Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 57337 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
S7998
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Kusumadi Hartono
"Hakekat dasar dari pembangunan suatu bangsa dimanapun di dunia adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh penduduknya. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui cara yang dianggap paling sesuai dengan kernampuan serta sumber daya bangsa itu sendiri. Dinamika dalam melaksanakan pembangunan membutuhkan perencanaan, strategic koordinasi serta pengawasan yang cermat. Upaya pemerintah tersebut juga akan sia-sia bila rakyat tidak mcmberikan dukungan sepenuhnya. Empat Modernisasi, merupakan tujuan pembangunan nasional Republik Rakyat Cina untuk mewujudkan masyarakat sosialisme pada akhir abad ke 20. Pencanangan pola pcmbangunan jangka panjang ini dirnulai secara resmi sctelah diadakan revisi terhadap Konstitusi tahun 1954 dan tahun 1975. Dalam Konstitusi tahun 1978, pola pembangunan jangka panjang Republik Rakyat Cina memasuki era baru, yang sebelurnnya radikalisme merupakan ciri khas, kini semangat reformis menjadi dasar bagi pola pembangunan.Pemimpin Republik Rakyat Cina, Deng Xiaoping menerapkan strategi pembangunan yang berbeda dari pendahulunya, Mao Zedong. Pada prinsipnya apa yang menjadi tujuan bagi keduanya adalah sama, tetapi pembahan strategi tersebut juga akan mcmbawa pengaruh pada pcrubahan esensi dasar pola pembangunan Republik Rakyat Cina dalam jangka panjang."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S12854
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Azmirawati
"Skripsi ini menyimpulkan bahwa sistim pemilikan tanah yang tidak merata di Cina menimbulkan berbagai macam akibat, seperti pemberontakan melawan tuan tanah, pemerintah maupun kekuatan-ke_kuatan lainnya. Pemimpin PKC menjalankan pembaruan sistim pemilikan tanah tidak saja untuk merubah kehidupan para petani tetapi juga untuk menarik massa petani agar mendukung Partai. Kekuatan massa peta_ni ini digunakan sebagai kekuatan utama dalam menjalankan perjuangan revolusioner. Tahap ini dianggap sebagai langkah awal dari program komunis dalam menjalankan pembaruannya di segala bidang. Akhirnya dapat disimpulkan dari penulisan skripsi ini, bahwa gerakan perubahan sistim pemilikan tanah (1950-1953) ternyata hanya mampu untuk merubah sebagian kecil saja dari kehidupan petani-petani Cina. Hal ini disebabkan karena Partai terlalu tergesa-gesa untuk melanjutkannya dengan sistim Kolektivisasi yang menasionalisasikan seluruh tanah."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yehuda Bimo Yudanto Purwantoro Putro
"Kajian ini menganalisis mengenai sikap Brunei Darussalam yang lebih memilih bekerja sama dengan RRC dibandingkan meminta bantuan AS, meski RRC adalah musuh Brunei Darussalam dalam konflik laut Cina Selatan. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan berfokus pada desk study. Melalui tiga variabel teori kerangka analisis Small State Foreign Policy Behaviour, yaitu power and weakness, the availability of allies, dan the vulnerability of state, diidentifikasi bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi Brunei Darussalam lebih memilih bekerja sama dengan RRC. Pertama, Brunei Darussalam memandang RRC memiliki power yang lebih besar daripada AS terutama dalam bidang ekonomi. Kedua, RRC memiliki potensi yang lebih besar daripada AS untuk dapat membantu Brunei Darussalam memulihkan keadaan ekonominya yang dilanda krisis. Oleh sebab itu, Brunei Darussalam sebagai aktor rasional memandang bahwa pemulihan ekonomi lebih utama dibanding melakukan konfrontasi terhadap RRC di laut Cina Selatan. Ketiga, terdapat ketergantungan ekonomi dan militer yang dimiliki oleh Brunei Darussalam terhadap RRC sehingga Brunei Darussalam lebih memilih melakukan strategi bandwagoning terhadap RRC.

