Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160925 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ajeng Nadia Ilmiani
"Arsitektur sering kali diasosiasikan dengan bangunan. Ini membuat kehadiran ruang, sebagai elemen utama arsitektur terkadang tidak disadari. Dalam seni pertunjukan, salah satu cara membentuk ruang arsitektural dapat dari proyeksi gerakan serta interaksi yang terjadi antar manusia. Pada seni pertunjukan, terjadi komunikasi lansung antara penampil dan penonton. Penonton menangkap pertunjukan, menginterpretasikan event dan mengalami ruang yang hadir selama pertunjukan berlangsung. Skripsi ini menjabarkan dan menyimpulkan bahwa ruang tidak selalu tercipta akibat hadirnya batasan fisik. Aktivitas, suara, intensitas cahaya, bahkan penonton merupakan elemen yang juga berpotensi untuk menghadirkan ruang.

Architecture is often associated with buildings. As a result, the presence of space as the essence of architecture is seemingly failed notice. In a performing art, architectural space emerges from projections of people's movements and interactions. In performing art, direct communications occur between performers and audience. The audience captures the show, interprets events and experiences the spaces that continuously exist during the show. This thesis describes and concludes that space is not always created by the presence of physical boundaries. Activity, sound, light intensity and even the audience are also powerful elements to bring the space into existence."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S42031
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alvina Olivia Jeanette
"Penulisan ini membahas tentang pengalaman adaptasi yang dialami oleh pengguna ruang ketika berada di ruang liminal. Ruang liminal merupakan titik transisi yang menghubungkan dua area yang berbeda sehingga memiliki karakter ambigu yang membuat pengguna bisa kebingungan ketika berada di dalamnya. Penulisan ini bertujuan menjelaskan kemungkinan tindakan adaptasi yang dilakukan oleh pengguna untuk merespon kebingungan di titik-titik tertentu. Penulisan ini menggunakan kasus Stasiun MRT bundaran HI untuk menganalisis proses adaptasi pengguna melalui tindakan proses penyebaran indra ke sekitar (diffuse), meluangkan waktu sejenak untuk merenungkan kondisi (pause) dan menyatu dengan ruang (merge). Melalui penulisan ini, didapati bahwa transformasi bisa terjadi di dalam ruang liminal itu sendiri berupa tindakan proses adaptasi dalam berbagai macam gerakan dan urutannya. Hal itu bergantung pada rasa familiaritas kita yang diakibatkan faktor frekuensi dan jangka waktu pengguna dalam ruang, serta kepekaan terhadap kebutuhan pengguna dan karakter spasial ruang liminal pada tiap titik adaptasi.

This paper discusses the experiences of adaptation encountered by users in liminal spaces. Liminal spaces serve as transitional points that connect two different areas, resulting in an ambiguous nature that can confuse users when they are inside. The purpose of this writing is to explain the possible adaptive actions taken by users to respond to confusion at specific points. The case of Bundaran HI MRT Station is used to analyze the user adaptation process through actions such as sensory diffusion to the surroundings, taking a momentary pause to reflect on the conditions, and merging with the space. Through this writing, it is found that transformations can occur within the liminal space itself through various adaptive actions and sequences of movements. This depends on our sense of familiarity, influenced by factors such as the frequency and duration of the user's presence in the space, as well as awareness of user needs and the spatial characteristics of the liminal space at each point of adaptation."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"On performing arts in Indonesia, according to Islamic perspectives; collection of articles."
Jakarta Timur: Balai Penelitian Pengembangan Agama Jakarta, 2015
297.267 FUN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kerjasama Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia dengan Ford Foundation , {s.a.}
791 JSPI (12) 2003/2004
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Annas Resaldi
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara maternal employment dan gaya pengasuhan ibu, gaya pengasuhan ibu dan masalah penyesuaian diri anak, maternal employment dan masalah penyesuaian diri anak, serta peran gaya pengasuhan ibu sebagai mediator antara maternal employment dan masalah penyesuaian diri anak. Maternal employment ditentukan berdasarkan jumlah jam kerja ibu, dengan acuan 35 jam sebagai batasan antara bekerja paruh waktu dan bekerja penuh waktu. Pengukuran gaya pengasuhan dilakukan menggunakan alat ukur Parenting Style and Dimension Questionnaire (PSDQ) (Robinson, Mandelco, Olsen, & Hart, 1995). Pengukuran masalah penyesuaian diri anak dilakukan menggunakan alat ukur Child Adjustment and Parenting Self Efficacy (CAPES) (Marowska & Sanders, 2010). Partisipan penelitian ini berjumlah 171 ibu (72 ibu tidak bekerja, 31 ibu bekerja paruh waktu, dan 68 ibu bekerja penuh waktu) yang memiliki anak berusia enam hingga 10 tahun dan tinggal di daerah Jabodetabek.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbedaan gaya pengasuhan antara ibu tidak bekerja, ibu bekerja paruh waktu, dan ibu bekerja penuh waktu hanya ditemukan dalam gaya pengasuhan otoriter dan otoritatif, sementara dalam hal gaya pengasuhan permisif tidak ada perbedaan yang signifikan. Ibu yang bekerja penuh waktu paling tidak otoriter dan paling otoritatif dibanding ibu yang tidak bekerja maupun bekerja paruh waktu. Berikutnya, ditemukan bahwa semakin otoriter dan permisif seorang ibu, semakin sering masalah penyesuaian diri anak muncul. Sebaliknya, semakin otoritatif seorang ibu, semakin jarang masalah penyesuaian diri anak muncul. Melalui penelitian ini, ditemukan pula bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal masalah penyesuaian diri anak dari ibu yang bekerja penuh waktu, paruh waktu, dan tidak bekerja. Ibu yang bekerja penuh waktu memiliki anak dengan masalah penyesuaian diri paling sedikit, disusul oleh ibu tidak bekerja dan ibu bekerja paruh waktu secara berturut-turut. Hasil analisis mediasi menunjukkan bahwa hubungan antara maternal employment dan masalah penyesuaian diri anak hanya dimediasi oleh gaya pengasuhan otoriter.

