 59, 67, 74, 80, 94/PHPU.C-VII/2009 mengenai metode perhitungan kursi DPR RI tahap ketiga. Keputusan ini menimbulkan perdebatan hukum, dikarenakan Hakim Konstitusi dinilai telah menyalahi ketentuan perundang-undangan, sebab ketentuan perundang-undangan menegaskan bahwa materi perkara PHPU hanya terkait dengan perbedaan perhitungan suara antara KPU dengan Partai politik peserta Pemilu. Menurut ketentuan Undang-Undang, objek PHPU legislatif adalah perolehan suara yang berpengaruh pada PT, kursi Parpol Nasional maupun Partai Lokal Aceh serta terpilihnya anggota DPD. Hakim konstitusi seharusnya menolak gugatan dari awal, dikarenakan gugatan tersebut bukan ranah PHPU. Oleh karenanya gugatan perkara Nomor 59, 67, 74, 80, 94/PHPU.C-VII/2009, seharusnya menjadi domain pengujian peraturan perundang-undangan (PUU).
In the 2009 legislative PHPU, there is the decision of the Court that led to legal disputes. Justice Constitutional litigation grant No. 59, 67, 74, 80, 94/PHPU.C-VII/2009 regarding the calculation methods the Parliament seat third stage. This decision led to debate over the law, because the judge has violated the Constitution considered statutory provisions because the provisions of the legislation argued that the case material related to PHPU only vote counting differences between the Commission with political parties in the election. According to the provisions of Act, the object is PHPU legislative votes that affect the Parlementary Thershold (PT), chairs the National Party, the Party and the election of Local Acehnese and DPD members. The Justice of Constitutional Court should be reject this case, because not be domain to PHPU. Therefore litigation Number 59, 67, 74, 80, 94/PHPU.C-VII/2009, should be a test domain legislation (PUU)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S25482
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
"Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang no. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terhadap UUD 1945. Tiga permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai (1) legal standing pemohon dalam pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; (2) pertimbangan Mahkamah Konstitusi memberikan legal standing kepada pemohon dalam pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; serta (3) usulan pemberian legal standing terhadap pemohon dalam perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan bahan hukum berupa putusan Mahkamah Konstitusi, peraturan perundang-undangan, serta tulisan-tulisan yang berkaitan dengan hukum tata negara. Adapun jenis penelitian ini adalah yuridis-normatif. Teori dalam menilai pemohon memiliki legal standing atau tidak, salah satunya adalah teori legal standing. Teori legal standing point d’interet point d’action yaitu tanpa kepentingan tidak ada suatu tindakan. Para pemohon dalam perkara No. 36/PUU- X/2012 dan No. 7/PUU-XI/2013 tidak memiliki legal standing dalam mengajukan permohonan. Mahkamah tidak tepat menilai para pemohon dalam perkara No. 36/PPU-X/2012 dan No.7/PPU-XI/2013 memiliki legal standing. Karena para pemohon tidak memiliki dasar (kepentingan) untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang. Selain itu terdapat dissenting opinion hakim konstitusi yang menguatkan bahwa para pemohon tidak memiliki legal standing."
JK 11 (1-4) 2014
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Widiyanto
"Perselisihan hasil pemilu merupakan suatu sengketa yang timbul sebagai akibat dari dilaksanakannya pemilu yang menyangkut perolehan suara para peserta pemilu. Ia sarat dengan konflik kepentingan yang apabila tidak diselesaikan akan berakibat pada tidak stabilnya pemerintahan di suatu negara. Dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi, perselisihan hasil pemilu yang pada awalnya merupakan sengketa politik diarahkan oleh undang-undang menjadi sengketa hukum yang diselesaikan melalui mekanisme peradilan. Seperti peradilan pada umumnya, maka Penyelesaian perselisihan pemilu di Mahkamah konstitusi memiliki hukum acara dan ketentuan tentang pembuktian tersendiri. Pembuktian pada hukum acara Mahkamah Konstitusi diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 03/PMK/2003 tentang Tata Tertib Persidangan Pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu. Dengan ketentuan inilah perselisihan hasil Pemilu Legislatif diperiksa, diadili dan diputus. Pada Pemilu 2004, Tak kurang dari 252 perkara perselisihan hasil pemilu dari 23 partai politik peserta pemilu harus diputus Mahkamah Konstitusi dalam 30 hari. Dari 252 perkara tersebut, dikaji mengenai pembuktian dalam perkara yang diajukan Partai Keadilan Sejahtera dalam putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan Partai Keadilan Sejahtera di daerah pemilihan Kepulauan Riau, Jawa Timur 8 dan Seluma 2. Konsekuensi dari limitasi waktu yang diberikan undang-undang untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu disamping banyaknya perkara yang harus diputus, membuat proses pembuktian yang dijalankan Mahkamah Konstitusi tidak dapat berjalan maksimal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Ibnu Hakam Musais
"Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, pilkada bukan lagi pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan pemilihan kepala daerah dipilih secara demokratis, sampai saat ini juga masih menimbulkan perdebatan apakah dilaksanakan secara langsung atau dapat pula melalui perwakilan. Kewenangan untuk mengadili perselisihan hasil pilkada di Indonesia telah beberapa kali berpindah dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi, lalu dikembalikan kepada Mahkamah Agung, dan terakhir secara normatif diberikan kepada badan peradilan khusus. Alih-alih menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 untuk mengatur mengenai penyelesaian perselisihan hasil pilkada, pembuat undang-undang justru mengembalikan kewenangan penyelesaian hasil pilkada untuk sementara waktu kepada Mahkamah Konstitusi. Meskipun badan peradilan khusus harus dibentuk paling lambat pada tahun 2024, sebelum dilaksanakannya pilkada serentak nasional, sampai dengan saat ini masih belum ada pembahasan serius untuk mencari format ideal penyelesaian perselisihan hasil pilkada. Terlepas dari hal tersebut, pada praktik ketatanegaraan di negara lain telah dikenal
electoral court yang secara khusus mengadili perselisihan hasil pilkada. Namun demikian, pengaturannya dilandasi oleh pencantuman kewenangan lembaga tersebut pada konstitusi. Dari fakta pengalaman dalam mengadili perselisihan hasil pilkada, Mahkamah Konstitusi diakui oleh berbagai kalangan lebih baik daripada Mahkamah Agung. Untuk itu, penyelesaian perselisihan hasil pilkada sebaiknya diberikan kembali kepada Mahkamah Konstitusi.
Post-decision of the Constitutional Court Number 97/PUU-XI/2013, regional election is no longer as an election mentioned in the Article 22E of the 1945 Constitution of the Repuublic of Indonesia. Until now, debates about provisions of the Article 18 paragraph (4) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, especially about regional heads are democratically elected, should be applied by direct regional election or indirect regional election. The authority to resolving disputes over regional elections results in Indonesia has moved from Supreme Court to Constitutional Court, then returned to the Supreme Court, and finally its given to the special judicial bodies. Instead of executing the Constitutional Courts Decision Number 97/PUU-XI/2013 to regulate about institution to resolve disputes over regional election, law makers even give the authority back to the Constitutional Court, as a temporarily authority until the Special Judicial Bodies established. Although the Special Judicial Bodies should be formed before years of 2024 which is simultaneously national election are held, there are no serious discussion from the lawmakers to have an insight for an institution to resolving the disputes over regional election results. Even though, constitutional practices in other countries began to introduce electoral court as a special judicial bodies to resolving disputes over regional elections results. However, it based on the provision on their constitution. From the fact of experiences in resolving disputes over regional elections results, Constitutional Court is better than the Supreme Court was. For this reason, the authority to resolving disputes over regional elections results, is way much better if returned to the Constitutional Court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T55129
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Nabila
"
ABSTRAKKesuksesan pemilu tidak hanya ditentukan dari terlaksananya pemungutan suara saja, tetapi juga penyelesaian sengketa yang terjadi. Legal standing merupakan sesuatu yang penting dalam mengajukan permohonan gugatan ke MK karena salah satu syarat berbicara di MK adalah memiliki legal standing atau kedudukan hukum. Putusan dapat diterima atau tidak dapat diterima pun tergantung dari legal standing pemohon. Khusus pada sengketa pemilu legislatif 2014, MK melakukan perkembangan legal standing. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) PMK No. 1 Tahun 2014 telah memperluas legal standing pemohon yakni, tidak hanya partai politik dan perseorangan calon DPD, tetapi juga perseorangan Caleg DPR dan DPRD baik provinsi maupun kabupaten/kota. Kebijakan MK inilah yang menimbulkan banyak pro dan kontra di kalangan masyarakat, khususnya para pemerhati konstitusi dan peserta pemilu. Mengingat implikasi yang ditimbulkan dari kebijakan ini, memiliki pengaruh besar terhadap penanganan sengketa hasil pemilu.
