Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 80430 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amurwani Dwi Lestariningsih
Jakarta : Kompas Media Nusantara, 2011
305.42 AMU g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Anggraini
"Kajian tentang femininitas masih relevan dalam kehidupan moderen. Karena konsepsi gender- bermanfaat bag i seseorang untuk menempatkan dirinya sesuai dengan tempatnya dalam kehidupan. Demikian kiranya "ideology? gender dapat bertahan mengatasi derasnya arus kebudayaan moderen yang telah menanamkan pengaruhnya hampir di seluruh belahan bumi.
Pendekatan folklor dalam penelitian ini didasari pada pemikiran bahwa folklor adalah Cermin Cara berpikir yang berisikan nilai-nilai dari masyarakat pendukungnya.
Bertolak dari konsep Clifford Geertr maka nilai? nilai berada dalam kehidupan seseorang melalui proses belajar secara turun menurun. Pembenaran terhadap nilai-nilai akan menjadi penggerak dalam batin yang mempengaruhi perilaku seseorang sehingga menyebabkannya memiliki kekhususan yang membedakannya dengan orang lain. Karena kebudayaan bersifat universal, melainkan spesifik.
Dalam masyarakat Rusia, wanita ibarat motushk Ells yang rela berkorban untuk anak-anaknya yang tak terkira banyaknya. Dalam karya-karya sastra Rusia abad kesembilan belas sifat-sifat feminin ' terlukis dalam diri isteri--isteri setia yaitu pada tokoh Tatyana dan isteri-isteri Dekabris.
Studi ini dilakukan terhadap wanita-wanita Rusia yang tinggal di Jakarta yaitu dalam lingkungan budaya yang berbeda. Dengan demikian maka manfaat penelitian adalah Untuk mengetahui sampai sejauh mana sifat budaya masih melekat, sementars suatu etnik telah meninggalkan batas budaya dan geografisnya? Sehubungan dengan ini maka Barth berpendapat bahwa sifat budaya dapat berlanjut, meskipun terjadi pembauran karena adanya status terdikotomi yaitu hubungan yang bersifat saling ketergantungan."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Redjeki Saptoro
"Latar Belakang
Seperti laki-laki sejak abad ketujuh belas perempuan Eropa juga bermigrasi ke Amerika Utara. Waktu perahu pemukim pertama berlabuh di Hampton Roads di dalam Domini Lama Virginia bulan Mei, 1607, penumpangnya terdiri atas lelaki saja. Mereka mendirikan benteng, gereja, gudang dan pondok-pondok di Jamestown dan mulai bercocok tanam. Wanita-wanita yang kemudian datang, bersama-sama suami harus bekerja keras untuk dapat bertahan hidup. Suami-istri melakukan semua kegiatan didalam maupun di luar rumah. Tetapi di luar rumah semua kedudukan dengan kekuasaan hanya terbuka bagi lelaki, seperti pengurusan gereja, sidang kolonial, rapat kota, hanya lelaki yang bisa berperan sebagai pemimpin. (M.P. Ryan : 1975 : 29)
Dengan makin bertambahnya kedatangan imigran, lahan pertanian lambat laun menjadi berkurang, maka pemukiman makin bergeser ke barat. Wanita golongan atas dan menengah kebanyakan tinggal di kota; mereka menjalani kehidupan jauh lebih baik dari pada wanita frontir. Gadis-gadis di kalangan atas dan menengah dipermulaan abad ke-18 telah mendapat pendidikan tidak formal untuk menunjang hari depannya sebagai istri dan ibu.
Abad ke-19 ditandai dengan terjadinya revolusi industri, pabrik-pabrik dan perusahaan bermunculan. Penduduk pedesaan mengalir ke kota industri untuk menjadi buruh pabrik. Dengan pindahnya orang desa ke kota, kehidupan keluarga petani mengalami perubahan. Mereka tidak bisa lagi hidup berswadaya dari kebun dan ternaknya. Setelah tinggal di kota para istri kehilangan daya ekonominya, karena di kota mereka tidak mempunyai kebun yang hasilnya bisa mencukupi keperluan rumah tangga dan malahan sisanya bisa dijual. Setelah di kota keperluan sehari-hari harus dibeli dengan upah kerja suami yang begitu rendah. Untuk sedikit meringankan beban keluarga harus merelakan anak yang sudah besar menjadi buruh murah di pabrik. Sebaliknya wanita kalangan menengah dan atas selain mengurus rumah tangga, diwaktu yang senggang giat mengurus usaha-usaha amal dan keagamaan.