The objective of the present study is to investigate the relationship between maternal employment and maternal parenting style, maternal parenting style and child adjustment problems, maternal employment and child adjustment problems, as well as how maternal employment affects child adjustment problems with maternal parenting style as potential mediator. Maternal employment is determined by mothers’ working hours, with 35 hours as boundary between part-time and full-time employment. Maternal parenting style is measured with Parenting Style and Dimension Questionnaire (PSDQ) (Robinson, Mandelco, Olsen, & Hart, 1995). Child adjustment problems is measured with Child Adjustment and Parenting Self Efficacy (CAPES) (Marowska & Sanders, 2010). 171 mothers (72 unemployed, 31 employed parttime, and 68 employed full-time) with at least one child aged six to ten years old who live in Jabodetabek participated in this study.
The result of this study shows that differences in parenting style between full-time employed, part-time employed, and unemployed mothers are only found in authoritarian and authoritative parenting style, meanwhile there is no significant differences in permissiveness. Full-time employed mothers are the least authoritarian and most authoritative, compared to unemployed and part-time employed mothers. Secondly, this study found that the more authoritarian and permissive mothers are, the more frequent child adjustment problems happen. On the contrary, the more authoritative mothers are, the less frequent child adjustment problems happen. The next finding is that there are significant differences in child adjustment problems between children from full-time employed, part-time employed, and unemployed mothers. Full-time employed mothers are found to have children with the least adjustment problems, followed by nonemployed and part-time employed mothers, consecutively. Lastly, mediation analysis revealed that the relationship between maternal employment and child adjustment problems is only mediated by authoritarian parenting style and not by the other two parenting style.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S56597
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febby Diasry Nesita
"Tiga bale adat peninggalan turun temurun suku Sasak yang ada di tiga dusun di pulau Lombok, yaitu dusun Sade, Bayan, dan Senaru, masih berdiri tegak dalam keunikan wujud arsitektur dan budaya lokal. Bale adat dalam masyarakat tradisional dapat dilihat sebagai cerminan budaya setempat dalam bentuk simbol arsitektural. Melalui, orientasi bangunan, bentuk, dan susunan ruang, nilai nilai tradisi disampaikan kepada masyarakat. Sikap masyarakat yang terbuka menyebabkan terjadinya dinamika pergeseran dan perubahan kebudayaan seiring dengan berjalannya waktu. Demikian pula yang terjadi pada masyarakat suku Sasak. Skripsi ini mempertanyakan sejauh mana telah terjadi penyesuaian antara bale adat dan perubahan pola hidup dan pandangan masyarakat di masing masing desa. Penelusuran langsung dilakukan di tiga dusun. Data terkumpul dalam bentuk sketsa, foto, dan wawancara dengan pengurus bale adat. Pendekatan arsitektural dan antropologis terutama mengenai teori perubahan kebudayaan digunakan untuk melihat perubahan sikap yang terjadi. Hasil analisis menyimpulkan bahwa arsitektur bale adat tidak lagi terbaca sebagai simbol yang memiliki makna nilai tradisi oleh masyarakatnya. Ada kekuatiran bahwa arsitektur bale adat lama kelamaan akan diperlakukan sama dengan bangunan lainnya yang ada.

