Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 75850 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lestari Aysha Damayanti
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
S8293
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Avina Nadhila Widarsa
"Setelah terlibat konflik politik selama lebih dari enam dekade, Cina mengambil sebuah kebijakan yang fenomenal dalam hubungannya dengan Taiwan. Pada tanggal 29 Juni 2010 disepakati suatu kerangka kerjasama ekonomi yang ditandatangani oleh Association for Relations Across Taiwan Straits (ARATS) yang mewakili pemerintah Cina dan Strait Exchange Foundation (SEF) yang mewakili pemerintah Taiwan. Penandatanganan Cross Strait Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) ini menandai babak baru dalam hubungan lintas selat. Walaupun perjanjian tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerjasama ekonomi yang resiprokal dan setara, dalam isi perjanjian ECFA justru lebih menguntungkan Taiwan daripada Cina. Dalam ECFA disepakati kedua pihak sepakat untuk menurunkan tarif pada produk - produk ekspornya hingga 0%. Cina bersedia menurunkan tarif bagi 539 produk impor dari Taiwan, sementara Taiwan hanya bersedia menurunkan tarif bagi 267 produk impor dari Cina. Jelas terdapat ketidakseimbangan dalam kesepakatan ekonomi tersebut. Menjadi pertanyaan yang menarik, mengapa Cina tetap mau menandatangani perjanjian yang sudah jelas merugikan baginya secara ekonomi Melalui kerangka pemikiran economic statecraft, penelitian ini mengidentifikasi bahwa Cina memiliki memiliki kepentingan di balik penandatanganan ECFA. Adapun kepentingan politik Cina dalam penandatanganan ECFA adalah sebagai tahap awal untuk mencapai reunifikasi secara damai dengan Taiwan dan sebagaim pembuktian upaya peaceful development yang dilakukan Cina di kawasan Asia Timur. Selain itu, Cina juga memiliki kepentingan ekonomi untuk menjaga aliran dana investasi langsung dari Taiwan yang menjadi salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi Cina.

After six decades full of hostility and political tension, China took an extraordinary action regarding her relation towards Taiwan. On June 29, 2010, an economic cooperation framework agreement was signed between Association for Relations Across Taiwan Straits (ARATS) as a representative of government of China and Strait Exchange Foundation (SEF) as a representative of government of Taiwan. The signing of Cross Strait Economic Cooperation Framework Agreement (ECFA) was marking the new era of cross strait relations. While looking to improve economic cooperation reciprocally and equally, this agreement is more favor Taiwan instead of China. China agreed to reduce tariffs until 0% for 539 Taiwan export goods, while Taiwan only agreed to reduce tariffs for 267 China export goods. It is likely that China will face economic disadvantages because of this agreement. Then, the question is why China wants to sign this agreement although it doesn't give maximum advantages to her economy. Through the analysis from economic statecraft and economic cooperation as conceptual framework, this research pointed out that China has political and economic interest within this agreement. This research identified China's interest on ECFA as initial step to achieve peaceful reunification with Taiwan and as a way for China to prove the peaceful development strategy in East Asia region. Moreover, China also has economic interest towards ECFA which is to make sure Taiwan's FDI still come to China."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
M. Hafizh Ghifari Azizi
"Perdagangan internasional adalah salah satu faktor utama yang menentukan daya saing perekonomian suatu negara di tingkat internasional (Routledge et.al., 2012). Salah satu faktor yang mempengaruhi perdagangan internasional adalah volatilitas nilai tukar (Auboin 2013). Bank Indonesia menerbitkan sebuah instrumen, yaitu Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA), yang ditujukan untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah terhadap mitra dagang utama Indonesia guna meningkatkan total perdagangan internasional Indonesia. Penelitian ini menganalisis dampak BCSA pada perdagangan internasional Indonesia. Peneliti menggunakan data perdagangan internasional pada level HS-2 terhadap 20 mitra dagang utama Indonesia tahun 2006 – 2020. Dengan menganalisis data menggunakan pendekatan ppml, didapatkan hasil bahwa BCSA secara signifikan berhubungan negatif dengan total ekspor Indonesia dan berhubungan positif dengan total impornya. Akan tetapi, secara keseluruhan, variabel ini berkorelasi positif dengan total perdagangan internasional Indonesia.

