Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 195460 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irwan
"Tesis ini membahas mengenai peran dan tanggung jawab Notaris selaku pejabat umum dalam membuat perjanjian kredit yang status hukum objek jaminannya berupa hak atas tanah belum beralih ke tangan debitur PT.Y dalam hal ini Notaris sangat berperan penting dalam pembuatan perjanjian kredit yang dimintakan oleh pihak Bank X dikarenakan terdapat tanggung jawab yang harus dipikul oleh Notaris IS dalam pembuatan akta tersebut. Dalam perjanjian kredit Bank X prinsip kehati-hatian ini tidak dilaksanakan oleh Notaris IS.
Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang menekankan pada penggunaan norma-norma hukum secara tertulis serta didukung dengan akta perjanjian kredit Bank X terkait dengan peran Notaris dalam Perjanjian Kredit. Selain itu tipe penelitian yang digunakan penelitian ekplanatoris artinya penelitian berusaha menjelaskan objek penelitian yaitu mengenai peran Notaris dalam perjanjian kredit yang status objek hak atas tanahnya belum jelas dikaitan dengan akta perjanjian antara Bank X dengan PT. Y.
Dari hasil penelitian studi kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa, perjanjian kredit antara Bank X dengan PT.Y menjadi batal demi hukum karena terdapat kausa tidak halal bertentangan dengan peraturan yang berlaku dan peran Notaris dalam hal ini seharusnya memberikan penyuluhan hukum dan merealisasikan akta tersebut dengan benar agar tidak terjadi masalah dikemudian harinya, akibat dari akta tersebut Notaris IS dapat dijatuhi sanksi Administratif, sanksi Perdata, maupun sanksi Pidana dikarenakan tidak menjalankan prinsip kehati-hatian dalam hal pembuatan akta.

This thesis discusses about the role and responsibility of Notary as public official in drafting a credit agreement whereas the warranted object? legal status, which is a land, has not been transferred to the company Y as a debtor. In this case, the Notary held a very important role in drafting a Credit Agreement which is requested by bank X due to the responsibility being shouldered by Notary IS. However, Notary IS failed to abide this principle and affected the Credit Agreement of bank X.
This research utilizes normative juridical approach by emphasizing on the application of written legal norms supported by the Credit Agreement of bank X to highlight the role of Notary in Credit Agreement. In addition, explanatory research was also applied to explain the research object which points out to the role of Notary in Credit Agreement which involves an unidentified warranted land as a legal object in relation with the Credit Agreement between Bank X and Company Y.
Based upon the case study, it can be concluded that the Credit Agreement became nullified by law due to the unlawful clause which violates the applicable regulation and Notary should have provided legal counsel and amended the agreement accordingly to prevent further errors. Based upon this face, Notary IS is liable for administrative sanctions, civil sanctions and criminal sanctions for failing to apply precautionary principle in drafting the agreement.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30654
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Richsan Suprayogo
"Notaris dan PPAT sebagai Pejabat Umum yang diberikan kewenangan oleh negara untuk membuat akta otentik sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 untuk Notaris dan PP 37 Tahun 1998 untuk PPAT seringkali dihadapkan dengan permasalahan yang menyangkut peran dan tanggung jawabnya sebagai pejabat umum dalam pembuatan Akta Jual Beli Tanah (AJB) dan Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) terkait dengan keterangan palsu yang diberikan oleh para pihak dalam pembuatannya terlebih apabila kedua akta tersebut bertautan dengan perjanjian kredit. Dalam skripsi ini penulis mengkaji peran dan tanggung jawab Notaris dan PPAT dalam pembentukan Akta Jual Beli dan APHT dan penerapan asas praduga sah (presumption iustae causa) dan asas kehati-hatian pada pelaksanaan tugas jabatan notaris dalam keadaan para pihak beritikad tidak baik, serta status dan kedudukan kedua akta tersebut setelah diketahuinya adanya itikad tidak baik dari para pihak. Adanya itikad tidak baik dari para pihak merupakan suatu hal materiil yang tidak perlu dibuktikan oleh Notaris/PPAT, terhadap akta tersebut apabila dapat dibuktikan adanya cacat materiil di dalamnya maka akta tersebut berkedudukan sebagai akta dibawah tangan. Notaris/PPAT dalam pelaksanaan tugas jabatannya perlu memperhatikan penerapan asas Praduga Sah dan Asas-Asas lainnya guna menjamin integeritas mereka dan terlebih memberikan perlindungan terhadap-nya