Three bale (traditional house) indigenous Sasak hereditary heritage existing in three hamlets on the island of Lombok, which Sade village, Bayan and Senaru that still standing upright in a unique form of architecture and local culture. Bale is customary in traditional societies can be seen as a reflection of the local culture in the form of architectural symbols. From building orientation, shape, and arrangement of space, the value of tradition conveyed around community. The soft attitudes of community led to the dynamics of culture shift and change over time. Similarly, what happened to the Sasak people. This skription questions the extent to which there has been an adjustment between the bale and the indigenous lifestyle changes and public opinion in their respective villages. Direct searches performed in three hamlets. Data collected in the form of sketches, photographs, and interviews with official custom bale. Architectural and anthropological approaches, especially regarding culture change theory is used to see the change in attitude occurred. The results of the analysis concluded that the custom bale architecture no longer be read as a symbol of traditional values ​​that have meaning by society. There is concern that the custom bale architecture over time will be treated the same as other existing buildings.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S54886
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.M. Soedarsono
"Performing arts in Indonesia from political and socioeconomic perspectives"
Bulaksumur, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2011
790.2 SOE s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Tiffany Candra
"Tulisan ini membahas mengenai utilisasi tari Waacking di Korea Selatan dan Indonesia. Waacking merupakan genre tari modern yang mulai berkembang pada tahun 1970-an. Lahir dari komunitas klub gay di Los Angeles, Waacking menjadi salah satu media ekspresi diri bagi kaum homoseksual pada masa itu. Para penari menggunakan Waacking untuk mengungkapkan perasaannya melalui gerakan-gerakan yang juga berarti sebagai simbol identitas diri mereka. Melalui gerakan ini, penari menyampaikan makna-makna subjektif mereka kepada para penonton. Seiring berjalannya waktu, Waacking mulai dikenal masyarakat di berbagai negara, tidak terkecuali di Korea Selatan dan di Indonesia. Meski teknik yang digunakan masih sama, terdapat perkembangan fungsi Waacking di kedua negara tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis penggunaan Waacking sebagai media pengenalan budaya nasional oleh waackers Korea Selatan dan Indonesia. Adapun metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik studi pustaka. Tulisan ini mengacu pada teori tari sebagai sistem simbol dan tari sebagai sarana komunikasi lalu hasil temuan dianalisis dengan sudut pandang artikulasi budaya. Melalui tulisan ini dapat disimpulkan bahwa meski awalnya Waacking digunakan sebagai sarana ekspresi diri dari penindasan, kini Waacking digunakan sebagai sarana pengenalan identitas budaya nasional.

This paper discusses the utilization of Waacking dance in South Korea and Indonesia. Waacking is a modern dance genre that began to develop in the 1970s. Born from the gay club community in Los Angeles, Waacking became one of the media of selfexpression for homosexuals at that time. Dancers use Waacking to express their feelings through movements that also symbolize their self-identity. Through these movements, dancers conveyed their subjective meanings to the audience. Over time, Waacking began to be recognized by people in various countries, including South Korea and Indonesia. Although the techniques used are still the same, there are developments in the function of Waacking in both countries. The purpose of this study is to analyze the use of Waacking as a medium for introducing national culture by South Korean and Indonesian waackers. The method used is descriptive qualitative method with literature study technique. This paper refers to the theory of dance as a symbol system and dance as a means of communication and then the findings are analyzed from the point of view of cultural articulation. Through this paper, it can be concluded that although initially Waacking was used as a means of self-expression from oppression, now Waacking is used as a means of recognizing national cultural identity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cintana Ramadhany Maladjong
"Studi ini mengkaji pemaknaan neighborhood bagi masyarakat kampung kota dan persepsi mereka terhadap makna tersebut melalui penggunaan ruang publik di sana. Pemaknaan dan persepsi tersebut ditelusuri melalui teori Place Identity dan Place Attachment sebagai konsep yang menjelaskan hubungan manusia dengan tempat. Interaksi sosial menjadi faktor utama dalam memahami makna neighborhood bagi seseorang, yang mana dalam konteks kampung kota, makna tersebut didasari oleh rasa seperjuangan antar warga. Untuk mendalami kajian, studi kasus dilakukan di Blok Eceng, sebuah kampung kota di Penjaringan, Jakarta Utara. Hasil studi menunjukkan bahwa makna neighborhood bagi masyarakat kampung kota berakar pada prinsip kebersamaan yang dipegang teguh setiap warga, menghadirkan rasa solidaritas yang ditandai dengan tingginya interaksi sosial dan membentuk place identity dan place attachment warga. Persepsi terhadap makna demikian ditunjukan melalui identifikasi warga terhadap neighborhood sebagai satu wilayah kampung baik secara sosial maupun spasial. Afiliasi pekerjaan, organisasi, dan konflik sosial antar warga berpengaruh terhadap persepsi mereka akan tetangga dekat.

This study examines the meaning of neighborhood for urban kampung society and how they perceive it through the use of space in urban kampung. These meanings and perceptions are traced using the people-place relationship theories: Place Identity and Place attachment. Social interaction is the main factor leading to the individual's interpretation of the neighborhood, which in the urban kampung context lies in the shared sense of collective struggle among residents. To further the discussion, a case study was conducted at Blok Eceng, an urban kampung in Penjaringan, North Jakarta. Results show that the meaning of neighborhood for urban kampung community is rooted in the togetherness principle shared among residents, presents a sense of solidarity marked by high social interaction, and forms residents' place identity and place attachment. This meaning is shown through their perceptions of the neighborhood as a whole unit of kampung, both socially and spatially. Affiliation of work, local organization, and social conflict influence their perceptions of close neighbors."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kerjasama Ford Foundation & Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2005
792.598 TIG
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>