This study analizes the behaviour of Brunei Darussalam who took a stand to cooperate with People’s Republic of China (PRC) instead of United States (US), although PRC was the enemy of Brunei Darussalam on South China Sea conflict. This study uses qualitative research method which focused on desk study. There are three variables of Small State Foreign Policy Behaviour, which are power and weakness, the availability of allies, and the vulnerability of state, to identify Brunei Darussalam’s preferency. First, Brunei Darussalam took a stand by bandwagoning towards PRC because for Brunei Darussalam, PRC has bigger power and capability than US, especially economics power. Second, PRC has bigger potential than US to help Brunei Darussalam overcome its economy crisis. As a rational actor, Brunei Darussalam perceives economic recovery was more important than to resolve its dispute with PRC in South China Sea. Third, Brunei Darussalam’s economic and military dependence to PRC. Those three factors are identified as a main reason which cause Brunei Darussalam’s Bandwagoning strategy towards PRC."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1985
S7823
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adjie Aditya Purwaka
"Skripsi ini menganalisa kebijakan The Eleventh Five-Year Plan for National Economic and Social Development of the People?s Republic of China sekaligus menganalisa perubahan terhadap kebijakan pembangunan ekonomi nasional dan pembangunan sosial Republik Rakyat Cina (RRC) dalam dokumen pemerintah Report on The Implementation of Plan for National Economic and Social Development and on Draft Plan for National Economic and Social Development yang merupakan tindakan preventif pemerintah untuk mengontrol perkembangan dampak krisis terhadap perekonomian nasional RRC. Selain itu, perubahan terhadap kebijakan ekonomi nasional juga bertujuan sebagai upaya pemerintah untuk mempertahankan laju perkembangan ekonomi nasional.
Sepanjang tahun 2008 hingga kuartal pertama tahun 2009, RRC mengalami perlambatan dalam pembangunan ekonomi nasional. Dengan menganalisa fenomena perlambatan pembangunan ekonomi nasional, pemerintah RRC meyakini bahwa hal tersebut terjadi akibat adanya dampak krisis ekonomi global yang mulai merambah perekonomian RRC melalui beberapa sektor penting perekonomian RRC. Pemerintah RRC memprediksi bahwa krisis ekonomi global akan mampu mempengaruhi perekonomian nasional untuk jangka waktu yang panjang, dan cenderung mengakibatkan dampak yang lebih besar jika tidak ditangani dengan seksama. Selain melakukan analisa terhadap kebijakan pembangunan ekonomi nasional dan pembangunan sosial RRC, skripsi ini juga mencoba untuk melakukan analisa dampak-dampak yang muncul dan mempengaruhi perekonomian dan kondisi sosial RRC.
This minithesis aimed to analyze The Eleventh Five-Year Plan for National Economic and Social Development Policy of the People's Republic of China as well as to analyze changes of national economy development policy and social development of People's Republic of China (PRC) in government document's Report on The Implementation of Plan for National Economic and Social Development and on Draft Plan for National Economic and Social Development as a prevention action from the government in order to control the development of critical impact to the national economy of PRC. Additionally, changes to national economy policy also aimed as government's attempts to sustain the blooming of national economy.
Throughout the year of 2008 until the first three months of 2009, PRC was facing a slowdown in its national economy development. Through analyzing the phenomena, the government of PRC convinced that such event occurred as an effect from global economic crisis which started to resemble China?s economy through some important sectors of PRC?s economy. The government predicted that the global economic crisis will be able to affect the national economy in the long run and have the tendency to cause adverse consequences if no action to be taken accurately. Besides analyzing the national economy development policy and social development of PRC, this minithesis also tried to analyze impacts that occurs and affect the economy and social condition of PRC.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Luh Kerti Maryasih
"Tesis ini menganalisa tentang intervensi yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam proses penyelesaian konflik Kamboja periode tahun 1991-1993. Konflik yang terjadi di Kamboja memang sangat unik, dimana konflik yang tadinya bersifat lokal berkembang menjadi regional dan dengan terlibatnya negara-negara besar seperti, Amerika Serikat dan Uni Soviet yang mendukung fraksi-fraksi yang ada di Kamboja konfliknya berkembang menjadi berskala internasional.
