Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163309 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurarni Widiastuti
"Identitas menjadi suatu hal yang penting bagi muslim keturunan Cina dalam berinteraksi dengan masyarakat luas. Kebanyakan masyarakat muslim keturunan Cina adalah muallaf atau memeluk Islam tidak sejak lahir melainkan karena proses pindah ke agama Islam. Mereka lebih diterima oleh orang pribumi meskipun dari keturunan Cina, mengingat banyak stereotip dan penolakan yang terjadi terhadap etnis Cina oleh warga pribumi selama ini.
Penerimaan tersebut terkait dengan tumbuhnya perasaan sense of belonging yang muncul di tengah-tengah masyarakat pribumi dan muslim keturunan Cina. Inilah yang menyebabkan leburnya sekat sosial di antara pribumi dan muslim Cina bahkan membentuk suatu ikatan positif di antaranya. Meskipun muslim keturunan Cina menjadi lebur dengan masyarakat pribumi, bukan berarti tidak ada rintangan dalam menjalani kehidupan barunya sebagai seorang muslim. Mereka juga menjadi dijauhi oleh keluarga atau temantemannya yang nonmuslim keturunan Cina. Oleh karena itu, penggunaan simbolsimbol atau atribut Islam menjadi penting bagi muslim keturunan Cina ini dalam strategi berinteraksi.
Terbentuknya komunitas muslim keturunan Cina menjadi suatu hal yang tidak dapat ditepis lagi. Interaksi dengan sesama muallaf Cina lainnya, bertukar pikiran atau sharing satu sama lain pada akhirnya menimbulkan rasa nyaman dan menjadi ?rumah kedua? bagi mereka.

Identity became an important thing for Chinese Moslem in order to interact with the other society. Mostly, The Chinese Moslem was Muallaf, a person who became Moslem not because they were born as moslem but with changing their religion into Moslem. They?ve been accepted by the local society, despite the fact that there are a lot of stereotype and rejection towards the Chinese by the local society.
The acceptance towards the Chinese Moslem arisen the sense of belonging between the local society and the Chinese Moslem Society itself. This condition had loosened the social barriers between the two societies. In fact, those two societies are now bounded in some kind of positive atmosphere. Eventhough, the Chinese Moslem had already melted with the local society, but there are still some problems that occur in their new life as a Chinese Moslem. Somehow, they got abandoned by their own non-Moslem Chinese family or friends. So that?s why, for the Chinese Moslem, symbols and attributes are really important as a part of interaction strategy.
We can?t set aside the existence of the Chinese Moslem community as a place for them to interact, communicate, or share their thoughts and opinions with the other Chinese Muallaf. This community already became their nice and comfort second home.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurarni Widiastuti
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S8211
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Indra Murti
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2377
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Cin Hapsari Tomoidjojo
Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2012
915.982 CIN j
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Mauludi
1989
S2149
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kholis Ridho
"Latar belakang penelitian ini bermula dari ketertarikan penulis terhadap hasil kajian dan temuan penelitian PIRAC (Public interest Research and Advocacy Center) dan PBB (Pusat Bahasa dan Budaya) UIN Jakarta tentang philanthropy (kedermawanan) masyarakat muslim di Indonesia. Hal yang menarik adalah bahwasanya, pertama, di tengah kondisi masa krisis yang sedang berlangsung di Indonesia, ternyata masyarakat Indonesia memiliki tingkat kedermawanan yang lebih tinggi di antara masyarakat dunia lainnya seperti Philipina, Thailand, India, Jepang, Amerika, Jerman dan Perancis. Kedua, budaya gotong royong dan ciri masyarakat yang agamis merupakan alasan umum yang menjadi faktor pendorong bagi kuatnya intensitas berderma pada masyarakat Indonesia. Ketiga, uniknya kendati rating of giving masyarakat Indonesia paling tinggi diantara negara-negara tersebut di atas, besaran nilai sedekah (rupiah) yang diberikan tidak berbanding lurus dengan tingginya intensitas berderma. Artinya, nilai sedekah (rupiah) yang diberikan masih cukup rendah dibanding Thailand, Philipina, Jerman, Perancis, Amerika, dan Jepang.
Menjawab latar belakang tersebut, penulis bermaksud menguji sejauhmna kondisi krisis tidak mempengaruhi aktivitas berderma pada masyarakat di Indonesia dan benarkah aspek alasan agama menjadi pendorong utama peritaku berderma masyarakat Indonesia. Dengan mengkerucutkan aspek filantropi yang akan dikaji, penulis membatasi. aspek kegiatan berderma (philanthropy) pada masyarakat muslim, yakni aktivitas zakat fitrah dan zakat mal dalam dua tahun terkahir.
Target awal wilayah penetitian adalah menguji wilayah DKI Jakarta sebagai lokasi pilihan penelitian -DM Jakarta adatah salah satu kota/sampel penelitian Pirac dan PBB UIN Jakarta. Sayangnya sehubungan keterbatasan dana dan waktu penelitian, penulis mengalihkan pilihan wilayah penelitian dari DKI Jakarta ke wiatayah Kec. Ciputat-Tangerang. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan survey, menggunakan metode penarikan sampel: multi stage random sampling, terdiri 5 kelurahan dari 13 kelurahan yang ada di Ciputat (40%), 10 RW, 10 RT, dan 100 KK/responden. Analisis yang digunakan adalah dengan menggunakan perangkat statistik SPSS 10.01 meliputi tabulasi data dengan prosentase, frekuensi, median, range, modus, nilai minimum, nilai maksimum, cross-tabulasi, uji korelasi spearman's, serta uji korelasi parsial.
