Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124771 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tira Agustina
"ABSTRAK
Dewasa ini, dalam masyarakat adat suku Tolaki di Kota Kendari, masih ditemukan pengaruh kesadaran hukum adat dalam penyelesaian delik adat, khususnya dalam delik adat Kesusilaan, baik terhadap hakim ketika menerapkan KUHP di pengadilan, maupun terhadap ketua adat ketika menyelesaikan kasus-kasus delik adat Kesusilaan dengan perdamaian, dan hingga saat ini putusan adat masih ditaati, dihormati, dan dipatuhi oleh anggota masyarakat. Dalam hukum adat suku Tolaki, dikenal adanya penjatuhan sanksi adat ?Peohala? yakni penyelesaian secara adat dengan membayar denda adat kepada korbannya, terhadap seseorang yang melanggar delik adat Kesusilaan, yaitu suatu perbuatan yang dianggap merendahkan martabat, dimana delik adat ini harus dikualifikasikan sejajar dengan Kejahatan Kesusilaan dalam KUHP. Tesis ini membahas mengenai bagaimanakah kedudukan hukum adat Tolaki tersebut, apabila ada suatu perbuatan melanggar hukum adat yang ada padanannya dalam KUHP. Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat yuridis-normatif melalui studi kepustakaan terhadap data sekunder yang terdiri dari: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Untuk mendukung data sekunder tersebut, dalam penelitian ini juga digunakan data primer yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan narasumber. Hasil penelitian menyarankan bahwa perlu dukungan pengkajian terhadap penghormatan dan pengakuan, terhadap upaya penyelesaian alternatif, atau putusan ketua-ketua adat, dengan penerapan sanksi yang sesuai hukum adat, yang ditaati dan dihormati oleh masyarakat, adanya suatu rumusan hukum yang kuat mengenai pengakuan putusan hukum adat di dalam undang-undang, dan tidak hanya sebatas pada Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1644.K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991, sebab sifat dari Yurisprudensi tidaklah mengikat bagi hakim, karena hakim Indonesia tidak menganut sistem preseden yang terikat dengan keputusan hakim terdahulu, sebagaimana pada hakim-hakim di negara yang menganut sistem Anglo Saxon (common law).

ABSTRACT
Now days, the Tolaki ethic group in Kendari still practices their Adat law as the resolution to resolve crimes in their society, especially for decency offences, even when the those offences were decided by the judges, by applying the penal through courts, or resolved with the principles of their own Adat law by the Tolaki society leader, such as ?peohala?. In the Tolaki Adat law, ?peohala? can be describe as a type of punishment for someone who commits decency offences by paying some certain fines to the victim for the causes of lost, where this kind of offence shall be treated the same way as the crimes in the penal code. This tesis discusses the preposition of the Tolaki Adat law comparing with the similar crimes in the penal code. This research uses the juridical-normative methode through documentation study of the secondary data, consisting of the primary legal material, secondary legal material and the tertiary legal material. To support the secondary data, this research also uses the primary data by doing deep interview. The result suggested that the implentation of the Tolaki Adat law should be maintained by legislation acknowledgment, and not only by the recognation of the Indonesian Supreme Court Decision No. 1644.K/Pid/1988 15th May 1991, because in the Indonesian legal system the judges are not attached by the ?stare decisis? principle like in the common law (anglo saxon) countries."