Public Notary and Land Deed Official as Public Officers are authorized by the state to make an authentic deed as set out in Law No. 2 of 2014 jo. Law No. 30 of 2004 for the Notary and PP 37 of 1998 for Land Deed Official as legal standing are often confronted with issues relating to its role and responsibilities as the public officer in the making of the Contract of Sale (AJB) and the Mortgage Deed (APHT) in relation to false evidence provided by the parties in their making when that two deeds are linked to a credit agreement. In this thesis the author examines the role and responsibilities of the Notary and PPAT in the drafting of Contract of Sale and Mortgage Deed and the application of Presumption of Legitimacy (Presumptio Iustae Causa) and the principle of caution due to the performance of the public notary and Land Deed Official in the event of adverse parties, as well as the status and the second position of the deed after being aware of bad faith from the parties. The existence of a bad faith by the parties is a material matter which the Public Notary / Land Deed Official does not need to prove, if it can be proven that there is a material defect that decrease is status as Authentic Deed to Privately Made Deed. The Public Notary / Land Deed Ofccial in running it’s duties should consider the application of the Presumption of Legitimacy and other Fundamentals to ensure their integrity and provide extra protection amongst them."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi Yunitasari
"Menurut pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata "Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat". Jasa Notaris sebagai Pejabat Umum yang membuat akta-akta otentik sangat dibutuhkan dalam kegiatan usaha perbankan, salah satunya adalah dalam pembuatan akta perjanjian kredit perbankan yang melibatkan Nasabah dan Bank, guna menjamin kebenaran dari isi yang dituangkan dalam perjanjian kredit perbankan tersebut, supaya secara publik kebenarannya tidak diragukan lagi. Berdasarkan latar belakang hal tersebut maka yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis ini pertama Bagaimanakah Peran Notaris terhadap permasalahan terbakarnya objek jaminan nasabah terkait dengan akta perjanjian kredit yang dibuat olehnya Yang kedua Bagaimanakah Tanggung Jawab Notaris terhadap Akta Perjanjian Kredit yang dibuatnya untuk melindungi kepentingan para pihak (Kreditur dan Debitur).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisa peran Notaris dan tanggung jawab Notaris terhadap akta yang dibuatnya dan apakah dapat melindungi kepentingan para pihak. Metode penelitian yang digunakan adalah melalui metode pendekatan yuridis empiris, dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Perjanjian kredit perbankan yang dibuat secara notariil bermanfaat bagi para pihak, dalam hal menjamin kekuatan pembuktiannya, menjamin kebenaran dari aktanya Penyelesaian hukum terhadap akta perjanjian kredit perbankan bila timbul persengketaan, dan Notaris mempunyai peran yang penting terhadap kebenaran akta yang dibuatnya.

According to Article 1868 KUHPerdata mentioned: an authentic deed is a made deed in the form of which is determined by code, by or before Public Functionary in charge for that in place that deed is made". Service Notary as Public Functionary which make authentic deed very required in banking business activity, one of them is in making deed agreement of banking credit entangling Client and Bank, utilize to guarantee the truth from content which is poured in agreement of banking credit, so that publicly its truth no doubt again. Based on that the subject matter for this thesis first how is the role of the Notary towards the credit agreement which the objects of the guarantee had burned, and the second subject matter is How Responsibilities of the Notary Towards of Credit Agreement were made to protect the interests of the parties (creditors and debtors).