Di pertengahan abad ke-19 para wanita yang selalu giat berusaha menegakkan keadilan di antara sesama, di Seneca Falls, di negara bagian New York, pada 19-20 Juli, 1848, pada suatu rapat besar, secara resmi mengajukan tuntutan akan perubahan kedudukan wanita. Pada pertemuan itu para wanita mengeluarkan revolusi meminta kesempatan bagi wanita dalam pendidikan, bisnis, profesi dan hak atas miliknya, kebebasan bicara dan perwalian atas anak. Tuntutan yang terakhir dan tak terbayangkan adalah hak pilih. Isu hak pilih wanita ini diumumkan untuk pertama kali di Amerika (G. G. Yates :.1940: 27-28). Setelah lebih dari 70 tahun, berhasil dengan diberlakukannya the XIX Amendment pada bulan November 1920. Dengan demikian wanita mempunyai hak pilih penuh. Ratifikasi Amandemen XIX merupakan puncak keberhasilan dari gerakan para feminis, karena dengan adanya ratifikasi tersebut dapat diartikan bahwa diskriminasi mendasar terhadap wanita telah dihilangkan.
Waktu Amerika Serikat terlibat dengan PD I, di tahun 1917 wanita dan anak didorong supaya bekerja di pabrik dan di tempat yang memerlukan tenaga kerja untuk membantu usaha nasional. Para feminis ikut aktif berperan di berbagai bidang yang bisa menunjang kemenangan Amerika, walaupun sebetulnya mereka tidak menyetujui keterlibatan Amerika dalam peperangan. Namun demi tercapainya tujuan mereka yaitu hak pilih, mereka menyesuaikan diri dengan kebijaksanaan pemerintah. Ternyata tidak lama seusai perang wanita mendapatkan hak pilih di tahun 1920 seperti diterangkan di atas. Tetapi wanita setelah menerima hak pilih tidak aktif mengadakan kegiatan.
Selama PD II wanita diminta lagi menyumbangkan tenaganya di mana diperlukan. Wanita bisa menunjukkan kecakapannya di berbagai lapangan kerja yang ditinggalkan kaum lelaki yang ikut berperang."
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Latifa Soetrisno
"ABSTRAK
Tesis ini merupakan sebuah analisa atas kasus-kasus kekerasan yang dilakukan suami tehadap istrinya. Pengangkatan tema kekerasan terhadap istri ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa meskipun kekerasan terhadap istri merupakan persoalan yang sangat kompleks, namun di kalangan masyarakat luas masih sedikit orang yang menaruh perhatian dan menganggap penting persoalan ini. Berdasarkan 171 kasus (dikumpulkan dari kasus-kasus, yang ditangani oleh sebuah Lembaga Konsultasi Perkawinan di Jakarta, tahun 1992 s.d. 1996) penelitian ini bertujuan memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tindak kekerasan terhadap perempuan (untuk kasus ini adalah para istri), yang ditelaah dengan perspektif feminis.
Masalah yang diangkat dalam penelitian ini mencakup tiga hal, pertama bagaimana gambaran mengenai kekerasan yang dialami oleh para istri yang menjadi korban. Untuk mendapatkan gambaran tersebut informasi yang dikumpulkan adalah sebagai berikut: a) Deskripsi tentang jenis-jenis kekerasan; b) Darnpak dari tindakan kekerasan tersebut; c) Frekuensi kekerasan; d) Diskripsi mengenai proses terjadinya tindak kekerasan. Penelitian ini juga mengangkat latar belakang terjadinya tindak kekerasan menurut sudut pandang korbanlistri dan pelaku kekerasan/suami serta mencoba meninjau masalah kekerasan dari perspektif feminis. Penjabaran masalah ini diangkat berdasarkan asumsi bahwa masih relatif sedikit studi yang mencoba mengungkapkan kuantitas dan kualitas kekerasan yang dihadapi perempuan dalam konteks keluarga.
Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut maka dilakukan analisis isi atas data yang telah dikumpulkan. Berdasarkan analisa atas kasus-kasus tersebut diperoleh hasil sebagai berikut: bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa kekerasan menimpa pasangan suami-istri dari berbagai lapisan sosial ekonomi. Karakteristik istri maupun suami juga sangat bervariasi. Baik suami maupun istri menjalankan berbagai profesi dan menduduki berbagai jabatan serta sebagian besar berpendidikan tinggi (tingkat SMA ke atas).
Berdasarkan kasus-kasus kekerasan ini terungkap berbagai jenis kekerasan yang dilakukan suami terhadap istrinya, yaitu tindak kekerasan fisik, verbal dan seksual. Tindakan suami tidak hanya berdampak secara fisik (seperti meninggalkan bekas memar, biru, berdarah, dan sebagainya) tetapi juga berdampak secara psikologis. Apabila ditinjau dari segi frekuensi, maka teridentifikasi dari 171 kasus terdapat 118 kasus yang mengungkapkan bahwa istri sering mengalami tindak kekerasan.
Berdasarkan hasil pengamatan lebih dalam terhadap kasus kekerasan ini maka diketahui bahwa sebagian besar tindak kekerasan sudah dimulai sejak awal perkawinan dan umumnya sebelum tindak kekerasan terjadi diawali terlebih dahulu dengan pertengkaran-pertengkaran. Menurut sudut pandang istri ada beberapa hal (yang menonjol) yang menjadi pemicu kekerasan, yaitu 1) adanya orang `ketiga' dalam perkawinan, 2) hal-hal yang berkaitan dengan tanggung jawab suami, 3) istri tidak menuruti kehendak suami, 4) istri tidak menanggapi perkataan suami, 5) suami mempunyai `kepribadian aneh' dan karena sebab lainnya. Sementara menurut sudut pandang suami, hal yang memotivasi mereka untuk melakukan tindak kekerasan adalah: 1) istri "cerewet"; 2) ingin "mendidik" istri; 3) karena istri menyeleweng, 4) karena istri bersikap kasar pada suami, 5) istri diam saja bila ditanya suami; 6) suami mengaku `khilaf.
Apabila ditinjau dari sudut pandang feminis, maka dapat dikatakan bahwa berbagai tindak kekerasan terhadap istri merupakan cermin adanya ketidaksetaraan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Tindak kekerasan diyakini menjadi timbul bukan semata-mata karena adanya penyimpangan kepribadian akan tetapi karena adanya norma-norma atau nilai-nilai yang memberikan penghargaan lebih kepada kaum lelaki. Sehingga kaum laki-laki memiliki hak untuk mengontrol, termasuk mendominasi, segala hal yang berkaitan dengan hubungan antara laki dan perempuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindak kekerasan merupakan bagian dari tatanan sosial yang mentoleransi dominasi/kontrol suami terhadap istri.
Dalam kenyataan, adanya nilai-nilai yang sangat merendahkan perempuan tersebut telah terinternalisasi sedemikian kuat dalam benak istri sebagai korban kekerasan tersebut. Tidak jarang para istri tersebut menampilkan sikap `rnendua' yaitu di satu sisi mereka merasa sangat menderita, takut dan terancam jiwanya tetapi di pihak lainnya mereka tampak berusaha untuk memaharni, menerima bahkan acapkali menyalahkan diri sendiri (self-blame) atas timbulnya kekerasan. Dengan mengadopsi sikap yang demikian dapatlah dipahami apabila korban kekerasan mengembangkan pemahaman yang keliru tentang banyak hal.
Dalam upaya mencegah sekaligus menghilangkan atau sekurang-kurangnya mengurangi tindak kekerasan terhadap para istri, suatu pendekatan yang terintegrasi baik' dari segi pendidikan, hukum maupun dari segi jasa pelayanan/penanganan sangatlah diperlukan."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stephani Natalia W.