2012
T30671
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
H. Hilman Hadikusuma
Bandung: Alumni, 1977
340.5703 HIL e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
H. Hilman Hadikusuma
Bandung: Alumni, 1984
340.570 3 HIL e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bushar Muhammad
Jakarta: Pradnya Paramita, 1991
340.57 BUS p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
H. Hilman Hadikusuma
Bandung: Alumni, 1978
340.509 598 HIL s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bushar Muhammad
Jakarta: Pradnya Paramita, 1991
340.57 BUS a (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Ubbe
"Melalui UU RI. No. 1 Daruxat Tanun 1951, hukum pidana adat, kembali diakui keberadaannya. Hakim "wajib" rnemperhatikan hukum pidana adat dalam memutuskan suatu perkara yang terkait dengan delik adat. Kewajiban itu dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Keberadaan malaweng (pelanggaran kesusilaan siri) dan penyelesaiannya di masyarakat Bugis, diselimuti ketidakcoookan antara nilai-nilai hukum yang dianut oleh masyarakat dan yang dimuat dalam hukum pidana negara. Ketidakcocokan itu tergambarkan pada kenyaiaanz (1) Perbuaian malaweng, seperti incect, zina dan perkosaan, pencabulan yang merusak kehormatan wanita, merupakan perbuatan yang sangat tercela menurut kesusilaan siri' diancam hukuman cambuk atau mati. Sementara menurut hukum pidana negara, hanya dihukum penjara dalam bilangan bulan; (2) Tindakan penegakan siri', sebagai akibat malaweng, meskipun dilakukan dengan penganiayaan dan pembxmuhan, merupakan tindakan legal, legitim, dan diterima oleh masyarakat Bugis, sebagai pemenuhan kewajiban moral. Namun perbuatan itu, merupakan kejahatan yang diancam hukuman berat menurut KUHP dan rnemang dihukum berat oleh pengadilan. Penelitian ini, pada intinya menyoai dan menjawab secara teoritis dan faktual, (1) kebcradaan malaweng dalam masyarakat Bugis; (2) penyelesaian malaweng dan penegakan siri' di masyarakat Bugis; (3) keberadaan malaweng dan pcnegakan siri' dalam putusan hakim selama 10 tahun terakhir. Orang Bugis berani menegakkan siri'-nya dan siri' sanak keluarganya, sekalipun hams membunuh atau terbunuh, karena alasan, (1) percaya orang yang menegakkan siri? tidak akan terbunuh dan bila pun terbunuh, mereka menerimanya sebagai kemalian yang gurih (mati bersantan dan bergula); (2) percaya wanita dan tubuh manusia (seperti muka dan kepala), adalah lambang harga diri- Oleh karena ilu melanggar kehormatan wanita, melakukan percabulan, perkosaan, hubungan scksual dan perkawinan yang melanggar adat, menampar muka atau memukul kepala, menghina dengan kata-kata, adalah pelanggaran terhadap kesusilaan sirii Malaweng dalam masyamkat meliputi, (1) Malaweng Ati, pelanggamn hati; (2) Malaweng Care-care, pelanggaran busana; (3) Malaweng Pakkila 'pelanggaran mata; (4) malaweng udajpelangaran kata-kata'; (5) Malaweng Kedo/Pangkaukeng, 'pelanggaran gerak-gerild, atau yang sekarang disebut porno aksi, seperti: (a) memegang, mencium, merabah buah dada, mencoba memperkosa, mencabuli atau bersetubuh; (b) berpacaran dan bercumbuh rayu; (c) mengumbar gairah seks atau nafsu sahwat (to mangure), (d) pergaulan bebas antara wanita dan laki-laki; (6) Malaweng Luse 'hubungan seks yang tidak sah'. Malaweng kedo/pangkaukeng dan malaweng luse sebagian diselesaikan sendiri oleh masyarakat, baik dengan cara damai maupun dengan 'bertindak sendiri' (self help), sebagain Iagi diselesaikan melalui pengadilan. Kawin lari dan wanita hamil di luar nikah pada umumnya, diselesaikan secara adat, sedangkan yung lainnya, seperti perzinaan, pencabulan dan perkosaan diselesaikan secara yuridis formal di pengadilan, yang didasarkan pada Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951 dikaitkan dengan Pasal-Pasal tertentu KUHP, sesuai dengan delik yang diperkarakan.
By virtue of Emergency Law Number 1 Year 1951, the customary penal law was once again readopted. A judge is obliged to take the customary penal law into consideration when deciding custom-related criminal cases. The obligation seeks to adapts judge's decision to the living law and the local sense of justice. The practice of malaweng (moral offence of siri) and its handling in the Bugis community is cloaked by discrepancies between the values of the local, living law and those of the positive law. The research took place in South Sulawesi, and tried particularly to study in theory and practice, (1) the practice of maiaweng in the Bugis community; (2) the handling of malaweng and the enforcement of sirf' in the Bugis community; (3) the handling of malaweng and the enforcement of siri ' in court decisions during the last 10 years. The Buginese is proud to enforce his siri ' and the siri' of kirnsman, even when it causes him to kill or be killed, because of the believe that (I) person who upholds his siri? can not