Intention this research is to know and analyze the role and responsibilities of Notary Public Notary of the deed he made and whether it can protect the interests of the parties. Research method the used is to through method approach empirical juridical, by using primary data and secondary data. Made Credit banking agreement by notarial be of benefit to creditor, in the case of guarantying strength of its verification, guarantying the truth of from its deed and guarantee its investment security. and the Notary has an important role to the truth of the deed made.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45259
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mariesca Vanya Manik
"Tesis ini membahas tanggung jawab kreditur dan Notaris dalam Perjanjian Kredit karena hilangnya Sertipikat Objek Jaminan Sertipikat tanah yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan yang kemudian diserahkan kepada kreditur sebagai jaminan dalam suatu perjanjian kredit merupakan hal yang penting untuk dijaga serta disimpan dengan baik, karena merupakan tanda bukti kepemilikan suatu tanah serta bangunan, apabila sertipikat tersebut hilang, maka akan sangat merugikan pemilik sertipikat yang sudah melunasi hutangnya. Maka untuk melindungi kepentingan pemilik, seharusnya diatur secara tegas peraturan mengenai hal tersebut.
Dalam prakteknya tak jarang dijumpai sertipikat hak tanggungan yang dimiliki debitur yang telah melunasi hutangnya kepada kreditur hilang oleh karena pengarsipan dari pihak kreditur atau pihak ketiga yang dipercayakan oleh kreditur yang kurang baik ataupun karena terjadinya mutasi petugas kredit yang menanganinya langsung. Keadaan ini tentunya akan menyulitkan serta merugikan pihak debitur. Namun diketahui juga bahwa sertipikat hak tanggungan tidak pernah dibuat, karena hilangnya sertipikat.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui akibat hukum sertipikat objek jaminan yang hilang bagi para pihak serta tanggung jawab hukum pihak kreditur dan Notaris atas hilangnya sertipikat yang ada pada Notaris. Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif, yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan serta norma-norma yang mengikat masyarakat, serta menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Tipologi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analistis dan menggunakan teknik pengumpulan data melalui studi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa akibat hukum sertipikat objek jaminan yang hilang dalam perjanjian kredit ini berdampak bagi seluruh pihak yang terlibat, baik Kreditur, Debitur serta Notaris selaku pihak yang menghilangkan sertipikat dan tanggung jawab yang diberikan oleh kreditur dan Notaris karena telah menghilangkan objek jaminan adalah berupa pembelian 2 (dua) objek jaminan milik debitur.

Land Certificates issued by Kantor Pertanahan which is then handed over to the creditors as collateral in a credit agreement is important to be kept and stored well, as it is a sign of proof of ownership of a land and building, if the sertificate is lost, it will be detrimental to the owner of the sertificate who have paid off the debt. Thus, in order to protect the owner's interests, it should be strictly regulated.
In practice, it is not uncommon to have a certificate that the debtor has paid off the debts to the creditors lost because of the archiving from the creditors or third parties entrusted by the poor creditors or Due to the mutation of credit officers who handle it directly. This situation will certainly be difficult and detrimental to debtors. But it is also known that a serotyband of dependents was never made, due to the loss of certificate.
This research is conducted with the aim to know the consequences of the legal collateral objects lost warranty for the parties as well as the legal responsibility of the creditors and the notary for the loss of the existing certificate in notary. The form of research used in this study is juridical-normative, referring to the legal norm contained in legislation and norms that bind the community, as well as use secondary data of primary legal material, secondary and tertiary. The typology of the research used is descriptive analytic and uses data collection techniques through document studies and produces deductive sympulsion.