"Ketertindasan yang dialami oleh setengah dari jumlah manusia tidak dapat lagi ditolerir. Penerapan subjektivitas maskulin pada tataran pemikiran yang terletak pada ketidaksadaran manusia telah membuat ketimpangan di mana-mana. Pola pikir atau subjektivitas seseorang di dalam dunia yang ia hidupi sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang ada pada struktur sosial di mana ia berada dan mengada. Subjektivitas yang digunakan akan mencerminkan bagaimana seseorang mencerap dan mendefinisikan dunia. Bagaimana proses pembentukan subjektivitas inilah yang menjadi permasalahan awal. Lewat psikoanalisa, Jacques Lacan mengembangkan teorinya tentang proses pembentukan subjek di dalam tatanan simbolik melalui bahasa yang terstruktur pada tataran ketidaksadaran manusia. Keberlangsungan sistem dan nilai patriarkal dalam bahasa maskulin dan tatanan simbolik yang berpusat pada phallus telah merepresi _yang feminin_ sedemikian rupa. Dalam hal ini, terdapat dominasi hirarkis dalam relasi kekuasaan antara satu dengan yang lain. Untuk keluar dari keterasingan ini, perempuan harus mendapatkan subjektivitasnya sendiri demi terbebas dari subjektivitas yang maskulin. Feminisme berupaya untuk menghapus segala bentuk dominasi yang ada pada kultur kebudayaan manusia yang bersifat patriarkal. Luce Irigaray merupakan salah satu pemikir feminis yang berupaya melakukan hal ini dengan mengkritik _budaya laki-laki_ (phallomorphisme) yang mendominasi dalam segala tataran kehidupan. Tatanan simbolik harus dihilangkan sehingga perempuan dapat menjadi subjek yang berbicara dengan bahasanya sendiri. Hal ini demi memberlangsungkan pluralitas dan keberagaman yang ada pada manusia dan menghindari penekanan dari salah satu pihak saja. Dengan demikian, pihak laki_laki dan perempuan akan mendapatkan keadilan seksual lewat keberagaman yang dilakukan melalui perubahan kaidah bahasa dan konsepsi tentang kebenaran serta nilai-nilai yang mengatur tatanan sosial.

The misery which has been experienced by the half of human species, i.e. women, cannot be tolerate no more. Masculine subjectivity which has been used all along, which is under the human_s unconsciousness, has already made lots of problem everywhere. System of thought or someone_s subjectivity inside the world which they are living in influenced by those elements which are embedded in the social structures where they are exist in. The subjectivity we are using can reflect on how we observe and perceive the world. The first problem is how is the process on the shaping of our subjectivity. Through psychoanalysis, Jacques Lacan developed his theories on how subject exists inside the symbolic order through language system, which structured on the human_s unconsciousness. Patriarchal system and the values upon it inside the masculine language and symbolic order, which centered on phallus, repressed the feminine in some way or another. In this problem, there is a hierarchal domination upon power relation between one with the other. To escape from this isolation, womens must have their own subjectivities so that they can free themselves from the masculine subjectivity. Feminism trying to erase all forms of masculine dominations inside the human_s culture. Luce Irigaray is one of the feminist thinker and she critisize the phallomorphism cultures which dominate all aspects of our lives. Symbolic order must be exclude so that women can become a subject which can speak up with their own language. This has to be this way to continue plurality and diversity among human and to avoid the pressure from one side only. So that is, men and women will attain a sexual justice through diversity which can be achieve with the change of language and truth conception, also the change of values which is embedded in the social structures."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S16150
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Kristanto
"ABSTRAK
Novel Perempuan di Titik Nol yang ditulis oleh Nawal el-Sa'adawi merupakan sebuah novel yang menyuarakan dengan keras rasa perrh yang diderita oleh seorang perempuan Mesir bernama Firdaus. Novel ini sekaligus adalah refleksi dari kesengsaraan yang ditanggung oleh perempuan Timur Tengah yang hidup di bawah dominasi patriarki. Hal yang kontroversial dalam novel ini adalah peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh seorang wanita terhadap laki-laki. Pendekatan etika yang mengikuti imperatif kategoris Immanuel Kant akan mengecam tindakan pembunuhan apapun motifnya. Tindakan pembunuhan yang dilakukan Firdaus bisa mengundang reaksi negatif, terutama bila kita mengetahui bahwa ia sama sekali tidak menyesali perbuatannya, tetapi bahkan merayakannya. Namun, tindakan menghakimi Firdaus karena pembunuhan yang ia lakukan tanpa mempertimbangkan struktur sosial dimana ia hidup yang sangat merendahkan perempuan dan tanpa melihat proses pengembangan hati nurani yang ia alami, merupakan suatu tindakan yang tidak tepat. Dengan menggunakan pendekatan etika yang memihak kepada kaum perempuan, makalah ini berusaha membuktikan bahwa pilihan-pilihan tindakan yang diambil oleh Firdaus sesungguhnya memiliki kebenaran-kebenaran etis dan bersifat rasional. Makalah ini ingin menyatakan bahwa keputusan menghukum mati Firdaus adalah sesuatu yang salah."