ABSTRACTThe success of general elections is not only determined by the voting execution, but also the settlement of the existing disputes. Legal standing is an important factor in filing the lawsuit to the Constitutional Court since having a legal standing is one of the requirements to speak out in The Constitutional Court. The acceptance of decision is based on the applicant’s legal standing. Especially in the 2014 legislative election dispute, the Court did the development of legal standing. The provisions of Article 2 paragraph (1) PMK No. 1 Year 2014 has expanded the legal standing of the applicant, not only political parties and individual candidates for the DPD, but also individual candidates DPR and DPRD both provincial and district / city. This Constitutional Court policy is what raises a lot of pro and contra among the society, especially the observer of the constitution and election participants. Given the implications of this policy, have a major influence in the handling of elections result disputes.
"
2015
S59048
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Hendra Nurtjahjo
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
340.57 Nur l
Buku Teks Universitas Indonesia Library
"Keputusan MK untuk menyerahkan kembali kewenangan dalam memutuskan sengketa pemilihan kepala daerah kepada MA menimbulkan polemik dan pertentangan pendapat dikalangan ahli hukum. Ada pihak yang berpendapat bahwa keputusan itu sudah tepat dan ada pula pihak yang berpendapat bahwa keputusan MK tersebut keliru. Apapun pandangan dari pendapat yang berbeda tersebut, MK telah berkesimpulan bahwa kuputusan itu telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan tak bisa diganggu gugat. Persoalnnya sekarang adalah bagaimana solusi yang terbaik untuk mengantisipasi persoalan hukum lain yang timbul akibat dari keputusan MK tersebut. Sehingga dalam penelitian ini rumusan masalah yang diangkat adalah bagaimana akibat hukum putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014 dalam penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia. Metode penelitian hukum ini adalah normatif, bahan hukum primer adalah UUD NRI Tahun 1945, UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemda, UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan penafsiran. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa keputusan MK untuk mengembalikan kewenangan memutus sengketa pilkada kepada MA sudah tepat, karena pemilihan kepala daerah adalah rezim pemerintahan daerah (pemilu lokal). Akibat dari putusan itu pemerintah harus membentuk lembaga penyelenggara pemilihan kepala daerah yang sederajat dengan KPU yang dapat disebut komisi pemilihan kepala daerah (KPKD) namun lembaga hanya berkedudukan di provinsi dan kabupaten / kota, untuk tingkat kasasi kewenangan diserahkan kepada MA"
JK 11 (1-4) 2014
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Fajar Paulana
"Skripsi ini membahas mengenai Kedudukan Hukum Legal Standing Lembaga Negara dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi yang dikaitkan dengan berbagai putusan Mahkamah Konstitusi. Sengketa Kewenangan Lembaga Negara terjadi ketika suatu lembaga merasa kewenangannya diganggu, dikurangi dan/atau diambil-alih secara tidak sah oleh lembaga lainnya. Lembaga yang dapat menjadi Pemohon atau Termohon dalam beracara sidang Mahkamah Konstitusi hanya lembaga yang memperoleh kewenangan dari Undang-Undang Dasar.
Penelitian ini mengambil rumusan masalah tentang bagaimana penerapan hukum acara sengketa kewenangan lembaga negara dan bagaimana pembatasan subjectum litis dan objectum litis sengketa kewenangan lembaga negara.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang bertumpu pada data sekunder dan disajikan secara deskriptif analitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa sejauh ini Mahkamah Konstitusi telah menerapkan hukum acara sengketa kewenangan lembaga negara dengan konsisten dan telah memberikan penegasan serta pengakuan terhadap lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar 1945.Kata Kunci: Kedudukan Hukum, Sengketa Kewenangan, Subjectum Litis, Objectum Litis, Putusan Perkara SKLN.
This thesis discusses Legal Standing of State Institution in authority disputes in various Constitutional Court decisions. Authority dispute of State Institution occurs when a State Institution or Agency perceive its Authority is being interrupted, reduced and or illegally taken over by another institution. Institutions that act as the Petitioners or the Petitionees in the Constitutional Court's justice proceedings shall be the only institutions authorized by the Constitution. This study takes the outline of issues about how procedural law of State institutions authority dispute is applied and how subjectum litis and objectum litis is restricted in authority dispute of State institutions. The method used in this study is juridical normative based on secondary data and presented descriptive analytic. Results of the study shows that the Constitutional Court has consistently applied procedural law of State institutions authority dispute and has given affirmation and acknowledgment to state institutions which authority is attributed by the 1945 Constitution.Keywords Legal Standing, Authority Dispute, Subjectim Litis, Objectum Liti, Court Decision in Authority Dispute of State Institutions "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library