The results showed that due to the legal consequences of the collateral object lost in this credit agreement impacted all parties involved, both the creditor, the debtor and the notary as the party who eliminated the certificate and the responsibility given by the creditor and notary because it has eliminated the warranty object is a purchase of 2 (two) collateral objects belonging to the debtor.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T53719
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fanita Adventine Desianty
"Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya di tuntut bertindak saksama, menjaga kepentingan para pihak, dan memberikan penyuluhan hukum kepada para pihak terkait dengan pembuatan akta tersebut. Adapun pada prakteknya, terdapat akta Notaris dengan objek sewa Hak Guna Bangunan di atas Tanah Hak Pengelolaan Yang Telah Berakhir Jangka Waktunya. Oleh karenanya muncul permasalahan sebagaimana dianalisis dalam tesis yakni perihal: 1 Bagaimana kedudukan Akta Perjanjian Sewa Menyewa dengan Objek Sewa Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan yang telah berakhir jangka waktunya? dan 2 Bagaimanakah peran dan tanggung jawab Notaris atas Akta Perjanjian Sewa Menyewa dengan Objek Sewa Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Pengelolaan yang telah berakhir jangka waktunya? Metode yang digunakan dalam penelitian ini yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis.
Dari hasil penelitian ini ditemukan 2 dua simpulan yaitu: 1 kedudukan Akta Perjanjian Sewa Menyewa tersebut batal demi hukum karena tidak memiliki objek perjanjian. Akibat dari batal demi hukum tersebut adalah perjanjian tersebut tidak pernah lahir; dan 2 Notaris berkewajiban untuk bertindak saksama dan menjaga kepentingan para pihak yang membuat akta tersebut, serta Notaris seharusnya memberikan penyuluhan hukum kepada para pihak. Dalam hal ini, Notaris dapat diberikan sanksi baik berupa sanksi administratif maupun sanksi perdata yaitu tuntutan berupa penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga.
Adapun saran yang dapat diberikan yaitu: 1 Notaris agar lebih cermat, teliti, saksama dan menaati kewajiban yang ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dan peraturan perundang-undangan lainnya dan Kode Etik Notaris; dan 2 pihak yang menderita kerugian akibat batal demi hukum akta perjanjian tersebut dapat mengambil tindakan berupa pelaporan atas pelanggaran yang dilakukan Notaris kepada Majelis Pengawas Daerah dan tuntutan biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.

Notary, in performing its duty and function have to act precisely, maintain both parties interest, and educate them on making deed. In practice, there is a deed of lease agreement with an object of lease agreement is the expired Right to Build on the Rights of Management. Therefore, problem has emerged and will be analysis in this Research, such as 1 How is the position of a Deed with an object of Lease agreement is the expired Right to Build on the Rights of Management and 2 How is the role and responsibility of a Notary who made a Deed of Lease agreement which object is the expired Right to Build on Rights of Management Method used in this research is analytical normative juridical.
According to the research, there are 2 two conclusions 1 Deed is null and void as an effect of no object of agreement. 2 Notary has an obligation to act precisely and maintain both parties interest, and also educate them on making deed. Notary could be awarded sanction whether administrative sanction or civil sanction.
Suggestion that could be given to party that suffer loss are reporting this violation to Area Supervisory Board and bring charges to the Notary to cover expense, loss, and interest.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47824
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lily Elvira
"Penelitian ini membahas mengenai kedudukan akta kuasa menjual pada pengikatan jual beli yang belum lunas sebagai dasar pembuatan akta jual beli hak atas tanah serta tanggung jawab Notaris terhadap pembuatan akta kuasa menjual. Bentuk penelitian yang digunakan merupakan penelitian doktrinal dengan tipologi penelitian eksplanatoris. Alat pengumpulan data yang dipergunakan ialah studi dokumen dengan penggunaan metode analisis data yuridis kualitatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan kedudukan akta kuasa menjual pada pengikatan jual beli yang belum lunas tidak sejalan dengan fungsi kuasa jual sebagaimana mestinya yang dicantumkan dalam perjanjian pengikatan jual beli sebagai kepastian hukum terhadap pembeli yang sudah membayar lunas. Sementara itu, bentuk pertanggungjawaban Notaris dalam pembuatan akta kuasa menjual pada pengikatan jual beli yang belum lunas dan telah beralih hak atas tanahnya kepada pihak lain terdiri dari pertanggungjawaban administratif yang merujuk pada UUJN serta pertanggungjawaban secara perdata yang merujuk pada KUH Perdata. Penelitian ini menyarankan sangat dibutuhkan adanya peraturan khusus yang mengatur mengenai kuasa menjual dalam perjanjian pengikatan jual beli untuk menentukan batasan benar atau tidaknya pembuatan kuasa menjual khususnya dalam pengikatan jual beli yang belum lunas serta Notaris sebagai pejabat yang berwenang untuk membuat alat bukti autentik berupa akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, semestinya harus dilandaskan pada tindakan yang saksama dan menjaga kepentingan para pihak dalam pembuatan akta sebagaimana kewajiban Notaris pada Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN.