Depok: Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Misiyah
"Realitas empirik di Indonesia, kejatuhan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 memang mengakhiri era otoriterisme politik Soeharto, namun bukan berarti akhir dari eksistensi rejim Orde Baru. Ruang ekspresi politik menjadi relatif terbuka, namun kekuatan politik otoriterisme dan patriarkis juga masih tetap menjadi ancaman. Ruang politik yang terbuka menjadi ajang pertarungan kelompok-kelompok yang memperjuangkan demokrasi berhadapan dengan kelompok-kelompok yang berpotensi menjadi ancaman bagi demokrasi. Dalam perspektif perempuan, perubahan politik yang terjadi pada era rejim pasca Soeharto tidak membawa kemajuan yang berarti bagi perempuan Indonesia karena parameter perubahan sosial politik hanya mengedepankan perubahan di ranah publik. Dalam perspektif feminisme, perubahan sosial tidak hanya bersandar pada ranah publik, tetapi memperhitungkan transformasi yang terjadi pada tingkat individu sama pentingnya dengan perubahan kolektif. 'Masalah perempuan adalah masalah politik' sebagai ide dasar feminis poskolonial mempunyai sumbangan yang mampu menggugat ukuran-ukuran formal di ranah publik yang pada dasarnya ukuran-ukuran tersebut dirumuskan oleh semangat patriarki. Disinilah signifkansi penelitian ini, sebuah penelitian yang merespons sistem sosial politik Indonesia yang tunggal, yaitu sistem yang dikonstruksi berdasar cara Pandang patriarki dan mengakibatkan penindasan perempuan menjadi persoalan yang kasat mats tetapi belum mendapat perhatian.
Pengungkapan ketertindasan penting dilakukan dengan cara membangun kesadaran bahwa perempuan dikonstruksi menjadi kelompok tertindas. Melalui kesadaran ini, masalah ketidakadilan perempuan dianggap sebagai masalah penting yang perlu disikapi secara serius dan tidak ditinggalkan dalam proses-proses demokratisasi. Kesadaran kritis dan otonomi perempuan merupakan aspek penting dalam melakukan proses-proses pembebasan perempuan dari ketertindasannya. Dalam masyarakat yang secara kultural maupun struktural mengalami ketimpangan hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, penindasan perempuan merupakan keniscayaan terjadi dalam segala aspek kehidupan. Sistem patriarki telah terintegrasi dalam kehidupan individu maupun institusi sosial menyebabkan perempuan tersubordinasi, mengalami kekerasan, perlakuan diskriminatif, dan marginalisasi. Berangkat dari situasi tersebut, rumusan masalah yang diajukan adalah "seberapa efektif Pendidikan Feminis dapat mendorong tumbuhnya kesadaran kritis dan otonomi perempuan di Indonesia?"
Meskipun penelitian ini mengkaji sebuah program kerja tetapi tidak dimaksudkan untuk melakukan monitoring evaluasi. Oleh karena itu, teori yang digunakan bukan teori-teori monitoring evaluasi tetapi teori feminisme poskolonial. Adapun pendekatan penelitian ini adalah pendekatan penelitian feminis (feminist research).