Upaya-upaya kearah penyelesaian konflik tersebut telah lama dilakukan oleh organisasi regional ASEAN yang merasa khawatir akan meluasnya konflik sampai mengancam keamanan kawasan, namun usaha ASEAN tersebut tidak membuahkan hasil yang diharapkan. PBB juga telah turun tangan untuk mengatasi konflik yang semakin rumit, namun juga tidak membuahkan hasil yang memuaskan, bahkan keadaan semakin tidak terkendali dengan terlibatnya China dan Uni Soviet yang memberikan dukungan kepada masing-masing fraksi di Kamboja.
Melihat kegagalan dari upaya-upaya perdamaian tersebut, DK-PBB mulai tahun 1990 secara lebih serius menangani masalah Kamboja. MeIalui perjanjian Paris dihasilkan suatu kerangka kerja untuk PBB dan disepakati dibentuknya Supreme National Council (SNC). SNC merupakan lembaga tertinggi sebagai wakil Kamboja dalam organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga yang keanggotaannya terdiri dari masing-masing fraksi. Masing-masing fraksi juga akhirnya menyetujui dibentuknya UNTAC (United Nation Transition Authority on Campuchea) sebagai wakil PBB di Kamboja untuk melaksanakan administrasi Kamboja sebelum terbentuknya pemerintahan yang sah hasil pemilu. Misi UNTAC ini merupakan misi PBB yang termahal dan terbesar selama perang dingin.
Penelitian dalam tesis ini bertujuan untuk menjelaskan keberhasilan intervensi PBB dalam menjalankan misi UNTAC sebagai operasi penjaga perdamaian (PKO) PBB di Kamboja dalam proses penyelesaian konflik.
Teori yang digunakan sebagai alat bantu analisa dalam tesis ini adalah conflict resolution. Conflict resolution merupakan suatu proses yang berkaitan dengan bagaimana menemukan jalan untuk mengakomodasi kepentingan eksplisit dari pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa. Dengan conflict resolution dalam PKO, dimaksudkan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh UNTAC adalah untuk mengurangi eskalasi konflik. Peace keeping dalam hal ini telah memberikan kesempatan kepada para pihak yang berkonflik untuk mencapai persetujuan melalui perundingan, kemudian juga dilakukan tindakan coercion dalam kasus Kamboja melalui intervensi.
Teori intervensi yang mengacu pada pemikian realis dikemukakan oleh Nye, Joseph S.Jr. adalah mengacu pada tindakan eksternal yang mempengaruhi masalah-masalah domestik dari negara lain yang berdaulat. Intervensi yang mengacu pada pandangan realis menurut Joseph Jr. tersebut dapat dibenarkan ketika ia diperlukan untuk memperkuat balance of power dan terciptanya tatanan yang damai (order and peace). Dalam hal ini operasi perdamaian yang dilakukan oleh PBB di Kamboja adalah demi terciptanya perdamaian dan keamanan di wilayah Asia Tenggara sehingga intervensi diperbolehkan.
Operasi penjaga perdamaian PBB di Kamboja merupakan operasi penjaga perdamaian generasi kedua yang bersifat multidimensi. Dimana mandat-madat yang diembannya tidak hanya melibatkan tugas-tugas kemiliteran saja namun lebih luas lagi mencakup demobilisasi dan reintegrasi; perlucutan senjata; bantuan kemanusiaan; dan pemulangan pengungsi; bantuan Pemilu; penegakan HAM; menjaga kearnanan dan ketertiban masyarakat; serta menyapu ranjau darat.