This research discusses the position of a power of attorney deed in sales and purchase agreements that have not been paid in full as the basis for making a sale and purchase deed of land rights as well as the Notary's responsibility for making the power of attorney deed. The form of research used is doctrinal research with an explanatory research typology. The data collection tool used is document study using qualitative juridical data analysis methods. The results of this research conclude that the position of the power of attorney deed in sales and purchase agreements that have not been paid in full is not in line with the function of the power of sale as stated in the sale and purchase agreement as legal certainty for buyers who have paid in full. Meanwhile, the form of responsibility of a Notary in making a power of attorney deed for a sale and purchase agreement which has not been paid off and whose land rights have been transferred to another party consists of administrative responsibility which refers to the UUJN and civil responsibility which refers to the Civil Code. This research suggests that there is a great need for special regulations governing the power of attorney in sales and purchase agreements to determine its validity, especially in sales and purchase agreements that have not yet been paid off, as well as a Notary as an official authorized to produce authentic evidence in the form of a deed that has the strength of perfect proof must be based on careful actions and safeguarding the interests of the parties in making the deed as per the Notary's obligations in Article 16 paragraph (1) letter a UUJN."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farhaddiansyah
"Belakangan ini di kalangan perbankan mulai populer dokumen yang berbentuk letter of comfort, di mana pihak yang memperoleh pinjaman memberikan comfort letter kepada bank pemberi kredit dalam transaksi jual-beli commercial paper dan promissory note (CP). Surat itu dimaksudkan untuk menentramkan hati pemberi kredit atau pembeli CP, karena diterbitkan oleh perusahaan terkenal dan yang sering menjadi persoalan masih ada pejabat bank yang keliru menganggap letter of comfort identik dengan jaminan bank, padahal antara kedua dokumen tersebut masing-masing mempunyai arti dan akibat hukum yang sangat berbeda. Beberapa ahli menyatakan bahwa Letter of comfort tidak mengakibatkan adanya kewajiban hukum bagi penerbitnya, melainkan hanya kewajiban moral semata-mata. Menurut penulis hal tersebut adaah keliru karena Letter of Comfort diterbitkan dalam bentuk surat pernyataan yang merupakan janji bagi dirinya sendiri untuk kepentingan pihak lain yang berkepentingan. Oleh karena itu Letter of Comfort dapat dipergunakan bagi pihak yang berkepentingan tersebut. Khususnya apabila terjadi wanprestasi (default) pada Debitur. Dalam hal ini pihak yang berkepentingan tersebut adalah bank atau lembaga keuangan lainnya karena Letter of Comfort dalam thesis ini digunakan sebagai jaminan dalam perjanjian kredit. Menurut Penulis tanggung jawab atau kewajiban hukum dari pemberi Letter of Comfort tidak hanya bersifat moral semata walaupun berdasarkan penelitian penulis ada beberapa cara pertanggungjawaban bersifat moral terhadap pemberi Letter of Comfort apabila Debitur wanprestasi (default). Menurut penulis pemberi Letter of Comfort selain pertanggungjawaban secara moral juga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan, khususnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-undang Kepailitan. Menurut penulis dengan adanya pertanggungjawaban secara hukum terhadap pemberi Letter Of Comfort, bank dan lembaga keuangan lainnya dapat aman dalam menjalankan usahanya dalam pemberian kredit.