Temuan-temuan penelitian ini mencakup beberapa hal. Pertama, adanya hubungan positif antara kesadaran kritis dengan aksi-aksi transformatif. Hal ini tercermin pada pengaruh Pendidikan Feminis dalam memperkuat kemampuan pemimpin lokal ('PL') mencakup tiga hal yaitu: (1) semakin menguatnya kesadaran kritis terhadap ketertindasan perempuan di wilayah Sulwesi Utara. Dalam konteks masyarakat Sulaweasi Utara yang plural, kesadaran atas ketertindasan perempuan dibarengi dengan kesadaran bahwa kelas, ras, etnis, dan agama. Berbagai sumber penindasan ini saling terkait dan memperkuat satu sama lain (interlocking system). (2) Semakin menguatnya otonomi perempuan yang terwujud dalam sikap-sikap perlawanan dengan menolak sunat perempuan, poligami, jilbab, kewajiban melayani hubungan seks kepada suami dan pemaksaan untuk menggunakan alat-alat KB tertentu. (3) Tumbuhnya kemampuan melakukan aksi-aksi transformatif dengan perspektif feminisme dan pluralisme.
Kedua, adanya kesadaran kritis yang dibarengi dengan tindakan transformatif merupakan satu pola aksi-refleksi dalam siklus Pendidikan Feminis. Aksi-refleksi ini dapat berlangsung jika didukung oleh support group. Salah satu contoh support group yang ditemukan dalam penelitian ini adalah berdirinya organisasi PILAR Perempuan. Melalui program-program kerja PILAR Perempuan, para 'PL' dapat melakukan aksi dan refleksi.
Ketiga, adanya perbedaan fokus perhatian antara 'PL' perempuan dan laki-laki dalam melakukan aksi-aksi tranformatif. Seksualitas atau memperkuat otonomi tubuh merupakan fokus perhatian perempuan dan laki-laki lebih pada upaya mendorong partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T22168
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mariana
"Perumusan dan penjelasan konsep tentang kebebasan wanita perlu dilaksanakan. Tujuannya ialah untuk menjelaskan bahwa kebebasan adalah dasariah milik manusia. Kebebasan adalah kenyataan universal yang tidak bisa dipisahkan dari manusia. Sebagai bukti bahwa kebebasan itu penting bagi wanita, bisa dikaji melalui studi kepustakaan tentang wanita dalampandangan beberapa filosof yang telah membahasnya, diperkuat dengan pengamatan terhadap keadaan sekitar dan penyimakan terhadap keadaan yang sedang berlangsung berdasarkan informasi dari majalah dan surat kabar. Hasil dari penelitian studi tentang wanita yaitu ditemukan adanya dua pola yang diminati oleh wanita yang menginginkan kebebasannya bisa diaktualisasikan. Dua pola tersebut adalah Altruisme dan Feminisme. Altruisme adalah merupakan pola yang mewakili citra wanita tradisional. Altruisme adalah suatu paham yang condong untuk mengutamakan kepentingan orang lain yang dicintainya di atas kepentingan sendiri. Tujuan altruisme bersifat positif, akan tetapi hasil dari perilaku altruisme bisa positif dan bisa negatif, tergantung dari bobot pelaku AItruisme Supaya bisa membuahkan hasil altruisme yang positif, pelaku altruisme harus bisa melengkapi beberapa syarat yang diperlukan. Kesadaran moral yang bersifat otonom harus dimiliki oleh pelaksana altruisme, demi tanggung jawabnya pada pihak yang bersangkutan. Pelaku altruisme tidak melupakan individualitasnya. Pelaku altruisme harus menyadari bahwa pendidikan adalah penting artinya, dengan demikian maka pelaku Altruisme mau berusaha mengembangkan dirinya dan berusaha memerangi kebodohan yang bisa membelenggu kebebasannya. Feminisme adalah pola yang diminati oleh wanita modern. Wanita modern menghendaki potensi wanita yang ada bisa diaktualisasikan dalam masyarakat secara optimal. Kesimpulan yang didapat adalah sebagai berikut: Konsepsi Nasional Indonesia menghendaki peran serta wanita dalam pembangunan. Wanita Indonesia dituntut supaya tampil sebagai pribadi yang profesional sesuai bidangnya masing-masing. Dalam hal tersebut, maka terlihat betapa pentingnya arti kebebasan bagi wanita Indonesia. Kebebasan wanita harus bisa dilaksanakan Sebagai sarana untuk bisa menjangkau kebebasan, maka orientasi perlu diadakan, yaitu bisa berkiblat pada altruisme yang bernilai positif dan ferninisme. Keterbukaan masyarakat sangat diharapkan demi membantu supaya wanita bisa aktualisasi diri secara optimal. Citra kodrat yang dibentuk oleh masyarakat harus ditanggalkan, sebab citra kodrat bisa melunturkan semangat dan cita-cita wanita."