Dari berbagai fakta yang dianalisa dapat ditarik kesimpulan bahwa intervensi PBB dalam proses penyelesaian konflik Kamboja termasuk sukses dengan terlaksananya pemilihan umum yang adil dan bebas sehingga terbentuk suatu pemerintahan yang sah di Kamboja.
"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4275
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Runtukahu, Maradona
"Dalam upaya mencapai perdamaian di Kamboja, maka diperlukan upaya penyelesaian melalui mediasi pihak ketiga. Dalam proses panjang menuju perdamaian tersebut, peranan Indonesia sangat jelas terasa dan terlihat melalui keterlibatan para diplomatnya seperti Menlu Mochtar Kusumaatmadja dan Ali Alatas yang memegang peranan vital dalam setiap langkah mediasi yang ditempuh demi tercapainya perdamaian. Tesis ini mencoba untuk meneliti bagaimanakah peran Indonesia dalam proses penyelesaian konflik Kamboja selama periode tahun 1984 hingga tercapainya Kesepakatan Paris 1991 yang menandai berakhirnya konflik Kamboja. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dan akan menggunakan teori mediasi untuk menganalisa peranan Indonesia.

In an attempt to seek peace in Cambodia, it requires the mediation of a third party. Throughout the long process, the role of Indonesia is clearly shown through the involvement of its Diplomats namely Foreign Ministers Mochtar Kusumaatmadja and Ali Alatas who played a crucial part within every step of mediation. This thesis will aim in the research of how Indonesia played its prominent role in the peace settlement of Cambodian conflict during the periods of 1984 until the attainment of the Agreements on a Comprehensive Political Settlement of the Cambodian Conflict in 1991 that marks the end of the conflict in Cambodia. This thesis is a descriptive research and will use the theory of mediation to analyse the Indonesian?s role."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
T26231
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tubagus Arie Rukmantara
"Setelah kemerdekaan dicapai oleh Indonesia, selain konsolidasi politik dalam negeri, reorientasi kebijakan luar negeri juga menjadi salah satu fokus utama. Hubungan awal Indonesia-Kamboja sudah terjadi sejak masa pra-Angkor saat Raja Jayawannan II tercatat pemah datang ke Jawa meskipun statusnya ketika datang ke Jawa masih menjadi debat diantara pars arkeolog dan sejarawan. Hubungan diplomatik dengan Kamboja jugs diresmikan pads saat pemerintahan Sukarno. Kebijakan Sukarno, baik yang berupa penjalinan hubungan dengan Kamboja maupun menjadi negara yang dominan di Asia Tenggara dilanjutkan oleh penerusnya, Presiden Suharto. Bukti dari berlanjutnya kebijakan Sukarno di era pemerintahan Presiden Suharto untuk tetap mendekatkan diri dengan Kamboja, ditunjukkan oleh Presiden Suharto dengan menjadikan Kamboja sebagai negara Asia Tenggara yang pertama dikunjunginya setelah dia menjabat sebagai Presiden. Maka dan itu, Indonesia menjadi sangat berkepentingan ketika terjadi pergantian kekuasaan dari Pangeran Sihanouk ke Jenderal Lon Nol lewat sebuah kudeta yang didominasi oleh militer di tahun 1970. Beberapa sarjana mempercayai bawwa kudeta ini diinspirasikan oleh peristiwa G 30 S di Indonesia yang dianggap kemenangan militer terhadap komunis. Indonesia tetap menjalin hubungan diplomatiknya dengan langsung mengakui pemerintahan Lon Nol dan tidak mengakui pemerintahan pengasingan Pangeran Sihanouk dengan alasan bahwa Indonesia hanya akan mengakui pemerintahan yang didirikan di ibukota negara