Presently in the banking sector this popular form of the document letter of comfort, where the party who obtained the ioan to provide comfort letter to bank lender in the buy-sell transactions commercial paper and promissory note (CP). Letters that are intended to comfort the healt of the lender or the CP buyer, as published by the company's popular and often the problem is still there to be an official bank letter that mistakenly considered synonymous with the comfort of a bank guarantee, and between the two documents each have a meaning and legal consequences which is very different. Some experts claim that the Letter of comfort does not lead to any legal obligation for the publisher, but only moral obligations solely. According to the author it is mistaken because Letter of Comfort is issued in the form of a letter which is a promise to himself to the interests of other parties interest Therefore, the Letter of Comfort can be used for the parties interest. Especially when the debtor is default to the Creditor. In this case, the parties concemed is a bank or other financial institutions because the Letter of Comfort in this thesis is used as collateral in the credit agreement. According to the author's responsibility or legal obligation of the grantor Letter of Comfort is not only a moral although only based on the research I have some way of moral responsibility towards our Letter of Comfort when debtor default. According to the author our Letter of Comfort in addition to the moral responsibility can also be based on legal regulations, especially the Book of Law Civil Law, Law Number 10 Year 1998 regarding the changes on the Law Number 7 Year 1992 on Banking, Company Law Act 40 of 2007 regarding Limited Liablity and Bankruptcy Law. According to the authors questioned the existence of the law against granting Letter Of Comfort, banks and other financial institutions can safely run in a business in the provision of credit."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26080
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Farhaddiansyah
"Belakangan ini di kalangan perbankan mulai populer dokumen yang berbentuk letter of comfort, di mana pihak yang memperoleh pinjaman memberikan comfort letter kepada bank pemberi kredit dalam transaksi jual-beli commercial paper dan promissory note (CP). Surat itu dimaksudkan untuk menentramkan hati pemberi kredit atau pembeli CP, karena diterbitkan oleh perusahaan terkenal dan yang sering menjadi persoalan masih ada pejabat bank yang keliru menganggap letter of comfort identik dengan jaminan bank, padahal antara kedua dokumen tersebut masing-masing mempunyai arti dan akibat hukum yang sangat berbeda. Beberapa ahli menyatakan bahwa Letter of comfort tidak mengakibatkan adanya kewajiban hukum bagi penerbitnya, melainkan hanya kewajiban moral semata-mata. Menurut penulis hal tersebut adaah keliru karena Letter of Comfort diterbitkan dalam bentuk surat pernyataan yang merupakan janji bagi dirinya sendiri untuk kepentingan pihak lain yang berkepentingan. Oleh karena itu Letter of Comfort dapat dipergunakan bagi pihak yang berkepentingan tersebut. Khususnya apabila terjadi wanprestasi (default) pada Debitur. Dalam hal ini pihak yang berkepentingan tersebut adalah bank atau lembaga keuangan lainnya karena Letter of Comfort dalam thesis ini digunakan sebagai jaminan dalam perjanjian kredit. Menurut Penulis tanggung jawab atau kewajiban hukum dari pemberi Letter of Comfort tidak hanya bersifat moral semata walaupun berdasarkan penelitian penulis ada beberapa cara pertanggungjawaban bersifat moral terhadap pemberi Letter of Comfort apabila Debitur wanprestasi (default). Menurut penulis pemberi Letter of Comfort selain pertanggungjawaban secara moral juga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan, khususnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-undang Kepailitan. Menurut penulis dengan adanya pertanggungjawaban secara hukum terhadap pemberi Letter Of Comfort, bank dan lembaga keuangan lainnya dapat aman dalam menjalankan usahanya dalam pemberian kredit.