Depok: Universitas Indonesia, 1989
S16176
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nengyanti
"Penelitian ini, mengeksplorasi implemenlasi program P2W dengan
menggunakan metode kualitatif berperspektif feminis. Hasilnya, implementasi program TP-PZW yang Salah satunya melaksanakan P2W-KSS belum optimal. Pengelolaan kelembagaan, struktur organisasi TP-PZW yang berdasarkan jabatan pemerintahan menycbabkan personelnya kurang peduli akan kedudukannya dalam TP-PZW. Akibatnya, perencanazm dan pendanaan program wanita, khususnya P2W-KSS yang rujuannya menuju keluarga sehat sejahtera hanya menunggu dari atas. Tidak terjalin koordinasi padahal PZW-KSS merupakan program lintas sektoral. Kcgialan P2W-KSS dilaksanakan secara insran_ Dari segi sumber dnya manusia, pengetahuan pelaksana program sangat minim bahkan mereka tidak mengetahui kritcria lokasi binaan. Program terfokus untuk meningkatkan pendapatan keluarga sehingga laki-laid diperbolchkan ikut Serta. Parahnya, birokrat pelaksana TP-PZW dan P2W-KSS dijangkiti patologi birokrasi: paternal-isme, sikofancy, rokenisme, korupsi dan konspirasi- Al-rhimya, walaupun beberapa wanita mendapatkan pengctahuan mengenai kegiatan produktif dan pola hidup sehat, namun secara keseluruhan program belum berpihak pada wanita. Sebetulnya, baik struktur organisasi maupun kompetensi jajaran TP-P2W memiliki peluang untuk memajukan wanita di daerah_ Upaya penyadaran gender dan sosiaiisasi fungsi dan tugas lembaga TP-PQW mendesak untuk dilakukam kepada pegawai pemerintahan agar perspekctif gender dijadikan acuan pembuatan program pembangunan.

Abstract
This research, which aims to explore women`s perspective on
implementation enhancement of role of women (PZW) program, applies the feminism perspective based qualitative methods. The results, implementation of enhancement of the role of women management teams (TP-P2W) and enhancement of the role of women to aim healthy and welfare family (PZW-KSS) program aren?t optimally yet. From the institutional management, structure organization of TP-P2W, which based on status at government, make the personnel don?t care about their status at the team. Because of that, planning and budgeting for women?s program, especially P2W-KSS program activities wait for central department- Then, the involved institutions don?t have coordination among them. Because of that, program activities are always implemented instantly, just for competition ot` project village of P2W-KSS. Evaluating and reporting is based
on the activities at the competition. From human resources, they don?t know how
to implement the progam and what?s criteria are used to appointing the village becoming the project location. T hey have worse gender awareness. Almost all of the program which they had make, are generating income activities, so the program isn?t priority to women. They are influenced by bureaucrat?s pathology: patemalism, sycophancy, tokenism, corrupts and conspiracy. Finally, on the impact analysis of program implementation to women, indicate that although few of women get knowledge about income generating activities and healthy life pattem, but totally the program isn?t implemented with women?s perspective yet. In fact, not only the structure organization but also the competency of TP-P2W, has widest opportunity to advancement women?s role at province and municipality or district. Therefore, the efforts to gender awareness and socialization the TP-P2W function and task must be done to public servants at province and municipality or district goverment immediately, so gender mainstreaming policy become patron to make or decide their program."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T4939
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radhynka Andyaputri