International trade is one of the main factors that determine a country's economic competitiveness at the international level (Routledge et.al., 2012). One of the factors affecting international trade is exchange rate volatility (Auboin 2013). Bank Indonesia issued an instrument, The Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA), which was aimed at maintaining the stability of the rupiah exchange rate against Indonesia's main trading partners to increase Indonesia's total international trade. This study analyzes the impact of BCSA on Indonesia's international trade. The researcher used international trade data at the HS-2 level for 20 of Indonesia's top trading partners in 2006 – 2020. By analyzing the data using the ppml approach, the result was that BCSA had a significantly negative relationship with Indonesia's total exports and a positive relationship with its total imports. However, overall, this variable is positively correlated with Indonesia's total international trade."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Ronawati
"Setelah kemenangan PKC (Partai Komunis Cina atau terhadap PNC (Partai Nasionalis Cina atau Guomindang) pada tahun 1949, dengan didukung penuh oleh rakyat dan partai, Mao Ze-dong memegang tampuk kekuasaan tertinggi di Republik Rakyat Cina (selanjutnya akan disebut Cina). Dan untuk mempersatukan seluruh rakyat demi tercapainya masyarakat sosialis, Mao menggunakan filsafat komunisme yang berbeda dengan komunisme Rusia. Seperti halnya negara-negara komunis lainnya, politik Iuar negeri Cina juga berkiblat pada ajaran Marxisme Leninisme yang membagi dunia menjadi dua bagian, yaitu masyarakat kapitalis dan masyarakat komunis. Namun disamping itu, dalam prakteknya Cina juga menerapkan pemikiran Mao. Menurut ajaran Mao, pertentangan antara komunis dan kapitalis hanya dapat dimenangkan oleh komunis melalui suatu revolusi bersenjata. Di dalam proses pertentangan klas ini selain melalui revolusi bersenjata, Cina juga mengenal yang disebut Strategi Koeksisensi Damai. Perubahan sikap ini terjadi karena pengakuan atas kenyataan bahwa kapitalisme ternyata masih kuat dan memerlukan pendekatan lain. Strategi koeksistensi damai ini menganut prinsip_"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
S12856
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surayin
Bandung: Armico, 1993
R 495.1399221 SUR k
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Kusumastuti Maria
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
T36339
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M.D. La Ode
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2012
324 LAO e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Marvella Felicienne
"Sekitar abad ke-20, dolar Amerika Serikat semakin mendominasi karena sering digunakan dan bahkan menjadi mata uang yang paling banyak dipakai dalam transaksi perdagangan antarnegara. Oleh karena itu, dolar Amerika Serikat memiliki nilai yang kuat dan berpengaruh besar terhadap keuangan internasional. Salah satunya implikasinya terlihat ketika Krisis Finansial Global tahun 2008. Krisis ini berkaitan erat dengan kondisi perekonomian buruk yang terjadi di Amerika Serikat dan menyebabkan merosotnya aktivitas ekonomi serta perdagangan dunia. Hal ini kemudian memberikan dampak langsung yang signifikan bagi negara-negara yang perekonomiannya ditopang oleh ekspor, seperti Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan Indonesia. Berdasarkan hal ini, muncul keprihatinan dari negara-negara di dunia untuk mengambil langkah preventif agar mata uang masing-masing negara tidak terlalu dependen terhadap dolar Amerika Serikat. Salah satu upaya tersebut berbentuk kerja sama penyelesaian transaksi perdagangan menggunakan mata uang lokal atau Local Currency Settlement (LCS). Indonesia pertama kali menginisiasi LCS pada tahun 2016 dan saat ini telah bekerja sama dengan empat negara, yaitu Thailand, Malaysia, Jepang, dan Tiongkok. Namun, dalam pelaksanaannya, belum ada dampak signifikan yang dibawa oleh perjanjian ini. Oleh karena itu, penelitian ini mempertanyakan inisiatif Indonesia untuk mengadakan kerja sama LCS, meskipun pengaruh yang diberikan tidak signifikan dan kepentingan yang sebenarnya ingin diraih Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan dibalik inisiasi kerja sama LCS. Penelitian ini menggunakan teori rational choice oleh Shannon L. Blanton dan Charles W. Kegley sebagai kerangka analisis dengan analisis empat elemen, yaitu (1) pengenalan masalah dan definisi; (2) pemilihan tujuan; (3) identifikasi alternatif; dan (4) pilihan. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dan data yang diambil merupakan data sekunder. Data sekunder diambil dari jurnal, buku, situs, portal berita, dan sumber lainnya yang relevan. Berdasarkan data yang ada, penelitian ini menunjukkan bahwa inisiasi kerja sama LCS hanya bersifat komplementer untuk mendukung kebijakan-kebijakan lainnya dalam memperkuat ekonomi nasional. Selain itu, kerja sama ini berpotensi untuk dikembangkan dengan perluasan kerangka dan penambahan negara mitra lainnya di kawasan Asia, sehingga dapat memperkuat stabilitas regional.

Since the 20th century, the United States dollar has increasingly dominated and even become the most used currency in trade transactions between countries. Thus, the United States dollar has a strong value and greatly influences international finance. One of the implications could be seen during the 2008 Global Financial Crisis. This crisis was closely related to the poor economic conditions in the United States that caused a decline in economic activity and world trade. It then directly impacts countries whose economies are supported by exports, such as China, Japan, South Korea, and Indonesia. Based on this issue, there are concerns from countries worldwide to take preventive steps to reduce each country's dependency on the United States dollar. One of these efforts is in the form of cooperation in settlement of trade transactions using local currency or Local Currency Settlement (LCS). Indonesia first initiated the LCS in 2016 and is currently collaborating with four countries: Thailand, Malaysia, Japan, and China. However, in practice, there has been no significant impact brought by this agreement. Therefore, this research questions Indonesia's initiative to establish LCS cooperation, even though the result is insignificant and the interests that Indonesia wants to achieve. This research aims to find out the reasons behind the initiation of LCS cooperation. This research uses the rational choice theory by Shannon L. Blanton and Charles W. Kegley as an analytical framework with an analysis of four elements: (1) problem recognition and definition; (2) goal selection; (3) identification of alternatives; and (4) choice. The research method uses a qualitative approach and the data taken are secondary data from journals, books, websites, news portals, and other relevant sources. Based on the analysis, this research shows that the initiation of LCS cooperation is only complementary to supporting other policies in strengthening the national economy. In addition, this cooperation has the potential to be developed by expanding the framework and adding other partners from neighboring countries to strengthen regional stability."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>