Presently in the banking sector this popular form of the document letter of comfort, where the party who obtained the loan to provide comfort letter to bank lender in the buy-sell transactions commercial paper and promissory note (CP). Letters that are intended to comfort the heart of the lender or the CP buyer, as published by the company's popular and often the problem is still there to be an official bank letter that mistakenly considered synonymous with the comfort of a bank guarantee, and between the two documents each have a meaning and legal consequences which is very different. Some experts claim that the Letter of comfort does not lead to any legal obligation for the publisher, but only moral obligations solely. According to the author it is mistaken because Letter of Comfort is issued in the form of a letter which is a promise to himself to the interests of other parties interest. Therefore, the Letter of Comfort can be used for the parties interest. Especially when the debtor is default to the Creditor. In this case, the parties concerned is a bank or other financial institutions because the Letter of Comfort in this thesis is used as collateral in the credit agreement. According to the author's responsibility or legal obligation of the grantor Letter of Comfort is not only a moral although only based on the research I have some way of moral responsibility towards our Letter of Comfort when debtor default. According to the author our Letter of Comfort in addition to the moral responsibility can also be based on legal regulations, especially the Book of Law Civil Law, Law Number 10 Year 1998 regarding the changes on the Law Number 7 Year 1992 on Banking, Company Law Act 40 of 2007 regarding Limited Liablity and Bankruptcy Law. According to the authors questioned the existence of the law against granting Letter Of Comfort, banks and other financial institutions can safely run in a business in the provision of credit."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T36266
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Richsan Suprayogo
"Notaris dan PPAT sebagai Pejabat Umum yang diberikan kewenangan oleh negara
untuk membuat akta otentik sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 untuk Notaris dan PP 37
Tahun 1998 untuk PPAT seringkali dihadapkan dengan permasalahan yang
menyangkut peran dan tanggung jawabnya sebagai pejabat umum dalam
pembuatan Akta Jual Beli Tanah (AJB) dan Akta Pembebanan Hak Tanggungan
(APHT) terkait dengan keterangan palsu yang diberikan oleh para pihak dalam
pembuatannya terlebih apabila kedua akta tersebut bertautan dengan perjanjian
kredit. Dalam skripsi ini penulis mengkaji peran dan tanggung jawab Notaris dan
PPAT dalam pembentukan Akta Jual Beli dan APHT dan penerapan asas praduga
sah (presumption iustae causa) dan asas kehati-hatian pada pelaksanaan tugas
jabatan notaris dalam keadaan para pihak beritikad tidak baik, serta status dan
kedudukan kedua akta tersebut setelah diketahuinya adanya itikad tidak baik dari
para pihak. Adanya itikad tidak baik dari para pihak merupakan suatu hal materiil
yang tidak perlu dibuktikan oleh Notaris/PPAT, terhadap akta tersebut apabila
dapat dibuktikan adanya cacat materiil di dalamnya maka akta tersebut
berkedudukan sebagai akta dibawah tangan. Notaris/PPAT dalam pelaksanaan
tugas jabatannya perlu memperhatikan penerapan asas Praduga Sah dan Asas-Asas
lainnya guna menjamin integeritas mereka dan terlebih memberikan perlindungan
terhadap-nya.

Public Notary and Land Deed Official as Public Officers are authorized by the state
to make an authentic deed as set out in Law No. 2 of 2014 jo. Law No. 30 of 2004
for the Notary and PP 37 of 1998 for Land Deed Official as legal standing are often
confronted with issues relating to its role and responsibilities as the public officer
in the making of the Contract of Sale (AJB) and the Mortgage Deed (APHT) in
relation to false evidence provided by the parties in their making when that two
deeds are linked to a credit agreement. In this thesis the author examines the role
and responsibilities of the Notary and PPAT in the drafting of Contract of Sale and
Mortgage Deed and the application of Presumption of Legitimacy (Presumptio
Iustae Causa) and the principle of caution due to the performance of the public
notary and Land Deed Official in the event of adverse parties, as well as the status
and the second position of the deed after being aware of bad faith from the parties.