"Pergerakan sosial merupakan fenomena yang tidak dapat dikesampingkan dalam dinamika hubungan internasional pada saat ini. Pergerakan-pergerakan tersebut memiliki berbagai fokus, salah satu yang paling signifikan adalah pergerakan sosial yang membawa identitas dan tuntutan-tuntutan feminis. Perspektif feminis dalam Hubungan Internasional sendiri telah meletakkan bagaimana gender merupakan unit analisis yang sentral dalam dinamika politik internasional, termasuk bagaimana pergerakan sosial diusung dengan membawa identitas dan isu-isu gender, terutama yang berkisar di pengalaman perempuan. Asia merupakan satu kawasan dengan pergerakan feminis yang dinamis, sebagai kawasan yang sarat dengan isu-isu ketimpangan gender yang turut berlapis dengan aspek ketimpangan sosial lain, seperti politik, ekonomi, sosial, hingga budaya. Tulisan ini meninjau bagaimana pergerakan feminis di Asia merupakan suatu fenomena transnasional, regional, sekaligus lokal dan senantiasa mempengaruhi dinamika sosial dan politik, baik di Asia maupun di dunia internasional. Tulisan ini turut membingkai bagaimana perspektif feminis dalam Hubungan Internasional mampu dikembangkan, terutama dengan mempertimbangkan dinamika pergerakan feminis di kawasan Asia yang terbilang unik dan memiliki ciri khasnya tersendiri. Tulisan ini adalah tinjauan literatur akademik yang menggunakan metode pengorganisasian taksonomi serta mencakup 37 literatur akademik terakreditasi yang dikategorisasikan ke dalam tiga tema besar, yaitu: (1) keterkaitan pergerakan feminis di Asia dengan feminisme transnasional; (2) ragam isu pergerakan feminis di Asia, dan; (3) sifat khas pergerakan feminis di Asia. Penulis turut memetakan konsensus dan perdebatan yang muncul dari literatur-literatur yang ditinjau terkait bagaimana identitas feminis dimainkan di pergerakan-pergerakan di Asia hingga derajat inklusivitas pergerakan bagi seluruh gender. Penulis melihat bagaimana kajian akademik terkait pergerakan feminis di Asia dalam lingkup Hubungan Internasional masih terfragmentasi berdasar isu dan konteks sosial, politik, dan budaya dalam negara-negara di Asia. Di samping itu, penulis turut mengidentifikasi bagaimana pergerakan feminis di Asia masih sarat dengan berbagai tantangan dalam hal inklusivitas dan kohesi pergerakan. Dengan itu, penulis merekomendasikan agar penelitian terkait pergerakan feminis di Asia dalam kacamata Hubungan Internasional untuk diragamkan sekaligus saling dikaitkan untuk memunculkan perspektif dan perdebatan baru terkait topik tersebut.

Social movement is a phenomenon that cannot be ruled out in the current dynamics of international relations. These movements have various focuses, one of the most significant is the social movement that carries feminist identities and demands. The feminist perspective in International Relations has laid out how gender is a central unit of analysis in the dynamics of international politics, including how social movements are carried out by bringing gender identities and issues, especially those that revolve around women's experiences. Asia is an area with a dynamic feminist movement, as a region full of issues of gender inequality layered with other aspects of social inequality, such as political, economic, social, and cultural. This paper reviews how the feminist movement in Asia is a transnational, regional, as well as local phenomenon and greatly influences social and political dynamics, both in Asia and internationally. This paper also frames how a feminist perspective in International Relations can be developed, especially by considering the dynamics of the feminist movement in the Asian region which is unique and has its own characteristics. This paper is a collection of academic literature using a taxonomic organizing method and includes 37 accredited academic literature which are categorized into three major themes, namely: (1) the relationship between Asian feminist movements and transnational feminism; (2) various issues of feminist movement in Asia, and; (3) the characteristics of feminist movement in Asia. The author also provides the context and sense that emerge from the literature reviewed regarding how feminist identity is played in movements in Asia to the degree of inclusiveness of the movement for all genders. The author sees how academic studies related to feminist movements in Asia within the scope of International Relations are still fragmented based on social, political, and cultural issues and contexts in each Asian country. In addition, the author also identifies how the feminist movement in Asia is still full of challenges in terms of movement inclusiveness and cohesion. With that in mind, the author recommends that research related to feminist movement in Asia from the perspective of International Relations be diversified and mutually relate to bring up new perspectives and views on this topic."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>