yang bersangkutan dan tidak akan pernah mengakui pemerintahan pengasingan. Namun pengakuan terhadap pemerintahan Lon Nol dianggap tidak cukup untuk menjamin stabilitas dan perdamaian di Kamboja. Berdasarkan pemikiran tersebut, pemerintah Indonesia lewat Menlu Adam Malik mengadakan konferensi intemasional yang membahas penyelesaian masalah Kamboja di tahun 1970 yang dikenal dengan Konferensi Jakarta Saat terjadi lagi pergantian pemerintahan dari Lon Nol ke rezim Khmer Merah yang dipimpin oleh Polpot, Indonesia tetap melanjutkan hubungan diplomatiknya dengan pemerintahan di Pnom Penh. Menurut beberapa saijana kudeta yang dilakukan Khmer Merah juga diinspirasikan dari peristiwa G 30 S yang ditafsirkan oleh Pol Pot sebagai duduknya dominasi militer sebagai penguasa di Indonesia. Sejak awal, keinginan pemerintah Indonesia ialah terbentuknya Kamboja yang non-blok, netral, dan independen tanpa intervensi kekuatan luar manapun. Pandangan tersebutlah yang dijalankan oleh pengganti Adam Malik, Prof Dr. Mochtar Kusumaatmadja. Menlu Mochtar memberikan respon yang cepat lewat jalur ASEAN saat terjadinya perebutan kekuasaan dan Khmer Merah ke kelompok PRK (People's Republic of Kampuchea). Perebutan kekuasaan yang dibantu oleh Vietnam tersebut dipandang oleh ASEAN sebagai invasi Vietnam terhadap Kamboja. Negara-negara anggota ASEAN juga terpecah dalam pandangan berbeda tentang siapa pihak yang dianggap paling berbahaya dalam kemelut di Kamboja tersebut. Namun perbedaan pandangan tersebut tidak sampai memecah ASEAN secara organisasi. ASEAN bahkan tetap berjuang bersama di sidang-sidang PBB untuk membahas penyelesaian masalah Kamboja secepatnya dan meminta perhatian internasional terhadap masalah tersebut. Berkat perjuangan diplomatik terus-menerus dan pencarian dukungan kepada negara-negara anggota PBB lainnya, ASEAN berhasil mendorong dilahirkannya resolusi tentang pelaksanaan International Conference on Kampuchea yang dilaksanakan di New York pada tahun 1981. Usaha-usaha lewat ICK ternyata kurang membawa dampak pada sikap Vietnam, oleh karena itu ASEAN menempuh strategi diplomatik yang lain dengan mendukung pembentukan koalisi antara kelompok-kelompok anti PRK-Vietnam yang terdiri dari Funcinpec, KPNLF, dan Khmer Merah. Pembentukan Coalition Government of Democratic Kampuchea tersebut bahkan mengambil tempat di negara-negara ASEAN. Dukungan ASEAN berkembang menjadi dukungan internasional saat ASEAN berhasil memperjuangkan sebuah resolusi yang mengakui CGDK sebagai perwakilan dari Kamboja di PBB. Berdasarkan kekhawatiran bahwa Kamboja tetap akan dikuasai Vietnam, diplomat-diplomat ASEAN merumuskan kembali berbagai strategi diplomatik dalam bentuk beberapa proposal perdamaian. Malaysia menggjukan proposal Proximity Talks yang akan mempertemukan negara-negara Indocina dengan negara-negara ASEAN. Namun proposal ini ditolak karena ketidaksetujuan anggota ASEAN yang dekat dengan Cina, Thailand dan Singapura. Pada saat yang berdamaan, Indonesia menjalankan kebijakan dual track diplomacy yang berarti mendekatkan diri ke Vietnam dan sekaligus memperjuangkan proposal-proposal yang disetujui ASEAN. Di pertengahan dekade 1980-an, Menlu Mochtar melontarkan ide diselenggarakannya sebuah cocktail party untuk memudahkan semua pihak yang bertikai untuk membicarakan masa depan Kamboja secara informal tanpa label politik apapun. Sebagai kelanjutan dari perwujudan ide tersebut, Menlu Mochtar ditunjuk oleh ASEAN sebagai interlocutor dalam mengadakan negosiasi dengan Vietnam . Berbagai pertemuan dan pembicaraan dilakukan Menlu Mochtar dalam menjalankan fungsinya tersebut. Dalam kunjungannya ke Vietnam, Menlu Mochtar dan Menlu Nguyen CO Thach akhimya melahirkan kesepakatan yang disebut Ho Chi Minh City Understanding yang menjadi landasan dasar dari pelaksanaan cocktail party yang kemudian disebut JIM (Jakarta Informal Meeting). Bagi kepentingan nasional, keberhasilan peran Indonesia ini merupakan implementasi dari kebijakan bebas-aktif yang juga menegaskan bahwa sikap non-interference (tidak campur tangan) bukan berarti non-involvement (tidak turut serta). Keberhasilan Indonesia ini membawa Indonesia sebagai kekuatan yang dominan di Asia Tenggara sesuai dengan keinginan baik Sukarno maupun Suharto. Dominasi Indonesia di Asia Tenggara kemudian didukung dengan terciptanya stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara yang memperlancar proses pembangunan di tiap-tiap negara Asia Tenggara dan jauh dari campur tangan kekuatan asing di luar kawasan. Bagi ASEAN hal tersebut merupakan keberhasilan penerapan konsep ZOPFAN sekaligus memperlihatkan bahwa organisasi ini lebih mengutamakan kerukunan diatas perbedaan pendapat yang kemungkinan dapat memecah para anggotanya. Indonesia sebagai salah satu pendiri dan penggagas ASEAN merasakan dampak yang sangat positif dari keberhasilan diplomasi tersebut. Indonesia kembali berhasil menempatkan dirinya sebagai salah satu negara terpandang di dunia intemasional bukan dengan politik mercusuarnya dan keberpihakan terhadap blok tertentu, namun dengan upaya menyelesaikan masalah di kawasan oleh negara-negara di kawasan itu sendiri. Keberhasilan terbesar Indonesia ialah mengangkat masalah Kamboja menjadi agenda internasional yang harus dipecahkan oleh seluruh masyarakat dunia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
S12596
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Budiman
"ABSTRAK
Arief Budiman. Cina dan Kamboja : Tinjauan umum mengenai kepentingan dan Sikap Cina Terhadap Masalah Kamboja (1978-1982). Skripsi. (di bawah bimbingan Dr. A Dahana dan Priyanto Wibowo, SS). Fakultas Sastra Universitas Indonesia. 1996. Masalah Kamboja dalam konteks ini adalah kehadiran Vietnam di Kamboja pada tahun 1979 yang diawali oleh penyerbuan besar-besaran oleh sekitar 150.000 orang tentara Vietnam ke Kamboja pada akhir tahun 1978. Tujuan. dari penyerbuan ini adalah untuk menggulingkan pemerintahan komunis Pal Pot yang anti-Vietnam dukungan Cina, dan kemudian menempatkan Heng Samrin yang pro-Vietnam sebagai gantinya. Bagi Cina, keterlibatannya di dalam masalah Kamboja ini lebih dipengaruhi oleh persepsinya akan ancaman yang datang dari Uni Soviet melalui dukungannya kepada Vietnam. Cina menganggap Soviet berusaha mengepungnya dari selatan dengan cara menempatkan wilayah Indocina sebagai daerah pengaruhnya, dan kemungkinan akan meluas ke wilayah ASEAN. Untuk menghadapi tekanan ini Cina yang saat itu juga sedang mengalami konflik perbatasan dengan Vietnam, menggunakan strategi tekanan militer langsung ke Vietnam dan memberikan dukungan kepada kelompok-kelompok perlawanan Kamboja anti-Vietnam. Strategi ini dikombinasikan Cina dengan mengadakan pendekatan-pendekatan diplomatis kepada ASEAN sehingga berhasil terbentuk Pemerintahan Koalisi Demokratik Kamboja pada tahun 1482 berupa penggabungan tiga kelompok perlawanan Kamboja anti Vietnam, dengan para pemimpinnya yaitu Pangeran Sihanouk, Son Sann, dan Pal Pot

"
1996
S12835
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>