The existence of a bad faith by the parties is a material matter which the Public
Notary / Land Deed Official does not need to prove, if it can be proven that there
is a material defect that decrease is status as Authentic Deed to Privately Made
Deed. The Public Notary / Land Deed Ofccial in running it’s duties should consider
the application of the Presumption of Legitimacy and other Fundamentals to ensure
their integrity and provide extra protection amongst them.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amanda Willy
"Tulisan ini menganalisis bagaimana akibat hukum tidak didaftarkannya Hak Tanggungan sebagaimana yang dimuat dalam Perjanjian Kredit Nomor 16 yang membebankan hak tanggungan sebagai jaminan dan kedudukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dijadikan sebagai jaminan oleh debitor Nona EF dan akibat hukumnya bagi Bank ABC sebagai kreditor. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Pemberian jaminan hak tanggungan merupakan syarat penting dari sebuah perjanjian Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) untuk melindungi kepentingan Bank. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah sebagai instrumen hukum nasional yang mengatur mengenai Hak Tanggungan menyebut pengikatan jaminan tersebut sebagai langkah terpenting, karena pendaftaran hak tanggungan merupakan syarat mutlak lahirnya dari hak tanggungan. Namun dalam praktiknya terdapat perjanjian kredit yang tidak diikuti dengan pembuatan Surat Kuasa Memberikan Hak Tanggungan (SKMHT) dan/atau Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang kemudian didaftarkan ke kantor pertanahan setempat untuk dikeluarkan sertipikat hak tanggungan dan dituliskan hak tanggungannya dalam buku tanah hak tanggungan. Tidak didaftarkannya hak tanggungan, berarti hak tanggungan belum lahir dan menyebabkan kedudukan bank hanya sebagai kreditor konkuren yang tidak memegang jaminan kebendaan. Selain itu, dalam perkembangannya, praktik penggunaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) sebagai dasar peralihan hak atas tanah yang digunakan sebagai jaminan hak tanggungan dalam perjanjian kredit sering terjadi. Hak yang timbul dari PPJB adalah hak perorangan, bukan hak kebendaan sehingga belum terjadi peralihan hak sampai dilakukan Akta Jual Beli (AJB), maka debitor belum memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan hukum seperti pemberian hak tanggungan sebagai jaminan kepada Bank untuk kreditnya dan bank tidak mempunyai hak untuk didahulukan dari kreditor lain atas penjualan jaminan.

This article examines the legal implications arising from the failure to register mortgage rights, as stipulated in Credit Agreement Number 16, where mortgage rights serves as collateral. The validity of the Sale and Purchase Agreement used as collateral by debitor, Miss EF and its legal ramifications for Bank ABC as a creditor are assessed using normative juridical research methods. The provision of mortgage rights as collateral is a crucial aspect of credit agreements to safeguard the interests of the Bank. Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, serving as the national legal framework for mortgage rights, deems the registration of collateral as the pivotal step. Registration is an absolute prerequisite for the validity of mortgage rights. However, certain credit agreements lack a subsequent creation of a Power of Attorney to Grant Mortgage Rights (SKMHT) and/or a Deed of Granting Mortgage Rights (APHT). These omissions, if not rectified through registration at the local land office to issue a Mortgage Rights certificate, mean the Mortgage Rights remains unestablished. Consequently, the bank assumes a position solely as a unsecured creditor without tangible collateral. Furthermore, in practice, the use of a Sale and Purchase Agreement (PPJB) as the foundation for transferring land rights to be utilized as collateral for mortgage rights in credit agreements is prevalent. The rights arising from the PPJB are individual, not material, until the execution of the Deed of Sale and Purchase (AJB). Consequently, debtors lack the authority to take legal actions such as granting mortgage rights as collateral to the Bank for credit, and the bank does not possess the right to prioritize over other creditors in collateral sales. This dual lapse underscores potential legal consequences for both parties involved in credit agreements."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>