Pada prinsipnya intensitas aktivitas zakat (baca: perilaku) didorong oleh sikap keberagamaan dan nilai-nilai subyektif tentang kesejahteraan sosial dan keadilan sosial (Parsons:1951, Fishbein dan Ajzein:1980, 5arlito Wirawan: 2002) . Prinsip tersebut dapat dikukuhkan dengan teori unit voluntaristic Parsons', rasionalisasi weber, hukum pertukaran homans, dan filosofi interaksi simbolik Herbert Mead. Dalam pandangan Parsons nilai-nilai, ide atau sikap keberagamaan merupakan bagian dari proses internaliasi dan sosialisasi yang saling berintegrasi dengan situasi eksternal yang mempengaruhi perilaku aktor. Karena itu prinsip tindakan berzakat tidak saja untuk pemuasan kebutuhan emosional, penegasan identitas muslim, atau mencapai tujuan individual lainnya tetapi, juga untuk pemenuhan hubungan yang lebih universal, membina keeratan persahabatan/kekerabatan dan terutama keseimbangan untuk memberikan hak kemanusiaan berupa keadilan sosial bagi fakir miskin atau yang sedang jatuh miskin.
Temuan yang didapatkan dalam penelitian ini bahwasanya masyarakat Ciputat secara keseturuhan adalah masyarakat yang cukup agamis dan murah hati. Kondisi krisis atau pernyataan taraf ekonomi masyarakat yang rendah atau tinggi, ternyata tidak berpengaruh bagi intensitas aktivitas zakat fitrah dan zakat maal di Ciputat. Bagi masyarakat Ciputat penunaian zakat adalah kewajiban agama, tidak terkait dengan pajak dan peraturan pemerintah, bersifat kewenangan pribadi dan bukan merupakan bagian dari mekanisme pengelolaan zakat secara makro. Sekalipun muatan integrasi dalam penunaian zakat (zakat untuk keeratan hubungan antar sesama) cukup kentat sebagai motive atau orientasi tujuan penunai zakat, akan tetapi penerapan kontrol bagi wajib zakat yang lalai ternyata kurang diminati sebagai mekanisme pengelolaan zakat yang terbaik.
Alasan menunaikan zakat/sedekah bukan semata dipengaruhi oleh kapasitas sikap keberagamaan seorang muslim, tetapi juga dipengaruhi oleh penilaian subyektif tentang kontribusi zakat bagi kesejahteraan sosial. Karena itu tujuan penunaian zakat juga merupakan irisan motif dan nilai tentang zakat sebagai kewajiban agama (meningkatkan keimanan dan ketakwaan), zakat sebagai alat untuk mengurangi beban kemiskinan pihak yang kurang beruntung, zakat sebagai perekat keakraban antar umat, dan zakat sebagai penggerak perekonomian islam. Sejauh ini perilaku berzakat secara umum bersifat instrumental, yaitu untuk penunaian zakat secara formal-praktis. Namun tidak sedikit juga yang menunaikan zakat untuk kepuasan emosional dan untuk kepentingan moral/universal. Hal tersebut digerakkan dari peran serta "komunitas paguyuban masyarakat kota" seperti organisasi ketetanggaan (RT/RW), organisasi dewan masjid, organisasi kepemudaan muslim, organisasi penuajian/tahlilan dan lain sebagainya.
Adapun kendala pelaksanaan zakat dengan penataan dan pengelolaan yang optimal dalam penelitian ini ditemukan dua hal. Pertama, adalah lemahnya proses internalisasi nilai dan ide zakat yang berwawasan integral dengan pengawasan dan kontrol. Kedua, adalah kurangnya mekanisme kontrol itu sendiri, terutama dari pihak institusi pengelota zakat secara formal seperti BAZ dan LAZ, sehingga praktis pengelolaan zakat banyak tercecer dalam bentuk penyaluran secara individual dan perseorangan. Dua hal tersebut didukung oleh mandulnya Undang-undang No.38/1999 tentang pengelolaan zakat di Indonesia yang tidak bersifat operasional dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan mernaksa bagi subyek zakat yang lalai."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14396
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gondomono
Jakarta: UI-Press, 1997
PGB 0467
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pusat Penelitian Politik (P2P)-LIPI, 2003
297.569 4 MIN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"HAM mnjadi penting dan menarik, karena prinsip kebebasan dan perlindungan terhadap hak hidup sangat vital kedudukannya dalam mengembangkan kreativitas manusia. Puncak sejarah kemanusiaan dalam penegakan HAM adalah ketika PBB mendeklarasikan The Universal Declaration of Human Rights pada Desember 1948. Piagam tersebut berisi pokok-pokok tentang kebebasan, persamaan, pemilikan harta, hak-hak dalam perkawinan, pendidikan, hak kerja, dan kebebasan beragama. Umat Islam tidak dapat menghindar dari fenomena HAM, yang mana umat Islam pun juga harus melindungi pelaksanaan HAM bagi seluruh penganutnya. Sampai pada taraf tertentu, antara Islam dan HAM tidak timbul permasalahan. Namun, ketika umat Islam harus mengakui universal Deklarasi HAM PBB yang berasal dari Barat, timbul berbagai problem yang mengiringinya, di antaranya adalah disebabkan oleh kultur atau tradisi yang berbeda antara Barat dan Islam, perilaku dan standar ganda Barat, dan tindakan Barat yang diskriminatif terhadap umat Islam. Tulisan ini hendak menguraikan tentang realisasi Islam dan HAM secara terperinci mulai dari sejarah HAM, doktrin Islam tentang HAM, dan praktek serta kendala pelaksanaan HAM dalam masyarakat Muslim. "
MAARIF 9:1 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>