be killed and although he is killed, the death is a ?tasty? death (a death coated with spice and curry); (2) woman and human body is a symbol of honor and sellldignity, so a violation against woman dignity, obscenity, rape, sexual intercourse and marriage against the custom, a slap or a blow on the head, insulting words, are all seen as offences against siri'. Malaweng consists of (1)Malaweng Ati, heart offence': a person who likes to fancy a sexual intercourse between man and woman: (2) Malaweng Care-care, dress off'ence: a person who likes to dress up in the manner of the opposite sex; (3) Malaweng Palckira, eye offence: looking at a woman with lust, peeping at bathing person or sleeping couple: (4) Malaweng Ada, word offence: talking and speaking dirty words; (5)Malaweng Kedo/Pangkaukeng, gesture offence: nowadays popular as the porn action, such as (a) holding, kissing, touching a woman breast, attempt to rape or to make a sexual intercourse; (b) flirting; (c) uncontrolled sexual desire (tomangure), (d) loose relationship between man and woman; (6) Malaweng Luse, ?illegatimate sexual intercourse. Malaweng Kedo/Pangkaukeng and Malaweng Luse is handled partly by the community itself, either through peaceful settlement or through selg action and partly by the court of justice. Runaway marriage and pregnancy outside the marriage is generally settled by custom, while offences such as adultery and rape is brought to and resolved by the court of justice, in accordance with Article 5 of Emergency Law Number 1 Year 1951."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D1111
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Ubbe
"Melalui UU RI. No. 1 Daruxat Tanun 1951, hukum pidana adat, kembali diakui keberadaannya. Hakim "wajib" memperhatikan hukum pidana adat dalam memutuskan suatu perkara yang terkait dengan delik adat. Kewajiban itu dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Keberadaan malaweng (pelanggaran kesusilaan siri) dan penyelesaiannya di masyarakat Bugis, diselimuti ketidakcoookan antara nilai-nilai hukum yang dianut oleh masyarakat dan yang dimuat dalam hukum pidana negara. Ketidakcocokan itu tergambarkan pada kenyaiaanz (1) Perbuaian malaweng, seperti incect, zina dan perkosaan, pencabulan yang merusak kehormatan wanita, merupakan perbuatan yang sangat tercela menurut kesusilaan siri' diancam hukuman cambuk atau mati. Sementara menurut hukum pidana negara, hanya dihukum penjara dalam bilangan bulan; (2) Tindakan penegakan siri', sebagai akibat malaweng, meskipun dilakukan dengan penganiayaan dan pembxmuhan, merupakan tindakan legal, legitim, dan diterima oleh masyarakat Bugis, sebagai pemenuhan kewajiban moral. Namun perbuatan itu, merupakan kejahatan yang diancam hukuman berat menurut KUHP dan rnemang dihukum berat oleh pengadilan. Penelitian ini, pada intinya menyoai dan menjawab secara teoritis dan faktual, (1) kebcradaan malaweng dalam masyarakat Bugis; (2) penyelesaian malaweng dan penegakan siri' di masyarakat Bugis; (3) keberadaan malaweng dan pcnegakan siri' dalam putusan hakim selama 10 tahun terakhir. Orang Bugis berani menegakkan siri'-nya dan siri' sanak keluarganya, sekalipun hams membunuh atau terbunuh, karena alasan, (1) percaya orang yang menegakkan siri? tidak akan terbunuh dan bila pun terbunuh, mereka menerimanya sebagai kemalian yang gurih (mati bersantan dan bergula); (2) percaya wanita dan tubuh manusia (seperti muka dan kepala), adalah lambang harga diri- Oleh karena ilu melanggar kehormatan wanita, melakukan percabulan, perkosaan, hubungan scksual dan perkawinan yang melanggar adat, menampar muka atau memukul kepala, menghina dengan kata-kata, adalah pelanggaran terhadap kesusilaan sirii Malaweng dalam masyamkat meliputi, (1) Malaweng Ati, pelanggamn hati; (2) Malaweng Care-care, pelanggaran busana; (3) Malaweng Pakkila 'pelanggaran mata; (4) malaweng udajpelangaran kata-kata'; (5) Malaweng Kedo/Pangkaukeng, 'pelanggaran gerak-gerild, atau yang sekarang disebut porno aksi, seperti: (a) memegang, mencium, merabah buah dada, mencoba memperkosa, mencabuli atau bersetubuh; (b) berpacaran dan bercumbuh rayu; (c) mengumbar gairah seks atau nafsu sahwat (to mangure), (d) pergaulan bebas antara wanita dan laki-laki; (6) Malaweng Luse 'hubungan seks yang tidak sah'. Malaweng kedo/pangkaukeng dan malaweng luse sebagian diselesaikan sendiri oleh masyarakat, baik dengan cara damai maupun dengan 'bertindak sendiri' (self help), sebagain Iagi diselesaikan melalui pengadilan. Kawin lari dan wanita hamil di luar nikah pada umumnya, diselesaikan secara adat, sedangkan yung lainnya, seperti perzinaan, pencabulan dan perkosaan diselesaikan secara yuridis formal di pengadilan, yang didasarkan pada Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951 dikaitkan dengan Pasal-Pasal tertentu KUHP, sesuai dengan delik yang diperkarakan.
By virtue of Emergency Law Number 1 Year 1951, the customary penal law was once again readopted. A judge is obliged to take the customary penal law into consideration when deciding custom-related criminal cases. The obligation seeks to adapts judge's decision to the living law and the local sense of justice. The practice of malaweng (moral offence of siri) and its handling in the Bugis community is cloaked by discrepancies between the values of the local, living law and those of the positive law. The research took place in South Sulawesi, and tried particularly to study in theory and practice, (1) the practice of maiaweng in the Bugis community; (2) the handling of malaweng and the enforcement of sirf' in the Bugis community; (3) the handling of malaweng and the enforcement of siri ' in court decisions during the last 10 years. The Buginese is proud to enforce his siri ' and the siri' of kirnsman, even when it causes him to kill or be killed, because of the believe that (I) person who upholds his siri? can not be killed and although he is killed, the death is a ?tasty? death (a death coated with spice and curry); (2) woman and human body is a symbol of honor and sellldignity, so a violation against woman dignity, obscenity, rape, sexual intercourse and marriage against the custom, a slap or a blow on the head, insulting words, are all seen as offences against siri'. Malaweng consists of (1)Malaweng Ati, heart offence': a person who likes to fancy a sexual intercourse between man and woman: (2) Malaweng Care-care, dress off'ence: a person who likes to dress up in the manner of the opposite sex; (3) Malaweng Palckira, eye offence: looking at a woman with lust, peeping at bathing person or sleeping couple: (4) Malaweng Ada, word offence: talking and speaking dirty words; (5)Malaweng Kedo/Pangkaukeng, gesture offence: nowadays popular as the porn action, such as (a) holding, kissing, touching a woman breast, attempt to rape or to make a sexual intercourse; (b) flirting; (c) uncontrolled sexual desire (tomangure), (d) loose relationship between man and woman; (6) Malaweng Luse, ?illegatimate sexual intercourse. Malaweng Kedo/Pangkaukeng and Malaweng Luse is handled partly by the community itself, either through peaceful settlement or through selg action and partly by the court of justice. Runaway marriage and pregnancy outside the marriage is generally settled by custom, while offences such as adultery and rape is brought to and resolved by the court of justice, in accordance with Article 5 of Emergency Law Number 1 Year 1951."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
D877
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vollenhoven, Cornelis van, 1874-1933
Jakarta: Djambatan, 1987
340.57 VOL pt
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Anita Suyatman
"Peranan Mamak dalam Masyarakat Hukum Adat Minangkabau Dulu dan Sekarang, Skripsi, Februari, 1 989. Hukum Adat Minangkabau mengenal sist4m matrilineal yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Minangkabau yaitu dalam menentukan hubungan keluarganya hanya menghubungkan diri dengan ibunya saja untuk seterusnya ke atas hanya melalui penghubung yang perempuan saja sampai pada perempuan yang dianggap sebagai asal dari mereka. Akibat dari sistem ini maka setiap orang dalam masyarakat Minangkabau hanya akan satu klen dengan ibunya dan satu klen dengan keluarga ibunya. Bentuk perkawinan asli yang berlaku pada maSyarakat Minangkabau adatah perkawinan semendo bertandang. Suami hanya dianggap sebagai tamu yang datang menetap pada malam hari di rumah isterinya dan pagi harinya kembali ke rumah orang tuanya. Dalam pada itu dikenal seorang laki-laki saudara kandung ibu yang disebut Mamak. Ia sangat berpengaruh terutama dalam kehidupan kemenakan-kemenakannya, rnisalnya dalam mendidik dan mengasuh kemenakannya agar menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. Seperti kata pepatah adat "Anak dipangku kemenakan dibimbiang orang kampung dipatenggangkan". Si ayah dari anak tersebut pada hakekatnya tidak mempunyai kekuasaan terhadap anaknya karena menurut Hukum Adat Minangkabau. Mamaklah yang memegang peranan memimpin kemenakan-kemenakannya dalam satu paruik sampai satu nagari. Peranan mamak dalam mengurus harta pusaka dan menyelesaikan segala macam persengketaan yang timbul di antara sesama anggota keluarganya tanpa menyerahkan masalah tersebut kepada orang ketiga. Namun dalam kenyataannya dewasa ini pada masyarakat Minangkabau yang bertempat tinggal di perkotaan sudah hampir tidak mengena! peranan- mamak lagi, kecuali masih ada kemungkinan pada masyarakat Minangkabau yang masih tinggal di pedalaman daerah Sumatra barat dimana Hukum Adat daerah setempat masih dijunjung tinggi keberadaannya dalam mengatur kehidupan masyarakat setempat. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>